You are on page 1of 8

BAB I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kematian seseorang pada saat sedang menjalani suatu tindakan medis
seringkali menimbulkan keragu-raguan bagi para dokter yang merawat maupun pada
keluarga pasien. Apabila para dokter menganggap bahwa mekanisme dan sebab
kematian pasien yang dirawatnya menimbulkan keragu-raguan, maka mereka akan
meminta persetujuan keluarga pasien untuk melakukan pemeriksaan lanjutan, yakni
otopsi forensik (Budiyanto dkk,1997).
Beberapa kasus kematian di Indonesia kebanyakan dikarenakan persediaan
peralatan kedokteran yang kurang canggih. Peralatan tersebut tidak terdapat di
daerah-daerah terpencil sehingga banyak pasien yang tidak tertolong. Identifikasi
kematian

tersebut dianggap tidak sesuai dengan standar prosedur dan standar

profesi (Budiyanto dkk,1997).


Pada dasarnya, kematian dapat terjadi sebagai akibat dari:
1. Sebagai akhir dari perjalanan penyakitnya (alamiah).
2. Sebagai manifestasi dari salah satu resiko atau komplikasi dari tindakan medis.
Resiko tersebut terjadi akibat dari suatu tindakan medis, obat-obatan yang
digunakan (misalnya pada anastesi), kondisi tertentu dari pasien itu sendiri, dan
sebagai akibat dari reaksi alergi. Tim medis bertanggung jawab atas kematian
tersebut apabila mereka tidak melakukan tindakan sesuai dengan standar prosedur
dan standar profesi.
3. Sebagai hasil dari kecelakaan medik (medical mishap). Peristiwa ini sama sekali
tidak

dapat diperkirakan sebelumnya (unforseeable) sehingga tidak dapat

dihindari (unavoidable). WMA (World Medical Association) menyebutnya


sebagai untoward results.
4. Sebagai hasil dari kelalaian medik. Suatu peristiwa dianggap suatu kelalaian
apabila memenuhi 4 syarat, yaitu: 1) adanya kewajiban untuk melakukan atau
untuk tidak melakukan sesuatu (duty), 2) adanya pelanggaran atas kewajiban
tersebut (derelection of that duty), 3) terjadinya cedera atau kerugian (damage),

4) yang memiliki hubungan sebab akibat dengan pelanggaran kewajiban diatas


(direct causalship).
5. Sebagai hasil dari kesengajaan. Dalam upaya membuktikan kasus yang terjadi
maka diperlukan pemeriksaan pasien dengan seksama, termasuk dilakukannya
otopsi apabila diperlukan. Selain itu, rekam medis pasien perlu dianalisis dan
dicari hubungannya dengan temuan otopsi. Penilaian tersebut sebaiknya
melibatkan peer group sebagai saksi ahli guna memberikan pandangannya
tentang peristiwa apa yang sebenarnya terjadi, apakah peristiwa tersebut suatu
untoward result ataukah suatu resiko yang tidak dapat diprediksi sebelumnya,
bagaimana standar prosedur yang berlaku, apakah peristiwa sesuai dengan
standar prosedur yang berlaku, serta apakah telah terjadi pelanggaran atas
standar (Budiyanto dkk,1997).
Dengan perkembangan kemajuan teknologi, selain membawa dampak positif
dapat juga membawa dampak negatif. Adapun dampak positifnya yakni semakin
canggih pemeriksaan medik yang dilakukan serta peralatan kedokteran yang
digunakan, semakin sesuai dengan standar prosedur dan profesi yang berlaku. Tetapi
di satu sisi berdampak negatif bagi sekelompok pelayanan kesehatan yang masih
memiliki peralatan yang kurang canggih, sehingga banyak dokter mendefinisikan
kematian hanya berdasarkan peralatan sederhana. Situasi ini banyak menyebabkan
keraguan bagi para dokter dan ternyata setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
tidak ditemukan tanda-tanda kematian yang pasti dan perubahan-perubahan lanjut
setelah kematian (Budiyanto dkk,1997)..
Oleh karena itu ada beberapa kasus pasien yang dinyatakan telah mati secara
klinis yaitu terhentinya fungsi sistem penunjang kehidupan, yang terdiri dari
susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, dan sistem pernapasan. Ketiga sistem ini
tidak terdeteksi aktifitasnya hanya dengan alat sederhana, namun masih dapat
terdeteksi dengan alat canggih. Oleh karena itu dengan menggunakan peralatan
kedokteran yang canggih, dokter dapat membuktikan bahwa ketiga sistem
penunjang kehidupan tersebut masih berfungsi atau bersifat sementara yang
biasanya disebut dengan mati suri. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan

obat tidur, tersengat aliran listrik, kedinginan, mengalami cardiac arrest, dan
tenggelam (Sampurna,2008).
Berdasarkan penjelasan diatas tentang jenis-jenis kematian khususnya mati
suri, maka perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut tentang mati suri serta
identifikasinya.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari pembahasan referat ini adalah untuk memberikan
gambaran mengenai mati suri.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi kematian serta klasifikasinya
b. Untuk mengetahui definsi mati suri.
c. Untuk mengetahui cara identifikasi mati suri.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Memberikan pengembangan terhadap studi kedokteran tentang mati suri dan
identifikasinya.
1.3.2 Manfaat Praktis
Membantu masyarakat dalam mendapatkan pengetahuan mengenai mati suri
dan identifikasinya, serta menambah pengetahuan bagi dokter mengenai
peran dokter dalam mengidentifikasi mati suri.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Luka
2.2. Visum et Repertum
2.2.1 Definisi Visum et Repertum
Kata visum et repertum dapat dijumpai didalam Staatsblad tahun 1938 No.
350 : visa et reperta para dokter yang dibuat baik atas sumpah dokter yang
diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajarannya di negeri Belanda atau di
Indonesia, maupun atas sumpah khusus seperti tercantum dalam pasal 2 mempunyai
3

daya bukti syah dalam perkara-perkara pidana, selama visa et reperta tersebut berisi
keterangan mengenai hal-hal yang diamati oleh dokter itu pada benda yang
diperiksa.
Visum et reperetum adalah laporan tertulis untuk justisi yang dibuat oleh
dokter berdasar sumpah, tentang segala sesuatu yang diamati (terutama yang diliat
dan ditemukan) pada benda yang diperiksa.
2.2.2 Tata Cara Permintaan Visum et Repertum
Tatacara permintaan visum et repertum untuk korban hidup:
1. Permintaan harus secara tertulis, tidak dibenarkan secara lisan, telepon atau
melalui pos.
2. Korban adalah barang bukti, maka permintaan visum et repertum harus
diserahkan sendiri oleh polisi bersama sama korban atau tersangka kepada
dokter.
3. Tidak dibenarkan permintaan visum et repertum tentang sesuatu peristiwa
yang telah lampau, mengingat rahasia kedokteran.
Tatacara permintaan visum et repertum untuk korban mati (mayat):
1. Permintaan harus diajukan secara tertulis, tidak dibenarkan melalui telepon,
lisan atau pos.
2. Mayat diantar bersama-sama SPVR oleh polisi.
3. Kemudian pada mayat harus diikatkan label yang memuat identitas mayat
(sesuai Pasal 133 ayat 3 KUHAP). Label mutlak diperlukan, sednagkan
keharusan dilak dan diberi materai (segel) merupakan suatu birokrasi,
mengingat materai hanya sebuah dan tentunya tidak bisa dibawa kemanamana. Pemasangan label harus dilakukan atau paling tidak disaksikan oleh
polisi, sebab bila ada kekeliruan mayat maka polisilah yang bertanggung
jawab.
4

2.2.3. Bentuk Surat Pemintaan Visum et Repertum


1. disudut kanan atas dicantumkan alamat kepada siapa SPVR dikirim
(misalnya Rumah Sakit atau dokter), dan disertai tanggal pengirimannya. Kepada
rumah sakit (direktur) sebaiknya tertera tujuannya yaitu :
- Kepala bagian atau SMF Bedah
- Kepala bagian atau SMF Obgyn
- Kepala bagian atau SMF Penyakit Dalam
- Untuk korban mati, dialamatkan kepada kepala bagian ilmu
kedokteran forensic. (dengan berkembangnya forensic klinik, SPVR untuk korban
hidup dapat juga dialamatkan kepada kepala bagian ilmu kedokteran forensic)
2. Disudut kiri atas dicantmkan alamat peminta visum et repertum (misalnya
polsek atau polres mana), juga tentang nomer surat, hal dan lampiran kalau ada.
3. Di tengah disebutkan SPVR untuk korban hidup atau mati (jenazah).
4. kemudidan keterangan mengenai identitas korban (tentang nama, umur,
kelamin, kebangsaan, alamat, agama, dan pekerjaan ).
5. keterangan mengenai peristiwanya (modus operandi), antara lain:
- luka karena..
- keracunan (obat atau racun.).
-kesusiilaan (perkosaan atau perzinaan atau perbuatan cabul, dsb).
- mati karena (listrik, tenggelam, senjata api/tajam, dsb).
6. Permintaan Pengobatan atau Perawatan bila korban tidak keberatan, untuk korban
hidup.
7. permintaan untuk melaprkan kepada penyidik bila korban sembuh, pindah dokter
atau rumah sakit lain, melarikan diri atau meninggal.
8. kolom untuk keterangan lain kalau perlu.
9. Keterangan menganai identitas penyidik (peminta visum et repertum), tentang
nama, pangkat, kesatuan, NRP dan alamat. Kemudian ditandatangani penyidik dan
stempel dinas. Keterangan ini ditempatkan di kanan bawah.
10. Kemudian di kiri bawah memuat keterangan tentang penerima SPVR (petugas
rumah sakit) dengan identitas nama, tanda tangan, tanggal dan jam penerimaan.

Kemudian petugas rumah sakit menandatangani buku ekspedisi polisi. Biasanya


SPVR ini dibuat rangkap dua, satu untuk rumah sakit dan satu untuk arsip polisi.
Sedangkan bentuk SPVR mayat pada dasarnya sama dengan untuk korban
hidup, tetapi tentunya beberapa poin (6 dan 7) ditiadakan.
2.2.4 Bentuk Visum et Repertum
Bagian-bagian Visum et Repertum:
1. PRO JUSTISIA
Kata ini dicantumkan di sudut kiri atas, dan dengan demukian Visum et
Repertum tidak perlu bermaterai.
2. PENDAHULUAN
Bagian ini memuat antara lain:
a. Identitas pemohon Visum et repertum
b. Identitas dokter yang memeriks atau n membuat Visum et Repertum
c. Tempat dilakukannya pemeriksaan (misalnya: Rumah Sakit X Surabaya).
d. Tanggal dan jam dilakukannya pemeriksaan.
e. Identitas korban
f. Keterangan dari penyidik mengenai cara kematian, luka, dimana korban
dirawat, dan waktu korban meninggal dunia.
g. Keterangan mengenai orang yang menyerahkan atau mengantar korban
pada dokter dan waktu saat korban diterima di rumah sakit.
3. PEMBERITAAN
Yang dimaksud dalam bagian ini ialah:
a. Identitas korban menurut pemeriksaan dokter, berupa umur, jenis
kelamin, tinggi dan berat badan, serta keadaan umumnya.
b. Hasil pemeriksaan berupa kelainan yang ditemukan pada korban.
c. Tindakan-tindakan atau operasi yang telah dilakukan.
d. Hasil pemeriksaan tambahan atau hasil konsultasi dengan dokter lain.
Di dalam bagian ini memakai bahasa Indonesia sedemikian rupa sehingga
orang awam (bukan dokter) dapat mengerti, hanya kalau perlu disertai
kedokteran atau asing di belakangnya dalam kurung. Angka harus ditulis
6

dengan huruf, misalnya 4 cm ditulis empat sentimeter. Tidak dibenarkan


menulis diagnose luka, misalnya luka bacok, luka tembak, luka harus
dilukiskan dengan kata.
Pemberitaan memuat hasil pemeriksaan yang obyektif sesuai apa yang
diamati, terutama apa yang dilihat dan ditemukan pada korban atau benda
oleh dokter.
4. KESIMPULAN
Bagian ini berupa pendapat pribadi dari dokter yang memeriksa, mengenai
hasil pemeriksaan sesuai dengan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
Seseorang melakukan pengamatan dengan kelima panca indera (penglihatan,
pendengaran, perasa, penciuman dan perabaan).
5. PENUTUP
Memuat kata Demikianlah Visum et Repertum ini dibuat dengan mengingat
sumpah pada waktu menerima jabatan. Diakhiri dengan tanda tangan, nama
lengkap atau NIP dokter.
2.3.2 Macam macam visum et repertum
1. Visum et repertum kkorban hidup :
a. visum et repertum
diberikan bila korban setelah setelah diperiksa/diobati, tidak terhalang
menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian.
b. Visum et repertum sementara
Diberikan apabila setelah diperiksa, ternyata :
-

Korban perlu dirawat/observasi

Korban terhalang menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian.

Karena belum sembuh, maka visum et repertumnya tidak memuat kualifikasi


luka.
c. Visum et Repertum lanjutan.
Diberikan apabila setelah dirawat/diobservasi, ternyata :
-

Korban sembuh

Korban belum sembuh, pindah rumah sakit atau dokter lain


7

Korban belum sembuh, kemudian pulang paksa atau melarikan diri

Korban meninggal dunia

2. Visum et Repetum mayat


Harus dibuat berdasarkan hasil autopsy lengkap
3. Visum et Repertum pemeriksaan TKP
4. Visum et Repertum penggalian mayat
5. Visum et Repertum mengenai umur
6. Visum et Repertum Psikiatrik
7. Visum et Repertum mengenai barang bukti lain.

You might also like