You are on page 1of 19

Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan

Miastenia Gravis

Dosen Pengampuh:
Dr. Luluk Widarti S.Kep,Ns. M.Kes
Nama Kelompok :
1.
2.
3.
4.
5.

Lilik Miftachul
M. Sihabumillah Firdaus
Marylla Widyasmin S.
Mezayu Alicia Y.
Nabilla Vironica

(P27820414036)
(P27820414037)
(P27820414038)
(P27820414039)
(P27820414040)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA


PRODI DIII KEPERAWATAN SIDOARJO
2016 - 2017
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan
otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali
lebih lama dari normal). Myasthenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang.
Kelemahan otot yang parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah
komplikasi lain, termasuk kesulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan, bicaracadel,
kelopak mata murung dan kabur atau penglihatan ganda. Myasthenia gravis dapat mempengaruhi
orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para wanita, yaitu wanita berusia
antara 20 dan 40 tahun. Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan jarang terjadi selama masa kanakkanak. Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun, perbandingan antara wanita dan pria
yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Tingkatan usia yang kedua yang paling sering terserang
penyakit ini adalah pria dewasa yang lebih tua. Kematian dari penyakit Miastenia gravis
biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam
perawatan intensif untuk pertahanan sehingga komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan
lebih baik.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini. Sekitar 65%
orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar thymus, dan sekitar
10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker
(malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor
acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan dengan pembentukan
persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa memerlukan pengobatan
berbeda. Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot mata terlebih dahulu terkena, tetapi
85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang, hanya otot-otot mata yang terkena, tetapi
pada kebanyakan orang, kemudian seluruh tubuh terkena, kesulitan berbicara dan menelan dan
kelemahan pada lengan dan kaki yang sering terjadi. Pegangan tangan bisa berubah-ubah antara
lemah dan normal. Otot leher bisa menjadi lemah. Sensasi tidak terpengaruh.
1.2 Rumusan masalah
1.

Bagaimana konsep miastenia gravis?

2.

Bagaimana konsep proses keperawatan pada miastenia gravis?

1.3 Tujuan penulisan


1.

Menjelaskan konsep dan proses keperawatan miastenia gravis.

2.

Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis

1.5 Manfaat penulisan


1.

Mahasiswa mampu dan mengerti tentang miastenia gravis

2.

Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien miastenia gravis

BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia
gravis adalah gangguang yang memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh
yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan
kelemahan otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan
antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat
memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal). (Price dan Wilson, 1995).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya
terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial.
Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita antara
15-35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun.
2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi
pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada
ujung akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan
asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah
dan Ach dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan
ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada
membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan
demikian terjadilah kontraksi otot.
1.

Autoimun : direct mediated antibody

2.

Virus

3.

Pembedahan

4.

Stres

5.

Alkohol

6.

Tumor mediastinum

7.

Obat-obatan :
Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin:
B-blocker (propranolol)

Lithium
Magnesium
Procainamide
Verapamil
Chloroquine
Prednisone
2.3 Patofisisologi
Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan
batang otak mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf-saraf ini mengirimkan
aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan cranial menuju ke perifer. Masing-masing
saraf bercabang banyak sekali dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka.
Gabungan antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit
mototrik. Meskipun setiap neuron mototrik mempersarafi banyak serabut otot, tetapi
setiap serabut otot dipersarafi oleh hanya satu neuron motorik. Daerah khusus yang
merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot disebut sinaps
neuromuskular atau hubungan neuromuscular. Hubungan neuromuskular merupakan
suatu sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga komponen dasar: unsur
presinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200.
Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin
yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson
terminal (bouton). Membran plasma akson terminal disebut membran presinaps. Unsur
postsinaps terdiri dari membrane postsinaps atau lempeng akhir motorik serabut otot.
Membran postsinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema yang
dinamakan alur atau palung sinaps dimana akson terminal menonjol masuk ke dalamnya.
Bagian ini mempunyai banyak lipatan (celah-celah subneural) yang sangat menambah
luas permukaan. Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan mampu
menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan potensial
aksi otot. Pada membrane postsinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat
menghancurkan asetil kolin yaitu asetil kolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang
terdapat antara membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zat
gelatin, dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.

Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membrane akson


terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetil kolin akan dilepaskan dalam
celah sinaps. Asetil kolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor
asetil kolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan
permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion
natrium danp engeluaran ion kalium secara tiba-tiba menyababkan depolarisasi lempeng
akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan
terbentuk potensial aksi dalam membrane otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan
disalurkan sepanjang sarkolema.Potensial ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan
kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi,
asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase. Pada orang normal jumlah
asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi.
Pada Miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin
berkurang yang mungkin dikarenakan cedera autoimun. Pada klien dengan Miastenia
gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada atrofi, maka itu
disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis beberapa kasus dapat
ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi pada otot rangka
tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten.
2.5 Manifestasi Klinis
1)

2)

Kelemahan otot mata dan wajah (hampir selalu ditemukan)

Ptosis

Diplobia

Otot mimik

Kelemahan otot bulbar


Otot-otot lidah

Suara nasal, regurgitasi nasal

Kesulitan dalam mengunyah

Kelemahan rahang yang berat dapat menyebabkan rahang terbuka

Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan batuk dan
tercekik saat minum

Otot-otot leher

Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot ekstensor


3)

Kelemahan otot anggota gerak

4)

Kelemahan otot pernafasan


Kelemahan otot interkostal dan diaphragma menyebabkan retensi CO 2
hipoventilasi menyebabkan kedaruratan neuromuscular
Kelemahan otot faring dapat menyebabkan gagal saluran nafas atas

2.6 Klasifikasi
Klasifikasi
Kelompok

KLINIS
miastenia Hanya menyerang otot otot okular, disertai ptosis dan

okular

diplopia. Sangat ringan, tak ada kasus kematian

Miastenia umum ringan

awitan (onset) lambat, biasanya pada mata, lambat laun


menyebar ke otot otot rangka dan bulbar

Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap


terapi obat baik

Miastenia umum sedang

Angka kematian rendah


Awitan bertahap dan sering disertai gejala gejala
okular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya
seluruh otot otot rangka dan bulbar

Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata


dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot
otot pernapasan tidak terkena

Respons terhadap terapi obat : kurang memuaskan dan


aktifitas klien terbatas, tetapi angka kematian rendah

Miastenia umum berat 1.

Fulminan akut:

Awitan yang cepat dengan kelemahan otot otot rangka dan


bulbar dan mulai terserangnya otot otot pernapasan.
Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6

bulan
Respons terhadap obat buruk
Insiden krisis miastonik, kolinergik, maupun krisis gabungan
keduanya tinggi
Tingkat kematian tinggi
2.

Lanjut :

Miastenia gravis berat timbul paling sedikit dua tahun


setelah awitan gejala gejala kelompok I atau II
Miastenia gravis dapat berkembang secara perlahan atau tiba
tiba
Respons terhadap obat dan prognosis buruk
Miastenia dg kelemahan yg progresif dan terjadi gagal nafas

Krisis miastenia

mengancam jiwa
Kelanjutan dari mistenia generalisata berat
Onset terjadi tiba2 dan biasanya dipicu oleh infeksi saluran
pernafasan atas yg berkembang menjadi bronkhitis atau
pnemoni,pekerjaan fisik yg berlebihan, melahirkan,
2.7 Pemeriksaan diagnostic
1)

Laboratorium
Anti-acetylcholine receptor antibody

85% pada miastenia umum

60% pada pasien dengan miastenia okuler


Anti-striated muscle

Pada 84% pasien dengan timoma dengan usia kurang dari 40 tahun
Interleukin-2 receptor

Meningkat pada MG

Peningkatan berhubungan dengan progresifitas penyakit

2)

Imaging
X-ray thoraks

Foto polos posisi AP dan Lateral dapat mengidentifikasi timoma sebagai


massa mediatinum anterior

CT scan thoraks

Identifikasi timoma

MRI otak dan orbita

Menyingkirkan penyebab lain defisit Nn. Craniales, tidak digunakan secara


rutin.

3)

Pemeriksaan klinis
Menatap tanpa kedip pada suatu benda yang terletak diatas bidang kedua mata
selama 30 dettk, akan terjadi ptosis
Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia
Menghitung atau membaca keras2 selama 3 menit akan terjadi kelemahan pita
suara apabila suara hilang
Tes untuk otot leher dengan mengangkat kepala selama 1 menit dalam posisi
berbaring
Tes exercise untuk otot ekstremitas, dengn mempertahankan posisi saat
mengangkat kaki dengan sudut 45 pada posisi tidur telentang 3 menit, atau
duduk-berdiri 20-30 kali. Jalan diatas tumit atau jari 30 langkah, tes tidurbangkit 5-10 kali

4)

Tes tensilon (edrophonium chloride)


Suntikkan tensilon 10 mg (1 ml) i.v, secara bertahap. Mula-mula 2 mg apabila
perbaikan (-) dlm 45 dtk, berikan 3 mg lagi bila perbaikan (-), berikan 5 mg
lagi. Efek tensilon akan berakhir 4-5 menit
Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung

5)

Tes kolinergik

6)

Tes Prostigmin (neostigmin):


Injeksi prostigmin 1,5 mg im,

dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek muskariniknya seperti


nausea, vomitus, berkeringat. Perbaikan terjadi pada 10-15 menit, mencapai
puncak dalam 30 menit, berakhir dalam 2-3 jam
7)

Pemeriksaan EMNG:
Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo (decrement
respons) > 10% antara stimulasi I dan V. MG ringan penurunan mencapai
50%, MG sedang sampai berat dapat sampai 80%

8) Pemeriksaan antibodi AChR


Antibodi AChR ditemukan pada 85-90% penderita MG generalisata, &0% MG
okular. Kadar ini tidak berkorelasi dengan beratnya penyakit
9) Evaluasi Timus
Sekitar 75% penderita MG didapatkan timus yang abnormal, terbanyak berupa
hiperplasia, sedangkan15% timoma. Adanya timoma dapat dilihat dengan CT scan
mediastinum, tetapi pada timus hiperplasia hasil CT sering normal
10) Pengobatan
Mestinon
Antikolinesterase: menghambat destruksi Ach
Piridostigmin bromide (Mestinon, Regonol). Dosis awal 30-60 mg tiap 6-8 jam
atau setiap 3-4 jam. Dosis optimal bervariasi tigkat kebutuhan mulai 30-120
mg setiap 4 jam. Bila > 120 mg tiap 3 jam dapat menimbulkan Krisis
Kolinergik (G/ : dispneu, miosis, lakrimasi, hipersalivasi, emesis, diare
Neostigmin Bromide (Prostigmin). Kerja lebih pendek. Dosis 15 mg tiap 3-4
jam
Kortikosteroid: Mulai dosis rendah (12-50 mg prednison) dinaikkan pelanpelan sampai respon optimal (maksimal 50-60 mg prednison). Dosis
dipertahankan sampai perbaikan mencapai plateau (biasanya 6-12 bulan),
turunkan dosis sangat pelan-pelan sampai dosis pemeliharaan minimal. Awasi
efek samping obat
Imunosupresan

Obat: azathiprine 1-2,5 mg/minggu Biasanya dipakai bersama prednisone

Obat lain: Cyclosporine, Cyclophosphamide, Mycophenolate mofetil

Intravenous Imunoglobulin

Dosis: 0,4 gr/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut

Pada MG berat

Plasmapharesis

Pada MG berat untuk menghilangkan atau menurunkan antibodi yang beredar


dalam serum penderita
2.8 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang
ditetapkan oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam 10
jam agar dapat bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan
istirahat. Selain itu mereka juga harus menghindari factor-faktor pencetus dan harus
minum obat tepat pada waktunya. Walaupun belum ada penelitian tentang strategi
pengobatan yang pasti, tetapi Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang
paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi
imunomudulasi

merupakan

penatalaksanaan

utama

pada

miastenia

gravis.

Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan


pada

pasien

dengn

miastenia

gravis

generalisata,

perlu

dilakukan

terapi

imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang


dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu
menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita
miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat
memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat
tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan.
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari menghemat kekuatan.
2. Obat antikolinesterase diberikan untuk memperpanjang waktu paruh asetilkolin di
taut neuro moskular. Obat harus diberikan sesuai jadwal seetiap hari untuk
mencegah keletihan dan kolaps otot.
3. Obat anti inflamasi digunakan untuk membatasi serangan autoimun.

4. Krisis miastenik dapat diatasi dengan obat tambahan,dan bantuan pernapasan jika
perlu.
5. Krisis kolinergik diatasi dengan atropin (penyekat asetilkolin) dan bantuan
pernapasan,sampai gejala hilang. Terapi antikolinesisterase ditunda sampaikadar
toksik obatb diatasi.
6. Krisis miastenia dan krisis kolinergik terjadi dengan cara yang sama,namun
diatasi secara berbeda. Pemberian tensilon dilakukan untuk membedakan dua
gangguan tersebut.
2.9 Komplikasi
Krisis miasthenic merupakan suatu kasus kegawatdaruratan yang terjadi bila
otot yang mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat
menyebabkan gagal pernapasan akut dan pasien seringkali membutuhkan respirator
untuk membantu pernapasan selama krisis berlangsung. Komplikasi lain yang dapat
timbul termasuk tersedak, aspirasimakanan, dan pneumonia. Faktor-faktor yang dapat
memicu komplikasi pada pasien termasuk riwayat penyakit sebelumnya (misal,
infeksi virus pada pernapasan), pasca operasi, pemakaian kortikosteroid yang
ditappering secara cepat, aktivitasberlebih (terutama pada cuaca yang panas),
kehamilan, dan stress emosional.
1.

Gagal nafas

2.

Disfagia

3.

Krisis miastenik

4.

Krisis cholinergic

5.

Komplikasi sekunder dari terapi obat


Penggunaan steroid yang lama:
- Osteoporosis, katarak, hiperglikem
- Gastritis, penyakit peptic ulcer
- Pneumocystis carinii

2.10 Prognosis
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari pada orang
dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama

otot-otot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata,
20% mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan
mengalami atrofi otot. Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun,
kemudian berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan 20% antaranya mengalami
remisi. Remisi spontan pada awal penyakit terjadi pada 10% Miastenia gravis.

BAB 3
Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Miastenia Gravis
3.1 Pengkajian
1. Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, dann status
2. Keluhan utama: kelemahan otot
3. Riwayat kesehatan: diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi
klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial
setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh
kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat ada jatuhnya
kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang
kelemahan otot.
4. Pemeriksaan fisik:
B1(breathing) : dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut,
kelemahan otot diafragma
B2(bleeding)

: hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi

B3(brain)

: kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi okular,


jatuhnya mata atau dipoblia

B4(bladder)

: menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya


sensasi saat berkemih

B5(bowel)

: kesulitan mengunyah-menelan, disfagia, dan peristaltik usus


turun, hipersalivasi, hipersekresi

B6(bone)

: gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang berlebih

3.2 Diagnosa keperawatan


1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2. Gangguan persepsi sensori bd ptosis, dipoblia
3. Resiko tinggi cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal

3.3 Intervensi Keperawatan


1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola pernapasan klien
kembali efektif
Kriteria hasil:

Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal

Bunyi nafas terdengar jelas

Respirator terpasang dengan optimal


Intervensi
1. Kaji Kemampuan ventilasi

Rasionalisasi
Untuk klien dengan penurunan kapasitas
ventilasi,

perawat

mengkaji

frekuensi

pernapasan, kedalaman, dan bunyi nafas,


pantau hasil tes fungsi paru-paru tidal,
kapasitas vital, kekuatan inspirasi), dengan
interval yang sering dalam mendeteksi
masalah

pau-paru,

sebelum

perubahan

kadar gas darah arteri dan sebelum tampak


gejala klinik.
2. Kaji kualitas, frekuensi, dan
Dengan
kedalaman

mengkaji

kualitas,

frekuensi, dan kedalaman pernapasan, kita

pernapasan,laporkansetiap perubahan dapatmengetahui sejauh mana perubahan


yang terjadi.

kondisi klien.
3. Baringkan klien dalam posisi yang
Penurunan diafragma memperluas
nyaman dalam posisi duduk
4.

Observasi

(nadi,RR)

tanda-tanda

daerah dada sehingga ekspansi paru bisa


maksimal
vital
Peningkatan
merupakan

indikasi

fungsi paru
2. Gangguan persepsi sensori bd ptosis,dipoblia
Tujuan: Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.

RR

dan

adanya

takikardi
penurunan

Kriteria hasil:

Adanya perubahan kemampuan yang nyata

Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat, orang


Intervensi
1. Tentukan kondisi patologis klien

Rasional
untuk mengetahui tipe dan lokasi

yang mengalami gangguan.


2. Kaji gangguan penglihatan terhadap
untuk mempelajari kendala yang
perubahan persepsi

berhubungan dengan disorientasi klien.


3. Latih klien untuk melihat suatu
agar klien tidak kebingungan dan
obyek dengan telaten dan seksama

lebih berkonsentrasi.
4. Observasi respon perilaku klien,
untuk mengetahui keadaan emosi
seperti

menangis,

bahagia, klien

bermusuhan, halusinasi setiap saat.


5. Berbicaralah dengan klien secara

memfokuskan

perhatian

klien,

tenang dan gunakan kalimat-kalimat sehingga setiap masalah dapat dimengerti.


pendek.
3. Resiko tinggi cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak optimal
Tujuan: Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam kemungkinan
cedera.
Kriteria hasil:
-

Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan

melindungi diri dari cedera.


Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan keamanan

Intervensi
Rasionalisasi
1. Kaji kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam melakukan
melakukan aktivitas
intervensi selanjutnya
2. Atur cara beraktivitas klien sesuai Sasaran klien adalah
kemampuan

kekuatandan

daya

memperbaiki

tahan.

Menjadi

partisipan dalampengobatan, klien harus


belajar

tentang

fakta-faakta

dasar

mengenai

agen-agenan

tikolinesterase,

kerja, waktu, penyesuaian dosis, gejalagejala kelebihan dosis, dan efek toksik.
Dan

yang

penting

pada

pengguaan

medikasi dengan tepat waktua dalah


ketegasan.
3. Evaluasi Kemampuan aktivitas Menilai singkat keberhasilan dari terapi
motorik

yang boleh diberikan

3.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan atau tindakan keperawatan merupakan tindakan yang
dilakukan sesuai dengan intervensi atau rencana tindakan yang sudah dibuat sebelumnya.
Pelaksanaan implementasi dapat berupa tindakan mandiri maupun kolaboratif.
3.5 Evaluasi Keperawatan
1.

Dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi,pola pernafasan klien


kembali efektif .

2.

Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.

3.

Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko


dan melindungi diri dari cedera.

4.

Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu


mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat

5.

Klien mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat


tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi.

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan otototot secara cepat dengan lambatnya pemulihan. Myasthenia gravis dapat mempengaruhi orangorang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para wanita sehingga kita sebagai
perawat harus bisa menentukan diagnosa keperawatan terhadap pasien dengan myastenia gravis
serta perlu melakukan beberapa tindakan dan asuhan kepada pasien dengan masalah tersebut.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis
dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari
sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Gejala klinis miastenia gravis antara lain; Kelemahan
pada otot ekstraokular atau ptosis, Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin
memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher,
hingga ke otot ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter
sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara.
Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air,
mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.

DAFTAR PUSTAKA
Doenges, E. M (2000), Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian, ed.
3, EGC, Jakarta.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2. EGC.jakarta.
Ramali, A.( 2000 ). Kamus Kedokteran. Djambatan, Jakarta.
Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16: Page:
519-534.1984.
Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms and
Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.
Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press. Page:
301-305. 1991.
http://www.scribd.com/doc/32307115/Miastenia-Gravis-By-Susilo-Eko-Putra
http://www.scribd.com/doc/76131269/Asuhan-Keperawatan-Myasthenia-Gravis

You might also like