You are on page 1of 32

MAKALAH KINETIKA KIMIA DAN KATALISIS

"PEMBUATAN SABUN LUNAK DARI MINYAK GORENG


BEKAS DITINJAU DARI KINETIKA REAKSI KIMIA"

Oleh :
KELOMPOK I
ZULFAJARI
RISMA AHCMAD
MUHAMMAD AL MUSTAWA
ANDI NUR IFAH DEWI
ANDI FHARADYBA HARIS
WINI NAFISYAH

H311 14 005
H311 14 007
H311 14 009
H311 14 501
H311 14 503
08031281419020

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan
makalah tentang aplikasi kinetika kimia yang berjudul Pembuatan Sabun Lunak
Dari Minyak Goreng Bekas Ditinjau Dari Kinetika Reaksi Kimia ini sebatas
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu
Dr. Paulina Taba, M.Phil selaku Dosen mata kuliah Kinetika Kimia dan Katalisis
yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai aplikasi kinetika kimia dalam kehidupan
sehari-hari. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat
kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Makassar, 06 Oktober 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Tujuan Makalah....................................................................................................2
1.3 Rumusan Masalah................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Minyak Goreng....................................................................................................3
2.2 Jenis Jenis Minyak Goreng...............................................................................4
2.3 Sifat Sifat Minyak Goreng................................................................................6
2.4 Minyak Goreng Bekas..........................................................................................8
2.5 Kerusakan Minyak Goreng..................................................................................10
2.6 Pemurnian Minyak Goreng Bekas.......................................................................12
2.7 Sabun....................................................................................................................13
2.8 Jenis Jenis Sabun...............................................................................................15
2.9 Sifat Sifat Sabun................................................................................................16
2.10 Kinetika Reaksi Kimia Saponifikasi..................................................................17
2.11 Aplikasi Kinetika Kimia.....................................................................................18
2.11.1 Metodologi..................................................................................................18
2.11.2 Penelitian yang telah dilakukan..................................................................19
2.11.3 Penelitian yang telah dilakukan saat ini.....................................................20
2.11.4 Hasil dan Pembahasan................................................................................21
2.11.4.1 Pengaruh Jumlah KOH Dan Waktu Pengadukan terhadap Sabun Lunak
yang dihasilkan dari Minyak Goreng Bekas.......................................21
2.11.4.2 Pengaruh Jumlah KOH Dan Waktu Pengadukan terhadap Kadar Air
yang terdapat pada Sabun Lunak........................................................21
2.11.4.3 Pengaruh Jumlah KOH Dan Waktu Pengadukan terhadap Alkali Bebas
yang terdapat pada Sabun Lunak........................................................22
2.11.4.4 Pengaruh Jumlah KOH Dan Waktu Pengadukan terhadap Minyak
Mineral yang terdapat pada Sabun Lunak..........................................23
2.11.4.5 Pengaruh Jumlah KOH Dan Waktu Pengadukan terhadap Derajat
Keasamaan (pH) yang terdapat pada Sabun Lunak............................23
2.11.4.6 Kinetika Reaksi Kimia Saponifikasi...................................................24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................28

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Minyak goreng memegang peranan yang sangat penting dalam pengolahan
produk pangan. Hal ini mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat dari
tahun ke tahun. Konsumen minyak goreng terbesar adalah industri makanan,
restoran, dan hotel. Setelah digunakan berulang-ulang selanjutnya minyak goreng
tersebut menjadi minyak goreng bekas. Sebenarnya minyak goreng bekas tersebut
masih dapat dimanfaatkan kembali setelah dilakukan proses pemurnian ulang
(reprosesing), namun karena keamanan pangan mengkonsumsi minyak goreng hasil
reprosesing masih menjadi perdebatan sengit akibat adanya dugaan senyawa akrolein
yang bisa menyebabkan keracunan bagi manusia, maka alternatif lainnya adalah
dengan memanfaatkannya sebagai bahan baku industri non-pangan seperti sabun
lunak (Naomi, dkk., 2013).
Sabun dibuat melalui proses saponifikasi lemak minyak dengan larutan alkali
membebaskan gliserol. Lemak minyak yang digunakan dapat berupa lemak hewani,
minyak nabati, lilin, ataupun minyak ikan laut. Pada saat ini teknologi sabun telah
berkembang pesat. Sabun dengan jenis dan bentuk yang bervariasi dapat diperoleh
dengan mudah di pasaran seperti sabun mandi, sabun cuci baik untuk pakaian
maupun untuk perkakas rumah tangga, hingga sabun yang digunakan dalam industri.
Kandungan zat-zat yang terdapat pada sabun juga bervariasi sesuai dengan sifat dan
jenis sabun. Larutan alkali yang digunakan dalam pembuatan sabun bergantung pada
jenis sabun tersebut. Larutan alkali yang biasa yang digunakan pada sabun keras

adalah Natrium Hidroksida (NaOH) dan alkali yang biasa digunakan pada sabun
lunak adalah Kalium Hidroksida (KOH) (Naomi, dkk., 2013).
Kinetika kimia adalah suatu ilmu yang membahas tentang laju (kecepatan)
dan mekanisme reaksi. Berdasarkan penelitian yang mulamula dilakukan oleh
Wilhelmy terhadap kecepatan inversi sukrosa, ternyata kecepatan reaksi berbanding
lurus dengan konsentrasi/tekanan zatzat yang bereaksi. Laju reaksi dinyatakan
sebagai perubahan konsentrasi atau tekanan dari produk atau reaktan terhadap waktu.
Berdasarkan dari berbagai teori diatas dimana sabun dapat dibuat dari minyak goreng
dengan adanya kinetika reaksi kimia.
1.2 Tujuan Makalah
Tujuan dari makalah ini yaitu untuk mengetahui dan mempelajari bagaimana
pembuatan sabun lunak dari minyak goreng bekas ditinjau dari kinetika reaksi kimia.
1.3 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Apa yang dimaksud dengan minyak goreng ?


Bagaimanakah jenis dan sifat dari minyak goreng ?
Apa yang dimaksud dengan minyak goreng ?
Bagaimanakah tanda-tanda kerusakan dari minyak goreng ?
Bagaimana cara pemurnian minyak goreng bekas/ jelantah ?
Apa yang dimaksud dengan sabun ?
Bagaimanakah jenis dan sifat dari sabun ?
Bagaimana kinetika reaksi kimia dalam pembuatan sabun lunak ?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Goreng

Minyak goreng adalah minyak yang dipakai untuk menggoreng, seperti


minyak kelapa, minyak jagung, minyak kacang. Minyak goreng tersusun atas asam
lemak berbeda yaitu sekitar dua puluh jenis asam lemak. Setiap minyak atau lemak
tidak ada yang hanya tersusun atas satu jenis asam lemak, karena minyak atau lemak
selalu ada dalam bentuk campuran dari berberapa asam lemak. Asam lemak yang
dikandung oleh minyak sangat menentukan mutu dari minyak, karena asam lemak
tersebut menentukan sifat kimia dan stabilitas minyak (Noriko, dkk., 2012).
Berikut ini disajikan jenis-jenis asam lemak yang terdapat pada minyak nabati
yang dapat digunakan untuk menggoreng (Tabel 1) (Noriko, dkk., 2012)..
Tabel 1. Komposisi Beberapa Asam Lemak dalam Tiga Minyak Nabati
Jumlah
Minyak
Minyak
Minyak
Asam Lemak
Atom
Sawit (%)
Inti (%)
Kelapa (%)
Asam Lemak Jenuh :
Oktanoat
8
2-4
8
Dekanoat
10
3-7
7
Laurat
12
1
41-55
48
Miristat
14
1-2
14-19
17
Palmitat
16
32-47
6-10
9
Stearat
18
4-10
1-4
2
Asam Lemak Tidak Jenuh :
Oleat
18
Linoleat
18
Linoleat
18
Sumber : Majalah Sasaran No. 4 1995

38-50
5-14
1

10-20
1-5
1-5

6
3
-

Syarat mutu minyak goreng yang dipakai oleh masyarakat, harus berdasarkan
Departemen Perindustrian seperti yang disajikan pada Tabel 2. Hal ini disebabkan,
minyak goreng yang digunakan dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan
(Noriko, dkk., 2012).
Tabel 2. Syarat Mutu Minyak Goreng
Kriteria Uji

Satuan

Syarat

Keadaan bau, warna dan rasa


Air
Asam lemak bebas
(dihitung
sebagai
asam
laurat)
Bahan makanan tambahan

% b/b

Normal
Maks 0,30

% b/b

Maks 0,30

Sesuai SNI. 022-M dan Permenkes No.


772/Menkes/Per/IX/88

Cemaran Logam :
- Besi (Fe)
mg/kg
- Tembaga (Cu)
mg/kg
- Raksa (Hg)
mg/kg
- Timbal (Pb)
mg/kg
- Timah (Sn)
mg/kg
- Seng (Zn)
mg/kg
Arsen (As)
% b/b
Angka Peroksida
% mg 02/g
Sumber : Departemen Perindustrian (SNI 01-3741-1995)
)* Dalam kemasan kaleng

Maks 1,5
Maks 0,1
Maks 0,1
Maks 40,0
Maks 0,005
Maks 40,0/250,00)*
Maks 0,1
Maks 1

Diantara ke semua jenis minyak, hanya minyak goreng sawitlah yang paling
terkenal karena harganya terjangkau dan dapat digunakan untuk menggoreng apapun.
Minyak sawit terdiri dari persenyawaan trigliserida dan non-trigliserida. Komponen
utama trigliserida terdiri dari gliserol yang berikatan dengan asam lemak jenuh dan
tidak jenuh.
2.2 Jenis Jenis Minyak Goreng
Minyak goreng dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan (Ketaren, 2005)
yaitu :
Berdasarkan sifat fisiknya, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Minyak tidak mengering (non drying oil)
a. Tipe minyak zaitun, yaitu minyak zaitun, minyak buah persik, inti peach dan
minyak kacang.
b. Tipe minyak rape, yaitu minyak biji rape, dan minyak biji mustard.

c. Tipe minyak hewani, yaitu minyak babi, minyak ikan paus, salmon, sarden,
menhaden jap, herring, shark, dog fish, ikan lumba-lumba, dan minyak
purpoise.
2. Minyak nabati setengah mengering (semi drying oil), misalnya minyak biji kapas,
minyak biji bunga matahari, kapok, gandum, croton, jagung, dan urgen.
3. Minyak nabati mengering (drying oil), misalnya minyak kacang kedelai, biji
karet, safflower, argemone, hemp, walnut, biji poppy, biji karet, perilla, tung,
linseed dan candle nut.
Berdasarkan sumbernya dari tanaman, diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Biji-bijian palawija, yaitu minyak jagung, biji kapas, kacang, rape seed,
wijen, kedelai, dan bunga matahari.
b. Kulit buah tanaman tahunan, yaitu minyak zaitun dan kelapa sawit.
c. Biji-bijian dari tanaman tahunan, yaitu kelapa, cokelat, inti sawit, cohume.
Berdasarkan ada atau tidaknya ikatan ganda dalam struktur molekulnya,
yakni:
a. Minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acids)
Asam lemak jenuh antara lain terdapat pada air susu ibu (asam laurat) dan
minyak kelapa. Sifatnya stabil dan tidak mudah bereaksi/berubah menjadi
asam lemak jenis lain.
b. Minyak dengan asam lemak tak jenuh tunggal (mono-unsaturated fatty
acids/MUFA) maupun majemuk (poly-unsaturated fatty acids).
Asam lemak tak jenuh memiliki ikatan atom karbon rangkap yang mudah
terurai dan bereaksi dengan senyawa lain, sampai mendapatkan komposisi

yang stabil berupa asam lemak jenuh. Semakin banyak jumlah ikatan rangkap
itu (poly-unsaturated), semakin mudah bereaksi/berubah minyak tersebut.
2.3 Sifat Sifat Minyak Goreng
Sifat-sifat minyak goreng dibagi menjadi sifat fisik dan sifat kimia (Ketaren, 2005),
yakni:
Sifat Fisik
1. Warna
Terdiri dari 2 golongan, golongan pertama yaitu zat warna alamiah, yaitu secara
alamiah terdapat dalam bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama
minyak pada proses ekstrasi. Zat warna tersebut antara lain dan karoten
(berwarna kuning), xantofil (berwarna kuning kecoklatan), klorofil (berwarna
kehijauan) dan antosyanin (berwarna kemerahan). Golongan kedua yaitu zat warna
dari hasil degradasi zat warna alamiah, yaitu warna gelap disebabkan oleh proses
oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E), warna coklat disebabkan oleh bahan untuk
membuat minyak yang telah busuk atau rusak, warna kuning umumnya terjadi pada
minyak tidak jenuh.
2. Odor dan flavor, terdapat secara alami dalam minyak dan juga terjadi karena
pembentukan asam-asam yang berantai sangat pendek.
3. Kelarutan, minyak tidak larut dalam air kecuali minyak jarak (castor oil), dan
minyak sedikit larut dalam alkohol, etil eter, karbon disulfida dan pelarut-pelarut
halogen.
4.

Titik cair dan polymorphis, minyak tidak mencair dengan tepat pada suatu nilai
temperatur tertentu. Polymorphism adalah keadaan dimana terdapat lebih dari
satu bentuk kristal.

5. Titik didih (boiling point), titik didih akan semakin meningkat dengan bertambah
panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut.
6. Titik lunak (softening point), dimaksudkan untuk identifikasi minyak tersebut.
7. Sliping point, digunakan untuk pengenalan minyak serta pengaruh kehadiran
komponen-komponennya.
8. Shot melting point, yaitu temperatur pada saat terjadi tetesan pertama dari minyak
atau lemak.
9. Bobot jenis, biasanya ditentukan pada temperatur 25 C , dan juga perlu
dilakukan pengukuran pada temperatur 40 C.
10. Titik asap, titik nyala dan titik api, dapat dilakukan apabila minyak dipanaskan.
Merupakan kriteria mutu yang penting dalam hubungannya dengan minyak yang
akan digunakan untuk menggoreng.
11. Titik kekeruhan (turbidity point), ditetapkan dengan cara mendinginkan
campuran minyak dengan pelarut lemak.
Sifat Kimia
1. Hidrolisa, dalam reaksi hidrolisa, minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas
dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat menyebabkan kerusakan minyak atau
lemak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak tersebut.
2. Oksidasi, proses oksidasi berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen
dengan minyak. Terjadinya reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau tengik pada
minyak dan lemak.
3. Esterifikasi, proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak dari
trigliserida dalam bentuk ester. Dengan menggunakan prinsip reaksi ini

hidrokarbon rantai pendek dalam asam lemak yang menyebabkan bau tidak enak,
dapat ditukar dengan rantai panjang yan bersifat tidak menguap.
4. Hidrogenasi, proses hidrogenasi bertujuan untuk menumbuhkan ikatan rangkap
dari rantai karbon asam lemak pada minyak.
2.4 Minyak Goreng Bekas
Menurut Aisyah, dkk., (2010), minyak bekas merupakan minyak yang sudah
tidak layak konsumsi. Warnanya biasanya gelap, menimbulkan rasa gatal pada
tenggorokan. Mutu minyak bekas sudah sangat rendah karena adanya kandungan
senyawa peroksida dan asam lemak bebas yang tinggi. Standar Nasional Indonesia
(SNI)-3741-1995 memberikan batasan terhadap angka peroksida yang berbahaya
untuk konsumsi yaitu standar maksimal untuk angka peroksida adalah 2 meq/kg.
Minyak yang telah rusak mempunyai angka peroksida serta asam lemak bebas yang
tinggi. Apabila dicampurkan dengan minyak baru maka dapat meningkatkan angka
peroksida dan asam lemak bebas dari minyak tersebut. Angka peroksida yang
meningkat dapat menurunkan mutu minyak goreng, sehingga kualitas makanan
jajanan yang digoreng menggunakan minyak tersebut juga rendah bahkan dapat
membahayakan kesehatan (Tarigan, dkk., 2007).
Jelantah adalah minyak goreng yang telah berulang kali digunakan. Jelantah
berwarna coklat kehitaman, bau tengik, kaya akan asam lemak bebas, sehingga
menyebabkan potensi kanker meningkat (Viantini dan Yustinah, 2015).
Minyak jelantah (waste cooking oil) adalah minyak yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan seperti sawit, jagung, minyak sayur dan minyak samin yang telah
digunakan sebagai minyak goreng. Menurut Ramdja, dkk., (2010), minyak goreng
merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sering digunakan oleh masyarakat saat

ini, baik itu dalam skala rumah tangga maupun skala industri atau pabrik. Hal ini
mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Dengan meningkatnya
konsumsi minyak goreng maka minyak goreng tersebut akan menjadi minyak goreng
bekas yang jika tidak di daur ulang akan menjadi limbah yang mencemari lingkungan
(Wati, dkk., 2016).
Minyak jelantah bisa dipakai kembali dalam keadaan bersih tanpa kotoran,
dengan menggunakan ampas tebu sebagai bahan penyerap. Bahan penyerap tebu
yang sudah dijadikan partikel bisa langsung digunakan dengan mudah oleh ibu-ibu
rumah tangga untuk memproses minyak jelantah menjadi minyak layak pakai. Ampas
tebu dalam analisa berfungsi sebagai bahan penyerap yang bagus (Ramdja, dkk.,
2010).
Minyak jelantah mempunyai kandungan asam lemak bebas yang cukup
tinggi. Oleh karena itu untuk menurunkan angka asam, pada umumnya diperlukan 2
(dua) tahap konversi minyak jelantah menjadi biodiesel, yaitu proses esterifikasi dan
transesterifikasi (Hambali, dkk, 2008). Kelemahan proses ini adalah terjadinya yaitu
memerlukan biaya produksi yang blocking reaksi pembentukan biodiesel, yaitu
metanol yang seharusnya bereaksi dengan trigliserida terhalang oleh reaksi
pembentukan sabun, sehingga konsumsi methanol naik 2 (dua) kali lipat, katalis
diperlukan dalam jumlah besar, sulitnya memisahkan biodiesel dengan gliserol akibat
terbentuknya sabun sehingga rendamen yang dihasilkan menurun. Hal ini dapat
mengurangi kualitas biodiesel yang dihasilkan (Setiawan dan Edwar, 2012).
Asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak jelantah merupakan
penyebab kerusakan pada minyak. Salah satu cara menghilangkan sumber-sumber
penyebab kerusakan minyak adalah dengan menggunakan teknologi mikrofiltrasi.

Mikrofiltrasi bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan padatan tersuspensi


dan senyawa organik seperti protein karbohidrat, dan asam lemak bebas (Nasir dkk,
2002).
2.5 Kerusakan Minyak Goreng
Tanda awal dari kerusakan minyak goreng adalah terbentuknya akrolein,
terbentuk dari hidrasi gliserol yang membentuk aldehida tidak jenuh. Kerusakan
minyak lainnya adalah reaksi oksidasi pada minyak yang mula-mula akan
membentuk peroksida dan hidroperoksida, kemudian selanjutnya akan terkonversi
menjadi aldehida, keton dan asam-asam lemak bebas. Rancidity (ketengikan)
terbentuk oleh adanya aldehida, bukan terbentuk oleh adanya peroksida. Jadi
kenaikan angka peroksida (PV) merupakan indikator bahwa minyak sebentar lagi
akan berbau tengik (Ketaren, 1986).
Kerusakan minyak akan mempengaruhi kualitas dan nilai gizi makanan yang
digoreng. Pemanasan minyak goreng dengan suhu yang sangat tinggi akan
menyebabkan sebagian minyak teroksidasi. Minyak yang rusak akibat proses
oksidasi akan menghasilkan makanan berwarna kurang menarik dan rasa yang tidak
enak, serta kerusakan beberapa vitamin dan asam lemak esensial di dalam minyak.
Proses oksidasi tersebut terjadi saat minyak tersebut mengalami kontak dengan
sejumlah oksigen. Reaksi oksidasi juga akan menimbulkan bau tengik pada minyak
dan lemak. Selain menimbulkan bau tengik, radikal bebas juga dapat terbentuk akibat
oksidasi yang mempunyai dampak merusak sel dan jaringan tubuh. Hal ini
disebabkan radikal bebas bersifat sangat reaktif (Noriko, dkk., 2012).
Kerusakan minyak, umumnya terjadi karena : (1) Penyerapan bau. Lemak
bersifat mudah menyerap bau dan lemak yang terserap dapat teroksidasi oleh udara

sehingga rusak dan berbau; (2) Hidrolisis. Adanya air mengakibatkan lemak
terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Reaksi ini dipercepat oleh basa, asam,
dan enzim-enzim. Hidrolisis menurunkan mutu minyak goreng, akibatnya asam
lemak bebas bertambah dan harus dihilangkan dengan proses pemurnian dan
deodorisasi; (3) Oksidasi dan ketengikan, disebabkan oleh proses otooksidasi radikal
asam lemak tidak jenuh dalam minyak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan
faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak
atau hidroperoksida, logam-logam berat, dan enzim-enzim lipoksidase; (4)
Polimerisasi; pembentukan suatu senyawa polimer selama proses menggoreng terjadi
karena reaksi polimerisasi adisi dari asam lemak tidak jenuh, mudah terjadi pada
minyak yang mengandung asam-asam lemak tidak jenuh dalam jumlah besar
(Ketaren, 1986).
Warna akibat oksidasi dan degradasi komponen kimia yang terdapat dalam
Minyak : (1) Warna gelap, disebabkan oleh proses oksidasi terhadap tokoferol
(Vitamin E). jika minyak bersumber dari tanaman hijau, maka zat klorofil turut
terekstrak bersama minyak, dan sulit dipisahkan dari minyak; (2) Warna Coklat,
pigmen coklat terdapat pada minyak berasal dari bahan yang telah busuk, karena
reaksi molekul karbohidrat dengan gugus pereduksi seperti aldehid serta gugus amin
dari molekul protein dan disebabkan oleh karena aktivitas enzim-enzim seperti
phenol oxidase, polyphenol oxidase, dan sebagainya. (3) Warna Kuning, timbul
selama penyimpanan dan intensitas warna bervariasi dari kuning sampai ungu
kemerah-merahan (Ketaren,1986).

2.6 Pemurnian Minyak Goreng Bekas


Pemurnian merupakan tahap pertama dari proses pemanfaatan minyak goreng
bekas, yang hasilnya dapat digunakan sebagai minyak goreng kembali atau sebagai
bahan baku produk untuk pembuatan sabun cair. Tujuan utama pemurnian minyak
goreng ini adalah menghilangkan rasa serta bau yang tidak enak, warna yang kurang
menarik dan memperpanjang daya simpan sebelum digunakan kembali (Naomi, dkk,
2013).
Pemurnian minyak goreng bekas ini meliputi 3 tahap proses, yaitu :
1. Penghilangan Bumbu (Despicing), merupakan proses pengendapan dan
pemisahan kotoran akibat bumbu dan kotoran dari bahan pangan yang
bertujuan menghilangkan partikel halus tersuspensi atau terbentuk koloid
seperti protein, karbohidrat, garam, gula, serta bumbu rempah-rempah yang
digunakan menggoreng bahan pangan tanpa mengurangi jumlah asam lemak
bebas dalam minyak (Winarno, 1997);
2. Netralisasi ialah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari
minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa
atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun {soap stock). Kaustik soda
(NaOH) membantu dalam mengurangi zat warna dan kotoran yang berupa
getah dan lendir dalam minyak. Reaksi antara asam lemak bebas dengan
NaOH adalah sebagai berikut (Ketaren, 1986);
R-COOH
+ NaOH
Asam Lemak

Basa

R-COONa + H2O
Sabun
Air

Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran
seperti fosfatida dan protein, dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau
emulsi yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi;

3. Pemucatan (bleaching), ialah suatu tahap proses pemurnian untuk


menghilangkan zat-zat warna yang tidak disukai dalam minyak. Pemucatan
ini dilakukan dengan mencampur minyak dengan sejumlah kecil adsorben,
seperti tanah serap (fuller earth), lempung aktif (activated clay) dan arang
aktif atau dapat juga menggunakan bahan kimia. Zat warna dalam minyak
akan diserap oleh permukaan adsorben dan juga menyerap suspensi koloid
(gum dan resin) serta hasil degradasi minyak, misalnya peroksida (Ketaren,
1986).
2.7 Sabun
Sabun termasuk salah satu jenis surfaktan yang terbuat dari minyak atau
lemak alami. Surfaktan mempunyai struktur bipolar, bagian kepala bersifat hidrofilik
dan bagian ekor bersifat hidrofobik. Karena sifat inilah sabun mampu mengangkat
kotoran (biasanya lemak) dari badan atau pakaian. (Permono, 2001). Sabun adalah
garam logam alkali (biasanya garam natrium) dari asam-asam lemak. Sabun
mengandung garam C16 dan C18 namun dapat juga mengandung beberapa karboksilat
dengan bobot atom lebih rendah. Sekali penyabunan itu telah lengkap, lapisan air
yang mengandung gliserol dipisahkan, dan gliserol dipulihkan dengan penyulingan.
Gliserol digunakan sebagai pelembab dalam tembakau, industri farmasi dan
kosmetik. Sifat melembabkan timbul dari gugus hidroksil yang dapat berikatan
hidrogen dengan air dan mencegah air itu menguap (Fesenden, 1992).
Sabun adalah bahan yang digunakan untuk mencuci dan mengemulsi, terdiri
dari dua komponen utama yaitu asam lemak dengan rantai karbon C 16 dan sodium
atau potasium. Sabun merupakan pembersih yang dibuat dengan reaksi kimia antara
kalium atau natrium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak hewani.

Sabun yang dibuat dengan NaOH dikenal dengan sabun keras, sedangkan sabun yang
dibuat dengan KOH dikenal dengan sabun lunak (Zulkifli dan Estiasi, 2014).
Sabun dibuat dengan dua cara yaitu proses saponifikasi dan proses netralisasi
minyak. Proses saponifikasi minyak akan memperoleh produk sampingan yaitu
gliserol, sedangkan proses netralisasi tidak akan memperoleh gliserol. Proses
saponifikasi terjadi karena reaksi antara trigliserida dengan alkali, sedangkan proses
netralisasi terjadi karena reaksi asam lemak bebas dengan alkali (Ophardt, 2003).
Sabun dikenal luas dan sangat penting sebagai penurun tegangan permukaan.
Karena itu sabun merupakan salah satu jenis surfaktan. Sabun asam lemak sangat
baik menghilangkan kotoran (tanah) dan sangat baik mensuspensi minyak pada
proses pencucian. Sabun merupakan pembersih yang dibuat dengan reaksi kimia
antara basa natrium atau kalium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak
hewani. Pada umumnya sabun ditambahkan zat pewangi atau antiseptik (Rais, dkk.,
2008).
Alkali bebas adalah alkali dalam sabun yang tidak terikat sebagai senyawa
sabun. Kelebihan alkali dalam sabun mandi tidak boleh melebihi 0.10 % untuk sabun
natrium dan 0.14 % untuk KOH. Hal ini disebabkan karena alkali mempunyai sifat
yang keras dan dapat mengakibatkan iritasi pada kulit. kelebihan alkali bebas pada
sabun dapat disebabkan karena konsentrasi alkali yang pekat atau berlebih pada
proses penyabunan. Sabun dengan kadar alkali yang lebih besar biasanya
digolongkan ke dalam sabun cuci (Ahmadi, 2010).
Asam lemak bebas (ALB) merupakan asam lemak dalam keadaan bebas dan
tidak berikatan lagi dengan gliserol. Asam lemak bebas terbentuk karena terjadinya
reaksi hidrolisis terhadap minyak yang mengalami ketengikan. Asam lemak bebas

dalam minyak tidak dikehendaki karena degradasi asam lemak bebas tersebut
menghasilkan rasa dan bau yang tidak disukai. Oleh sebab itu, dalam pengolahan
minyak diupayakan kandungan asam lemak bebas serendah mungkin (Yazid, 2016).
Tabel 3. Syarat Mutu Sabun
No
Jenis Uji
.
1. Jumlah asam lemak, (b/b)
2. Kadar tak tersabunkan, (b/b)
3. Kadar alkali bebas terhitung sebagai NaOH
4. Kadar air dan zat menguap (b/b)
5. Minyak mineral
6. Bahan tak larut dalam alcohol (b/b)
Sumber : SNI 06-4085-1996

Satuan

Standar

%
%
%
%
%
%

Min 70,00
Maks 2,50
Maks 0,10
Maks 15,00
Negatif
Maks 2,50

Sabun dapat dibuat dari minyak (trigliserida), asam lemak bebas (ALB) dan
metil ester asam lemak dengan mereaksikan basa alkali terhadap masing-masing zat,
yang dikenal dengan proses saponifikasi. Salah satu minyak yang bisa digunakan
pada pembuatan sabun yaitu minyak kelapa sawit.Jika dibandingkan dengan minyak
nabati lainnya, minyak kelapa sawit memiliki keistimewaan tersendiri, yakni
rendahnya kandungan kolesterol dan dapat diolah lebih lanjut menjadi suatu produk
yang tidak hanya dikonsumsi untuk kebutuhan pangan tetapi juga memenuhi
kebutuhan non pangan (oleokimia) seperti sabun (Permono, 2001).
2.8 Jenis Jenis Sabun
Berdasarkan jenisnya, sabun dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sabun
opaque, sabun transparan, sabun translusen, dan sabun herbal. Jenis sabun tersebut
dapat dibedakan dengan mudah dari penampakannya. Sabun opaque adalah jenis
sabun yang biasa digunakan sehari-hari yang berbentuk kompak dan tidak tembus
cahaya, sabun transparan merupakan sabun yang paling banyak meneruskan cahaya
jika pada batang sabun dilewatkan cahaya, sedangkan sabun translusen merupakan

sabun yang sifatnya berada di antara sabun transparan dan sabun opaque. Sabun
transparan mempunyai harga yang relatif lebih mahal dan umumnya digunakan oleh
kalangan menengah atas. Sabun transparan juga dapat digolongkan kedalam sabun
aromaterapi, sedangkan sabun herbal merupakan sabun yang mengandung sari
tanaman, berfungsi membersihkan dan mengobati penyakit kulit, (Malik, 2011).
Sabun sereh termasuk dalam jenis sabun herbal.

2.9 Sifat Sifat Sabun


Sifat sifat sabun yaitu (Harnawi, 2004) :
a. Sabun bersifat basa. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suku tinggi
sehingga akan dihidrolisis parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air
bersifat basa.
CH3(CH2)16COONa + H2O CH3(CH2)16COOH + NaOH
b. Sabun menghasilkan buih atau busa. Jika larutan sabun dalam air diaduk
maka akan menghasilkan buih, peristiwa ini tidak akan terjadi pada air sadah.
Dalam hal ini sabun dapat menghasilkan buih setelah garamgaram Mg atau
Ca dalam air mengendap.
CH3(CH2)16COONa + CaSO4 Na2SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2
c. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses kimia
koloid, sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci
kotoran yang bersifat polar maupun non polar, karena sabun mempunyai
gugus polar dan non polar. Molekul sabun mempunyai rantai hidrogen
CH3(CH2)16 yang bertindak sebagai ekor yang bersifat hidrofobik (tidak suka
air) dan larut dalam zat organic sedangkan COONa+ sebagai kepala yang
bersifat hidrofilik (suka air) dan larut dalam air.
2.10

Kinetika Reaksi Kimia Saponifikasi


Saponifikasi adalah reaksi yang terjadi ketika minyak atau lemak dicampur

dengan larutan alkali. Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi

adalah NaOH, KOH, Na2CO3, NH4OH, dan ethanolimines. NaOH atau yang biasa
dikenal soda koustik dalam industri sabun, merupakan alkali yang paling banyak
digunakan dalam pembuatan sabun keras. KOH banyak digunakan dalam pembuatan
sabun cair karena sifatnya yang mudah larut dalam air. Na2CO3 (abu soda/natrium
karbonat) merupakan alkali yang murah dan dapat menyabunkan asam lemak, tetapi
tidak dapat menyabunkan trigliserida (Ketaren, 2005).
Saponifikasi merupakan salah satu metode pemurnian secara fisik.
Saponifikasi dilakukan dengan menambahkan basa pada minyak yang akan
dimurnikan. Sabun yang terbentuk dari proses ini dapat dipisahkan dengan 30
sentrifugasi. Penambahan basa pada proses saponifikasi akan bereaksi dengan asam
lemak bebas membentuk sabun yang mengendap dengan membawa serta lendir,
kotoran dan sebagian zat warna. Saponifikasi adalah suatu proses untuk memisahkan
asam lemak bebas dari minyak atau lemak dengan cara mereaksikan asam lemak
bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga memmbentuk sabun (soap stock)
(Ketaren, 1986).
Dalam proses pemurnian dengan penambahan alkali (biasa disebut dengan
proses penyabunan) beberapa senyawa trigliserida ini dapat dihilangkan, kecuali
beberapa senyawa yang disebut dengan senyawa yang tidak tersabunkan seperti yang
tercantum dalam Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Fraksi Tidak Tersabunkan dalam Minyak Sawit
Senyawa
Komposisi
Kadar (ppm)
Karotenoida
karotenoida
36,20
karotenoida
54,40
500 700
karotenoida
3,30
Likopen
3,80
Xanthophyl
2,20
Tokoferol
tokoferol
35

tokoferol
tokoferol
tokoferol
Sterol
Kolesterol
Kompesterol
Stigmaterol
sitosterol
Phospatida
Alkohol total
Triterpenik alkohol
Alifatik alkohol
Sumber : Pasaribu, 2004.
2.11

35
10
20

500 800

4
21
21
63

Mendekati 300

80
26

Mendekati 800

Aplikasi Kinetika Kimia

Pembuatan Sabun Lunak Dari Minyak Goreng Bekas Ditinjau Dari Kinetika
Reaksi Kimia
Phatalina Naomi, Anna M. Lumban Gaol, M. Yusuf Toha
2.11.1 Metodologi :
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Unit Proses Universitas Sriwijaya Kampus
Indralaya. Adapun bahan-bahan yang digunakan minyak goreng bekas, larutan koh,
parfum non alkohol 1 ml, pewarna makanan, EDTA, NaCl, gliserin. Sedangkan
peralatan yang digunakan meliputi stirer, beker gelas, erlenmeyer, spatula, corong
pemisah, gelas ukur, penangas air, labu ukur, hot plate, titrasi digital, klem dan statif,
pipet tetes, oven, pH meter, timbangan analitik, indikator PP.
Data penelitian yang diukur yaitu kadar air, alkali bebas, minyak mineral, dan
derajat keasaman (pH). Pengukuran kadar air dilakukan dengan menimbang contoh
sebanyak 4 gram, dengan menggunakan cawan yang telah diketahui beratnya.
Contoh tersebut dipanaskan dalam lemari pengering pada suhu 105 C selama 2 jam.
Pengukuran alkali bebas dilakukan dengan menggunakan alcohol netral yang telah
ditambahkan batu didih, dan dipasang pendingin tegak, lalu larutan dititrasi dengan

menggunakan HCl 0,1 N hingga warna merah hilang. Pengukuran kandungan


minyak mineral dilakukan dengan metode titrasi menggunakan larutan HCl 10 %
dan NaOH 0,5 N. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan elektrometer.

2.11.2 Penelitian yang telah dilakukan


Sebelumnya telah dilakukan penelitian mengenai pemurnian minyak jelantah
dengan proses absorpsi menggunakan ampas tebu sebagai absorben. Pemurnian ini
dilakukan dengan menambahkan ampas tebu sebanyak 5 7 % berat minyak ke
dalam minyak jelantah dan direndam selama 48 jam. Setelah dilakukan penyaringan
didapatkan minyak dengan warna gelas yang telah berisi minyak, secara
perlahanyang lebih jernih (Ramdja dkk, 2010).
Adapun penelitian mengenai pembuatan sabun itu sendiri sebelumnya telah
dilakukan, yaitu mengenai pembuatan sabun cair dari minyak jelantah. Proses yang
digunakan pada penelitian kali ini merupakan proses secara kimia yaitu saponifikasi.
Dengan tujuan untuk melihat pengaruh dari kecepatan pengadukan, konsentrasi dan
perbandingan penggunaan alkali terhadap sabun yang dihasilkan (Naomi, dkk.,
2013).
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu minyak jelantah dari
sisa penggorengan kue dan sisa penggorengan kerupuk ikan. Sebelum digunakan
untuk membuat sabun, dilakukan proses pemurnian terlebih dahulu terhadap minyak
tersebut. Hal ini bertujuan agar warna minyak menjadi lebih jernih (Naomi, dkk.,
2013).
Pada proses pembuatan sabun, digunakan 2 jenis alkali yang berbeda. Yaitu
NaOH dan KOH. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kecepatan
pengadukan dan konsentrasi alkali yang digunakan. Kecepatan pengadukannya yaitu

500 rpm, 550 rpm, 600 rpm, 650 rpm dan 700 rpm. Sedangkan konsentrasi alkali
yang digunakan yaitu 20 %, 25 % dan 30 % (Naomi, dkk., 2013).
2.11.3 Penelitian yang telah dilakukan saat ini
Proses yang digunakan pada penelitian kali ini juga merupakan proses secara
kimia yaitu saponifikasi. Dengan tujuan untuk melihat pengaruh dari lama waktu
pengadukan, dan jumlah alkali terhadap sabun yang dihasilkan (Naomi, dkk., 2013).
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu minyak jelantah dari
sisa limbah rumah tangga, berupa penggorengan kerupuk. Sebelum digunakan untuk
membuat sabun, dilakukan proses pemurnian terlebih dahulu terhadap minyak
tersebut dengan menggunakan absorben yang terbuat dari tempurung kelapa
sebanyak 7% dari berat minyak jelantah yang akan dimurnikan. Hal ini bertujuan
agar warna minyak menjadi lebih jernih (Naomi, dkk., 2013).
Pada proses pembuatan sabun, digunakan jenis alkali KOH. Variabel yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu lama waktu pengadukan dan jumlah alkali yang
digunakan. Waktu pengadukannya yaitu 30 menit, 40 menit, dan 50 menit. Jumlah
alkali yang digunakan yaitu 15 mL, 20 mL, 25 mL, dan 30 mL dan yang ditinjau
pada penelitian ini adalah kinetika reaksi kimia yang terjadi pada saponifikasi
(Naomi, dkk., 2013).
2.11.4 Hasil dan Pembahasan
2.11.4.1
Pengaruh Jumlah KOH Dan Waktu Pengadukan terhadap Sabun
Lunak yang Dihasilkan dari Minyak Goreng Bekas
Dari grafik di bawah dapat dilihat bahwa semakin lama waktu pengadukan
maka semakin banyak jumlah sabun lunak yang dihasilkan. Hal ini disebabkan
karena pada saat proses pengadukan, tumbukan antar reaktan terjadi sehingga energi

aktivasi reaksi tercapai dengan cepat. Begitu pula dengan jumlah KOH yang
ditambahkan ke dalam minyak pada proses penyabunan. Semakin banyak jumlah
KOH yang ditambahkan, maka semakin banyak pula jumlah sabun yang dihasilkan.

Gambar 1. Pengaruh jumlah KOH dan waktu pengadukan terhadap berat sabun
lunak yang dihasilkan dari minyak goreng bekas
2.4.11.2 Pengaruh Jumlah KOH dan Waktu Pengadukan terhadap Kadar Air
yang terdapat pada Sabun Lunak
Kadar air pada sabun lunak yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara
5,165 % - 68,4525 %. Kadar air terbesar adalah 68,4525 % diperoleh dari waktu
pengadukan selama 50 menit dan penambahan jumlah KOH sebanyak 15 mL. Kadar
air terkecil adalah 5,165 % diperoleh dari waktu pengadukan selama 50 menit dan
penambahan jumlah KOH sebanyak 30 mL. Kadar air ini cukup baik karena menurut
SNI (1994), kadar air dalam sabun lunak minimum sebesar 15 %. Kadar air di atas 15
% memberikan sifat sabun mulai lunak.

Gambar 2. Pengaruh jumlah KOH dan waktu pengadukan terhadap kadar air yang
terdapat pada sabun lunak yang dihasilkan dari minyak goreng bekas
2.4.11.3 Pengaruh Jumlah KOH dan Waktu Pengadukan terhadap Alkali Bebas
yang terdapat pada Sabun Lunak

Gambar 3. Pengaruh jumlah KOH dan waktu pengadukan terhadap kadar alkali
bebas yang terdapat pada sabun lunak yang dihasilkan dari minyak goreng bekas
Kadar alkali bebas pada sabun lunak yang dihasilkan pada penelitian ini
berkisar antara 0,0118 % - 0,0457 %. Kadar alkali bebas terbesar adalah 0,0457 %
diperoleh dari waktu pengadukan selama 40 menit dan penambahan jumlah KOH
sebanyak 30 mL. Kadar alkali terkecil adalah 0,0118%diperoleh dari waktu
pengadukan selama 30 menit dan penambahan jumlah KOH sebanyak 15 mL. Kadar
alkali bebas ini cukup baik karena menurut SNI (1994), alkali bebas dalam sabun
tidak boleh lebih dari 0,14 % untuk sabun lunak.

2.11.4. 4 Pengaruh Jumlah KOH dan Waktu Pengadukan terhadap Minyak


Mineral yang terdapat pada Sabun Lunak
Tabel 5. Pengaruh jumlah KOH dan waktu pengadukan terhadap kadar minyak
mineral yang terdapat pada sabun lunak yang dihasilkan dari minyak goreng bekas.
Waktu Pengadukan (menit)
Jumlah KOH
(mL)
30
40
50
15

Keruh

Keruh

Keruh

20

Negatif

Negatif

Keruh

25

Keruh

Keruh

Keruh

30

Negatif

Negatif

Keruh

Minyak mineral merupakan zat atau bahan tetap sebagai minyak, namun saat
penambahan air akan terjadi emulsi antara airdan minyak yang ditandai dengan
kekeruhan. Keberadaan minyak mineral pada sabun sangat tidak diharapkan, karena
akan mempengaruhi proses emulsi sabun dengan air. Nilai minyak mineral ini harus
negatif yang ditunjukkan dengan tidak terjadinya kekeruhan pada saat titrasi dengan
menggunakan air. Hasil analisa pada sabun lunak menunjukkan minyak mineral
negatif untuk beberapa perlakuan yaitu pada waktu pengadukan selama 30 menit dan
penambahan jumlah KOH sebanyak 20 mL dan 30 mL. Serta waktu pengadukan
selama 40 menit dan penambahan jumlah KOH sebanyak 20 mL dan 30 mL.
2.11.4.5 Pengaruh Jumlah KOH dan Waktu Pengadukan terhadap Derajat
Keasaman (pH) yang terdapat pada Sabun Lunak
Berdasarkan SNI (1994) pH sabun lunak umumnya adalah antara 7 - 10.
Mencuci tangan dengan sabun dapat meningkatkan pH kulit sementara, tetapi
kenaikan pH kulit ini tidak akan melebihi 7. Hasil analisa menunjukkan pH pada
sabun lunak berkisar antara 8,1 9,7. pH tertinggi adalah 9,7 diperoleh dari waktu
pengadukan selama 50 menit dan penambahan jumlah KOH sebanyak 30 mL. pH

terendah adalah 8,1 diperoleh dari waktu pengadukan selama 30 menit dan
penambahan jumlah KOH sebanyak 15 mL.
Hasil ini menunjukkan nilai pH sabun yang cukup baik sesuai dengan standar
SNI (1994). pH yang sangat tinggi atau rendah dapat meningkatkan daya absorbsi
kulit sehingga menyebabkan iritasi pada kulit dan kulit kering.

Gambar 4. Pengaruh jumlah KOH dan waktu pengadukan terhadap derajat


keasaman (pH) yang terdapat pada sabun lunak yang dihasilkan dari minyak goreng
bekas
2.11.4.6 Kinetika Reaksi Kimia Saponifikasi
Reaksi yang terjadi pada proses saponifikasi adalah sebagai berikut:
(C17H35COO)3 + 3 KOH

3C17H35COOK + C3H5(OH)3

Reaksi saponifikasi dapat diasumsikan menjadi:


A + 3B
Dimana,
A=A
B = 6,146 A

3C +D

t = 30 menit X = 0,1798
t = 40 menit X = 0,2472
t = 50 menit X = 0,3730

Maka,

Asumsi m = 1
maka, am = 1,9025
A = 0,089

Maka laju reaksi proses saponifikasi


adalah:

BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa jumlah KOH yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap
sabun lunak yang dihasilkan. Dari hasil penelitian penambahan jumlah KOH
sebanyak 30 ml menghasilkan sabun yang lebih banyak dibandingkan dengan

penambahan jumlah KOH sebanyak 15 mL, 20 mL, dan 25 mL. Waktu


pengadukanyang semakin lama akan berpengaruh terhadap sabun lunak yang
dihasilkan. Dari hasil penelitian waktu pengadukan selama 50 menit menghasilkan
sabun yang lebih banyakdibandingkan dengan waktu pengadukan selama 30 menit
dan 40 menit. Kondisi optimum untuk memperoleh sabun lunak yang terbaik adalah
padapenambahan jumlah KOH sebanyak 30 mL dan waktu pengadukan selama
50 menit. Hasil penelitian yang diperoleh berdasarkan kinetika reaksi dari pembuatan
sabun lunak berdasarkan penambahan jumlah KOH dan lama waktu pengadukan ini,
tetapan laju reaksi (k) adalah 1,5506 dengan rA = 1,5506 [A] [6,416A]1,9025.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, K., 2010, Kristalisasi Pelarut Suhu Rendah pada Pembuatan Konsentrat
Vitamin E dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit : Kajian Jenis Pelarut,
Jurnal Teknologi Pertanian, 11(1).
Aisyah, Y., dan Fasya, 2010, Penurunan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas
(FFA) Pada Proses Bleaching Minyak Goreng Bekas Oleh Karbon Aktif
Polong Buah Kelor (Moringa Oliefera. Lamk) Dengan Aktivasi NaCl, Jurnal
ALCHEMY, 1(2): 53-103.
Fessenden, R.J., 1992, Analisa dan Pembuatan Sabun Mandi, Universitas Sumatra
Utara, Medan.

Harnawi, T., 2004, Studi Pembuatan Sabun Cair dengan Bahan Baku Minyak
Goreng Hasil Reproseing, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Brawijaya, Malang.
Ketaren, S., 1986, Pengantar Teknologi Minyak Dan Lemak Pangan, Universitas
Indonesia, Jakarta.
Ketaren, S., 2005, Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Nasir, M., Wuryaningsih, Anah, L., Astrini, N., Hilyati, 2002, Proses Pemurnian
Minyak Makan (Edible Oil): Pengaruh Tekanan dan Temperatur Proses
Mikrofiltrasi Minyak Kelapa terhadap Kualitas Minyak Kelapa, Prosiding
Seminar Tantangan Penelitian Kimia, 1.
Naomi, P., Gaol, A. M. L., Toha, M. Y., 2013, Pembuatan Sabun Lunak dari Minyak
Goreng Bekas Ditinjau dari Kinetika Reaksi Kimia, Jurnal Teknik Kimia,
2(19).
Noriko, N., Elfidasari, D., Perdana, A. T., Wulandari, N., dan Wijayanti, W., 2012,
Analisis Penggunaan dan Syarat Mutu Minyak Goreng pada Penjaja Makanan
di Food Court UAI, Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains Dan Teknologi,
1(3).
Ophardt, C. E., 2003, Soap. http://elmhurst.edu/-chm/vchembook/554soap.html 9 juli
2013.
Pasaribu, N, 2004, Minyak Buah Kelapa Sawit, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.
Permono, A., 2001, Pembuatan Sabun Mandi Padat, Swadaya. Jakarta.
Rais, F., Rochadi., Nesrin D., Amel K., 2008, The Use of a Eutectic Mixture of Olive
Pomace Oil Fatty Amides to Easilly Prepared Sulfated Amides Applied as
Lime Soap Dispersant, 85: 869-877.
Ramdja, A., Lisa, F., Daniel, K., Pemurnian Minyak Jelantah Menggunakan Ampas
Tebu sebagai Adsorben, Jurnal Teknik Kimia, 2010, 1(17), 7-14.
Setiawan, E., dan Edwar, F., 2012, Teknologi Pengolahan Biodiesel dari Minyak
Goreng Bekas dengan Teknik Mikrofiltrasi dan Transesterifikasi Sebagai
Alternatif Bahan Bakar Mesin Diesel, Jurnal Riset Industri, 6(2); 117-127.
Standar Nasional Indonesia (SNI), 1996, Sabun Mandi Cair. Badan Standardisasi
Nasional, Jakarta. (SNI 06-4085-1996).

Tarigan, Nurhayati, dan Oppusunggu, 2007, Pengaruh Penyuluhan Kepada Pedagang


Gorengan dengan Angka Peroksida dan Asam pada Minyak Goreng, Jurnal
Ilmiah PANNMED, 2(1): 20-28.
Viantini, F., dan Yustinah, 2015, Pengaruh Temperatur Pada Proses Pemurnian
Minyak Goreng Bekas dengan Buah Mengkudu, Konversi, 4(2); ISSn 22527311.
Wati, E., Hajar, I., dan Mufidah, S., 2016, Penurunan Asam lemak Bebas Pada
Minyak Goreng Bebas Menggunakan Ampas Tebu Untuk Pembuatan Sabun,
Jurnal Integrasi Proses, 6(1); 22-27.
Winarno, F. G., 1997, Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yazid, 2006. Kimia Fisik Untuk Paramedis. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Zulkifli, M., dan Estiasih, 2014, Sabun dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit
Jurnal Pangan dan Agroindustri, 2(4); 170-177.

You might also like