You are on page 1of 19

LAPORAN KEGIATAN USAHA KESEHATAN MASYARAKAT

MINI PROJECT
DETEKSI DINI IBU HAMIL RISIKO TINGGI
I.

PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 AKI
di Indonesia sudah menurun dibandingkan tahun 1997 yang besarnya 334 per
100.000 kelahiran hidup menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2002/2003, tahun 2005 sebesar 262 per 100.000 kelahiran hidup dan pada tahun
2006 sebesar 255 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2007 menjadi 228/ 100.000
kelahiran hidup.
Berdasarkan kesepakatan global (Millenium Development Goals/ MDGs)
pada tahun 2015 diharapkan Angka Kematian Ibu menurun sebesar tigaperempatnya dalam kurun waktu 1990-2015. Sedangkan Angka Kematian Bayi
dan Angka Kematian Balita menurun sebesar dua-pertiga dalam kurun waktu
1990-2015. Berdasarkan hal itu, Indonesia mempunyai komitmen untuk
menurunkan AKI menjadi 102/ 100.000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi
dari 68 menjadi 23/ 1.000 kelahiran hidup, dan Angka Kematian Balita 97
menjadi 32/ 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.
Pada tahun 2015, Angka Kematian Ibu di dunia yaitu 216 per 100.000
kelahiran hidup. Di Negara ASEAN sendiri, seperti di Malaysia yaitu 40 per
100.000 kelahiran hidup, di Singapura yaitu 10 per 100.000 kelahiran hidup dan
di Indonesia 126/100.000 kelahiran hidup.
Jumlah kematian ibu di Provinsi Gorontalo tahun 2014 mencapai 39 ibu
mati, jumlah ini menurun dibandingkan dengan kematian ibu di tahun 2013 yakni
mencapai 52 ibu mati.

Trend angka kematian ibu di Provinsi Gorontalo yang mengalami


fluktuatif selama kurun waktu 5 tahun ini menggambarkan bahwa masalah yang
sama yang menjadi penyebab kematian ibu belum terselesaikan dengan baik.

Berdasarkan data penyebab kematian ibu di atas bahwa tiga faktor utama
penyebab kematian ibu yakni perdarahan, hipertensi saat hamil atau pre eklamsi
dan infeksi. Perdarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu
(25,6%). Anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi
penyebab utama terjadinya perdarahan dan infeksi yang merupakan faktor
kematian utama ibu.
Persentase tertinggi kedua adalah tekanan darah tinggi (hipertensi) yang
tidak terkontrol saat persalinan sebesar 20,5%. Hipertensi dapat terjadi karena
kehamilan, dan akan kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi
lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil. Sedangkan
persentase tertinggi ketiga adalah infeksi (10,3%). Dari data yang ada, upaya
pelayanan terhadap ibu hamil sudah cukup tinggi dilihat dari cakupan persalinan
oleh tenaga kesehatan tahun 2014 mencapai 91%, secara nasional capaian ini
sudah mencapai target yakni 90% (Target Nasional) persalinan ditolong oleh
tenaga kesehatan. Pelayanan K1 100% dan K4 mencapai 89,1%. Sehingga faktor
penyebab kematian saat ini difokuskan pada ibu hamil dengan risiko tinggi yang
dikarenakan penyakit dan kebutuhan gizi ibu hamil yang masih kurang.
Sementara itu untuk daerah Puskesmas Kabila Kabupaten Bone Bolango,
dari bulan Januari 2016 Juni 2016, jumlah kematian ibu adalah 1 jiwa (pada

April 2016), jumlah kematian neonatus adalah 2 (pada bulan Maret dan Mei
2016) dan jumlah kematian bayi adalah 2 (pada bulan Mei dan Juli 2016).
Komplikasi obstetri ini tidak selalu dapat diramalkan sebelumnya dan
mungkin saja terjadi pada ibu hamil yang telah diidentifikasi normal, dimana
kasus tersebut sebenarnya dapat dicegah melalui deteksi dini ibu hamil berisiko
tinggi (bumil riski) oleh tenaga kesehatan dan masyarakat tentang adanya faktor
risiko/ risiko tinggi ibu hamil serta penanganan yang adekuat di fasilitas
kesehatan dan dirujuk ke pelayanan yang lebih tinggi apabila terjadi komplikasi.
Deteksi dini risiko tinggi ibu hamil adalah kegiatan penjaringan terhadap
ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengalami kehamilan risiko tinggi pada suatu
wilayah tertentu atau kegiatan yang dilakukan untuk menemukan ibu hamil yang
mempunyai faktor risiko dan komplikasi kebidanan. Oleh karenanya deteksi dini
oleh tenaga kesehatan dan masyarakat tentang adanya faktor risiko dan
komplikasi, serta penanganan yang adekuat sedini mungkin, merupakan kunci
keberhasilan dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi yang dilahirkannya.
2. PERNYATAAN MASALAH
Berdasarkan kesepakatan global (Millenium Development Goals/ MDGs)
pada tahun 2015 diharapkan Angka Kematian Ibu menurun sebesar tigaperempatnya dalam kurun waktu 1990-2015. Berdasarkan hal itu, Indonesia
mempunyai komitmen untuk menurunkan AKI menjadi 102/ 100.000. Namun
pada tahun 2015, didapatkan bahwa Angka Kematian Ibu di Indonesia adalah 126
per 100.000 kelahiran hidup, yang berarti bahwa target MDGs dalam menurunkan
Angka Kematian Ibu belum tercapai. Selain itu, meskipun Angka Kematian Ibu di
Indonesia lebih rendah dari rata rata Angka Kematian Ibu di dunia, namun
Angka Kematian Ibu di Indonesia masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan
Angka Kematian Ibu di negara-negara ASEAN.
Penyebab kematian ibu yang terbanyak di Indonesia (90%) disebabkan
oleh komplikasi obstetri, yaitu perdarahan (28%), eklampsia (24%), infeksi
(11%), abortus (5%), dan partus lama (5%). Di Provinsi Gorontalo sendiri,
berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo pada tahun 2014, penyebab
kematian ibu terbanyak yaitu perdarahan (25,6 %), hipertensi (20,5 %), dan

infeksi (10,3 %). Komplikasi obstetri ini tidak selalu dapat diramalkan
sebelumnya dan mungkin saja terjadi pada ibu hamil yang telah diidentifikasi
normal, dimana kasus tersebut sebenarnya dapat dicegah melalui deteksi dini ibu
hamil berisiko tinggi (bumil riski) oleh tenaga kesehatan dan masyarakat tentang
adanya faktor risiko/ risiko tinggi ibu hamil serta penanganan yang adekuat di
fasilitas kesehatan dan dirujuk ke pelayanan yang lebih tinggi apabila terjadi
komplikasi.
Pencapaian deteksi dini ibu hamil risiko tinggi oleh tenaga kesehatan di
wilayah kerja Puskesmas Kabila dari Januari-Juni tahun 2016 telah mencapai
target yaitu 100%, namun masih terdapat angka kematian ibu pada bulan April
2016 yaitu 1 orang, yang berasal dari Padengo, akibat penyakit gagal jantung.
Keluhan pasien saat datang ANC yaitu sesak nafas, pasien mengakui sudah sejak
lama mengalami keluhan ini namun tidak sampai mengganggu aktivitas. Pasien
juga telah mendapatkan rujukan untuk melahirkan di RS Toto Kabila karena
memiliki risiko tinggi, namun pada saat usia kehamilan 30-32 minggu, keluhan
pasien semakin memburuk dan harus dirawat di ICCU. Pasien akhirnya tidak
tertolong lagi karena sesak nafas yang terus memburuk.

Januari
Februar
i
Maret
April
Mei
Juni

Jlh ibu hamil riski

Deteksi Riski

Kunjungan

AKI

(riil)
15
27

100%
100%

100%
100%

34
54
60
69

100%
100%
100%
100%

100%
100%
100%
100%

1
-

3. TUJUAN
i. Mengetahui jumlah ibu hamil risiko tinggi di Wilayah Kerja Puskesmas
ii.

Kabila Januari Juni 2016.


Mengetahui cakupan deteksi dini ibu hamil resiko tinggi di Wilayah Kerja
Puskesmas Kabila Januari-Juni 2016.
5

iii.

Mengetahui jumlah Angka Kematian Ibu di Indonesia dan di Wilayah


Kerja Puskesmas Kabila Januari-Juni 2016.

4. MANFAAT
i.
Mengetahui gambaran cakupan deteksi dini ibu hamil resiko tinggi di
ii.

Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Januari-Juni 2016.


Memberikan kontribusi pada Puskesmas sebagai evaluasi kerja program
deteksi dini ibu hamil resiko tinggi di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila

iii.

Januari-Juni 2016.
Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap deteksi dini
ibu hamil resiko tinggi di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Januari-Juni

iv.
II.

2016.
Memenuhi salah satu persyaratan program internsip dokter Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Kehamilan Risiko Tinggi
Kehamilan risiko tinggi (KRT) adalah keadaan yang dapat mempengaruhi
keadaan optimalisasi ibu maupun janin pada kehamilan yang dihadapi. Menurut
Rustam (1998) kehamilan risiko tinggi adalah beberapa situasi dan kondisi serta
keadaan umum seseorang selama masa kehamilan, persalinan, nifas yang dapat
memberikan ancaman pada kesehatan jiwa ibu maupun janin yang dikandungnya.
Sedangan menurut Depkes RI (1999) yang dimaksud faktor risiko tinggi adalah
keadaan pada ibu, baik berupa faktor biologis maupun non-biologis, yang biasanya
sudah dimiliki ibu sejak sebelum hamil dan dalam kehamilan mungkin
memudahkan timbulnya gangguan lain.
2. Faktor Risiko
Secara garis besar, kelangsungan suatu kehamilan sangat bergantung pada
keadaan dan kesehatan ibu, plasenta dan keadaan janin. Jika ibu sehat dan di dalam
darahnya terdapat zat-zat makanan dan bahan-bahan organis dalam jumlah yang
cukup, maka pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam kandungan akan berjalan
baik. Dalam kehamilan, plasenta akan befungsi sebagai alat respiratorik, metabolik,
nutrisi, endokrin, penyimpanan, transportasi dan pengeluaran dari tubuh ibu ke tubuh
janin atau sebaliknya. Jika salah satu atau beberapa fungsi di atas terganggu, maka
6

pertumbuhan janin akan terganggu. Demikian juga bila ditemukan kelainan


pertumbuhan janin baik berupa kelainan bawaan ataupun kelainan karena pengaruh
lingkungan, maka pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan dapat
mengalami gangguan.
Sebelum hamil, seorang wanita bisa memiliki suatu keadaan yang menyebabkan
meningkatnya resiko selama kehamilan. Selain itu, jika seorang wanita mengalami
masalah pada kehamilan yang lalu, maka resikonya untuk mengalami hal yang sama
pada kehamilan yang akan datang adalah lebih besar. Untuk menentukan suatu
kehamilan resiko tinggi, dilakukan penilaian terhadap wanita hamil untuk
menentukan apakah dia memiliki keadaan yang menyebabkan dia ataupun janinnya
lebih rentan terhadap penyakit atau kematian.
Menurut Rustam (1998) faktor non-medis dan faktor medis yang dapat
mempengaruhi kehamilan adalah :
a) Faktor non medis antara lain :
Status gizi buruk, sosial ekonomi yang rendah, kemiskinan, ketidaktahuan, adat,
tradisi, kepercayaan, kebersihan lingkungan, kesadaran untuk memeriksakan
kehamilan secara teratur, fasilitator dan sarana kesehatan yang serba kekurangan
merupakan faktor non medis yang banyak terjadi terutama dinegara-negara
berkembang yang berdasarkan penelitian ternyata sangat mempengaruhi
morbiditas dan mortalitas.
b) Faktor medis antara lain :
Penyakit - penyakit ibu dan janin, kelainan obstetrik, gangguan plasenta,
gangguan tali pusat, komplikasi persalinan.
3. Cara Menentukan Kehamilan Risiko Tinggi
Cara menentukan pengelompokkan kehamilan resiko tinggi, yaitu dengan
menggunakan cara kriteria. Kriteria ini diperoleh dari anamnesa tentang umur,
paritas, riwayat kehamilan dan persalinan yang lalu, dan pemeriksaan lengkap
kehamilan sekarang serta pemeriksaan laboratorium penunjang bila diperlukan.
Puji Rochjati (2005) mengemukakan batasan faktor risiko pada ibu hamil ada 3
kelompok yaitu :
a) Kelompok Faktor risiko I (ada potensi gawat obstetri), seperti primipara muda
(umur kurang dari 20 tahun), primi tua (hamil pertama umur 35 tahun atau
lebih), primi tua sekunder (terlalu lama punya anak lagi, terkecil 10 tahun lebih,
7

anak terkecil < 2 tahun), grande multi (hamil umur 35 tahun atau lebih), tinggi
badan kurang dari 145 cm, riwayat persalinan yang buruk, pernah keguguran,
pernah persalinaan prematur, riwayat persalinan dengan tindakan (ekstraksi
vakum, ekstraksi forcep, operasi). Deteksi ibu hamil berisiko kelompok I ini
dapat ditemukan dengan mudah oleh petugas kesehatan melalui pemeriksaan
sederhana yaitu wawancara dan periksa pandang pada kehamilan muda atau
pada saat kontak.
b) Kelompok Faktor Risiko II (ada gawat obstetri), ibu hamil dengan penyakit, preeklamsia ringan, hamil kembar atau gamelli, kembar air atau hidramnion, bayi
mati dalam kandungan, kehamilan dengan kelainan letak, serta hamil lewat
bulan. Pada kelompok faktor resiko II ada kemungkinan masih membutuhkan
pemeriksaan dengan alat yang lebih canggih (USG) oleh dokter Spesialis di
Rumah Sakit.
c) Kelompok Faktor Risiko III (ada gawat obstetri), perdarahan sebelum bayi lahir,
pre eklamsia berat atau eklampsia. Pada kelompok faktor risiko III, ini harus
segera dirujuk ke rumah sakit sebelum kondisi ibu dan janin bertambah buruk,
yang membutuhkan penanganan dan tindakan pada waktu itu juga dalam upaya
menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya yang terancam.
4. Faktor Risiko Tinggi Yang Mempengaruhi Kehamilan
a) Usia
Bahaya dan risiko dalam kehamilan serta persalinan akan lebih besar pada wanita
yang hamil usia terlalu muda atau terlalu tua. Seiring dengan semakin tua usia
seorang wanita untuk hamil maka semakin tinggi pula terjadinya hipertensi, toksemia,
dan hipertensi esensial. Sedangkan umur ibu yang kurang dari 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun juga merupakan suatu faktor predisposisi terjadinya kelahiran prematur.
Walaupun wanita hamil dengan usia tua lebih matang dalam berfikir, tetapi penurunan
kesehatan dan stamina secara alami mempengaruhi baik kehidupan janin maupun
dalam proses persalinan.
o Usia < 20 tahun (terlalu muda untuk hamil)
Yang dimaksud dengan terlalu muda untuk hamil adalah hamil pada usia < 20
tahun. Pada usia < 20 tahun secara fisik kondisi rahim dan panggul belum
berkembang optimal, sehingga dapat mengakibatkan resiko kesakitan dan
8

kematian pada kehamilan dan dapat menyebabkan pertumbuhan serta


perkembangan fisik ibu terhambat karena dapat terjadi kompetisi makanan
antara janin dan ibunya sendiri yang masih dalam masa pertumbuhan dan
adanya perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan .
Adapun akibat resiko tinggi kehamilan usia dibawah 20 tahun antara lain:
1)
2)
-

Resiko bagi ibunya :


Mengalami perdarahan
Kemungkinan keguguran/ abortus
Persalinan yang lama dan sulit
Kematian ibu
Dari bayinya :
Kemungkinan lahir belum cukup usia kehamilan.
Berat badan lahir rendah (BBLR)
Cacat bawaan
Kematian bayi

o Usia > 35 tahun (terlalu tua untuk hamil)


Yang dimaksud dengan terlalu tua adalah hamil diatas usia 35 tahun dimana
kondisi kesehatan ibu dan fungsi berbagai organ dan sistem tubuh diantaranya
otot, syaraf, endokrin, dan reproduksi mulai menurun. Pada usia lebih dari 35
tahun

terjadi

penurunan

curah

jantung

yang

disebabkan

kontraksi

miokardium. Ditambah lagi dengan tekanan darah dan penyakit lain yang
melemahkan kondisi ibu, sehingga dapat mengganggu sirkulasi darah ke janin
yang berisiko meningkatkan komplikasi medis pada kehamilan, antara lain :
keguguran, eklamsia, dan perdarahan.
Menurut Kloosterman (1973) dalam Wiknjosastro, et al (2007), frekuensi
plasenta previa pada primigravida yang berumur lebih dari 35 tahun 10 kali
lebih sering dibandingkan dengan primigravida yang berumur kurang dari 25
tahun. Ibu hamil yang dicurigai mengalami perdarahan antenatal harus
memeriksakan kehamilannya di Rumah Sakit yang memiliki fasilitas operatif
dan transfusi darah dan bersalin di RS tersebut.
b) Paritas
Paritas merupakan faktor penting selama kehamilan. Angka kematian bayi dari ibu
hamil ketiga meningkat bila dibandingkan dengan kehamilan kedua dan kemungkinan
9

terjadi akan semakin meningkat pada kehamilan kelima. Paritas tinggi juga
berhubungan dengan makin sering timbulnya kelainan-kelainan ginekologis seperti
prolapsus uteri, cervicitis, erosi cervix, dan carcinoma cervix. Demikian juga masalah
kesehatan yang sifatnya non-obstetrik.
Paritas merupakan salah satu faktor resiko tinggi pada kehamilan, kehamilan resiko
tinggi lebih banyak terjadi pada multipara dan grandemultipara, keadaan endometrium
pada daerah korpus uteri sudah mengalami kemunduran dan berkurangnya
vaskularisasi, hal ini terjadi karena degenerasi dan nekrosis pada bekas luka implantasi
plasenta pada kehamilan sebelumnya di dinding endometrium. Adanya kemunduran
fungsi dan berkurangnya vaskularisasi pada daerah endometrium menyebabkan daerah
tersebut menjadi tidak subur dan tidak siap menerima hasil konsepsi, sehingga
pemberian nutrisi dan oksigenisasi kepada hasil konsepsi kurang maksimal dan
mengganggu sirkulasi darah ke janin. Hal ini akan beresiko pada kehamilan dan
persalinan.
c) Jarak Kehamilan
Dalam pemanfaatan layanan antenatal, jumlah anak hidup berhubungan dengan beban
pengasuhan anak, diasumsikan bahwa semakin banyak anak maka akan semakin
sedikit

kesempatan

ibu

untuk

meningggalkan

rumah

dan

memeriksakan

kehamilannya.
Jarak persalinan terakhir dengan awal kehamilan sekarang sebaiknya diatas 2
tahun karena bila kurang dari 2 tahun akan bepengaruh pada kehamilan dan
persalinan.
Pada kehamilan dengan jarak < 2 tahun keadaan endometrium mengalami
perubahan. Perubahan ini berkaitan dengan persalinan sebelumnya yaitu timbulnya
trombosis, degenerasi dan nekrosis di tempat implantasi plasenta.
Adanya kemunduran fungsi dan berkurangnya vaskularisasi pada daerah
endometrium pada bagian korpus uteri mengakibatkan daerah tersebut kurang subur
sehingga kehamilan dengan jarak < 2 tahun dapat menimbulkan kelainan yang
berhubungan dengan letak dan keadaan plasenta.
d) KEK ( Kekurangan Energi Kronik)

10

Istilah KEK atau kurang energi kronik merupakan istilah lain dari Kurang Energi
Protein (KEP) yang diperuntukkan untuk wanita yang kurus dan lemah akibat kurang
energi yang kronis. Definisi ini diperkenalkan oleh World Health Organization
(WHO). Seseorang dikatakan menderita risiko KEK bilamana LILA (Lingkar Lengan
Atas) < 23,5 cm.
Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan risiko dan komplikasi pada ibu
antara lain: anemia, perdarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan
terkena penyakit infeksi. Pengaruh KEK terhadap proses persalinan dapat mengakibatkan
persalinan sulit dan lama, persalinan sebelum waktunya (prematur), perdarahan setelah
persalinan, serta persalinan dengan operasi cenderung meningkat.
Kekurangan gizi kronis pada ibu hamil juga dapat mempengaruhi proses
pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan kegururan, abortus, bayi lahir mati, kematian
neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra partum (mati dalam kandungan),
lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
Program Puskesmas dalam penanggulangan KEK pada ibu hamil merupakan
kunci utama untuk menurunkan angka kelahiran bayi BBLR. Dengan didukung oleh
dana besar pemerintah lewat paket Pemberian makanan tambahan / PMT pemulihan
Bumil KEK, termasuk di dalamnya pemberian penyuluhan kesehatan untuk ibu hamil
serta program Desa Siaga, adalah program nasional yang membutuhkan peran serta
masyarakat untuk menyukseskannya.
e) Riwayat obstetrik
o Jejas atau bekas luka dalam pada alat-alat kandungan, ataupun jalan lahir yang
ditimbulkan oleh persalinan terdahulu akan memberikan akibat buruk pada
pada kehamilan sekarang.
o Pernah mengalami abortus (sengaja atau tidak, dengan atau tanpa tindakan
kerokan/ kuretase), terlebih lagi bila mengalami abortus ulangan, makin besar
kemungkinan terjadi pada kehamilan berikut dan kemungkinan perdarahan.
o Pernah mengalami gangguan organik daerah panggul seperti adanya
peradangan, tumor ataupun kista.
o Pernah mengalami penyulit kehamilan seperti hiperemesis gravidarum,
kematian janin, preeklampsia-eklampsia, hidramnion, kelainan letak janin,
kelainan janin bawaan, janin kembar (gemelli).

11

o Pernah mengalami penyakit seperti gangguan endokrin (diabetes melitus,


hipertiroid), penyakit jantung, penyakit paru, penyakit ginjal, penyakit hati,
sendi dan penyakit kelamin.
o Pernah mengalami persalinan dengan tindakan seperti ekstraksi forcep
ataupun vakum, seksio sesar, pengeluaran plasenta dengan tangan (manual
plasenta).

5. Manajemen Kehamilan Risiko Tinggi


Semakin dini masalah dideteksi, semakin baik penanganan yang dapat diberikan
bagi kesehatan ibu hamil maupun bayi. Juga harus diperhatikan bahwa beberapa
kehamilan dapat mulai dengan normal, tetapi mendapatkan masalah kemudian. Oleh
karenanya sangat penting bagi setiap ibu hamil untuk melakukan ANC atau pemeriksaan
kehamilan secara teratur, yang bermanfaat untuk memonitor kesehatan ibu hamil dan
bayinya, sehingga bila terdapat permasalahan dapat diketahui secepatnya dan diatasi
sedini mungkin. Selain itu, pola hidup yang sehat juga harus diterapkan, seperti makan
makanan yang bergizi sesuai kebutuhan selama kehamilan.
Kehamilan risiko tinggi dapat dicegah dengan pemeriksaan dan pengawasan
kehamilan yaitu deteksi dini ibu hamil risiko tinggi atau komplikasi kebidanan yang lebih
difokuskan pada keadaan yang menyebabkan kematian ibu. Pengawasan antenatal
menyertai kehamilan secara dini, sehingga dapat diperhitungkan dan dipersiapkan
langkah-langkah dalam persiapan persalinan. Pengawasan antenatal sebaiknya
dilakukan secara teratur selama hamil. Oleh WHO dianjurkan pemeriksaan antenatal
minimal 4 kali dengan 1 kali pada trimester I, 1 kali pada trimester II dan 2 kali
pada trimester III (Rumus l-l, 2-l, 3-2).
Adapun tujuan pengawasan antenatal adalah diketahuinya secara dini,
keadaan risiko tinggi ibu dan janin, sehingga dapat :
a) Melakukan pengawasan yang lebih intesif
b) Memberikan pengobatan sehingga risikonya dapat dikendalikan
c) Melakukan rujukan untuk mendapatkan tindakan yang adekuat
d) Menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu
Tujuan Kunjungan Ulang :
a) Kunjungan 1, hingga usia kehamilan 16 minggu dilakukan untuk :
o Penapisan dan pengobatan anemia
12

o Perencanaan persalinan
o Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya
b) Kunjungan II (24-28 minggu) dan kunjungan III (32 minggu) dilakukan untuk :
o Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya
o Penapisan pre-eklampsi; gemelli, infeksi alat reproduksi dan saluran
perkemihan
o Mengulang perencanaan persalinan
c) Kunjungan IV (36 minggu sampai lahir)
o Sama seperti kegiatan kunjungan II dan III
o Mengenali adanya kelainan letak dan presentasi
o Memantapkan rencana persalinan
o Mengenali tanda-tanda persalinan
6. Upaya Pencegahan
Usaha untuk pencegahan penyakit kehamilan dan persalinan tergantung pada
berbagai faktor dan tidak semata-mata tergantung dari sudut medis atau kesehatan saja.
Faktor sosial ekonomi juga sangat berpengaruh.
dengan

keadaan sosial ekonomi rendah

Karena pada umumnya seseorang

tidak akan terlepas dari kemiskinan, dan

ketidaktahuan sehingga mempunyai kecenderungan untuk menikah pada usia muda dan
tidak berpartisipasi dalam keluarga berencana.
Disamping itu keadaan sosial ekonomi yang rendah juga akan megakibatkan gizi
ibu dan perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan yang jelek. Transportasi yang baik
disertai dengan ketersediaannya pusat-pusat pelayanan yang bermutu akan dapat
melayani ibu hamil untuk mendapatkan asuhan anenatal yang baik, cakupannya luas, dan
jumlah pemeriksaan yang cukup.
Di negara maju setiap wanita hamil memeriksakan diri sekitar 15 kali selama
kehamilannya. Sedangkan di Indonesia pada kehamilan resiko rendah dianggap cukup
bila memeriksakan diri 4-5 kali. Jadi secara garis besar dapat disimpulkan bahwa usaha
yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyulit pada kehamilan dan persalinan adalah:
a) Asuhan antenatal yang baik dan bermutu bagi setiap wanita hamil.
b) Peningkatan pelayanan, jaringan pelayanan dan sistem rujukan kesehatan.
c) Peningkatan pelayanan gawat darurat sampai ke lini terdepan.
d) Peningkatan status wanita baik dalam pendidikan, gizi, masalah kesehatan wanita dan
reproduksi dan peningkatan status sosial ekonominya.
e) Menurunkan tingkat fertilitas yang tinggi melalui program keluarga berencana.
Pengenalan adanya Risiko Tinggi Ibu Hamil dilakukan melalui skrining atau
deteksi dini adanya faktor risiko secara proaktif pada semua ibu hamil, sedini mungkin
13

pada awal kehamilan oleh petugas kesehatan atau non kesehatan yang terlatih di
masyarakat, misalnya ibu-ibu PKK, Kader Karang Taruna, ibu hamil sendiri, suami atau
keluarga. Kegiatan skrining antenatal, melalui kunjungan rumah merupakan langkah awal
dari pemeliharaan kesehatan ibu hamil dan termasuk salah satu upaya antisipasi untuk
mencegah terjadinya kematian ibu.
Skrining pertama dilakukan untuk memisahkan kelompok ibu hamil tanpa risiko
dari kelompok dengan faktor risiko. Risiko Tinggi Ibu hamil dengan faktor risikonya
dapat diamati dan ditemukan sedini mungkin pada awal kehamilan pada ibu hamil yang
masih sehat dan merasa sehat. Kemudian pada setiap kontak dilakukan skrining berulang,
secara periodik berulang 6 kali selama kehamilan sampai hamil genap enam bulan.
Tujuan Skrining Antenetal adalah :
a) Melakukan deteksi dini Risiko Tinggi ibu hamil dengan macam faktor risikonya.
b) Menemukan Ibu Risiko Tinggi dengan pengertian kemungkinan terjadinya risiko
kematian atau kesakitan pada ibu dan atau bayinya.
c) Memberi penyuluhan dalam bentuk Komunikasi Informasi Edukasi (KIE), mengenai
kondisi ibu dan janin kepada ibu hamil, suami dam keluarga agar tahu, peduli dan
patuh untuk persiapan mental, biaya dan transportasi dalam pengambilan keputusan
untuk perencanaan tempat dan penolong menuju persalinan aman.
d) Membantu untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan cara memberi
informasi, adanya faktor risiko dan kelompok risiko pada ibu hamil.
e) Menentukan pengambilan keputusan oleh ibu hamil dan keluarganya.
Batasan pengisian skrining antenatal deteksi dini ibu hamil risiko tinggi dengan
menggunakan kartu skor Poedji Rochjati berupa kartu skor yang digunakan sebagai alat
skrining antenatal berbasis keluarga guna menemukan faktor risiko ibu hamil, untuk
selanjutnya dilakukan upaya terpadu guna menghindari dan mencegah kemungkinan
terjadinya komplikasi obstetrik pada saat persalinan.
Skor Poedji Rochjati adalah suatu cara untuk mendeteksi dini kehamilan yang
memiliki risiko lebih besar dari biasanya (baik bagi ibu maupun bayinya), akan terjadinya
penyakit atau kematian sebelum maupun sesudah persalinan. Ukuran risiko dapat
dituangkan dalam bentuk angka disebut skor. Skor merupakan bobot prakiraan dari berat

14

atau ringannya risiko atau bahaya. Jumlah skor memberikan pengertian tingkat risiko
yang dihadapi oleh ibu hamil.
Berdasarkan jumlah skor kehamilan dibagi menjadi tiga kelompok:
a) Kehamilan Risiko Rendah (KRR) dengan jumlah skor 2
b) Kehamilan Risiko Tinggi (KRT) dengan jumlah skor 6-10
c) Kehamilan Risiko Sangat Tinggi (KRST) dengan jumlah skor 12.
Tujuan Sistem Skor
a) Membuat pengelompokkan dari ibu hamil (KRR, KRT, KRST) agar berkembang
perilaku kebutuhan tempat dan penolong persalinan sesuai dengan kondisi dari ibu
hamil.
b) Melakukan pemberdayaan ibu hamil, suami, keluarga dan masyarakat agar peduli dan
memberikan dukungan dan bantuan untuk kesiapan mental, biaya dan transportasi
untuk melakukan rujukan terencana.
Fungsi Skor
a) Alat komunikasi informasi dan edukasi/KIE bagi klien / ibu hamil, suami, keluarga
dan masyarakat.
b) Skor digunakan sebagai sarana KIE yang mudah diterima, diingat, dimengerti sebagai
ukuran kegawatan kondisi ibu hamil dan menunjukkan adanya kebutuhan pertolongan
untuk rujukkan. Dengan demikian berkembang perilaku untuk kesiapan mental, biaya
dan transportasi ke Rumah Sakit untuk mendapatkan penanganan yang adekuat.
c) Alat peringatan-bagi petugas kesehatan agar lebih waspada. Lebih tinggi jumlah skor
dibutuhkan lebih kritis penilaian/pertimbangan klinis pada ibu Risiko Tinggi dan
lebih intensif penanganannya.

Cara Pemberian Skor


Tiap kondisi ibu hamil (umur dan paritas) dan faktor risiko diberi nilai 2,4 dan 8.
Umur dan paritas pada semua ibu hamil diberi skor 2 sebagai skor awal. Tiap faktor
risiko skornya 4 kecuali bekas sesar, letak sungsang, letak lintang, perdarahan
antepartum dan pre-eklamsi berat/eklamsi diberi skor 8. Tiap faktor risiko dapat

15

dilihat pada gambar yang ada pada Kartu Skor Poedji Rochjati (KSPR), yang telah
disusun dengan format sederhana agar mudah dicatat dan diisi.
Manfaat Kartu Skor Poedji Rochjati antara lain untuk :
a) Menemukan faktor risiko Bumil
b) Menentukan Kelompok Risiko Bumil
c) Alat pencatat Kondisi Bumil
Setiap ibu hamil diharapkan mempunyai satu Kartu Skor Poedji Rochjati atau
Buku KIA dan senantiasa dipantau kondisinya oleh Ibu PKK, Kader Posyandu, Tenaga
Kesehatan. Kartu Skor Poedji Rochjati disusun dengan format kombinasi antara check list
dan sistem skor. Check list dari 19 faktor risiko dengan skor untuk masing-masing tenaga
kesehatan maupun non kesehatan PKK (termasuk ibu hamil, suami dan keluarganya)
mendapat pelathan dapat menggunakan dan mengisinya.
Sistim skor digunakan untuk lebih memudahkan meneruskan aspek edukasi
mengenai berat ringannya risiko kepada ibu hamil, suami dan keluarga. Skor dengan nilai
2,4 dan 8 merupakan ukuran atau bobot risiko dari tiap faktor risiko. Sedangkan jumlah
skor yang dibuat pada setiap melakukan kontak merupakan prakiraan besarnya risiko
persalinan dengan perencanaan pencegahan.
Kartu Skor Poedji Rochjati sebagai gabungan antara checklist dari kondisi ibu
hamil atau faktor risiko dengan masing-masing skornya, dikembangkan sebagai suatu
teknologi sederhana, mudah, dapat diterima, cepat digunakan oleh tenaga non
professional PKK, Dukun, guru dll. dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat dan
pemerintah.
Penyuluhan dalam bentuk Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) merupakan
kegiatan yang tidak terpisahkan dari kegiatan skrining. Penyuluhan tentang adanya faktor
risiko dengan kemungkinan bahaya kesakitan atau kematian ibu segera diberikan kepada
ibu hamil, suami dan keluarga dengan tujuan agar meraka sadar, peduli, patuh dan
bergerak untuk periksa antenatal dan bila perlu rujukan kehamilan, kemudian persiapan
dan perencanaan persalinan aman.
Jumlah skor pada tiap kontak menjadi pedoman penyuluhan kepada ibu hamil,
suami, keluarga. Jumlah skor akan memudahkan pemberian KIE mengenai bobot risiko
yang dihadapi ibu hamil dan adanya kebutuhan persalinan aman dengan tempat dan
penolong yang sesuai. Penekanan KIE mengenai persalinan pada kehamilan trimester

16

ketiga perlu di tingkatkan mengingat persalinan baik pada Kehamilan Risiko Rendah ,
Kehamilan Risiko Tinggi, Kehamilan Risiko Sangat Tinggi mempunyai kemungkinan
mengalami komplikasi Obstetrik dengan risiko terjadinya 5-K (kematian, kesakitan,
kecacatan, ketidakpuasan dan ketidaknyamanan).
Perilaku ibu hamil, suami dan keluarga adalah salah satu penentu utama
keberhasilan rujukan dini terencana. Upaya pencegahan kematian ibu dapat dimulai dari
upaya asuhan kesehatan ibu hamil di dalam keluarga. Ibu hamil sebagai salah satu
anggota inti dalam keluarga mempunyai saat yang paling kritis dalam kehidupannya yaitu
masa persalinan. Setiap kontak pada saat melakukan skrining dibicarakan dengan ibu
hamil, suami, keluarga tentang tempat dan penolong untuk persalinan aman. Pengambilan
keputusan dapat dilakukan dalam keluarga untuk persiapan mental dan perencanaan
untuk biaya, transportasi telah mulai dilakukan jauh sebelum persalinan menuju
kepatuhan untuk Rujukan Dini Berencana (Rujukan In Utero) dan Rujukan Tepat Waktu.
III.

METODE
i.
Untuk meningkatkan cakupan dan kualitas penanganan terhadap ibu hamil dengan
risiko tinggi yang mengalami komplikasi kebidanan maka diperlukan adanya
fasilitas kesehatan yang mampu memberikan pelayanan obstetrik emergensi
secara berjenjang mulai dari bidan, puskesmas maupun Pelayanan Obstetri dan
Neonatal Emergensi Dasar (PONED) sampai Rumah Sakit Pelayanan Obstetri
ii.
iii.

Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) yang siap selama 24 jam.


Memberikan pelatihan terjadwal pada para kader
Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya kunjungan ANC
terutama pada ibu hamil yang terdeteksi hamil dengan risiko tinggi. Minimal 1
kali pada triwulan pertama, minimal 1 kali pada triwulan kedua, dan minimal 2

iv.

kali pada triwulan ketiga.


Pengenalan adanya Risiko Tinggi Ibu Hamil dilakukan melalui skrining atau
deteksi dini adanya faktor risiko secara proaktif pada semua ibu hamil, sedini
mungkin pada awal kehamilan oleh petugas kesehatan atau non kesehatan yang
terlatih di masyarakat, misalnya ibu-ibu PKK, Kader Karang Taruna, ibu hamil
sendiri, suami atau keluarga. Kegiatan skrining antenatal, melalui kunjungan
rumah merupakan langkah awal dari pemeliharaan kesehatan ibu hamil dan
termasuk salah satu upaya antisipasi untuk mencegah terjadinya kematian ibu.
17

v.

Pengusahaan tenaga kesehatan dalam jumlah yang memadai terutama tenaga


bidan, menyediakan fasilitas pelayanan kesehataan yang terbaik sesuai standar
terutama pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar dan pelayanan obsetri
neonatal emergensi komprehensif selama 24 jam dan mobilisasi seluruh lapisan
masyarakat

untuk

program

perencanaan

persalinan

dengan

pencegahan

komplikasi.
IV.

KESIMPULAN
Salah satu cara untuk memangkas terjadinya komplikasi pada ibu hamil adalah
dengan pendekatan resiko tinggi. Dengan mewaspadai adanya faktor resiko pada ibu
hamil melalui penapisan yang menjadi langkah awal menentukan tindakan baik untuk
pertolongan maupun sistem rujukan yang akan dipilih, berkontribusi menyelamatkan ibu
dari kematian akibat komplikasi.
Dalam rangka menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia dengan
melakukan pendekatan resiko tinggi masih relevan untuk menyongsong MDGs 2015,
tetapi harus diperhatikan juga faktor yang lain. Penyebab kematian maternal yang
sesungguhnya sangat kompleks, bukan hanya disebabkan komplikasi penyakit atau
prosedur obstetrik selama kehamilan, persalinan dan nifas tetapi juga disebabkan banyak
oleh faktor yang lebih ke hulu antara lain faktor kemiskinan, pengetahuan, pendidikan,
budaya. Oleh karena itu menurunkan Angka Kematian Ibu harus terus diimbangi dengan
pengusahaan tenaga kesehatan dalam jumlah yang memadai terutama tenaga bidan,
menyediakan fasilitas pelayanan kesehataan yang terbaik sesuai standar terutama
pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar dan pelayanan obsetri neonatal emergensi
komprehensif selama 24 jam dan mobilisasi seluruh lapisan masyarakat. Untuk program
perencanaan persalinan dengan pencegahan komplikasi dilakukan serentak oleh segenap
komponen bangsa, tidak hanya upaya oleh pemerintah dan sektor kesehatan tetapi juga
masyarakat harus berupaya melalui upaya nyata peningkatan kinerja dari banyak sisi dan
bukan hanya terpaku pada upaya penurunan angka angka.

V.

SARAN
i.
Diharapkan Bidan sebagai ujung tombak pelayanan memberikan pelayanan yang
berkualitas dan melakukan pemantauan pada Ibu Hamil baik pada yang beresiko

18

tinggi maupun Ibu Hamil normal karena komplikasi persalinan yang akan terjadi
ii.

tidak dapat diperkirakan dan dapat terjadi pada semua Ibu Hamil.
Deteksi dini sebagai pendekatan resiko tinggi diberlakukan pada semua ibu

iii.
iv.

terutama dalam manajemen perencanaan rujukan sebagai langkah preventif.


Peningkatan jumlah sebaran tenaga kesehatan tidak terkonsentrasi di kota besar.
Untuk program perencanaan persalinan dengan pencegahan komplikasi dilakukan
serentak, tidak hanya upaya oleh pemerintah dan sektor kesehatan namun segenap
jajaran di masyarakat bersinergi untuk melaksanakan program percepatan
penurunan AKI di Indonesia.

Gorontalo, 10 Oktober 2016


PESERTA

PENDAMPING

dr. Veronica Sukardi Jaya

dr. Nurhayati Ayuba


NIP 1973122419993031003

19

You might also like