Professional Documents
Culture Documents
SGPT dan SGOT merupakan enzim-enzim pada hati yang akan meningkat
jumlahnya di dalam tubuh jika hati mengalami kerusakan baik kerusakan
fungsi hati secara akut maupun kronis. Lebih lanjut kami akan mencoba
menjelaskannya satu persatu:
Nilai normal SGOT adalah 3-45 u/L, sedangkan nilai normal SGPT
adalah 0-35 u/L (terdapat sedikit variasi dari nilai normal dan sangat
tergantung dari laboratorium tempat pemeriksaan). Namun hasil
SGOT dan SGPT yang normal belum tentu menandakan bahwa Anda
bebas dari penyakit hati. Pada kasus penyakit hati yang kronik
(menahun), misal akibat hepatitis B kronik atau hepatitis C kronik,
dapat ditemukan kadar enzim SGOT dan SGPT yang normal atau
sedikit meningkat. Pada infeksi hati yang kronik (menahun), sel hati
secara perlahan-lahan mengalami kerusakan dan hal ini tidak dapat
diketahui hanya dari pemeriksaan enzim hati di dalam
darah.SGOT dan SGPT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada sel-sel hati.
Karena itu jika terjadi kerusakan (nekrosis) sel-sel hati, seperti yang terjadi pada
infeksi akut virus hepatitis, enzim-enzim tersebut keluar dari sel hati dan masuk ke
dalam darah. Semakin banyak sel-sel hati yang rusak, semakin tinggi pula kadar
SGOT/SGPT yang terukur di dalam darah. .Apakah keluhan yang anda rasakan saat
ini?Apakah anda sedang mengkonsumsi obat tertentu?
Herpes zoster (nama lain: shingles atau cacar ular cacar api) adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus varicella-zoster.[1] Setelah seseorang menderita cacar air, virus
varicella-zoster akan menetap dalam kondisi dorman (tidak aktif atau laten) pada satu atau
lebih ganglia (pusat saraf) posterior.[2] Apabila seseorang mengalami penurunan imunitas
seluler maka virus tersebut dapat aktif kembali dan menyebar melalui saraf tepi ke kulit
sehingga menimbulkan penyakit herpes zoster.[2] Di kulit, virus akan memperbanyak diri
(multiplikasi) dan membentuk bintil-bintil kecil berwarna merah, berisi cairan, dan
menggembung pada daerah sekitar kulit yang dilalui virus tersebut.[2] Herper zoster
cenderung menyerang orang lanjut usia dan penderita penyakit imunosupresif (sistem imun
lemah) seperti penderita AIDS, leukemia, lupus, dan limfoma.[1]
Pada awal terinfeksi virus tersebut, pasien akan menderita rasa sakit seperti terbakar dan kulit
menjadi sensitif selama beberapa hari hingga satu minggu. Penyebab terjadinya rasa sakit
yang akut tersebut sulit dideteksi apabila ruam (bintil merah pada kulit) belum muncul. Ruam
shingles mulai muncul dari lepuhan (blister) kecil di atas dasar kulit merah dengan lepuhan
lainnya terus muncul dalam 3-5 hari. Lepuhan atau bintil merah akan timbul mengikuti saraf
dari sumsum tulang belakang dan membentuk pola seperti pita pada area kulit. Penyebaran
bintil-bintil tersebut menyerupai sinar (ray-like) yang disebut pola dermatomal. Bintil akan
muncul di seluruh atau hanya sebagian jalur saraf yang terkait. Biasanya, hanya satu saraf
yang terlibat, namun di beberapa kasus bisa jadi lebih dari satu saraf ikut terlibat. Bintil atau
lepuh akan pecah dan berair, kemudian daerah sekitarnya akan mengeras dan mulai sembuh.
Gejala tersebut akan terjadi dalam selama 3-4 minggu. Pada sebagian kecil kasus, ruam tidak
muncul tetapi hanya ada rasa sakit.[4]
Deteksi
Untuk mendeteksi penyakit herpes zoster, dapat dilakukan beberapa macam tes, yaitu;
Kultur virus
Cairan dari unilepuh yang baru pecah dapat diambil dan dimasukkan ke dalam media virus
untuk segera dianalisa di laboratorium virologi. Apabila waktu pengiriman cukup lama,
sampel dapat diletakkan pada es cair. Pertumbuhan virus varicella-zoster akan memakan
waktu 3-14 hari dan uji ini memiliki tingkat sensitivitas 30-70% dengan spesifitas mencapai
100%.
Deteksi antigen
Uji antibodi fluoresens langsung lebih sensitif bila dibandingkan dengan teknik kultur sel. Sel
dari ruam atau lesi diambil dengan menggunakan scapel (semacam pisau) atau jarum
kemudian dioleskan pada kaca dan diwarnai dengan antibodi monoklonal yang terkonjugasi
dengan pewarna fluoresens. Uji ini akan mendeteksi glikoproten virus.
Uji serologi
Uji serologi yang sering digunakan untuk mendeteksi herpes zoster adalah ELISA.
PCR
PCR digunakan untuk mendeteksi DNA virus varicella-zoster di dalam cairan tubuh,
contohnya cairan serebrospina.[5]
Pengobatan
Pengobatan terhadap herpes zoster terdiri dari tiga hal utama yaitu pengobatan infeksi virus
akut, pengobatan rasa sakit akut yang berkaitan dengan penyakit tersebut, dan pencegahan
terhadap neuralgia pascaherpes. Penggunaan agen antiviral dalam kurun waktu 72 jam setelah
terbentuk ruam akan mempersingkat durasi terbentuknya ruam dan meringankan rasa sakit
akibat ruam tersebut. Apabila ruam telah pecah, maka penggunaan antiviral tidak efektif lagi.
Contoh beberapa antiviral yang biasa digunakan untuk perawatan herpes zoster adalah
Acyclovir, Famciclovir, dan Valacyclovir.[6]
Untuk meringankan rasa sakit akibat herpes zoster, sering digunakan kortikosteroid oral
(contoh prednisone). Sedangkan untuk mengatasi neuralgia pascaherpes digunakan analgesik
(Topic agents), antidepresan trisiklik, dan antikonvulsan (antikejang). Contoh analgesik yang
sering digunakan adalah krim (lotion) yang mengandung senyawa calamine, kapsaisin, dan
xylocaine. Antidepresan trisiklik dapat aktif mengurangi sakit akibat neuralgia pascaherpes
karena menghambat penyerapan kembali neurotransmiter serotonin dan norepinefrin. Contoh
antidepresan trisiklik yang digunakan untuk perawatan herpes zoster adalah Amitriptyline,
Nortriptyline, Nortriptyline, dan Nortriptyline. Untuk mengontrol sakit neuropatik, digunakan
antikonvulsan seperti Phenytoin, carbamazepine, dan gabapentin.[6]
Pencegahan
Untuk mencegah herper zoster, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah pemberian
vaksinasi.[7] Vaksin berfungsi untuk meningkatkan respon spesifik limfosit sitotoksik terhadap
virus tersebut pada pasien seropositif usia lanjut.[7] Vaksin herpes zoster dapat berupa virus
herpes zoster yang telah dilemahkan atau komponen selular virus tersebut yang berperan
sebagai antigen.[5] Penggunaan virus yang telah dilemahkan telah terbukti dapat mencegah
atau mengurangi risiko terkena penyakit tersebut pada pasien yang rentan, yaitu orang lanjut
usia dan penderita imunokompeten, serta imunosupresi.[8][5]
Pneumonia Pneumokistik (Pneumokistosis) atau PCP adalah suatu infeksi paruparu akibat jamur yang bernama Pneumocystis carinii.
PCP disebabkan oleh jamur yang ada dalam tubuh hampir setiap orang. Dahulu jamur
tersebut disebut Pneumocystis carinii, tetapi para ilmuwan kini menggunakan nama
Pneumocystis jiroveci, namun penyakit masih disingkatkan sebagai PCP. Pneumocystis
carinii adalah organisme yang biasa hidup di paru-paru normal dan tidak menimbulkan
gejala.
Tetapi pada orang-orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan akibat kanker, jamur
tersebut
bisa
menyebabkan
terjadinya
infeksi
paru-paru.
Pneumokistosis biasanya memiliki perjalanan penyakit yang lebih lambat, yaitu batuk,
demam dan sesak nafas selama berminggu-minggu. Kebanyakan penderita akan merasakan
demam, sesak nafas dan batuk kering. Paru-paru tidak dapat menyalurkan oksigen dalam
jumlah yang memadai ke dalam darah sehingga timbul sesak nafas yang berat. Sesak
terutama timbul setelah penderita melakukan aktivitas.
Jamur Pneumocystis hampir selalu mempengaruhi paru, menyebabkan bentuk pneumonia
(radang paru). Sebagian besar hewan yang mengalami penyakit PCP menjadi jauh lebih
lemah, kehilangan berat badan, dan kemungkinan akan kembali mengalami penyakit PCP
lagi.
Pneumonia Pneumokistik (Pneumokistosis) atau PCP adalah suatu infeksi paru-paru
akibat jamur yang bernama Pneumocystis carinii.
PCP disebabkan oleh jamur yang ada dalam tubuh hampir setiap orang. Dahulu jamur
tersebut disebut Pneumocystis carinii, tetapi para ilmuwan kini menggunakan nama
Pneumocystis jiroveci, namun penyakit masih disingkatkan sebagai PCP. Pneumocystis
carinii adalah organisme yang biasa hidup di paru-paru normal dan tidak menimbulkan
gejala.
Tetapi pada orang-orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan akibat kanker, jamur
tersebut
bisa
menyebabkan
terjadinya
infeksi
paru-paru.
Pneumokistosis biasanya memiliki perjalanan penyakit yang lebih lambat, yaitu batuk,
demam dan sesak nafas selama berminggu-minggu. Kebanyakan penderita akan merasakan
demam, sesak nafas dan batuk kering. Paru-paru tidak dapat menyalurkan oksigen dalam
jumlah yang memadai ke dalam darah sehingga timbul sesak nafas yang berat. Sesak
terutama timbul setelah penderita melakukan aktivitas.
Jamur Pneumocystis hampir selalu mempengaruhi paru, menyebabkan bentuk pneumonia
(radang paru). Sebagian besar hewan yang mengalami penyakit PCP menjadi jauh lebih
lemah, kehilangan berat badan, dan kemungkinan akan kembali mengalami penyakit PCP
lagi.
Beberapa DNA yang baru terbentuk saling bergabung dan masuk ke dalam sel target dan
membentuk provirus. Provirus dapat menghasilkan protein virus baru, yang bekerja
menyerupai pabrik untuk virus-virus baru. Sel target normal akan membelah dan
memperbanyak diri seperti biasanya dan dalam proses ini provirus juga ikut menyebarkan
anak-anaknya. Secara klinis, ini berarti orang tersebut terinfeksi untuk seumur hidupnya
(Price & Wilson, 1995).
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi diaktifkan.
Aktifasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen, sitokin (TNF alfa atau
interleukin 1) atau produk gen virus seperti sitomegalovirus (CMV), virus Epstein-Barr,
herpes simpleks dan hepatitis. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan,
replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang
baru dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi sel-sel CD4+
lainnya. Karena proses infeksi dan pengambil alihan sel T4 mengakibatkan kelainan dari
kekebalan, maka ini memungkinkan berkembangnya neoplasma dan infeksi opportunistik
(Brunner & Suddarth, 2001).
Sesudah infeksi inisial, kurang lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan terinfeksi oleh HIV
pula. Replikasi virus akan berlangsung terus sepanjang perjalanan infeksi HIV; tempat
primernya adalah jaringan limfoid. Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan
status kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut. jika orang tersebut tidak sedang
menghadapi infeksi lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun, reproduksi HIV
tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi infeksi lain atau kalau
sistem imunnya terstimulasi. Keadaan ini dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan
oleh sebagian penderita sesudah terinfeksi HIV. Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV
(65%) tetap menderita HIV/AIDS yang simptomatik dalam waktu 10 tahun sesudah orang
tersebut terinfeksi (Brunner & Suddarth, 2001).
Manifestasi klinik
Gejala dini yang sering dijumpai berupa eksantem, malaise, demam yang menyerupai flu
biasa sebelum tes serologi positif. Gejala dini lainnya berupa penurunan berat badan lebih
dari 10% dari berat badan semula, berkeringat malam, diare kronik, kelelahan, limfadenopati.
Beberapa ahli klinik telah membagi beberapa fase infeksi HIV yaitu : (Majalah Kedokteran
Indonesia, 1995)
1.Infeksi HIV Stadium Pertama
Pada fase pertama terjadi pembentukan antibodi dan memungkinkan juga terjadi gejala-gejala
yang mirip influenza atau terjadi pembengkakan kelenjar getah bening.
2.Persisten Generalized Limfadenopati
Terjadi pembengkakan kelenjar limfe di leher, ketiak, inguinal, keringat pada waktu malam
atau kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas dan sariawan oleh jamur kandida di
mulut.
3.AIDS Relative Complex (ARC)
Virus sudah menimbulkan kemunduran pada sistem kekebalan sehingga mulai terjadi
berbagai jenis infeksi yang seharusnya dapat dicegah oleh kekebalan tubuh. Disini penderita
menunjukkan gejala lemah, lesu, demam, diare, yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dan
berlangsung lama, kadang-kadang lebih dari satu tahun, ditambah dengan gejala yang sudah
timbul pada fase kedua.
4.Full Blown AIDS
Pada fase ini sistem kekebalan tubuh sudah rusak, penderita sangat rentan terhadap infeksi
sehingga dapat meninggal sewaktu-waktu. Sering terjadi radang paru pneumocytik, sarcoma
kaposi, herpes yang meluas, tuberculosis oleh kuman opportunistik, gangguan pada sistem
saraf pusat, sehingga penderita pikun sebelum saatnya. Jarang penderita bertahan lebih dari 34 tahun, biasanya meninggal sebelum waktunya.
4. Kriteria Diagnostik
Diagnostik AIDS ditegakkan bila ditemukan dua tanda mayor dan satu tanda minor tanpa
penyebab lain, yaitu : (Majalah Kedokteran Indonesia, 1995)
1.Tanda Mayor
a.Penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan semula.
b.Diare kronik lebih dari 1 bulan.
c.Demam menetap lebih dari 1 bulan intermitten dan konstan.
2.Tanda minor
a.Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
b.Dermatitis generalisata.
c.Herpes zoster rekuren.
d.Infeksi herpes simpleks virus kronik progresif disseminata.
5. Penularan
HIV ditularkan melalui kontak seksual, injeksi perkutan terhadap darah yang terkontaminasi
atau perinatal dari infeksi ibu ke bayinya.
Jalur penularan infeksi HIV serupa dengan infeksi Hepatitis B.
Anal intercourse/anal manipulation (homoseksual) akan meningkatkan kemungkinan trauma
pada mukosa rektum dan selanjutnya memperbesar peluang untuk terkena virus HIV lewat
sekret tubuh.
Hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti.
Hubungan heteroseksual dengan orang yang menderita infeksi HIV.
Melalui pemakai obat bius intravena terjadi lewat kontak langsung darah dengan jarum dan
semprit yang terkontaminasi. Meskipun jumlah darah dalam semprit relatif kecil, efek
kumulatif pemakaian bersama peralatan suntik yang sudah terkontaminasi tersebut akan
meningkatkan risiko penularan.
Darah dan produk darah, yang mencakup transfusi yang diberikan pada penderita hemofilia,
dapat menularkan HIV kepada resipien.
Berhubungan seksual dengan orang yang melakukan salah satu tindakan diatas.
(Dikutip dari Brunner & suddarth, 2001).
6. Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan
Tes antibodi HIV
ELISA
Western blot
Indirect Immunofluorescence assay (IFA)
Radio Immunopresipitation assay (RIPA)
Pelacakan HIV
Antigen p24
Reaksi rantai polimerase (PCR)
Kultur sel mononukleat darah perifer untuk HIV-1
Kultur sel kuantitatif
Kultur plasma kuantitatif
Mikroglobulin B2
Neoprotein serum
Status imun
#sel-sel CD4+
%sel-sel CD4+
Rasio CD4:CD8
Evafirenz (EFZ)
Delavirdine (DLV)
Protease Inhibitor (PI)
Menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein
yang lebih kecil.
Indinavir (IDV)
Nelfinavir (NFV)
Saquinavir (SQV)
Ritonavir (RTV)
Amprenavir (APV)
Iopinavir/ritonavir (LPV/r)
(Zubairi Djurban, 2003).
8. Prognosis
Sulit sekali menduga apalagi menentukan perjalanan penyakit pada waktu diagnosis AIDS
ditegakkan. Mortalitas pasien AIDS mendekati 100% (Majalah Kesehatan Indonesia, 1995).
9. Pencegahan
Pencegahan dengan menghilangkan atau mengurangi perilaku berisiko merupakan tindakan
yang sangat penting.
Penurunan risiko pada individu :
Pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan yang benar mengenai patofisiologi HIV
dan transmisinya terutama mengenai fakta penyakit dan perilaku yang dapat membantu
mencegah penyebarannya.
Kontak seksual antara homoseksual sebaiknya dengan kondom.
Kurangi jumlah pasangan atau pakai kondom.
Tidak menggunakan alat suntik bersama-sama.
Membersihkan alat suntik dengan cairan pembersih atau mengganti jarum suntik.
Orang normal dengan pasangan yang berisiko, menggunakan teknik seks yang aman :
Menghindari aktivitas seksual yang berisiko (anal/vaginal).
Pakai kondom dari lateks.
Pakai spermisida nonoksinol-9.
Pemijatan serta sentuhan.
Untuk pasien hemofili atau kemungkinan untuk transfusi dan penggunaan produk darah :
Menyimpan darah sendiri sebelum operasi.
Hemodilusi.
Penggunaan rekombinan faktor pembeku darah.
Penggunaan rekombinan faktor pertumbuhan hematopoietik.
Pengganti sel darah merah.
Wanita dengan HIV : kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan tidak memberi ASI pada
bayi.
Penurunan risiko pada tenaga kesehatan :
Penggunaan alat pelindung pribadi untuk menurunkan risiko terkena darah atau bahan-bahan
lain yang mungkin infeksius.
Setelah penggunaan alat pelindung, tangan harus dicuci dengan sabun dan air.
Batasi resusitasi mouth to mouth, gunakan alat bantu mulut, kantung resusitasi, dan lain-lain
yang tersedia.
Cuci bagian tubuh yang terpapar cairan tubuh/mukosa membran yang potensial menimbulkan
infeksi dengan sabun dan air.
Pemeriksaan HIV dan hepatitis bagi yang tertusuk jarum, tergores pisau.
Dekontaminasi area kerja.
Pembuangan alat-alat medis pada tempat yang tepat.
bengkak yang berat pada lengan, kaki, wajah atau kantong kemaluan. Bentuk KS yang paling
berat adalah pada paru. KS pada paru dapat menyebabkan batuk yang berat, sesak napas, atau
kumpulan cairan yang dapat menjadi gawat.
Terdapat 2 macam bentuk sarkoma Kaposi:
1.
Sarkoma Kaposi Klasik adalah penyakit pada usia lanjut, biasanya pada orang Eropa,
Yahudi atau Itali.
Kanker tumbuh sangat lambat dan jarang menyebar.
2.
Sarkoma Kaposi Endemik adalah penyakit pada anak-anak dan pria muda di Afrika dan
pada penderita AIDS.
Kanker tumbuh jauh lebih cepat dan seringkali melibatkan pembuluh darah pada organ
dalam.
Pada pria usia lanjut, sarkoma Kaposi biasanya tampak sebagai bintik ungu atau coklat tua di
jari kaki atau tungkai. Kanker bisa tumbuh sampai berukuran bebarapa sentimeter atau lebih,
sebagai daerah berwarna gelap yang mendatar atau agak menonjol, yang cenderung
mengalami perdarahan dan membentuk tukak. Kanker bisa menyebar secara perlahan ke
tungkai.
Pada orang Afrika dan pada penderita AIDS, kanker biasanya pertama kali muncul sebagai
bintik pink, merah atau ungu, yang berbentuk lonjong atau bundar.
Bintik-bintik ini bisa muncul di bagian tubuh mana saja, tetapi seringkali tumbuh di wajah.
Dalam beberapa bulan bintik-bintik lainnya muncul di beberapa bagian tubuh, termasuk
mulut, juga pada organ dalam dan kelenjar getah bening dan bisa menyebabkan perdarahan
internal.
Luka KS berupa lesi dan noda yang berwarna-warni merah, ungu, coklat, atau hitam. Luka
tersebut biasanya ditemukan pada kulit, walau bisa juga tersebar di tempat lain terutama
mulut, gastrointestinal tract dan saluran pernafasan. Pertumbuhan dari sangat lambat ke
sangat cepat.
juga diberikan Silimarin, silimarin digunakan sebagai hepatoprotektor karena dapat menekan
peningkatan enzim-enzim transaminase dan pencegahan pengausan glutation hati.
Maka seharusnya sesuai teori diatas, SGOT dan SGPT dari kontrol negatif paling kecil,
kontrol positif paling besar dan uji silimarin diantara keduanya. Data SGOT dapat
menyimpang karena ada kemungkinan mencit sedang mengalami gangguan juga pada organ
selain hati, karena sebenarnya SGOT terdapat di hampir seluruh tubuh, berbeda dengan
SGPT yang spesifik pada hati. Berikut Alat yang digunakan dalam uji SGOT-SGPT.
Pereaksi SGOT
Selain peningkatan enzim transaminase ternyata juga terdapat beberapa parameter lain yang
menyatakan kerusakan hati. Berikut parameter-paremeter tersebut.
Bilirubin Plasma
Enzim Plasma
Haptoglobin plasma
Urobilinogen urin
Darah periferal
Peningkatan tinggi ( > 5 kali nilai normal) : kerusakan hepatoseluler akut, infark
miokard, kolaps sirkulasi, pankreatitis akut, mononukleosis infeksiosa
Peningkatan sedang ( 3-5 kali nilai normal ) : obstruksi saluran empedu, aritmia
jantung, gagal jantung kongestif, tumor hati (metastasis atau primer), distrophia
muscularis
Pengambilan darah pada area yang terpasang jalur intra-vena dapat menurunkan kadar
SGOT/AST
SGPT/ALT serum umumnya diperiksa secara fotometri atau spektrofotometri, secara semi
otomatis atau otomatis. Nilai rujukan untuk SGPT/ALT adalah :
Laki-laki : 0 - 50 U/L
Perempuan : 0 - 35 U/L
Masalah Klinis
Kondisi yang meningkatkan kadar SGPT/ALT adalah :
Peningkatan SGOT/SGPT > 20 kali normal : hepatitis viral akut, nekrosis hati
(toksisitas obat atau kimia)
Peningkatan 3-10 kali normal : infeksi mononuklear, hepatitis kronis aktif, sumbatan
empedu ekstra hepatik, sindrom Reye, dan infark miokard (SGOT>SGPT)
Peningkatan 1-3 kali normal : pankreatitis, perlemakan hati, sirosis Laennec, sirosis
biliaris.
Pengambilan darah pada area yang terpasang jalur intra-vena dapat menurunkan kadar
Trauma pada proses pengambilan sampel akibat tidak sekali tusuk kena dapat
meningkatkan kadar
Hemolisis sampel
SGPT (juga dikenal sebagai ALT) dan SGOT (AST) adalah enzim yang dipakai oleh
hati dalam pekerjaannya. Biasanya enzim ini ditahan dalam hati, tetapi bila hati
menjadi rusak karena hepatitis, semakin banyak enzim ini dapat masuk ke aliran
darah. Tingkat enzim ini dalam darah dapat diukur, dan tingkatnya menunjukkan
tingkat kerusakan pada hati.
normal. Kalau 120, berarti 3x atas normal. Biasanya, tingkat SGPT/SGOT dianggap
masalah bila 3x atau lebih di atas normal, tetapi juga harus dilihat gejala lain. Kalau
SGPT agak tinggi (tergantung keadaan; bisa 5x atau lebih), tetapi tidak ada gejala
lain, dokter biasa hanya akan memantau lebih berhati-hati.