Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit inflamasi yang bersifat kronik
dengan karakteristik rasa gatal yang hebat dan sering terjadi kekambuhan (Darsow
et al, 2013). Terdapat berbagai istilah yang digunakan sebagai sinonim dermatitis
atopi seperti eczema atopik, eczema fleksural, neuodermatitis diseminata, dan
prurigo Besnier (Solomon, 2005 ; Sularsito, Djuanda 2011). Dermatitis atopik
menjadi salah satu masalah kesehatan dunia mengingat adanya peningkatan
prevalensi di seluruh dunia (Shaw et al, 2011; Halim et al, 2014). Prevalensi
dermatitis atopik diperkirakan sekitar 15-30% pada anak-anak dan 2-10% pada
dewasa dan insiden dermatitis atopik meningkat dua hingga tiga kali lipat dalam
tiga dekade terakhir di negara industri. Menurut International Study of Asthma
and Allergies in Childhood (ISAAC) prevalensi dermatitis atopik pada anak
bervariasi dari 1 hingga 20% dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Eropa
Utara (Bieber, 2010).
Prevalensi dermatitis atopik pada anak etnis Asia belum banyak
dilaporkan. Angka prevalensi yang dilaporkan adalah 20,1% di Hongkong, 19% di
Jepang dan 20,8% di Singapura (Tabri et al, 2011). Data dari enam rumah sakit di
Indonesia yang memiliki pelayanan dermatologi anak, yaitu RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung, RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP H. Adam Malik
Medan, RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, dan RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang mendapatkan 261 kasus dermatitis atopik dari 2.356 pasien baru pada
tahun 2013, dengan angka kejadian sebesar 11,8% (Morina, 2015). Sedangkan
data di Unit Rawat Jalan Penyakit kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan
jumlah pasien dermatitis atopik mengalami peningkatan, yaitu 116 pasien pada
tahun 2006, tahun 2007 sebanyak 148 pasien dan tahun 2008 sebanyak 230 pasien
(Putri, 2013).
Banyak faktor yang berperan pada dermatitis atopik baik eksogen atau
endogen, maupun kombinasi keduanya. Faktor genetik adalah salah satu faktor
yang berperan pada dermatitis atopik. Faktor eksogen misalnya alergen makanan
dan alergen hirup banyak dilaporkan sebagai pencetus dermatitis atopik (Kunz,
Ring 2000 ; Siregar, 2004 ; Boediardja, 2004). Riwayat atopi (asma, rinitis
alergika, urtikaria) pada penderita sendiri atau keluarganya merupakan salah satu
faktor risiko dermatitis atopik dan juga mempengaruhi beratnya penyakit. Studi
genetik telah mengidentifikasi lebih dari 40 gen yang berhubungan positif dengan
dermatitis atopik. Selain itu, faktor risiko lain yang berkontribusi adalah faktor
lingkungan. Aeroallergen, seperti serbuk sari, tungau, dan bulu binatang, alergen
makanan, detergen, dan sabun diketahui berhubungan dengan dermatitis atopik.
Pada satu penelitian, anak dengan dermatitis atopik memperlihatkan tingkat
sensitisasi terhadap alergen yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak tanpa
penyakit kulit. Tingkat sensitisasi berhubungan langsung dengan tingkat
keparahan dermatitis atopik (Correa dan Nebus, 2012).
Dermatitis atopik biasanya dimulai pada masa bayi, dan nantinya terjadi
kekambuhan yang bersifat kronik dengan karakteristik kulit kering, inflamasi,
likenifikasi, dan pruritus (Kim, 2013; Julian-Gonzales et al, 2012). Tipe dan
lokasi lesi kulit berbeda-beda sesuai dengan usia, durasi, dan perjalanan penyakit.
Dermatitis atopik tipe infantil banyak ditemukan lesi pada wajah, sedangkan tipe
anak terjadi di daerah lipatan siku dan lutut (Julian-Gonzales et al, 2012). Selain
gangguan fisik seperti rasa gatal dan gangguan tidur pada anak, dermatitis atopik
juga dapat menyebabkan masalah emosional dan disfungsi sosial (Brenninkmeijer
et al, 2009). Dermatitis atopik dilaporkan menyebabkan efek negatif terhadap
kualitas hidup anak dan orang tuanya (Ukawa et al, 2013).
Gejala klinis dan perjalanan penyakit dermatitis atopik sangat bervariasi.
Dermatitis atopik dapat menyebabkan perasaan gatal yang dapat mengganggu
penderitanya dan memperlihatkan kemerahan pada kulit serta terbentuknya
vesikel dan mengeluarkan air (Solomon, 2005). Keluhan utama pada dermatitis
atopik yaitu rasa gatal dan rasa sakit yang hebat pada kulit yang diperparah
dengan garukan penderitanya. Epidermis kulit yang terabrasi akibat garukan
memudahkan agen infeksi untuk menginfeksi kulit sehingga penyakit yang timbul
dapat lebih berat (Solomon, 2005).
Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi imunologi
yang diperantarai oleh sel sel yang berasal dari sumsum tulang. Diagnosis
dermatitis atopik didasarkan pada temuan klinis dan uji alergi berdasarkan kriteria
diagnosis Hanifin dan Rajka, skor Svennson, kriteria William, dan Score in Atopik
Dermatitis (SCORAD) (Solomon, 2005 ; Sularsito, Djuanda 2011).
Berdasarkan data 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Tanah Jambo Aye
bulan Agustus tahun 2016, dermatitis menempati urutan kedua setelah ISPA
jumlah kasus sebanyak 286 kasus (Data Puskesmas Tanah Jambo Aye, 2016).
Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa angka kejadian dermatitis atopik
mengalami peningkatan dan merupakan salah satu penyakit kulit terbanyak pada
anak yang menurunkan kualitas hidup anak.
BAB 2
LAPORAN KASUS
4
2.1
Identitas
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Alamat
Suku Bangsa
Agama
No. MR
Tanggal pemeriksaan
2.2
: An. Revan
: Laki-laki
: 1 tahun 8 bulan
: Ds. Rawang Itek, Kec. Tanah Jambo Aye
: Aceh
: Islam
: 07.08.69
: 15 September 2016
Anamnesis
kunjung berkurang. Ibu pasien juga mengaku gatal yang dirasakan tidak
diperberat setelah mengkonsumsi makanan seperti: udang, ayam, telur, mie
instan. Gatal tersebut memberat di malam hari sehingga mengganggu tidur.
Selain itu, pada kaki pasien terdapat bekas ruam yang sudah menghitam.
Pasien mengaku bahwa bekas hitam tersebut dulunya juga sama dengan
keadaan leher dan dadanya saat ini.
4. Riwayat penyakit dahulu : pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan
yang sama.
5. Riwayat penyakit keluarga : ayah pasien memiliki riwayat rhinitis alergi dan
kakak pasien memiliki riwayat alergi makanan seperti daging ayam dan telur
ayam.
6. Riwayat kehamilan dan persalinan
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara (P3A0H3). Selama
kehamilan ibu pasien tidak pernah sakit berat atau rawat inap di rumah sakit.
Riwayat muntah berlebih, tekanan darah tinggi, kejang, asma, diabetes
melitus, infeksi, dan trauma selama kehamilan disangkal. Pasien dilahirkan
secara pervaginam dengan BBL 3000 gram, lahir cukup bulan, atas
pertolongan dukun kampung.
7. Riwayat Nutrisi : pasien mendapatkan ASI ekslusif selama 6 bulan pertama
kelahiran.
8. Riwayat Imunisasi: Ibu mengaku pasien mendapatkan imunisasi lengkap.
9. Riwayat pemakaian obat: krim Nosib 14 gr. Kandungannya As. Salisilat, As.
Benzoat dan Sulfur.
2.3
Pemeriksaan fisik
A. Status Present
a. Keadaan umum : Sakit ringan
b. Kesadaran
: Compos mentis
c. Tanda vital:
a.Nadi
: 100 x/menit.
: 36,8 C
B. Status Gizi
Berat badan
: 11 kg
Tinggi badan
: 86 cm
IMT
: 14,84 kg/m2
Kesan
: Gizi Baik
C. Status Generalis
a. Status dermatologis:
Lokasi
Distribusi: Generalisata
Bentuk
: tidak tegas
Ukuran
: hitam lurus.
b. Fontanela
: datar (+)
c.Mata
d. Telinga
e.Hidung
f. Mulut
c. Leher
a.Pulsasi Vena Jugularis : tidak terlihat
b. Pembesaran kelenjar : tidak ada
c.Kuduk kaku
: tidak diperiksa
d. Massa
: tidak ada
e.Tortikolis
: tidak ada
d. Toraks
a.Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
b. Palpasi
: tidak dilakukan
b. Palpasi
(-)
c.Perkusi : Timpani
d. Auskultasi: Bising usus (+) normal
g. Anogenitalia : Anus dalam batas normal. Genital Laki-laki.
h. Ekstremitas:
2.4
Atas
Bawah
Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang apapun. Anjuran pemeriksaan
penunjang kepada pasien adalah skin prick test untuk menentukan jenis allergen
dan hitung jenis leukosit.
2.5
Diagnosa
a. Diagnosa Banding :
1. Dermatitis atopik
2. Dermatitis kontak alergi
3. Dermatitis kontak Iritan
4. Dermatitis seboroik
b. Diagnosa Kerja: dermatitis atopik
10
2.6
Penatalaksaan
a. Dexamethasone 0,5mg 2x1
b. Cetirizine 10mg 2x1
c. Vitamin C 50mg 2x1
2.7
Prognosis
Quad ad Vitam
: ad bonam
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Definisi
Dermatitis atopik, atau eczema atopik adalah penyakit inflamasi kulit
kronis dan residif yang gatal yang ditandai dengan eritema dengan batas tidak
tegas, edema, vesikel dan medidans pada stadium akut dan penebalan kulit
(likenifikasi) pada stadium kronik dan sering berhubungan dengan peningkatan
kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga dan gangguan atopi lainnya
seperti rhinitis alergika dan spesifik pada kompartemen dermo-epidermal, terjadi
pada kulit atopik yang bereaksi abnormal, dengan manifestasi klinik timbulnya
gatal dan lesi kulit inflamasi bersifat eczematous (Kariosenono, 2006).
11
3.2
Epidemiologi
Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang sering menyerang anak-
anak dengan prevalensi pada anak-anak 10-20% dan prevalensi pada orang
dewasa 1-3% di Amerika, Jepang, Eropa, Australia, dan Negara industri lain.
Sedangkan pada Negara agraris seperti Cina dan Asia Tengah prevalensi
dermatitis atopik lebih rendah. Di Indonesia, angka prevalensi kasus dermatitis
atopik menurut Kelompok Studi Dermatologi Anak (KSDAI) yaitu sebesar
23,67% dimana dermatitis atopik menempati peringkat pertama dari 10 besar
penyakit kulit anak. Dermatits atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada
laki-laki dengan ratio kira-kira 1,3:1 (Sularsito, 2011)
Pada anak, sekitar 45% kasus dermatitis atopik muncul dalam 6 bulan
pertama kehidupan, 60% muncul dalam tahun pertama kehidupan, dan 85% kasus
muncul sebelum usia 5 tahun. Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa
pertumbuhan (early-onset dermatitis atopik). Sebagian besar yaitu 70% kasus
penderita dermatitis atopik anak, akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa.
Namun penyakit ini juga dapat terjadi saat dewasa (late onset dermatitis atopik)
(Bieber, 2010; Bantz, Zhu, Zherg, 2014)
Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Bila seorang ibu menderita atopi
maka lebih dari seperempat anaknya akan menderita dermatitis atopik pada 3
bulan pertama. Bila salah satu orangtua menderita atopi maka lebih separuh
anaknya menderita atopi sampai usia 2 tahun, dan bila kedua orangtua menderita
atopi angka ini meningkat sampai 75% (Sularsito, 2011).
12
3.3
Manifestasi klinik
Gejala utama dermatitis atopik adalah gatal/pruritus yang muncul
sepanjang hari dan memberat ketika malam hari yang menyebabkan insomnia dan
penurunan kualitas hidup. Rasa gatal yang hebat menyebabkan penderita
menggaruk kulitnya sehingga memberikan tanda bekas garukan (scratch mark)
yang diikuti oleh kelainan-kelainan sekunder berupa papula, erosi atau eksoriasi
dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis. Gambaran lesi
eksematous dapat timbul secara akut (plak eritomatosa, prurigo papules,
papulovesikel), subakut (penebalan dan plak eksoriasi), dan kronik (likenifikasi).
Lesi eksematous dapat menjadi erosif bila terkena garukan dan terjadi eksudasi
yang berakhir dengan lesi lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat basah (weeping)
dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan yang lanjut. Gambaran dermatitis
atopik dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan lokalisasinya terhadap usia (Sularsito,
2011; Bieber, 2010; Remitz, 2008).
1.
13
2.
3.
4.
3.4
Diagnosis
Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan pada temuan klinis
14
untuk mendiagnosis dermatitis atopik digunakan uji alergi yaitu uji tusuk (skin
pricktest) dan pemeriksaan kadar IgE total sebagai kriteria diagnosis. Pada tahun
1980 Hanifin dan Rajka mengusulkan suatu kriteria diagnosis dermatitis atopik
yaitu terdiri dari 4 kriteria mayor dan 23 kriteria minor (Sularsito, 2011;
Kariosentono, 2006).
Kriteria Mayor:
1. Pruritus (gatal)
2. Morfologi sesuai umur dan distribusi lesi yang khas
3. Bersifat kronik eksaserbasi
4. Ada riwayat atopi individu atau keluarga
Kriteria Minor:
1. Hiperpigmentasu daerah periorbita
2. Tanda Denni- Morgan
3. Keratokonus
4. Konjungtivitis rekuren
5. Katarak subkapsuler anterior
6. Cheilitis pada bibir
7. White dermatographisme
8. Pitiriasis alba
9. Fissura pre-aurikular
10. Dermatitis di lipatan leher anterior
11. Facial pallor
15
16
a.
b.
17
18
Luas luka (A) diukur dengan menggunakan the rule of nine dengan skala
penilaian 0-100. Tanda-tanda inflamasi (B) pada SCORAD terdiri dari 6 kriteria:
eritema, edema/papul, ekskoriasi, likenifikasi, krusta dan kulit kering yang
masing-masing dinilai dari skala 0-3, Gejala subjektif (C) terdiri dari pruritus dan
gangguan tidur yang masing-masing dinilai dengan visual analogue scale dari
skala 0-10 sehingga skor maksimum unruk bagian ini adalah 20. Formula
SCORAD yaitu A/5 + 7/B + C. Pada formula ini A adalah luas luka (0-100), B
adalah intensitas (0-18) dan C adalah gejala subjektif (0-20). Skor maksimal
SCORAD adalah 10 (Wahyuni, 2014).
19
20
3.5
Diagnosis Banding
Penyakit yang sering menjadi diagnosis banding dermatitis atopik
21
3.6
Penatalaksanaan
Terapi dermatitis
22
terapi penyakit yang terlokalisasi dna ringan, sedangkan fototerapi dan sistemik
digunakan untuk yang lebih luas dan berat (Natalia et al, 2011).
3.6.1
Terapi non-farmakologi
Berbagai makanan seperti susu, ikan ,telur, kacang-kacangan yang dapat
untuk
memaksimalkan
enetrasinya.
Salap
hidrofilik
dengan
23
Hindari pakaian yang terlalu tebal, bahan wol, atau yang kasar karena
dapat mengiritasi kulit . kuku sebaiknya selalu dipotong pendek unutk
menghindari kerusakan kulit (erosi, ekskoriasi) akibat garukan. Gatal dapat
dikurangi dengan emolien ataupun kompres basah (Natalia et al, 2011).
Balut basah dapat diberikan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi
gatal, terutama untuk lesi yang berat dan kronik atau yang refrakter terhadap
pengobatan biasa. Bahan pembalut (kasa balut) dapat diberikan larutan
kortikosteroid atau mengoleskan krim kortikosteroid pada lesi kemudian dibalut
dengan air hangat dan ditutup dengan lapisan/baju kering diatasnya. Cara ini
sebaiknya dilakukan secara intermiten dan dalam waktu tidak lebih dari 2-3
minggu. Balut basah dapat juga dilakukan dengan mengoleskan emolien saja
dibawahnya sehingga memberi rasa dingin dan mengurangi rasa gatal serta
berfungsi sebagai pelindung efektif terhadap garukan sehingga mempercepat
menyembuhan. Bila tidak disertai pelembab, balut basah dapat menambah
kekeringan kulit dan menyebabkan fisura. Penggunaan balut basah yang
berlebihan dapat menyebabkan maserasi sehingga memudahkan terjadinya infeksi
sekunder (Natalia et al, 2011).
3.6.2
Terapi topical
24
dengan baik, mudah digunakan dan harganya tidak senahal terapi alternative
lainnya.
Kortikosteroid dengan potensi rendah cukup bagi anak pada semua lokasi
tubuhnya. Hanya sedikit perbedaan hasil terapi pada penggunaan preparat potensi
lemah jangka pendek dan panjang pada anak dengan derajat penyakit ringan dan
sedang. Efek samping yang dapat terjadi walaupun jarang adalah terhambatnya
pertumbuhan oleh supresi adrenal karena absorbsi sistemik, namun belum ada
bukti
yang
menyatakan
bahwa
penggunaan
kortikosteroid
pada
anak
25
samping seperti rasa terbakar pada kulit, juga eritema dan pruritus. Belum ada
bukti peningkatan risiko hipertensi dan neurotoksik, namun dibutuhkan penelitian
dalam jangka waktu panjang untuk selanjutnya (Natalia et al, 2011).
3.6.2.3 Strategi terapi kombinasi
Internasional consensus conference on atopik dermatitis II (ICCAD II)
merekomendasikan kortikosteroid topical untuk mengatasi eksaserbasi akut/flare
sedangkan inhibitor kalsineurin topikal digunakan secara intermiten untuk terapi
pemeliharaan. Kombinasi kortikosteroid dan antibiotic topical dapat diberikan
pada lesi dengan infeksi ringan. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai
terapi kombinasi dan untuk mendapatkan dosis optimal untuk kombinasi
kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin (Natalia et al, 2011).
3.6.2.4 Ter
Preparat ter batubara mempunyai efek anti-gatal dan anti-inflamasi
walaupn tidak sekuat kortikosteroid topical. Shanpo yang mengandung ter dapat
digunakan untuk lesi di kulit kepala. Preparat ter sebaiknya tidak digunakan pada
lesi akut karena dapat menyebabkan iritasi. Efek samping antara lain folikulitis,
fotosensitivitas dan potensi karsinogenik (Natalia et al, 2011).
3.6.3
Terapi sistemik
26
pada anak, namun sebaiknya tidak lebih dari 1 atau 2 minggu. Penggunaann
dalam jangka waktu lama tidak dianjurkan pada anak.
3.6.3.2 Inhibitor kalsineurin sistemik
Siklosporin oral sebagai terapi sistemik dermatitis atopik tersedia dalam
bentuk kapsul gelatin 25 atau 100 mg. durasi terapi singkat, namun penggunaan
lebih dari satu tahun tidak dianjurkan, relaps dan rekurensi sering terjadi setelah
penghentian terapi siklosporin. Siklosporin merupakan obat golongan C yang
berisiko nefrotoksik, hipertensi dan hyperlipidemia. Efek samping dapat
diminimalisir dengan dosis yang tepat dan durasi singkat. Siklosporin bereaksi
dengan obat-obat lain seperti obat untuk jantung dan hipertensi (diltiazem,
verapamil, diuretic hemat kalium), statin, antbiotik dan antijamur serta obat-obat
inhibitor protease HIV (Natalia et al, 2011).
3.6.3.3 Anti infeksi
Bila terdapat infeksi sekunder oleh kolonisasi Stapilococcus Aureus yang
luas dapat diberikan antibiotic sistemik misalnya sefalosporin atau penisilin yang
resisten terhadap penisilinase. Bila lesinya tidak luas dapat dipakai antibiotic
topical, misalnya asam fusidat atau mupirosin. Eritromisin atau makrolid lainnya
dapat diberikan pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Antijamur topical atau
sistemik dapat diberikan bila ada komplikasi infeksi jamur (Natalia et al, 2011).
3.7
Komplikasi
3.7.1
27
Komplikasi pada mata dapat terjadi pada dermatitis atopik berat dan dapat
menyebabkan morbiditas yang signifikan. Dermatitis kelopak mata dan blefaritis
kronik sering dijumpai pada penderita dermatitis atopik dan dapat menyebabkan
gangguan
penlihatan
serta
terbentuknya
jaringan
parut
pada
kornea.
Infeksi
Infeksi kulit akibat virus rekuren dapat terjadi pada penderita dermatitis
atopik yang merupakan akibat dari defek fungsi sel T. infeksi virus yang paling
serius adalah herpes simpleks, yang dapat mengenai semua usia, mengakibatkan
terjadinya erupsi varisela formis. Kaposi atau eksim herpetikum. Setelah periode
28
inkubasi selama 5-12 hari, lesi gatal, vesikopustular dalam jumlah banyak
mengalami erupsi dalam pola yang menyebar diseluruh tubuh, lesi vesicular ini
umunya menjadi hemoragik dan berkrusta (Goldsmith et al, 2012).
Infeksi jamur superfisial juga banyak dijumpai pada pasien dermatitis
atopik dan dapat memperparah gejala penyakit. Pasien dermatitis atopik
mempunyai prevalensi infeksi Trichophyton Rubrum yang lebih tinggi disbanding
pasien nonatopi (Goldsmith et al, 2012).
3.7.3
Dermatitis eksfoliatif
Pasien dengan lesi kulit yang luas dapat timbul dermatitis eksfoliatif.
3.8
Prognosis
Data dari beberapa survey memperlihatkan adanya variasi prognosis
29
sulit memprediksi seorang anak akan mengalami resolusi atau remisi , meskipun
setelah terjadinya remisi dan resolusi, keadaan kulit kering atau dengan mudahnya
teriritasi dapat menetap atau eksim tangan dapat mengenai individu tersebut
dikemudian hari ( Eichenfield et al, 2015).
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1
Faktor Risiko
4.1.1
Faktor Host
1. Genetik
Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada penderita yang
mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya. Kromosom 5q3133 mengandung
30
kumpulan family gen sitokin IL3, IL4, IL13, dan GM CSF, yang diekspresikan
oleh sel TH2. 3 Ekspresi gen IL4 memainkan peranan penting dalam ekspresi
dermatitis atopik. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen IL4 mempengaruhi
presdiposisi dermatitis atopik. Ada hubungan yang erat antara polimorfisme
spesifik gen kimase sel mas dengan dermatitis atopik, tetapi tidak dengan asma
bronkial atau rhinitis alergik. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa kelainan atopik
lebih banyak diturunkan dari garis keturunan ibu daripada garis keturunan ayah.
Sejumlah survey berbasis populasi menunjukkan bahwa resiko anak yang
memiliki atopik lebih besar ketika ibunya memiliki atopik, daripada ayahnya.
Darah tali pusat IgE cukup tinggi pada bayi yang ibunya atopik atau memiliki IgE
yang tinggi, sedangkan atopik paternal atau IgE yang meningkat tidak
berhubungan dengan kenaikan darah tali pusat IgE.
2. Imunologi
Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi
imunologik, yang diperantai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang.
Beberapa parameter imunologi dapat diketemukan pada dermatitis atopik, seperti
kadar IgE dalam serum penderita pada 60-80% kasus meningkat, adanya IgE
spesifik
terhadap
bermacam
aerolergen
dan
eosinofilia
darah
serta
31
Pada individu yang normal terdapat keseimbangan sel T seperti Th1, Th2,
Th17, sedangkan pada penderita dermatitis atopik terjadi ketidakseimbangan sel
T. Sitokin Th2 jumlahnya lebih dominan dibandingkan Th1 yang menurun. Hal ini
menyebabkan produksi dari sitokin Th 2 seperti interleukin IL4, IL5, dan IL13
ditemukan lebih banyak diekspresikan oleh sel-sel sehingga terjadi peningkatan
IgE dari sel plasma dan penurunan kadar interferon gamma. Dermatitis atopik
akut berhubungan dengan produksi sitokin tipe Th2, IL4 dan IL13, yang
membantu immunoglobulin tipe isq berubah menjadi sintesa IgE, dan menambah
ekspresi molekul adhesi pada sel-sel endotel. Sebaliknya, IL5 berperan dalam
perkembangan dan ketahanan eosinofil, dan mendominasi dermatitis atopik kronis
Imunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan paparan imunogen
atau alergen dari luar yang mencapai kulit. Pada paparan pertama terjadi
sensitisasi, dimana alergen akan ditangkap oleh antigen presenting cell untuk
kemudian disajikan kepada sel limfosit T untuk kemudian diproses dan disajikan
kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC kelas II. Hal ini
menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenai alergen tersebut melalui T cell
reseptor. Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2
karena mensekresi IL4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi
sel plasma dan memproduksi IgE. Setelah ada di sirkulasi IgE segera berikatan
dengan sel mast dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya IgE telah bersedia
pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen dengan IgE.
Ikatan ini akan menyebabkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast akan
mengeluarkan mediator baik yang telah tersedia seperti histamine yang akan
32
33
b.
Pasien tidak menjaga kebersihan diri dimana pasien hanya mandi 1 kali
dalam sehari
c.
Pasien hanya keramas 1 kali dalam seminggu padahal pasien berjalan kaki
pergi kesekolah yang menyebabkan produksi keringat yang berlebihan
d.
Faktor Agen
1.
Alergen makanan
Diperkirakan alergen makanan diabsorpsi melalui usus halus, kemudian
memasuki sirkulasi dan terikat dengan sel mast yang telah tersensitisasi dengan
IgE spesifik di kulit. Interaksi ini akan melepaskan histamin dan mediatormediator lain yang menyebabkan eritema dan pruritus. Hal yang mendukung
perkiraan mekanisme ini adalah pada pasien dermatitis atopic terdapat
peningkatan permeabilitas usus terhadap molekul-molekul makanan yang
berukuran besar. Kemungkinan yang lain adalah mediator-mediator yang
dilepaskan oleh sel mast usus, akan menuju sirkulasi dan menyebabkan reaksi
34
pada kulit dan saluran nafas. Contoh alergen yang berasal dari makanan yaitu susu
sapi, putih telur, kacang, gandum, kedelai dan ikan. Pasien mengaku mengalami
reaksi alergi gatal-gatal setelah mengkonsumsi makanan yaitu: telur, udang, ayam,
mie isntan.
2.
Aeroalergen
Alergen Luar Rumah: pollen dan jamur (Alternaria, Aspergillus,
Cladosporium, dan Penicillium). Alergen dalam rumah: tungau debu rumah, bulu
binatang dan kecoa.
4.1.3
Faktor Lingkungan
1.
daripada status sosial yang rendah, penghasilan meningkat, pendidikan ibu makin
tinggi, migrasi dari desa ke kota dan jumlah keluarga kecil berpotensi menaikkan
jumlah penderita dermatitis atopik.
2.
Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan yang kurang mengenai
perilaku hidup bersih dan sehat akan meningkatkan risiko terjadinya suatu
penyakit. Kebiasaan mandi 1 kali sehari dan mencuci rambut 1 kali seminggu
berhubungan dengan tinkat pengetahuan pasien mengenai personal hygiene yang
rendah. Pasien seorang siswi SMP yang menggunakan kerudung sehari-hari dan
pergi sekolah dengan berjalan kaki. Hal ini meningkatkan terjadi produksi
keringat yang juga mempengaruhi kelembapan daerah kulit kepala, sehingga
mudah terinfeksi jamur. Hal ini berhubungan dengan keluhan ketombe yang sudah
35
dialami pasien selama 1 bulan. Ayah pasien berpendidikan terakhir SMP dan telah
meninggal dunia sejak pasien berumur 3 tahun. Ibu pasien berpendidikan terakhir
SMA dan merupakan seorang kader posyandu di desanya.
4.1.4
a. Dermatitis atopik adalah peradangan kulit yang kronik dan hilang timbul yang
erat kaitannya dengan riwayat atopi pada keluarga atau penderita itu sendiri.
faktor risiko dermatitis atopik adalah genetik, imunologis dan lingkungan.
lingkungan berkontibusi terhadap dermatitis atopik seperti: polusi udara, debu,
tungau, serbuk sari, bulu binatang, jamur, dan lain-lain.
b. Hygiene yang kurang baik juga dapat mempengaruhi terjadinya dermatitis
atopik.
c. Rendahnya tingkat pengetahuan tentang penyakit dermatitis atopik dan
penanganannya dapat menyebabkan keterlambatan penanganan.
d. Keadaan sosial, ekonomi secara langsung dan tidak langsung juga dapat
menyebabkan terjadinya dermatitis atopik.
4.2
Upaya Promotif
Adalah upaya penyuluhan yang bertujuan untuk merubah kebiasaan yang
kurang baik dalam masyarakat agar perilaku sehat dan ikut serta berperan aktif
36
dalam bidang kesehatan. Dalam kasus ini, upaya promotif yang dapat dilakukan
yaitu:
a. Pemberian informasi mengenari Dermatitis Atopik.
b. Edukasi mengenai tindakan yang dapat dilakukan penderita dan keluarga dalam
upaya pencegahan dan menghindari pencetus Dermatitis Atopik.
c. Edukasi mengenai makanan bergizi yang memenuhi kriteria gizi seimbang dan
tidak mahal.
d. Edukasi mengenai cara menjaga personal hygiene (kebersihan diri) tiap anggota
keluarga.
4.3
Upaya Preventif
37
g. Menganjurkan pasien untuk rutin memotong kuku dan jaga tetap bersih dan
pendek. Kuku yang panjang memudahkan terjadinya lecet pada kulit akibat
garukan.
4.4
Upaya Kuratif
Pengobatan secara cepat dan tepat sangat diperlukan untuk mengurangi keluhan
pasien:
a. Penggunaan balut basah
b. Pemberian anti H1 (clorpeniramin maleat, cetirizine atau interhistine)
mengatasi kerusakan kulit salp hidrokortison 1%.
c. Pemberian kortikosteroid sistemik yaitu dexamethasone 0,5mg 2x1
d. Pemberian vitamin dan makanan yang bergizi yang tidak menyebabkan alergi.
4.5
Upaya Rehabilitatif
4.6
Upaya Psikososial
38
39
BAB 5
KESIMPULAN
Dermatitis atopik adalah suatu peradangan kulit kronik dan residif (atau
sekelompok gangguan yang berkitan), yang sering ditemukan pada penderita
rhinitis alergika dan asma serta diantara para anggota keluarga mereka, yang
ditandai dengan kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami
ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural) tubuh. Gatal
merupakan keluhan utama dermatitis atopik disertai dengan keluhan kulit berupa
plak eritema, papul, vesikel, krusta, likenifikasi yang dapat ditemukan pada wajah,
tangan, kulit kepala, hingga seluruh tubuh. Penegakkan diagnosis dermatitis
atopik didasarkan pada temuan klinis dan uji alergi serta uji laboratorium dengan
menggunakan beberapa kriteria diagnosis.
40
DAFTAR PUSTAKA
Bantz SK, Zhu Z, Zheng T 2014. The atopic march: progression from atopic
dermatitis to allergic rhinitis and asthma. J Clin Cell Immunol [online].
[cited
2015
January];
5(2).
Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles /PMC4240310/
Bieber, T.. 2010. Atopic Dermatitis. Annals of Dermatology 22(2): 125-137.
42
Dokumentasi :
43
44
45