Professional Documents
Culture Documents
oleh
dr. Anita Rachman
Pembimbing:
dr. Muh. Al Asyhar
HALAMAN PENGESAHAN
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. AS
Umur
: 35 tahun
Berat Badan
: 55 kg
Tinggi Badan
: 160 cm
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Karangrejo, Karanganyar
Tanggal masuk
: 14 Agustus 2016
Keluhan Utama
Sesak nafas
memakai semprot lewat mulut dalam 1 bulan belakangan ini. Pasien mengeluh batuk
kadang berdahak. Dahak bewarna bening agak kental keluar sedikit-sedikit.
Bercak darah (disangkal), nyeri dada (disangkal), mual muntah (disangkal). Kalau
pagi udara dingin pasien mengeluh sering meler. Bersin-bersin (+) kalau terkena debu.
Sering mengeluh gatal pada saat udara dingin. Riwayat asma diakui oleh pasien. Ibu
pasien dan anak perempuannya juga mempunyai keluhan serupa.
Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Alergi
: (+)
Riwayat Mondok
Riwayat Alergi
: (+)
Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Keadaan Umum
: Tampak Sesak
Derajat Kesadaran
Status gizi
Tanda vital
Suhu : 36,5oC per aksiler
HR
: 94 x/menit
RR
: 28 x/menit
TD
: 130/80 mmHg
Kepala : mesocephal
Mata
: refleks cahaya (+/+), pupil isokor (+/+), conjungtiva anemis(-/-), sklera ikterik
(-/-), oedem palpebra(-/-)
Mulut
Leher
Cor:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Kiri atas
Kiri bawah
Kanan atas
Pulmo:
Anterior
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Sonor / Sonor
Auskultasi
Posterior
Inspeksi
Palpasi
Abdomen :
: Sonor / Sonor
Auskultasi
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
HASIL
SATUAN RUJUKAN
14.2
46.6
10.5
271
5.00
g/dl
%
ribu/ul
juta/ul
ribu/ul
12.0 16.0
37.0 47.0
5.0-10.0
150 300
4.00 5.00
88.8
29.1
32.8
Fl
Pg
g/dl
82.0 92.0
27.0 31.0
32.0 37.0
7.9
1.0
65
43.1
%
%
%
%
0.5 5.0
0.0 1.0
50.0 70.0
25.0 40.0
Monosit
Gula Darah Sewaktu
2.8
114
%
Mg/dl
3.0 9.0
70-150
V. DATA ABNORMALITAS
Data anamnesis
- Sesak Nafas
- Batuk kadang berdahak bening
- Bersin-bersin jika berdebu
Pemeriksaan Fisik
- KU: Tampak sesak
- Thorak: Auskultasi : Wheezing (+/+), Mengi, Ekspirasi memanjang
Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan lab AL : 10.5 X 103 /ul
VI
ANALISIS
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis asma bronkial sedang pada asma persisten
sedang karena adanya keluhan sesak napas yang timbul bila pasien kecapean, terpapar
debu, dan udara dingin . Bila sesak napas timbul terdapat suara ngik. Sesak terutama
timbul pada malam hari. Gejala sesak napas dirasakan hampir setiap hari dan saat malam
hari > 2 kali dalam sebulan. Sesak napas dirasakan mengganggu aktivitas dan tidur. Hal
ini sesuai dengan kriteria klasifikasi derajat asma persisten sedang berdasarkan gambaran
klinis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ekspirasi memanjang dan mengi pada
lapangan paru kiri. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan
pada pasien asma.
Asma bronkial dicirikan sebagai suatu penyakit kesulitan bernapas, batuk, dada
sesak dan adanya mengi episodik. Gejala asma dapat terjadi secara spontan atau mungkin
diperberat dengan pemicu yang berbeda antar pasien. Frekuensi asma semakin memburuk
di malam hari oleh karena tonus bronkomotor dan reaktivitas bronkus mencapai titik
terendah antara jam 3 4 pagi, meningkatkan gejala bronkokontriksi.
Terapi pengobatan asma meliputi beberapa hal diantaranya yaitu menjaga saturasi
oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi jalan nafas
dengan pemberian bronkodilator inhalasi kerja cepat (beta-2 agonis dan antikolinergik)
dan mengurangi inflamasi saluran napas serta mencegah kekambuhan dengan pemberian
kortikosteroid sistemik lebih awal.
: Asma Bronkial
Etiologi
Komplikasi
: Status Asmatikus
Ip. Dx
Ip.Tx
: Bed Rest
Inf. RL 20 tpm
Nebulizer Ventolin : Flexotid / 8 jam
Inj Methylprednisolon 62,5 mg/ 8 jam
Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
Ambroxol syr 3 x 1 C
Ip. Ex
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanam
: bonam
Ad fungsionam
: bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena hiperaktivitas
terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat
sementara/reversible.4
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang
luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.5
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis,fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang
dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk.
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis
adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada
ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang
kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.1
Status asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat
atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim
diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat,
dengan pengamatan 1-2 jam.6
pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia.
Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan.
Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak
yang bertingkat, bersilia dan bersel goblet.Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang
disekresi sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh
rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan partikel yang halus akan terjerat
dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan
oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan
dibawahnya yang kaya dengan pembuluh darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir
bebas debu,bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembabannya mencapai 100%.6
Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring,
orofaring dan laringofaring. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa
tempat terdapat folikel getah bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah
tonsil kiri dan kanan dari tekak. Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan
masuk ke trakea di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang
dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang
merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Pada saat menelan, gerakan
laring keatas, penutupan dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk
daun berperan untuk mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih bisa
melampaui glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan membantu merngeluarkan
benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.6
Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk seperti kuku
kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan diantara kartilago satu
dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir
yang berbulu getar(sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk
mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri
dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa. Bronkus merupakan lanjutan
dari trakea ada dua buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis ke IV dan V.
Sedangkan tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut
karina. Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang
kuat jika batuk dirangsang.7
Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri
dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri
dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang.
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli (kantung
udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tapi
dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran uadara ,mulai dari
hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi.
Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung lebih banyak sel goblet dan
otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh nervus vagus. Setelah bronkiolus
terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru , yaitu tempat pertukaran gas.
Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis
yang merupakan struktur akhir dari paru.7
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan
keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga proses yang terjadi, yaitu:7
1. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui cabangcabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan karbondioksida dibuang.
Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan
yang tinggi ke tekanan yang rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena
diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan
intra pleura dari 4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi sekitar 8mmHg. Pada
saat yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun 2 mmHg (relatif terhadap tekanan
atmosfir). Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir
kedalam paru sampai tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi
tekanan intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil
sehingga udara mengalir keluar paru.
2. Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran
alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggai tekanan
parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli
mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah.
Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli.
Akibatnya karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli.
3. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan
melalui transportaliran darah. Oksigen dapat masuk ke jaringan melalui dua jalan : pertama
secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin sebagai
oksihemoglobin, sedangkan karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat,
natrium bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah. Satu
gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata
dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1 ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa
O2 = 100% ),bila darah teroksigenasi mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah
masuk ke cairan jaringan karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada
tekanan dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel
sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan dalam sel
mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida dalam jaringan lebih besar
dari pada tekanan dalam darah maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam
darah.7
Fungsi sebagai pengatur keseimbangan asam basa : pH darah yang normal berkisar 7,35
7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0 7,45. Pada peninggian CO 2 baik
karena kegagalan fungsi maupun bertambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak dikompensasi
oleh paru menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah keadaan terjadinya
retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak dibandingkan yang dibebaskan
oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius adalah suatu keadaan PaCO 2 turun akibat
hiperventilasi.7
C. Patogenesis Asma
Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada beberapa dekade
terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena degranulasi sel mast yang terinduksi bahan
alergen, menyebabkan pelepasan beberapa mediator seperti histamin dan leukotrien sehingga
terjadi kontraksi otot polos bronkus. Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan pelepasan mediator
yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran
mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf.8
1. Inflamasi Saluran Napas
Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks, melibatkan
faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi antar sel dan mediator yang membentuk
proses inflamasi kronik dan remodelling.8
polos
saluran
napas.
Reaksi
imunologi
berperan
penting
dalam
patofisiologi
hiperesponsivitas saluran napas melalui pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin (PG),
leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast sedangkan eosinofil akan
melepaskan platelet activating factor (PAF), major basic protein (MBP) dan eosinophyl
chemotactic factor (ECF).8
3. Sel Inflamasi
Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap sel yang tepat
belum pasti.
a. Sel mast
Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast banyak didapatkan pada
saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen saluran napas, dinding alveolus dan
membran basalis. Sel mast melepaskan berbagai mediator seperti histamin, PGD2, LTC4, IL1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, GMCSF, IFN- dan TNF. Interaksi mediator dengan sel lain akan
meningkatkan permeabilitas vaskular, bronkokonstriksi dan hipersekresi mukus. Sel mast
juga melepaskan enzim triptase yang merusak vasoactive intestinal peptide (VIP) dan
heparin. Heparin merupakan komponen penting granula yang berikatan dengan histamin dan
diduga berperan dalam mekanisme antiinflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang
dilepaskan eosinofil. Heparin menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek
alergi dan menurunkan AHR.
b. Makrofag
Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh alergen lewat reseptor IgE afinitas
rendah. Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan alveoli yang diaktivasi oleh
mekanisme IgE dependent sehingga berperan dalam proses infla-masi. Makrofag melepaskan
berbagai mediator antara lain LTB4, PGF2, tromboksan A2, PAF, IL-1, IL-8, IL-10, GMCSF, TNF , reaksi komplemen dan radikal bebas. Makrofag berperan penting sebagai
pengatur proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan sebagai APC yang akan
menghantarkan alergen pada limfosit.
c. Eosinofil
Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-5 dan GMCSF.
Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran khas saluran napas penderita asma dan membedakan
asma dengan inflamasi saluran napas lain. Inhalasi alergen akan menyebabkan peningkatan
jumlah eosinofil dalam kurasan bronkoalveolar (broncho-alveolar lavage = BAL).
Didapatkan hubungan langsung antara jumlah eosinofil darah tepi dan cairan BAL dengan
AHR. Eosinofil berkaitan dengan perkembangan AHR lewat pelepasan protein dasar dan
oksigen radikal bebas. Eosinofil melepaskan mediator LTC4, PAF, radikal bebas oksigen,
MBP, Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dan Eosinophyl Derived Neurotoxin (EDN)
sehingga terjadi kerusakan epitel saluran napas serta degranulasi basofil dan sel mast.
Eosinofil yang teraktivasi menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan
permeabilitas mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang AHR.
d. Neutrofil
Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil menyebabkan kerusakan
epitel akibat pelepasan bahan-bahan metabolit oksigen, protease dan bahan kationik.
Neutrofil merupakan sumber beberapa mediator seperti PG, tromboksan, LTB4 dan PAF.
Neutrofil dalam jumlah besar ditemukan pada saluran napas penderita asma kronik dan berat
selama eksaserbasi atau setelah pajanan alergen. Biopsi bronkus dan BAL menunjukkan
bahwa neutrofil me-rupakan sel pertama yang ditarik ke saluran napas dan yang pertama
berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti.
e. Limfosit T
Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma yang
dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus. Biopsi bronkus penderita asma stabil
mendapatkan limfosit intraepitelial atipik yang diduga merupakan limfosit teraktivasi.
Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan mengeluarkan berbagai sitokin yang
mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi
produksi dan maturasi sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor), memperpanjang masa
hidup eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil.
f. Basofil
Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel yang melepaskan histamin
dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit peningkatan basofil pada saluran napas
penderita asma setelah pajanan alergen.
g. Sel dendrit
Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan memegang
peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel dendrit akan mengambil
alergen, mengubah alergen menjadi peptida dan membawa ke limfonodi lokal yang akan
menyebabkan produksi sel T spesifik alergen. Sel dendrit berasal dari sel progenitor di
sumsum tulang dan sel di bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan
limfe lokal di bawah pengaruh GMCSF.
h. Sel struktural
Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel, miofibroblas dan fibroblas
merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan mediator lipid pada
respons inflamasi kronik. Pada penderita asma jumlah mio fibroblas di bawah membran basal
retikular akan meningkat. Terdapat hubungan antara jumlah miofibroblas dan ketebalan
membran basal retikular.8
4. Mediator Inflamasi
Banyak mediator yang berperan pada asma dan mem-punyai pengaruh pada saluran
napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF, leukotrien dan sitokin yang
dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan kebocoran mikrovaskular,
peningkatan sekresi mukus dan penarikan sel inflamasi. Interaksi berbagai mediator akan
mempengaruhi AHR karena tiap mediator memiliki beberapa pengaruh.8
a. Histamin
Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan basofil. Histamin
mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1 akan
menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas
vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus
glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta
menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast.
b. Prostaglandin
Prostaglandin
(PG)D2dan
PGF2merupakan
bronkokonstrikstor
poten.
Prostaglandin
mempertahankan sel mast dan eosinofil pada saluran napas. Inter-leukin-5 dan GM-CSF
berperan mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13 akan merangsang limfosit B
membentuk IgE.
f. Endotelin
Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel. Merupakan mediator peptida
poten yang menyebabkan vasokonstriksi dan bronkokonstriksi. Endotelin-1 meningkat
jumlahnya pada penderita asma. Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel otot polos
saluran napas, meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi kronik asma.
g. Nitric oxide (NO)
Berbentuk gas reaktif yang berasal dari L-arginin jaringan saraf dan nonsaraf, diproduksi
oleh sel epitel dan makrofag melalui sintesis NO. Berperan sebagai vasodilator,
neurotransmiter dan mediator inflamasi saluran napas. Kadar NO pada udara yang
dihembuskan penderita asma lebih tinggi dibandingkan orang normal.
h. Radikal bebas oksigen
Beberapa sel inflamasi menghasilkan radikal bebas seperti anion superoksida, hidrogen
peroksidase (H2O2), radikal hidroksi (OH), anion hipohalida, oksigen tunggal dan lipid
peroksida. Senyawa tersebut sering disebut senyawa oksigen reaktif. Pada binatang
percobaan, hidrogen peroksida dapat menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas.
Superoksid berperan dalam proses inflamasi dan kerusakan epitel saluran napas penderita
asma. Jumlah oksidan yang berlebihan pada saluran napas akan menyebabkan
bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan kebocoran mikrovaskular serta peningkatan
respons saluran napas. Radikal bebas oksigen dapat merusak DNA, menyebabkan
pembentukan peroksida lemak pada membran sel dan menyebabkan disfungsi reseptor
adrenergik saluran napas.
i. Bradikinin
Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh kalikrein dan
kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran napas dan secara in vitro
merupakan konstriktor lemah. Pada penderita asma bradikinin merupakan aktivator saraf
sensoris yang menyebabkan keluhan batuk dan sesak napas, menyebabkan eksudasi plasma,
meningkatkan sekresi sel epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin dapat merangsang serat
C sehingga terjadi hipersekresi mukus dan pelepasan takikinin.
j. Neuropeptida
Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-related peptide
(CGRP) terletak
di
saraf
bronkokonstriksi,
substan
sensorik saluran
napas.
menyebabkan
kebocoran
Neurokinin A menyebabkan
mikrovaskular
dan
CGRP
D. Patofisiologi asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alegen, virus,
dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur,
yaitu jalur imunologis dan syaraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE,
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE
abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil. Bila sesorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi
IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat
pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik, eosinofil
dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil,
sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga
menyebabkan inflamasi saluran nafas.1
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15 menit
setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel
mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi
terjadi setelah 6-8 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi
seperti eosinofil, sel T, sel mast dan antigen precenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci
fdalam patogenesis asma.1
Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan menbuat epitel saluran napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk
ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut, dan SO 2. Pada keadaan
tersebut, reaksi asma terjadi melalui reflek syaraf. Ujung syaraf eferen vagal mukosa yang
terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A, dan
Calcitonin Gen-Related Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktifasi sel-sel
inflamasi.1
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus
tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektifberatnya
hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus
tersebut antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, dan
inhalasi zat nonspesifik.1
E. Faktor Resiko Asma
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan.1
1. Faktor genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat
yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma
pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan
lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor resiko asma.
Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi
paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang
seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur)
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan
penyedap, pengawet dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin, tetrasiklin,
analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu dapat
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati, penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi
nasihat untuk menyelsaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diobati
maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum
dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti
meningkatkan resiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu.
Sebagaian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktiviatas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan
kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musin kemarau,
musim bunga (serbuk sari beterbangan)
i. Status ekonomi
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menetukan obat yang diperlukan pada
awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan sebagai intermiten,
persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat.
3. Klasifikasi menurut kontrol asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah kontrol
menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun pada asma, hal itu tidak realistis.
Maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya
diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan
kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
4. Klasifikasi menurut gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.
Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat ringannya suatu penyakit.
Pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasikan penyakit
menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat
ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan
(gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis, dan uji faal paru)
serta obat-obat yang digunakan untukmengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat, dan
frekuensi pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermitten, persisten
ringan, persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan danobat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global
initiative for asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan
gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan
menetukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan,
asma serangan sedang, dan asma serangan berat (tabel 2). Dalam hal ini perlu adanya
pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian
berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya
harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas
kesehatan dengan keterbatasan yang ada.1
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa1
Derajat Asma
intermitten
Gejala
Bulanan
Gejala <1x/minggu,
tanpa gejala di luar
Gejala Malam
Faal Paru
2 kali sebulan APE 80%
VEP180% nilai
prediksi APE 80%
serangan
Serangan singkat
Persisten ringan Mingguan
Gejala >1x/minggu,
tetapi <1x/hari
Serangan dapat
menggangu
aktivitas dan tidur
Persisten
sedang
Persisten berat
nilai terbaik
Variabilitas APE <20%
>2 kali sebulan APE >80%
VEP180% nilai
prediksi APE 80%
nilai terbaik
Variabilitas APE 2030%
>2 kali sebulan APE 60-80%
-VEP1 60-80% nilai
prediksi APE 60-80%
nilai terbaik
-Variabilitas APE >30%
Harian
Gejala setiap hari
Serangan
menggangu
aktivitas dan tidur
Bronkodilator setiap
hari
Kontinyu
Sering
Gejala terus
menerus
Sering kambuh
aktivitas fisik
terbatas
APE 60%
VEP1 60% nilai
prediksi APE 60%
nilai terbaik
Variabilitas APE >30%
Bicara
Kesadaran
Frekuensi
napas
Retraksi
otot-otot
bantu napas
Mengi
Frekuensi
nadi
Pulsus
Ringan
Dapat berjalan
Dapat berbaring
Sedang
Jalan terbatas
Lebih suka duduk
Beberapa kalimat
Mungkin
terganggu
Meningkat
Kalimat terbatas
Biasanya
terganggu
meningkat
Umumnya tidak
ada
Berat
Sukar berjalan
Duduk
membungkuk ke
depan
Kata demi kata
Biasanya
terganggu
Sering >30
kali/menit
ada
Lemah sampai
sedang
<100
Keras
Keras
100-120
>120
Tidak ada
Sering ada
paradoksus (<10mmHg)
25mmHg)
(>25mmHg)
APE sesudah >80%
60-80%
<60%
bronkodilato
r (%
prediksi)
PaCO2
<45mmHg
<45mmHg
<45mmHg
SaCO2
>95%
91-95%
<90%
Keterangan: dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus dipenuhi.9
H. Diagnosis Asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani
dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal
untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan
saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh
gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.1
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan
reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu
identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal,
pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat,
namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan
klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma diperlukan
pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.1
1. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan
atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem
atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan
musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat
berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis atau
alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat
bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah,
tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak
barang di kamar tidur. Apakah sesak seperti bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh
serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok, di rumah atau lingkungan kerja,
obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin, atau steroid.1
2. Pemeriksaan klinis
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci, menetukan adanya
episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering
ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada
inspeksi dapat ditemukan: napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan
otot napas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi,
ekspirasi diperpanjang.1,9
3. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai
beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
b. Peak flow meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan
untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani
dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif
(spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena
PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV, untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM
mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat
melakukan pemeriksaan FEV1.
c. X-ray toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
d. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada
kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen
yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE atopi
dilakukan dengan cara radio allergo sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak
dapat dilakukan (pada dermographism).
e. Petanda inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas
penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan
petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat
dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida
nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP)
dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat
menunjukkan gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai
test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen
spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif.
Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di
samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa
partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20m, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi
sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes
provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani,
inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin.1
I. Diagnosis Banding dan Komplikasi Asma
1. Diagnosis banding
a. Bronkitis kronik
Ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk
sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan
harus disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada
pasien berumur lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk
pagi hari, lama kelmaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani.
Pada stadium lanjut, datap ditemukan sianosis dan tanda-tanda cor pulmonal.
b. Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema. Sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada emfisema tidak pernah
ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun,
dan suara napas sangat lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.
c. Gagal jantung kiri akut
Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul pada
malam hari disebut paroxyismal nokturnal dyspnea. Pasien tiba-tiba terbangun pada
malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada
anamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat atau memperingan gejala gagal jantung.
Disamping ortopnea pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.
d. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi, gagal jantung dan
tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien batuk-natuk yang dapat disertai
darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, irama derap,
sianosis, dan hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara
lain aksis jantung ke kanan.
e. Penyakit lainyang jarang
Seperti stenosis trakea, karsinoma bronkus, poliartritis nodusa.
2. Komplikasi asma
a. Pneumothoraks
b. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
c. Atelektasis
d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
e. Gagal napas
f. Bronkitis
g. Fraktur iga
J. Pengobatan Asma
Pengobatan asma menurut GINA (Gobal Initiative For Asthma)
Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul dalam suatu loka karya
Global Initiative For Asthma Management And Preventionyag dikoordinasikan oleh National
Health, Lung And Blood Institute Amerika Serikat dan WHO. Publikasi loka karya tersebut
yang dikenal sebagai GINA diterbitkan pada tahun 1995, dan diperbaharui tahun 1998 dan
2002 dan hampir seluruh dunia mengikuti protokol pengobatan yang dianjurkan. Namun cara
pengobatan tersebut masih mahal bagi negara sedang berkembang. Sehingga masing-masing
negara dianjurkan membuat kebijakan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi serta
lingkungannya.
Ada 6 komponen dalam pengobatan asma, yaitu:
a. Penyuluhan kepada pasien
Penghilang gejala (reliever) yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi bronko konstriksi dan
gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agosnis
beta 2 hirup kerja pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, anti koinergik hirup, teofilin
kerja pendek, agonis beta2 oral kerja pendek.9
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat
terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat mencegah
serangan asma karena kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai penghilang
gejala pada asma periodik.9
Peran kortikosteroid sitemik pada asma akut untuk mencegah perburukan gejala lebih
lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah atau mengurangi frekuensi perawatan di
ruang rawat darurat atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau ipatropium bromida selain dipakai
sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat alternatif
pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping agonos beta 2. Teofilin maupun agonis
beta2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai sediaan hirup.9
Pilihan Lain
Teofilin lepas lambat
Kromolin
Anti leukotrin
- Kortikosteroid hirup
500-1000g BDP atau
ekuivalen + teofilin lepas
lambat atau
- Kortikosteroid hirup
500-1000g BDP atau
ekuivalen + oral LABA
atau
- Kortikosteroid hirup
dosis
lebih
tinggi
>1000g
BDP
atau
ekuivalen
- Kortikosteroid hirup
dosis
lebih
tinggi
>1000g
BDP
atau
ekuivalen + anti leukotrin
Kortikosteroid
hirup
(>1000 g BDP atau
ekuivalen) + LABA satu
atau lebih obat berikut
bila diperlukan
- Teofilin
lepas
lambat
- Anti leukotrin
- LABA oral
- Kortikosteroid
oral
- Anti IgE
DAFTAR PUSTAKA
1. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58;
No.11;Nopember 2008.
2. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar SP, et
al. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In: Shaikh WA. Editor. Principles
And Practice Of Tropical Allergy And Asthma. Mumbai: Vicas Medical Publisher;
2006.707-36
3. Anonim. 2009. Patofisiologi asma.
http://ayosz.wordpress.com/2009/01/07/patofisiologi-asma/
4. Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. Transient Relief Of Asthma
Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of Bilirubin. Department of
Geriatric and Respiratory Medicine, Tohoku University School of Medicine
5. Tanjung, D. 2008. Asma bronhkiale.
http://forbetterhealth.wordpress.com/author/forbetterhealthy/asma-bronkhiale
tanggal 18 Agustus 2016
6. Healthzone. 2008. Asma bronkhiale.
http://puskesmas-oke.blogspot.com/2008/12/asma-bronkial.htmldi
Agustus 2016
akses
diakses
tanggal
18
7. Alsagaff, H., Mukty, A. 2009. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press: Surabaya
8. Rahmawati, I., Yunus, F., Wiyono, WH. 2003. Artikel: Tinjauan Kepustakaan
Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan:
Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003
9. Sukamto, Sundaru, H. 2006. Asma Bronkhiale Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta