You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi
dibawah dalil-dalil Nas (Al-Quran dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah AlQuran dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum
syara
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma itu
sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Quran dan Al Hadits, mereka
berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Quran dan
Hadits).
Ijma muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat
untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah
sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum
yang telah disepakati.
Terkait dengan ijma ini masih banyak komonitas diantaranya, sebagian
mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma itu sendiri maka dari itu kami
penulis akan membahas tentang ijma dan dirumuskan dalam rumusan masalah
dibawah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari ijma?
2. Bagaimana Macam-Macam Ijma?
3. Bagaimana Dasar Hukum Ijma?
4. Bagaiman Syarat-Syarat Ijma?
5. Bagaimana Rukun Rukun Ijma?
6. Bagaimana Kehujjahan Ijma?
7. Bagaiman Contoh-Contoh Kasus Hukum Yang Didasari Ijma?
C. Manfaat dan Tujuan Penulisan
a. Manfaat Penulisan
1. Untuk menambah wawasan pengetahuan
2. Untuk mengetahui tentang ijma
b. Tuhuan Penulisan
Makalah agama tentang ijma |

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Mengetahui
Mengetahui
Mengetahui
Mengetahui
Mengetahui
Mengetahui
Mengetahui

definisi dari ijma


Macam-Macam Ijma
Dasar Hukum Ijma
Syarat-Syarat Ijma
Rukun Rukun Ijma
Kehujjahan Ijma
Contoh-Contoh Kasus Hukum Yang Didasari Ijma

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma
Pengertian Ijma menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat
tentang sesuatu hal, seperti perkataan sesorang yang berarti kaum itu
telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu. Ijma' ( )adalah mashdar
(bentuk) dari ajma'a ( )yang memiliki dua makna:
Tekad yang kuat ( ) seperti: ( sifulan bertekad kuat
untuk melakukan perjalanan).
Kesepakatan ( )seperti: ( ) kaum muslimin bersepakat
tentang sesuatu. Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:

Makalah agama tentang ijma |

"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam
masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul
Fuhul: 71).
Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:
Kesepakatan1[3] ( )artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau
dengan sikap. Para Mujtahid (). Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh
orang yang alim (berilmu) untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i
dari dalil-dalilnya. Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan
kemampuan secara maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum. Ummat
Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang rima seruan dakwah
Nabi saw).Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika
beliau hidup tidak disebut ijma'.
Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan
saja. Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara
yang bukan syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at .
Menurut istilah Ijma, ialah kespakatan mujtahid ummat islam tentang hukum
syara dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah saw meninggal dunia.Sebagai
contoh ialah setelah Rasulullah saw meninggal dunia diperlukan

penangkatan

seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kamu muslimin yang ada
pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan
bersama pula diangkatlah Abu Bakar ra.sebagai khalifah pertama.Sekalipun pada
permulaanya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar ra.itu, namun
kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya.Kesepakatan yang seperti ini dapat
dikatakan ijma.
Ijma merupakan sumber hukum yang kuat dalam menetapkan hukum-hukum
islam dan menduduki tingkatan ketiga dalam urutan urutan seumebr hukum
islam.Ijma sebagai sumber hukum ditunujkan dengan ayat Al-Quran dan Hadist.
Nabi yang mengatakan bahwa kebulatan ahli ilmu dan fikiran menjadi pegangan.di
samping ayat-ayat Al-Quran yang menyuruh memperkokoh kesatuan dan melarang
pemisahan diri. Di antara hadits hadits yang memberikan kekuatan demikan ialah
1
Makalah agama tentang ijma |

hadits. umatku tidak 2[4]bersepakat atas kesesatan . Jika sudah terjadi kebulatan
hukum maka, sudah barang tentu ada dalil (alasan) yang menjadi sandaraannya,
meskipun dalil tersebut boleh jadi tidak diriwayatkan sebab tidak masuk akal kalau
para ulama umat islam bersepakat atas suatu hukum tanpa mempunyai dalil syara.
Ijma menurut para fuqaha yang ahli ijtihad merupakan hujjah (argumentasi)
yang kuat dalam menetapkan hukum fiqih, sumber (hukum islam) yang menempati
posisi setelah sunnah. Posisi ini didukung oleh sejumlah ayat dan hadits yang
mengakui konsesensus para ahli ilmu (ulama) dan ahli piker kepada dalil meskipun
tidak disebutkan, karena para ulama tidak (cendekiawan).
Nabi saw bersabda , ( umatku tidak akan sepakat untuk
melakukan kesesatan ). Banyak hadits yang semakna dengannya, dank arena
banyaknya, ditambah dengan ayat al-Quran yang mengharuskan berpegang kepada
jamaah dan tidak memisahkan dari dirinya, menjadi dalil yang cukup untuk
menujukan kehujjahan ijma dalam menetapkan hukum, yang selalu bersandar
mungkin consensus kalau tidak bersandar pada dalil syara. Oleh karena itu, bila para
ulama mutaakhirin ingin mengetahui ijma maka yang dijadikan kajian adalah
eksistensi ijma dan kebenaran riwayatnya mengkaji dalilnya. Sebab,jika yang harus
dikaji itu adalah dalilnya tentulah dalil itu sendiri yang dipegaung bukan ijma,
sekalipun ijma itu sendiri dapat dijadikan sebagai hujjah.jadi, ijma selalu bersandar
pada dalil,tetapi tidak mengakuinya sebagai hujjah tidak perlu mengetahui dalilnya.
B. Macam-Macam Ijma
Dari segi cara kejadiannya, Ijma terbagi menjadi 2 yaitu:
a.

Ijma Bayani, yaitu ijma yang terbentuk melalui proses dialogis. Dimana
seluruh peserta ijma berkumpul disuatu tempat dan menyampaikan pendapatnya,
baik secara lisan maupun perbuatan.

b.

Ijma Sukuti 3[8], yaitu Ijma yang terbentuk melalui proses dimana seorang
mujtahid menyampaikan pendapatnya dan pendapat itu tersebar luas, tetapi

2
3
Makalah agama tentang ijma |

mereka diam, tidak menyampaikan penolakan secara tegas, padahal tidak terdapat
suatu penolakan.
Mengenai ijma Sukuti ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat ;
a

Ulama Syafii dan mayoritas Fuqaha tidak memasukan ijma sukuti ini kedalam
katagori ijma.

b.

pendapat sebagian Fuqaha memasukan ijma sukti ke dalam katagori ijma,


hanya saja tingkat kekuatanya dibawah ijma sharih.

c.

ijma sukti dapat dijadikan argumentasi (hujah) akan tetapi tidak termasuk
kedalam katagori ijma.
Argumentasi ulama yang tidak menganggap ijma sukuti sebagai hujjah

syariyyah adalah :
a.

Orang yang diam tidak dapat di anggap sebagai orang yang berpendapat. Dengan
demikian seorang mujtahid yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang
mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain.

b.

diam tidak dapat dipandang sebagai setuju karena diamnya seorang mujtahid
mungkin setuju, mungkin ia belum ijtihad dalam masalah tersebut, mungkin juga
ia telah berijtihad tetapi belum memperole kemantapan.

c.

Dengan segala kemungkinan diatas, maka diam tidak dapat dipandang sebagai
hujah untuk menerima pendapat seorang mujtahid, maka ijma sukuti tidak dapat
dijadikan hujah.
Sedangkan ulama yang memasukkan ijma sukuti ke dalam katagori ijma

beralasan bahwa;
a.

pda dasarnya diam tidak dapat dikatagorikan hujah kecuali sesudah merenung
atau berpikir. Oleh karena itu jika ada seorang yang berdiam sesudah berpikir dan
menganalisa permasalahan dari segala segi maka diamnya menunjukan suatu
sikap.

b.

Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa (Mufti) itu memberikan keterangan
pada suatu permasalahan.

c.

Diamnya seorang mujtahid setelah merenung terhadap hukum (hasil ijtihad orang
lain) yang bertentangan dengan hukum yang benar menurut ijtihadnya adalah
Makalah agama tentang ijma |

haram. Dengan demikian berbaik sangka bahwa diamnya seorang mujtahid dapat
dianggap ridla terhadap hasil ijtihd orang lain. Jika ia tidak rela serta tidak mau
mengemukakan pendapat ynag benar menurut hasil ijtihadnya berarti ia telah
berbuat dosa.
Dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma, dapat dibagi menjadi :
a.

Ijma Qathi, yaitu hukum yang dihasilkan ijma itu adalah qathI diyakini benar
terjadinya. Tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian
yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma yang dilakukan pada waktu yang

b.

lain.
Ijma Dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma itu dhanni, asih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan
berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma yang dilakukan
pada waktu lain.

Ditinjau dari segi masa atau tempat terjadinya ijma ;


a. Ijma Sahabat, yaitu ijma yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
b. Ijma khulafaurrasidin, yaitu ijma yang dilakukan oleh Abu bakar, umar, Ustman
dan Ali bin abi thalib. Namun setelah Abu bakar meninggal dunia ijma tersebut
tidak dilakukan lagi.
c. Ijma Shaikhan, yaitu ijma yang dilakukan oleh Abu bakar dan Umar bin Khatab.
d. Ijma ahli Madnah, yaitu ijma yang dilakukan oleh ulama Madinah. Namun terjadi
perbedaan antara Imam Malilki dan Imam Syafii. menurut Imam Syafii tidak
dimungkinkan terjadinya ijma secara universal, sedangkan menurut Imam Malik
hal tersebut bisa trjadi.
e. Ijma Ulama kufah, yaitu ijma yang dialakukan oleh ulama kufah sehingga
Madzhab Hanafi menjadikan ijma ulama kufah sebagai salah satu hukum Islam.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa :
a. Ijma tidak dibutuhkan pada masa Nabi Muhammad saw.
b. Ijma mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin
Khaththab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman.
Makalah agama tentang ijma |

c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini
tidak ungkin terjadi ijma sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan
diatas,mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah
yang berpenduduk islam
C. Dasar Hukum Ijma
Dalil-dalil yang menunjukkan pada kehujjahan Ijma akan kita paparkan
sebagai berikut:
a.

Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :



Artinya : Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut
pandangan Allah juga baik.

b.

Sabda Rasulullah Saw



Artinya : UmatKu tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat.

c. Demikian juga sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dari
sahabat Umar bin Khatab R.A :

Artinya : Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka
bergabunglah (ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang
menyendiri. Ia akan lebih jauh dari 2 orang dari pada orang yang menyendiri.
Firman Allah Swt :

)
Artinya : Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenarannya
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami
biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami
masukkan ia k edalam neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali.

Makalah agama tentang ijma |

Nash di atas menjelaskan bahwa yang bukan jalannya orang mukmin adalah
harom. Karena berarti dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya dengan ancaman
neraka jahanam. Dengan demikian mengikuti jalan orang mukmin adalah wajib. Jika
jamaah orang mukmin mengatakan ini halal jika ada orang yang menyatakan hal
tersebut sebagai suatu yang haram maka dia tidak mengikuti jalan orang mukmin.
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti pendapat orangorang mukmin berati suatu hal yang ditetapkan berdasarkan Ijma. Dengan demikian
Ijma dapat dijadikan hujjahyang harus dipergunakan untuk menggali hukum syara
(istinbath) dari nash-nash Syara.
D. Syarat-Syarat Ijma
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
a. Memiliki pengetahuan tentang Al Quran.
b. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
c. Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma sebelumnya.
d.
Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
e.
Menguasai ilmu bahasa.
E. Rukun Rukun Ijma
Pada Dasarnya Rukun Ijma terdefinisi atas dasar hukum ijma dimana para
ulama ushul fiqih menetapkan rukun-rukun ijma sebagai berikut:
a. Harus beberapa orang mujtahid dikala terjadi peristiwa dan para mujtahid itulah
melakukan kesepakatan dalam menetapakan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak
ada beberapa orang mujtahid diwaktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak
terjadi Ijma itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
b. Yang melakukan kesepakatn itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia
islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada
suatu negeri saja, maka kesepakatan itu belum dapat dikatakan sebagai suatu ijma.
c. Ijma dapat disepakati setelah para mujtahid menyampaikan pendapatnya baik
secara lisan maupu perbuatan.
d. Hukum yang disepakati dalam Ijma adalah hukum syara.
e. Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Nabi.
F. Kehujjahan Ijma
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya ijma dan nilai
argumentasinya. Mengapa? Karena terjadinya perbedan pendapat dalam mengartikan
Makalah agama tentang ijma |

ijma. Diantaranya berpendapat bahwa : Ijma adalah kesepakatan para Mujtahid pada
setiap masa terhadap hukum syara jika demikian maka ijma tersebut tidak mungkin
terjadi.
Sebagaimana para mujtahid lain, al-syafii juga mengangkat hukum-hukum
produk ijma sebagai ketentuan yang harus ditaati.Akan tetapi al-syafiI cenderung
sangat idealis dalam hal ini,yaitu bahwa ijma tersebut harus merupakan kesepakatan
seluruh ulama yang ada di negeri itu.Dan kalau ada satu orang saja dari mereka tidak
terlibat dalam proses kesepakatannya,maka ijmatersebut tidak sah.
Tetapi jika yang dimaksud ijma adalah kesepakatan para mujtahid terhadap
hukum-hukum syara tetap ditetapkan berdasarkan dalil nash yang qothi. Seperti:
Kesepakatan mereka tentang wajibnya mereka shalat menghadapi qiblat, kewajiban
puasa, zakat, ibadah haji,jumlah bilangan rakaat dalam shalat dan lain-lain.Maka hal
tersebut mungkin terjadi.Kemudian berbagai kebijaksanaan politik yang terkait dengan
pelaksanaan ajaran islam,seperti hukuman orang-orang inkar zakat yang disamakan
dengan hukuman orang-orang yang melakukan pemberontakan politik(muharabah),
pengumpulan Al-Quran dan pengambilan ghanimah harta tidak bergerak berupa lahan
pertanian di Iraq dan Syria kepada masyaryakat setempat.Sementara persoalan
persoalan furuiyah yang muncul pada periode ulama mujtahid amat sukar untuk
ditetapkan secara ijma oleh para ulama,karena mereka telah terpencar di berbagai
daerah yang sukar untuk berkomunikasi satu sama lain . Berbeda dengan mass sahabat
di atas,yang semua ulamanya terkonsentrasi di kota madinah,dan komunikasi mereka
berjalan dengan muda dan cepat.
Dalam hal ini yang menjadi argumentasi (hujjah) bukan ijma, melainkan
dalil-dalil nash qothi. Dengan demikian ijma tidak memiliki peran apa-apa karena
ijma bisa di katakan berfungsi jika ia mampu meningkatkan hukum yang
bersifat dhonny menuju Qothi. Hukum-hukum seperti disebutkan di atas seperti
wajibnya shalat, puasa dan sebagainya pada dasarnya sudah bersifatqothi. Kemudian
siapakah orang-orang yang ijmanya bisa diterima? Dan bagaimana kriteria mujtahid
yang ijmanya dapat diterima? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini beliau
imam Syafii membuka dialog dalam kitab Jimaul Ilmu : Siapakah diantara ulama
ijmanya dapat dijadikan hujjah ialah orang-orang yang diakui (diangkat) oleh
penduduk suatu Negara sebgai ahli fiqih yang fatwa-fatwanya dapat diterima oleh
Makalah agama tentang ijma |

penduduk tersebut dengan senang hati. Akan tetapi jawaban tersebut diangkat oleh
imam Syafii, karena tidak ada ulama yang memiliki sifat-sifat diatas walaupun ada
ahli fiqh yang diakui sebagian penduduk dalam suatu negara namun dianggap orang
bodoh yang tidak berhak memberikan fatwa oleh sebagian penduduk lain. Apalagi
ulama yang fatwanya diterima secara bulat oleh seluruh penduduk antar Negara.
Dengan adanya pernyataan-pernyataan diatas beliau Imam Syafii cenderung
menolak ijma dengan alasan-alasan sebagai berikut
1)

Para Fuqoha berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan,

sehingga

mereka tidak mungkin dapat bertemu.


2)

Terjadinya perbedaan pendapat diantara para fuqoha yang tersebar diberbagai


daerah diseluruh Negara-negara Islam.
Tidak ada kesepakatan ulama tentang orang-orang yang diterima ijmanya.

Dengan demikian ijma yang dapat dijadikan argumentasi (Hujjah) hanyalah ijma
para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili dalam suatu jazirah dan
belum berpencar di berbagai negara sehingga memungkinkan terjadinya ijma. Akan
tetapi pada masa tabiin berhubung sudah berpencar di berbagai negara hingga sulit
mengadakan pertemuan diantara mereka. Maka benarlah sesungguhnya jika ulama
mengatakan bahwa tidak ada ijma yang dispakati dan diterima oleh semua ulama,
kecuali ijmanya para sahabat. Dan dapat disimpulkan bahwa masa sekarang ini tidak
mungkin terjadinya ijma.
Ijma yang memiliki kehujjahan sebagai sumber hukum didasarkan pada
sejumlah argumentasi teologis terutama ayat 59 Surah An-Nisa yang didalamnya
terdapat anjuran untuk taat pada Ulil Amri setelah taat kepada Allah SWT dan RasulNya.Ulil Amri dalam ayat tersebut dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti luas
mencakup urursan dunia ( seperti kepala negara,menteri,legislatif,yudikatif,dan
sebagainya) dan pemegang urusan agama seperti para mujtahid,mufti,dan ulama.
Karena itu apabila Ulil Amri telah sepakat dalam status hukum suatu urusan maka
wajib ditaati,diikutui,dan dilaksanakan sebagaimana mentaati ,mengikuti dan
melaksanakan perintah Allah SWT dan Rasul-Nyadalam (QS.An-Nisa[4]:83) :
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang kemauan ataupun
ketakutan,mereka lalu menyiarkannya.(padahal) apabila apabila mereka
Makalah agama tentang ijma |

10

menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,tentulah orang


orang yang ingin mengetahui kebenarannya(akan dapat)mengetahuinya dari
mereka(rasul dan ulil amri).Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat allah kepada
kamu,tentulah kamu mengikut setan,kecuali sebahagian kecilsaja (di antaramu).
Argumentasi teologis kedua yang dijadikan pembenaran kehujjahan
ijmasebagai sumber hukum dalam islam adalah sejumlah hadis Nabi SAW yang
menjelaskan terpeliharanya umat islam dari bersepakat membuat kesalahan dan
kesesatan seperti hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah,yang mengatakan:
Umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan. Hal ini berarti bahwa
kesepakatan yang telah dicapai oleh para mujtahid memiliki kehujjahan yang kuat
sebagai sumber hukum dalam islam dan wajib diikuti oleh umat islam pada
umumnya.
G. Contoh-Contoh Kasus Hukum Yang Didasari Ijma
Diantara kasus hukum yang menjadikkan ijma sebagai dasar hukumnya adalah:
a.

Upaya pembukuan al-Quran yang dilakukan pada masa Kholifah Abu Bakar As

Shidiq r.a.
b.
Pengangkatan Abu Bakar As-Shidiq sebagai kholifah menggantikan Rasulullah
c.

SAW
Menjadikan as Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua setelahal Quran.
Para mujtahid bahkan umat Islam seluruh dunia sepakkat menjadikan as Sunnah
sebagai sumber hukum Islam

Makalah agama tentang ijma |

11

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijma menurut bahasa Arab bererti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu
hal, seperti perkataan seseorang yang bereti kaum itu telah sepakat (sependapat)
tentang yang demikian itu.
Menurut istilah ijma, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum
syara dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai
contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan
seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada
pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan
bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada
permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun
kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat
dikatakan ijma.
Bahw ijma harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau
yang mempunyai kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak dan tidak mungkin
terlepas sama sekali dari kaitan tersebut. Dan alasan ijma harus mempunyai sandaran
adalah:
1. Pertama: bahwa bila ijma tidak mempunyai dalil tempat sandaranya, ijma tidak
akan sampai pada kebenaran.
2. Kedua: bahwa keadaanya sahabat tidak mungkin lebih baik dari pada nabi,
sebagaimana diketahui, Nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali
berdasarkan kepada wahyu.

Makalah agama tentang ijma |

12

3. Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil adalah salah.
Kalau mereka sepakat berbuat begitu berarti mereka sepakat melakukan kesalahan;
4. Keempat: pendapat yang tidak di sandarkan kepada dalil tidak dapat di ketahui
kaitanya kepada hukum Syara. Kalau tidak dapat dihubungkan dengan Syara tidak
wajib diikuti.
Ijma ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma Sharih;
2. Ijma Sukuti
Syarat ijma yaitu:
1. Memiliki pengetahuan tentang Al Quran.
2. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
3.
Memiliki
pengetahuan
tentang

masalah

Ijma

sebelumnya

B. Saran
Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumbersumber Islam (ijma) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat)
adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan demi
kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.

Makalah agama tentang ijma |

13

DAFTAR PUSTAKA
http://mtsfalahulhuda.blogspot.com/2016/26/IJMA.html.
Jahada,S.Ag,M.Pd.I. 2016. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan
Tinggi.Kendari:Universitas Haluoleo.
Mahfud,Rois Drs.H.M.Pd.2010. Al-Islam Pendidikan Agama Islam.Palangka
Raya:Erlangga.
Haroen,Nasrun.2001. Ushul Fiqh 1.Ciputat: Logos Wacana Ilmu.

sSyarifuddin, Amir.1993. Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam.Padang:


Angkasa Raya.

Makalah agama tentang ijma |

14

You might also like