You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

Brainstem terdiri dari mesencephalon, pons dan medulla oblongata. Yang


berisi nukleus 10 nervus cranialis dan traktus ascending serta descending.
Reticular formation (RF) adalah jaringan yang kompleks dari nuklus dan serat
antarpenghubung. Reticular activating system (RAS) yang mana menempati
bagian inti dari brainstem, memberikan anatomis dan fisiologis selama keadaan
sadar.9
Batang otak memiliki banyak fungsi penting, termasuk sistem pengaktif
retikuler, suatu daerah yang bertanggung jawab untuk mengaktifkan dan
menonaktifkan seluruh otak. Sebagai hasil dari kematian batang otak, tak satu pun
dari otak (termasuk korteks) akan bekerja. Batang otak juga mengontrol
pernapasan, sehingga pada seseorang yang batang otak tidak dapat berfungsi
dengan baik akan mengalami kegagalan pernapasan. 1
Pengertian kematian batang otank sendiri (brainstem death) menurut
American Academy of Neurology (AAN) menerbitkan sebuah parameter dalam
praktek untuk menggambarkan standar medis dalam menentukan mati otak.
Parameter ini menekankan 3 temuan klinis yang penting untuk mengkonfirmasi
penghentian yang irreversible semua fungsi bagian otak, mencakup batang otak:
koma (dengan penyebab diketahui), hilangnya refleks batang otak, dan apneu.6
Untuk mengenal lebih jauh tentang kematian batang otak, di halaman
selanjutnya akan lebih dijelaskan lebih luas tenteng definisi, etiopatofisiologi,
serat penegakan diagnosis dari mati batang otak.

BAB II

ISI

1. Anatomi dan Fisiologi Batang Otak


Truncus Cerebri merupakan bagian SSP yang terletak di dalam cavum
cranii diatas Foramen Occipitale Magnum. Berdasarkan letaknya terhadap
struktur yang lain, truncus cerebri berada diatas medulla spinalis, di depan
cerebellum dan di bawah diencephalon. Susunan truncus cerebri dari bawah
ke atas terdiri dari Medulla Oblongata, Pons dan Mesencephalon. Dari
truncus cerebri ini akan keluar dan atau masuk sebagian besar nn.craniales
kecuali N.I dan N.II.10

Encephalon mendapat suplai darah dari a. carotis interna dan a.


vertebralis. A.carotis interna dibagi menjadi empat bagian yaitu: pars
cervicalis, pars petrosa, pars cavernosa dan pars cerebralis. Cabang-cabang
utama a. carotis interna adalah a. ophtalmica, a. comunicans posterior dan a.
choroidea anterior. Percabangam dari pars intrakranialis a. vertebralis dan
a.basilaris member suplai darah kepada medulla spinalis segmen servikalis,

medulla oblongata, pons, mesencephalon, cerebellum, bagian posterior


diencephalon, bagian dari lobus occipital dan lobus temporalis.10
Circulus arteriosus willisi merupakan suatu lingkaran pembuluh darah
arteri yang terletak mengelilingi chiasma opticum, tuber cinereum dan fossa
interpeduncularis. Dibentuk oleh a. comunicans anterior, posterior, a. cerebri
anterior, media dan posterior. Ramus corticalis yang member suplai darah ke
hemisfer serebri dipercabangkan oleh a. cerebri anterior, media dan posterior.

Fungsi susunan saraf pusat:

Menerima stimulus dan merekamnya


Memberi respon secara spontan terhadap stimulus (reflek)
Mengendalikan gerakan
Koordinasi gerakan dan keseimbangan.10

2. Definisi
Pada panduan Australian and New Zealand Intensive Care Society
(ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun 1993, kematian otak didefinisikan
sebagai berikut: Istilah kematian otak harus digunakan untuk merujuk pada
berhentinya semua fungsi otak secara ireversibel. Kematian otak terjadi saat
terjadi hilangnya kesadaran yang ireversibel, dan hilangnya respon refleks

batang otak dan fungsi pernapasan pusat secara ireversibel, atau berhentinya
aliran darah intrakranial secara ireversibel.2
Menurut kriteria komite ad hoc Harvard tahun 1968, kematian otak
didefinisikan oleh beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak
berfungsi lagi secara permanen, yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi
dan respon terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan napas, dan tidak
adanya refleks-refleks, yakni respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan
okuler pada uji penggelengan kepala dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas
postural (misalnya deserebrasi), refleks menelan, menguap, dan bersuara,
refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap
rangsang plantar. Yang kedua adalah data konfirmasi yakni EEG yang
isoelektris. Kedua tes tersebut diulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa
adanya hipotermia (suhu < 32,2o C) atau pemberian depresan sistem saraf
pusat seperti barbiturat. Penentuan tersebut harus dilakukan oleh seorang
dokter. 2,3
Menurut Uniform Determination of Death Act, yang dikembangkan
oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws,
Presidents Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and
Biomedical and Behavioral Research, seseorang dinyatakan mati otak apabila
mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara ireversibel,
dan (2) terhentinya semua fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang
otak, secara ireversibel. 4
Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak adanya
denyut jantung dan usaha napas, serta pemeriksaan EKG dan uji apnea.
Terhentinya fungsi otak dinilai dari adanya keadaan koma serta hilangnya
fungsi batang otak berupa absennya refleks - refleks.
American Academy of Neurology (AAN) menerbitkan sebuah
parameter dalam praktek untuk menggambarkan standar medis dalam
menentukan mati otak. Parameter ini menekankan 3 temuan klinis yang
penting untuk mengkonfirmasi penghentian yang irreversible semua fungsi
bagian otak, mencakup batang otak: koma (dengan penyebab diketahui),
hilangnya refleks batang otak, dan apneu.6

3. Etiologi
Brain death dapat terjadi ketika aliran darah dan atau suplai oksigen
ke otak berhenti. Keadaan seperti ini dapat disebabkan oleh :5
cardiac arrest, ketika jantung berhenti berdetak dan otak kehilangan

oksigen
heart attack, keadaaan emergensi yang terjadi ketika suplai darah ke

otak terhambat secara tiba-tiba


stroke, keadaan emergensi yang terjadi ketika suplai darah ke otak

terhambat atau terganggu


blood clot, halangan pada pembuluh darah yang mengganggu atau
menghambat aliran darah di dalam tubuh
Brain death juga dapat terjadi akibat dari trauma kepala yang berat,

hemoragik otak (perdarahan subarachnoid), hipoksia, infeksi seperti


encephalitis, meningitis, tumor otak, dan tenggelam. 5
4. Patofisiologi
Otak rentan terhadap kerusakan permanen untuk sejumlah alasan,
faktor utama kebutuhan oksigen yang tinggi, dampak dari edema dengan
volume tetap yang menyebabkan kerusakan, pertimbangan pada anatomi
tertentu, dan sifat dari jaringan saraf yang tidak dapat memperbaiki diri.7
Brainstem terdiri dari mesencephalon, pons dan medulla oblongata.
Yang berisi nukleus dari 10 nervus cranialis dan traktus asending serta
desending. Reticular formation (RF) adalah jaringan yang kompleks dari
nukleus dan serat antarpenghubung. Reticular activating system (RAS) yang
mana menempati bagian inti dari brainstem, memberikan anatomis dan
fisiologis selama keadaan sadar. Medulla RF (reticular formation) berisi
pengaturan pusat vital seperti denyut jantung, pernapasan, dan sirkulasi.
Pontine RF berisi pusat untuk koordinasi akustik vestibular, prroses respirasi
dan cardiovascular. Midbrin RF berisi pusat untuk orientasi visuospasial dan
kebiasaan makan. Batang otak secara struktural dan fungsional sangat padat,
meskipun lesi yang kecil dan menyebabkan kerusakan pusat dari

kardiorespiratori, pemutusan hubungan antara korteks serebri dari brainstem,


kerusakan serat sensorik dari pusat tertinggi kesadaran, persepsi dan kognitif.
Kerusakan RF mungkin menyebabkan kehilangan kognitif,
ketidaksadaran yang persisten dan koma. Bagian batang otak dihubungkan
dengan fungsi dan efek dari lesi dapat tergambar pada tabel di bawah :9

Laju metabolik oksigen cerebral (3,5 ml/g/min) sekitar 20 % dari


seluruh total penggunaan oksigen di dalam tubuh, dengan aliran darah
cerebral (CBF)yang terdiri dari hampir 15 % dari cardiac output (750
ml/min). Terdapat sedikitnya cadangan, oleh sebab itu, selama hypoxia atau
iskemik dan dalam keadaan tidak sadar terjadi selama 10 detik pada gangguan
aliran darah serebral. Mudahnya untuk terjadi hypoxic tidak sama pada
sekuruh bagian otak, kortex cerebral menjadi yang paling mudah di serang,
diikuti oleh forebrain nuclei. Kardiorespirasi berpusat di dalam brainstem
sangat resisten untuk terjadi hypoxic, keadaan ini menjelaskan status vegetatif
persisten ditandai sebagai hasil akhir dari kecelakaan yang berat pada
kematian kortikal dan penurunan kesadaran tapi pergerakan ventilator yang
lengkap.7
Efek paling akhir pada peningkat tekanan intrakranial yang
menyeluruh adalah kematian batang otak karena herniasi pada foramen

magnum. Garis batas dalam tengkorak kepala dan dural reflection (mis: falx
cerebri) juga dapat menyebabkan kematian batang otak oelh mekanisme yang
lainnya. Perluasan lesi pada salah satu dari lobus parietal atau temporal yang
pada akhirnya menyebabkan herniasi sehingga terjadi penekanan dan iskemik
pusat vital di dalam batang otak.7
Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak tersumbat secara
parsial, maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena
kekurangan oksigen. Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah
itu didapati: 1) tekanan perfusi yang rendah, 2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam
laktat tertimbun. Autoregulasi dan pengaturan vasomotor dalam daerah
tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan
mengadakan vasodilatasi maksimal. Pada umumnya, hanya pada perbatasan
daerah iskemik saja bisa dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah
perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat dari
daerah iskemik tersebut tidak dapat teratasi oleh mekanisme autoregulasi dan
pengaturan vasomotor. Di situ akan berkembang proses degenerasi yang
ireversibel. Semua pembuluh darah di bagian pusat daerah iskemik itu
kehilangan tonus, sehinga berada dalam keadaan vasoparalisis. Keadaan ini
masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos pembuluh darah bisa
bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-sel saraf daerah
iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan pembengkakan
serabut saraf dan selubung mielinnya (edema serebri) merupakan reaksi
degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritosit dan leukosit.
Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang pertama adalah gambaran yang
sesuai dengan keadaan iskemik dan yang terakhir adalah gambaran infark. 8

5. Kriteria Mati Batang Otak


Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun
metode terstruktur suatu diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan.
Beberapa diantaranya11,12,13,14:

a.

Kriteria Harvard
Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan Kriteria
Harvard, kunci diagnosis tersebut adalah :

Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive


coma).
Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
Hilangnya refleks batang otak dan spinal.
Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
EEG datar.
Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan.
Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang
kurangnya 24 jam kemudian.
b. Kriteria Minnesota
Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang
disarankan mungkin sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan
Chou mengusulkan Kriteria Minnesota untuk kematian otak. Yang
dihilangkan dari kriteria ini adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis
dan aktivitas EEG karena masih dipandang sebagai sebuah pilihan
pemeriksaan untuk konfirmasi, elemen kunci kriteria Minnesota adalah13:
Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.
Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya
refleks batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya dolls eye
movement, hilangnya respon terhadap stimulus kalori dan hilangnya
refleks tonus leher.
Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam

Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki.


Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai
berikut15:
1) Hilangnya fungsi serebral
2) Hilangnya fungsi batang otak termasuk respirasi spontan
3) Bersifat ireversibel.
Hilangnya fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya pergerakan
spontan dan berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap seluruh
rangsang visual, pendengaran dan kutaneus. Refleks-refleks spinalis mungkin
saja ada.
EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan
banyak lembaga kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral
Silence (ECS), yang juga disebut EEG datar atau isoelektrik. Dikatakan EEG
datar apabila tidak ada perubahan potensial listrik melebihi 2 mikroVolt
selama dua kali 30 menit yang direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan bahwa
tidak adanya respon serebral dan EEG datar tidak selalu berarti kematian
otak. Akan tetapi, keduanya dapat terjadi dan bersifat reversible pada keadaan
hipotermia dan intoksikasi obat-obatan hipnotik-sedatif.16
Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat
reaksi pupil terhadap cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vestibulo-ocular,
orofaringeal atau trakea. Tidak ada respon deserebrasi terhadap stimulus
noksius dan tidak ada pernapasan spontan. Untuk kepentingan dalam praktek,
apnea absolut dikatakan terjadi pada pasien, jika pasien tersebut tidak
melakukan usaha untuk menolak penggunaan alat respirasi setidaknya selama
15 menit. Sebagai tes akhir, pasien dapat dilepaskan dari respirator lebih lama
beberapa menit untuk memastikan bahwa PCO 2 arteri meningkat di atas
ambang untuk merangsang pernapasan spontan.17
Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak
hilang, maka pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk

memastikan bahwa keadaan pasien bersifat ireversibel. Jika riwayat dan


pengamatan komprehensif yang sesuai terhadap prosedur penggunaan obatobatan tidak ada, maka observasi selama periode 72 jam mungkin dibutuhkan
untuk memperoleh reversibilitas walaupun jarang terjadi dalam praktek, studi
perfusi serebral menunjukkan terhentinya sirkulasi intrakranial secara
sempurna menyebabkan terjadinya kematian otak.18
Alur Penentuan Mati Batang Otak (MBO)

Pasien dengan
penurunan
kesadaran
Pemeriksaan keadaan
umum, tingkat
kesadaran, tanda vital
Dalam Keadaan Koma :
- Gcs 3
- tidak adanya sikap tubuh yang
abnormal (dekortikasi, atau
deserebrasi)
- tidak adanya gerakan yang
tidak terkoordinasi atau
sentakan epileptik.

Singkirkan Penyebab koma reversible yang


potensial

Obat-obatan:
- hipnotik
- transquilizer
- Neuromuscular
blocking
- Narkotik
- Antagonis tertentu
(naloxone,

Gangguan
metabolik
Gangguan
sirkulasi
Gangguan
endokrin
Gangguan

flumazenil

Dapat
Disingkirkan
Pemeriksaan pasti
MBO
Ulangi tes dengan
interval waktu 25
TimbulVentilator
aritmia
menit sampai 24
Tidak
Tetap
Observasi
Henti
Tidak
Napas
Bernapas
10
jantung
yang
Dipasang
Dinyatakan
Tidak Ada Refleks
Hasil tetap positiv
jam.
Dinyatakan
Menetap
menit

Pemeriksaan refleks
batang otak
- Refleks Cahaya
- Refleks Kornea
- Refleks vestibulookular
- Respons motorik
dalam distribusi
saraf kranial
terhadap rangsang
adekuat pada area
somatik
- Refleks muntah (gag
reflex) atau refleks
batuk terhadap
rangsang oleh
kateter isap yang
Tidak ada reflex
Batang Otak

Pemeriksaan henti
napas yang
menetap:
- pre oksigenisasi
dengan O2 100%
selama 10 menit
- memastikan
pCO2 awal
testing dalam
batas 40-60
mmHg dengan
memakai
kapnograf dan
atau analisis gas
darah
- melepaskan
pasien dari
ventilator,
insuflasi trakea

Observasi
menit

10

Tetap tidak bernafas

Henti nafas
menetap

Ulangi
tes
dengan
interval waktu 25 menit
sampai 24 jam.

Hasil
tetap +

Pemeriksaan lain:
- EEG
- Aliran Darah Otak
- Respon otak

Observasi
Timbul
aritmia jantung yang
mengancam Jiwa
Ventilator dipasang
kembali
Tidak Dinyatakan
MBO

Dinyatakan
MBO

Evaluasi kasus koma


Penentuan kematian batang otak memerlukan identifikasi kasus
koma ireversibel beserta penyebab koma yang paling mungkin. Cedera
kepala

berat,

perdarahan

intraserebral

hipertensif, perdarahan

subarachnoid, jejas otak hipoksik-iskemik, dan kegagalan hepatik fulminan


adalah merupakan penyebab potensial hilangnya fungsi otak yang bersifat
ireversibel. Dokter perlu menilai tingkat dan reversibilitas koma, serta
potensi berbagai kerusakan organ.15,19
Dokter juga harus menyingkirkan berbagai faktor perancu, seperti
intoksikasi

obat,

blokade neuromuskular, hipotermia,

atau kelainan

metabolik lain yang dapat menyebabkan koma namun masih berpotensi


reversible.
Kedalaman koma diuji dengan penilaian adanya respon motorik
terhadap stimulus nyeri yang standar, seperti penekanan nervus supraorbita,
sendi temporomandibuler, atau bantalan kuku pada jari Koma dalam adalah
tidak adanya respon motorik cerebral terhadap rangsang nyeri pada
seluruh ekstremitas (nail-bed pressure) dan penekanan di supraorbital.16
Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah kemungkinan
adanya respon motorik Lazarus sign yang dapat terjadi secara spontan
selama tes apnea, seringkali pada kondisi hipoksia atau episode hipotensi, dan
berasal dari spinal. Agen penyekat neuromuskuler juga dapat menghasilkan
kelemahan motorik yang cukup lama.17

Gambar 1. Tes Rangsang Nyeri

Penilaian klinis refleks batang otak


Pemeriksaan refleks batang otak meliputi pengukuran jalur refleks
pada mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Saat terjadi kematian otak,
pasien kehilangan refleks dengan arah rostral ke kaudal, dan medulla
oblongata adalah bagian terakhir dari otak yang berhenti berfungsi. Beberapa
jam dibutuhkan untuk terjadinya kerusakan batang otak secara menyeluruh,
dan selama periode tersebut, mungkin masih terdapat fungsi medula. Pada
kasus yang jarang dimana terdapat fungsi medula oblongata yang tetap ada,
ditemukan tekanan darah normal, respon batuk setelah suction trakhea, dan
takhikardia setelah pemberian 1 mg atropine.17,18
Penentuan kematian batang otak memerlukan penilaian fungsi
otak oleh minimal dua orang klinisi dengan interval waktu pemeriksaan
beberapa jam. Tiga temuan penting pada kematian batang otak adalah koma
dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan
apnea (tes apnea) secara khas dilakukan setelah evaluasi refleks batang otak
yang kedua.18
Hilangnya refleks batang otak
Pupil:
a. Tidak terdapat respon terhadap cahaya atau refleks cahaya negatif
b. Ukuran: midposisi (4 mm) sampai dilatasi (9 mm)
Gerakan bola mata /gerakan okular:
a. Refleks oculocephalic negatif
Pengujian dilakukan hanya apabila secara nyata tidak terdapat
retak atau ketidakstabilan vertebrae cervical atau basis kranii.
b. Tidak terdapat penyimpangan atau deviasi gerakan bola mata terhadap
irigasi 50 ml air dingin pada setiap telinga. Membrana timpani harus

tetap utuh; pengamatan 1 menit setelah suntikan, dengan interval tiap


telinga minimal 5 menit.
Respon motorik facial dan sensorik facial:
a. Refleks kornea negatif
b. Jaw reflex negatif (optional)
c. Tidak

terdapat

respon menyeringai

terhadap

rangsang

tekanan

dalam pada kuku, supraorbita, atau temporomandibular joint.


Refleks trakea dan faring:
a. Tidak terdapat respon terhadap rangsangan di faring bagian posterior
b. Tidak

terdapat

respon

terhadap

pengisapan

trakeobronkial

(tracheobronchial suctioning).

Gambar 2. Pemeriksaan Refleks Batang Otak


Penilaian klinis terhadap refleks batang otak dikerjakan secara
menyeluruh. Nervus cranialis yang diperiksa ditunjukkan dengan angka
romawi; garis panah utuh menunjukkan jaras aferen; garis panah
terputus menunjukkan jaras eferen. Hilangnya respon menyeringai atau
mata

tidak membuka

terhadap rangsang

tekanan dalam pada kedua

condyles setinggi temporomandibular joint (afferent n. V dan efferent n.


VII), hilangnya refleks kornea terhadap rangsang sentuhan tepi kornea mata

(n. V dan n. VII), hilangnya refleks cahaya (n. II dan n. III), hilangnya
respon oculovestibular ke arah sisi stimulus dingin oleh air es (n. VIII dan n.
III dan n. VI), hilangnya refleks batuk terhadap rangsangan pengisapan yang
dalam pada trachea (n. IX dan n. X).
Tes Apnea
Secara umum, tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan refleks
batang otak yang kedua dilakukan. Tes apnea dapat dilakukan apabila
kondisi prasyarat terpenuhi, yaitu :
a. Suhu tubuh 36,5 C atau 97,7 F
b. Euvolemia (balans cairan positif dalam 6 jam sebelumnya)
c. PaCO2 normal (PaCO2 arterial 40 mmHg)
d. PaO2 normal (pre-oksigenasi arterial PaO2 arterial 200 mmHg)
Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, dokter melakukan tes
apnea dengan langkah-langkah sebagai berikut 18:
a. Pasang pulse-oxymeter dan putuskan hubungan ventilator
b. Berikan oksigen 100%, 6 L/menit ke dalam trakea (tempatkan kanul
setinggi carina)
c. Amati dengan seksama adanya gerakan pernafasan (gerakan dinding
dada atau abdomen yang menghasilkan volume tidal adekuat)
d. Ukur PaO2, PaCO2, dan pH setelah kira-kira 8 menit, kemudian
ventilator disambungkan kembali
e. Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PaCO 2 60 mmHg
(atau peningkatan PaCO2 lebih atau
normal),

hasil

tes

apnea

sama

dinyatakan

dengan

nilai

dasar

positif

(mendukung

kemungkinan klinis kematian batang otak).


f. Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negatif
(tidak mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak) .

g. Hubungkan ventilator selama tes apnea apabila tekanan darah sistolik


turun sampai < 90 mmHg (atau lebih rendah dari batas nilai
normal sesuai usia pada pasien < 18 tahun), atau pulse-oxymeter
mengindikasikan adanya desaturasi oksigen yang bermakna, atau
terjadi aritmia kardial.

Segera ambil sampel darah arterial dan periksa analisis gas darah.

Apabila PaCO2 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 20


mmHg di atas nilai dasar normal, tes apnea dinyatakan positif.

Apabila PaCO2 < 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 < 20 mHg


di atas nilai dasar normal, hasil pemeriksaan belum dapat
dipastikan dan perlu dilakukan tes konfirmasi

Gambar 3. Tes Apneu


Diskoneksi ventilator dan penggunaan oksigenasi apneik difusi
(apneic diffusion oxygenation) memerlukan syarat tertentu. Suhu tubuh
harus 36.5 C, tekanan darah sistolik harus 90 mmHg, dan balans
cairan harus positif selama enam jam. Setelah preoksigenasi (fraksi
oksigen insprasi harus 1.0 selama 10 menit), tingkat ventilasi harus dikurangi.
Ventilator harus diputus apabila PaO2 arterial mencapai 200 mmHg,
atau apabila PaCO2 arterial mencapai 40 mmHg. Pipa oksigen harus
berada pada carina (menghantarkan oksigen 6 liter per menit). Dokter harus
mengamati dinding dada dan abdomen untuk mengamati adanya gerakan
pernafasan selama 8-10 menit, dan harus mengawasi pasien terhadap
adanya perubahan fungsi vital. Apabila PaO2 arterial 60 mmHg, atau

terdapat peningkatan > 20 mmHg dari nilai dasar yang normal, maka tes
apnea dinyatakan positif.
Faktor Perancu
Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis
kematian batang otak, sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak
dapat dibuat dengan pasti hanya berdasarkan pada alasan klinis sendiri.
Pada keadaan ini pemeriksaan konfirmatif direkomendasikan18:
a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat
b. Kelainan pupil sebelumnya
c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik,
antikolinergik,

obat antiepilepsi, agen kemoterapi, atau agen blokade

neuromuskular
d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi kronis CO2
Manifestasi

berikut

terkadang

tampak

dan

tidak

boleh

diinterpretasikan sebagai bukti fungsi batang otak :


a. Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau ekstensi
patologis
b. Gerakan

mirip

bernafas

(elevasi

dan

aduksi

bahu,

lengkungan

punggung, ekspansi interkosta tanpa volume tidal yang bermakna)


c. Berkeringat, kemerahan, takikardi
d. Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau peningkatan
mendadak tekanan darah
e. Tidak-adanya diabetes insipidus
f. Refleks tendo dalam, refleks abdominal superfisial, respon fleksi triple
g. Refleks Babinski
Pemeriksaan Konfirmatif Apabila Terdapat Indikasi
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak
diperlukan pemeriksaan

lain apabila pemeriksaan klinis termasuk

pemeriksaan refleks batang otak dan tes apnea dapat dilaksanakan secara
adekuat. Beberapa pasien dengan kondisi tertentu seperti cedera servikal
atau

kranium, instabilitas

kardiovaskular,

atau

faktor

lain

yang

menyulitkan dilakukannya pemeriksaan klinis untuk menegakkan diagnosis


kematian batang otak, perlu dilakukan tes konfirmatif.17
Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung
pada

pertimbangan

praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan

kerugian yang mungkin terjadi. Beberapa tes konfirmatif yang biasa


dilakukan antara lain18:
a. Angiography
resonance, dan

(conventional,

computerized

radionuclide) : kematian

tomographic, magnetic
batang

otak

ditegakkan

apabila tidak terdapat pengisian intraserebral (intracerebral filling)


setinggi bifurkasio karotis atau sirkulus Willisi
b. Elektroensefalografi (EEG) : kematian batang otak ditegakkan apabila
tidak terdapat aktivitas elektrik setidaknya selama 30 menit
c. Nuclear brain scanning : kematian batang otak ditegakkan apabila
tidak terdapat ambilan (uptake) isotop pada parenkim otak dan atau
vasculature, bergantung teknik isotop (hollow skull phenomenon)
b. Somatosensory evoked potentials : kematian batang otak ditegakkan
apabila tidak terdapat respon N20-P22 bilateral pada stimulasi nervus
medianus
c. Transcranial

doppler

ultrasonography :

kematian

batang

otak

ditegakkan oleh adanya puncak sistolik kecil (small systolic peaks)


pada awal sistolik tanpa aliran diastolik (diastolic flow) atau
reverberating flow, mengindikasikan adanya resistensi yang sangat
tinggi

(very

high

vascular resistance) terkait adanya peningkatan

tekanan intrakranial yang besar.

DAFTAR PUSTAKA
1. https://www.hods.org/transplantation-issue/faq-medical/

(diakses

tanggal

19-10-2016)
2. So Hing-Yu, Fanzca Ficanzcafhkam. Update Article Brain Death. Hong
Kong Practitioner 16 (II) November 1994.
3. Guidelines On Certification Of Brain Death, The Hong Kong Society Of
Critical Care Medicine. Journal of the Royal College of Physicians of
London 2005, 29:381-2.
4. Uniform Determination of Death Act, 12 uniform laws annotated 589 (West
1993 and West suppl 1997)
5. http://www.nhs.uk/Conditions/Brain-death/Pages/Introduction.aspx
( diakses tanggal 19-10-2016)
6. The Quality Standards Subcommittee of the American Academy of
Neurology. Practice parameters for determining brain death in adults
(summary statement). Neurology 1995;45:10121014.
7. Williams, M., Bell, D., Moss, E. 2003. Brainstem Death British Journal
of Anasthesia Vol 3 Number 6. UK
8. Thomas M Walshe. The Diagnosis Of Brain Death. N Engl J Med 2001 ;
344: 1215-1221
9. Dhanwate, A.D. 2014. Brainstem Death : A Comprehensive Review In
Indian Perspective. Department of Anatomy, Goverment Medical Collage,
India.

Diakses

dari

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4166875/ (tanggal 19-102016)


10. Djayalangkara,Harfiah dkk. 2012. Buku Ajar Anatomi Biomedik Ii Ed.2.
Bagian Anatomi FK Unhas Universitas Hasanuddin Fakultas
Kedokteran.Makassar
11. Wijdicks. Current Concepts. The Diagnosis of Brain Death. N Engl J Med,
2001, 344 (16)

12. Guidelines On Certification Of Brain Death. The Hong Kong Society Of


Critical Care Medicine. Journal of the Royal College of Physicians of
London 1995, 29:381-2.
13. RM, Schapiro R, eds. The Definition Of Death: Contemporary
Controversies, Johns Hopkins University Press. Baltimore. 1999
14. Guyton AC, Hall JE. Aliran darah serebral, cairan serebrospinal, dan
metabolisme otak. Dalam: Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 1996.hal.975-83.
15. Sunatrio S. Penentuan Mati . Bagian Anestesiologi :FKUI/RSCM ,2006
16. Leonard Baron MD, et al. Neuroanestesia and Intensive Care. Brief
Review: History, Concept And Controversies In The Neurological
Determination Of Death. Can J Anesth 2006;53(6):602-608.
17. G. Bryan Young MD FRCPC. Et al. Brief Review: The Role Of Ancillary
Tests In The Neurological Determination Of Death. Can J Anesth
2006;53(6) : 620-627.
18. Taveras JM, Wood EH. Diagnostic Neuroradiology Volume II. 2nd Ed.
Baltimore : The William & Wilkins Company; 1977.p.650-1.
19. Christopher James Doig MD. Brain Death: Resoving Inconsistencies In
Ethical Declaration Of Death. Can J Anesth 2003;50(7):725-731.

You might also like