You are on page 1of 4

TUGAS SENI

Aditya Kris Nur Maulana


XI IPA 2
1. Sejarah Gamelan
Dalam sejarah gamelan degung (sunda), degung merupakan salah satu gamelan khas dan
asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang
dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar pada akhir abad ke-18 atau
pada awal abad ke-19.

Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat sunda.
Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal
perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/ awal abad ke 19 Jaap Kunst yang mendata
gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat
bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1
perangkat) Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat),
Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, Kerajaan
Galuhmisalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagulagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik
Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu
diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.

Masyarakat Sunda menduga dan mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan
atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata degung berasal
dari kata ngadeg (berdiri) dan agung (megah) atau pangagung (menak;
bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi
kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung
Parahyangan, menghubungkan kata degung dikarenakan gamelan ini dulu hanya
dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah degung pertama kali
muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata De gong (gamelan,
bahasa Belanda). Di dalam kamus ini, de gong mengandung pengertian penclonpenclon yang digantung.

Arti Degung sebenarnya hampir sama dengan Gangsa di Jawa Tengah, Gong di Bali atau
Goong di Banten yaitu Gamelan, Gamelan merupakan sekelompok waditra dengan cara
membunyikan alatnya kebanyakan dipukul. Pada mulanya Degung berupa nama waditra
berbentuk 6 buah gong kecil, biasanya digantungkan pada kakanco atau rancak/ancak.
Waditra ini biasa disebut pula bende renteng atau jenglong gayor. Perkembangan
menunjukan bahwa akhirnya nama ini digunakan untuk menyebut seperangkat alat yang
disebut Gamelan Degung dimana pada awalnya gamelan ini berlaras Degung namun
kemudian ditambah pula dengan nada sisipan sehingga menjadi laras yang lain (bisa
Laras Madenda/Nyorog ataupun laras Mandalungan/Kobongan/Mataraman)

Ada anggapan lain sementara orang bahwa kata Degung berasal dari kata ratu-agung atau
tumenggung, seperti dimaklumi bahwa Gamelan Degung sangat digemari oleh para
pejabat pada waktu itu, misalnya bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusuma adalah salah
seorang pejabat yang sangat menggemari Degung, bahkan beliaulah yang sempat
mendokementasikan beberapa lagu Degung kedalam bentuk rekaman suara.
Ada pula yang menyebutkan Degung berasal dari kata Deg ngadeg ka nu Agung yang
mengandung pengertian kita harus senantiasa menghadap (beribadah) kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Dalam bahasa Sunda banyak terdapat kata-kata yang berakhiran gung yang
artinya menunjukan tempat/kedudukan yang tinggi dan terhormat misalnya : Panggung,
Agung, Tumenggung, dsbnya. Sehingga Degung memberikan gambaran kepada orang
Sunda sebagai sesuatu yang agung dan terhormat yang digemari oleh Pangagung.

Mula mula Degung merupakan karawitan gending, penambahan waditrapun berkembang


dari jaman ke jaman. Pada tahun 1958 barulah dalam bentuk pergelarannya degung
menjadi bentuk sekar gending, dimana lagu-lagu Ageung diberi rumpaka, melodi lagu
dan bonang kadangkala sejajar kecuali untuk nada-nada yang tinggi dan rendah apabila
tidak tercapai oleh Sekar. Banyaknya kreasi-kreasi dalam sekar, tari, wayang menjadikan
degung seperti sekarang ini.

Jaap Kunst dalam bukunya Toonkunst van Java (Kunst, 1934), mencatat bahwa awal
perkembangan Degung adalah sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Dalam studi
literaturnya, disebutkan bahwa kata degung pertama kali muncul tahun 1879, yaitu
dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata de gong (gamelan: Belanda) dalam kamus ini
terkandung pengertian: penclon-penclon yang digantung. Menurut Entjar Tjarmedi dalam

bukunya Pangajaran Degung, waditra (instrumen: Sunda) ini berbentuk 6 buah gong
kecil yang biasanya digantung pada sebuah gantungan yang disebut dengan rancak.
Menurut beliau istilah gamelan Degung diambil dari nama waditra tersebut, yang kini
lebih dikenal dengan istilah jenglong (Tjarmedi, 1974: 7).

Adapun mengenai waktu kemunculannya belum ada literatur yang akurat selain kamus
H.J. Oosting di atas. Namun sebagaimana Jaap Kunst, Enip Sukanda pun berpendapat
dalam karya penelitiannya tentang Dedegungan pada Tembang Sunda Cianjuran, bahwa
ketika kamus itu dicetak berarti gamelan Degung-nya sudah ada terlebih dahulu,
katakanlah sekitar 100 tahun sebelumnya (Sukanda, 1984:15).

Ada pendapat lain yaitu dari Atik Soepandi, dalam tulisannya mengenai Perkembangan
Seni Degung Di Jawa Barat, bahwa gamelan Degung adalah istilah lain dari Goong
Renteng, mengingat banyak persamaan antara lagu-lagu Degung Klasik dengan lagu-lagu
goong renteng (Soepandi, 1974). Perbedaannya adalah apabila Goong Renteng
kebanyakan ditemukan di kalangan masyarakat petani (rakyat), maka gamelan Degung
ditemukan di lingkungan bangsawan (menak).

2. Gamelan Catrika
Catrik merupakan salah satu lagu dari gamelan degung sunda. Seperti lagu Kalangkang
(catrik), Asa Tos Tepang (Catrik).
3. Pengaruh seni gamelan terhadap kehidupan social
Manusia mempunyai sifat sebagai makhluk sosial yaitu saling membutuhkan antar
sesama dan manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia selalu ketergantungan dengan
orang lain jika ditinjau sebagai makhluk sosial. Dalam memainkan gamelan, seorang
penabuh dituntut keterampilannya dan mampu mengadakan koordinasi dengan penabuh
lainnya, kemudian dilakukan pemahaman terhadap rasa kebersamaan dan gotong royong
untuk tercapainya penampilan yang sempurna. Dengan adanya rasa kebersamaan
maka akan tumbuh pula rasa persatuan. Dengan demikian, Gamelan juga berfungsi
sebagai pemersatu suatu komunitas.

Gamelan selalu berkembang dari zaman ke zaman melaui proses ide kreatif manusia yang
selalu mempunyai sifat selalu ingin untuk mencoba. Di sana antara manusia satu dengan
yang lainnya akan saling mengisi dan menambah wawasan.. Para seniman karawitan
bisa juga memperoleh keuntungan melalui gambelan tersebut. Misalnya dalam proses
mengajar orang asing, di sana akan mendekatkan hubungan kita antara manusia dengan
manusia lainnya. Dengan gamelan, kita akan bisa mencari teman baru yang datang dari
berbagai daerah atau negara. Sangat banyak fungsi gambelan tersebut.

You might also like