Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tiroiditis adalah suatu peradangan pada kelenjar tiroid,menyebabkan hipertiroidisme
sementara yang seringkali diikuti oleh hipotiroidisme sementara atau sama sekali tidak terjadi
perubahan dalam fungsi tiroid. Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks,
dengan faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor
pemicu lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Agar mahasiswa memahami asuhan keperawatan pasien dengan tiroidistis
1.2.2 Tujuan khusus
1. Agar mahasiswa memahami konsep dasar medik asuhan keperawatan pasien dengan
tiroiditis
2. Agar mahasiswa memahami konsep dasar keperawatan asuhan keperawatan pasien
dengan tiroiditis
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Dasar Medik
2.1.1 Defenisi
Tiroiditis merupakan inflamasi kelenjar tiroid.Keadaan ini bisa bersifat akut, sub akut,
atau kronis.Masing-masing tipe tiroiditis ditandai oleh inflamasi, fibrosis atau infiltrasi
limfositik pada kelenjar tiroid. (Smeltzer, Suzanne C. 2011)
Tiroiditis adalah suatu peradangan pada kelenjar tiroid,menyebabkan hipertiroidisme
sementara yang seringkali diikuti oleh hipotiroidisme sementara atau sama sekali tidak
terjadi perubahan dalam fungsi tiroid.
Tiroiditis merupakan inflamasi kelenjar tiroid.Keadaan ini bisa bersifat akut, sub akut
atau kronis. Masing-masing tipe tiroiditis ditandai oleh inflamasi, fibrosis atau implemantasi
limfotik pada kelenjar tiroid.
2.1.2 Anatomi Fisiologi
Kelenjar tiroid merupakan organ yang berbentuk seperti kupu-kupu dan terletak pada
leher bagian bawah di sebelah anterior trachea.Kelenjar ini terdiri atas dua lobus lateral yang
dihubungkan oleh sebuah istmus.Kelenjar tiroid mempunyai panjang kurang lebih 5 cm serta
3 cm dan berat kurang lebih 30 gr.Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yang
berbeda tiroksin (T4), Trilodotironin (T3) dan Kalsitonin. Ambilan dan metabolisme
Iodium.Iodium merupakan unsur esensial bagi tiroid untuk sintesis hormon tiroid.Gangguan
utama akibat defisiensi Iodium adalah perubahan fungsi tiroid. Iodium dikonsumsi dari
makanan dan diserap dalam darah di dalam traktus gastrointestinal. Kelenjar tiroid bekerja
sangat efisien dalam mengambil Iodium dari darah dan kemudian memekatkannya dalam selsel kelenjar tersebut. Ion-ion iodida akan diubah menjadi molekul Iodium yang akan bereaksi
dengan
tirosin
(suatu
asam
amino)
untuk
membentuk
hormon
tiroid.
Pengaturan fungsi tiroid. Sekresi tirotropin, atau TSH (Thyriod Stimulating Hormone), oleh
kelenjar hipofisis akan mengendalikan kecepatan pelepasan hormon tiroid. Selanjutnya,
pelepasan TSH ditentukan oleh kadar hormon tiroid dalam darah. Jika konsentrasi hormon
tiroid dalam darah menurun, pelepasan TSH meningkat sehingga terjadi peningkatan
keluaran T4 dan T3.Keadaan ini merupakan suatu contoh pengendalian umpan balik
arteri.Efek
pada
respiratori.
Meningkatnya
kecepatan
metablisme
akan
sisa.Tiroiditis ini sering terjadi setelah infeksi respiratorius.Kelenjar tiroid membesar secra
simetris dan kadang-kadang terasa nyeri. Kulit diatasnya sering tampak kemerah dan terasa
hangat.Pasien merasa sulit menelan dan mengalami gangguan rasa nyaman, iritabilitas,
kegelisahan insoumnia dan penurunan berat badan yang kesemuanya merupakan manipestasi
dari hipertiroidisme sering dijumpai, dan banyak pasien juga merasakan gejala demam serta
menggigil.Tiroiditis tanpa nyeri (tiroiditis limposifik sub akut) sering terjadi pada periode
pasca partus dan diperkirakan disebabka oleh autoimun. Gejala hipertiroidisme atau
hipertiroidisme mungkin saja timbul, tetapi ditunjukkan untuk menangani gejala, dan
pemeriksaan tindak lanjut yang dilakukan setahun sekali perlu dianjurkan untuk enentukan
aapakah pasien memerlukan terapi guna mengatasi hipertiroidisma yang kemudian.
3. Tiroiditis kronis (tiroiditis hashimoto)
Tiroiditis kronis yang paling sering dijumpai pada wanita berusia 30 hingga 50 tahun
diberi nama penyakit hashimoto atau tiroiditis limfosik kronis.penegakan diagnostiknya
dilakukan
berdasarkan
gambaran
histopatologis
kelenjar
tiroid
yang
mengalami
inflamasi.Berbeda denag tiroiditis akut, bentuk yang kronis ini biasanya tidak disertai nyeri,
gejala penekanan ataupun rasa panas, aktifitas kelenjar tiroid biasaya normal atau rendah dan
bukan meningkat.
2.1.4 Etiologi
Etiologi dari tiroiditis dibagi berdasarkan klasifikasi
1. Tiroiditis subakut
Yang jelas sampai sekarang tidak diketahui, pada umumnya diduga oleh virus. Pada
beberapa kasus dijumpai antibody autoimun.
2. Tiroiditis akut supuratif
Kuman penyebab biasanya stafhylococcus aureus, stafhylocaccus hemolyticus dan
pneumococcus. Infeksi dapat terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan
sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung dan duktuk tiroglosus yang persisten,
kelainan yang terjadi dapat disertai terbentuknya abses atau tanpa abses. Abses ini dapat
menjurus ke mediastinum, bahkan dapat pecah ke trakea dan esophagus.
3. Tiroiditis hashimoto
Untuk alasan yang tidak diketahui, tubuh melawan dirinya sendiri dalam suatu reaksi
autoimun,membentuk
antibodi
yang
menyerang
kelenjar
tiroid.
Penyakit ini 8 kali lebih sering terjadi pada wanita dan bisa terjadi pada orang-orang yang
memiliki kelainan kromosom tertentu, seperti sindroma Turner, sindroma Down dan
sindroma Kleinefelter.
4. Tiroiditis limfosotik laten
Penyebabnya tidak diketahui. Terjadi penyusupan limfosit (sejenis sel darah putih) ke
dalam kelenjar tiroid.
2.1.5 Patofisiologi
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor
penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu
lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.Walaupun etiologi
pasti respon imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui
bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya diketahui pula
pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun
humoral dan seluler yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit
T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan
membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi
terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking
dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen.
Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat dari faktor
genetik dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen dan autoantibodi
tiroid, ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi
pada proses penyakit ini.
1. Faktor genetik
Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon imun
seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen yang
mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase),
transporter iodium, TSHR (TSH Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru
enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4),
CD4, HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR.
Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang
terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan
mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas
II pada permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang
diekspresikan pada PC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD4), dan berinteraksi dengan reseptor
(CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi
antigen (2).
CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat
meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain. CTLA-4 berasosiasi
dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, dan
pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1,
penyakit Addison, dan myasthenia gravis.
Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini
menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial.
Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibodi
antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic
autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik
dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits
Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-Kaukasus
dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan
dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina.
2. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab
penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan
iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu
reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar
tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteri .
Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-, amiodarone dan
Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid. Pada Tabel 2.1 disajikan
beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan
fenotipenya.
Tabel 2.1 Faktor lingkungan yang terlibat dalam patologi tiroiditis autoimun
Faktor Lingkungan
Berat lahir rendah
Mekanisme
Maturasi thymik tidak
Fenotipe
Antibodi TPO
Ekses iodium
sempurna
Tidak terjadi escape effect
HT
Wolff-Chaikoff; Jod-Basedow
Defisiensi selenium
Jarak proses reproduktif
GD
HT
HT
yang panjang
Kontraseptif oral
Mikrokhimerisme fetal
Protektif
Sel laki-laki di sel tiroid
Antibdi TPO
HT dan GD
Stress
Alergi
GD
GD
Rokok
Infeksi Yersinia
tinggi
Hipoksia?; Kadar IgE tinggi
Mimikri molekuler
GD; terutama GO
GD
enterocolitica
Keterangan :
HT : Hashimoto thyroiditis
GD : Graves disease
GO : Graves ophthalmopathy
Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu
seperti penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan selama kehamilan dapat
menyebabkan intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan
limpa mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor intrauterin tertentu
yang menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan pertama
yang terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian hari .
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid. Hipotiroid lebih
sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan
prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih
sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman
kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium berlebihan
dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang
penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan hipotiroid dan/ atau
goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul
autonom fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan
menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut
diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang
pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya
merupakan pula faktor risiko terjadinya PTAI.
Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis selenocysteine, yang
juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun. Defisiensi
selenium akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus
Coxsackie, mungkin karena limfosit T memerlukan selenium.
Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan
radikal bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim
yaitu selenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi
hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian
akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan
meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi limfosit.
Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain
memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita hipotiroid subklinik akan
menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas hidup, tanpa
mempengaruhi status hormon tiroid.Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan
neuroendokrin. Saat stress sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi,
menimbulkan efek imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda
terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan sistem imun menjadi respons Th2, yang akan
menekan imunitas seluler dan memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B),
sedangkan imunitas humoral meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit
autoimun tertentu seringkali didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit
Graves. Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor stress.
Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis PTAI.
Ada tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor pencetus PTAI
seperti :
a. Mimikri molekuler antara epitop antigenik dengan reseptor TSH;
b. Induksi molekul MHC kelas II
c. Molekul superantigen yang dibentuk oleh agen infeksi menginduksi sel T
Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru, juga
mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T,
meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok
akan meningkatkan risiko kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia
setelah pengobatan dengan iodium radioaktif .
3. Autoantigen dan autoantibodi tiroid
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan
fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler.Kerusakan seluler terjadi saat
limfosit T yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran
sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja
autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga
autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin,
dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai thyroid microsomal
antigen, merupakan enzim utama yang berperan dalam hormogenesis tiroid.
Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells merupakan
penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak menghambat aktivitas enzimatik
TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas
sebagai petanda (marker) penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid.
Di lain pihak beberapa studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik
terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai
hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik.
Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR dikelompokkan menjadi:
a.
terutama IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons imun humoral. Sel Th3
menghasilkan terutama TGF yang mempunyai peranan protektif dan pemulihan dari
penyakit autoimun.
Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid
dan menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC kelas I dan II,
serta ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid untuk
menghasilkan sitokin, Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan
meningkatkan reaksi inflamasi dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi
pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid, yang secara langsung akan berimplikasi terhadap
disfungsi tiroid.
Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroidassociated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada penderita
dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang akan
memperluas proses inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC
kelas II, Heat Shock Protein (HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di jaringan
retrobulbar. Sitokin akan meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan membantu
pembentukan sel-sel radang baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan
akumulasi matriks ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek stimulatorik pada
glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor metalloproteinase oleh fibroblast
retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas, memodulasi produksi sitokin atau menghambat
kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat dipertimbangkan untuk menangani oftalmopati
yang sampai saat ini sukar diobati.
Preparat
penyekat
beta
dapat
digunakan
untuk
mengendalikan
gejala
T4 dan T3 serum
Tiroksin bebas
Kadar TSH serum
Ambilan isodium radioskopi
Pemeriksaan fungsi tiroid dapat dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid, serum atau
jaringan perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan kadar T3 dan T4
serum dan T3 resin uptake. Pemeriksaan T3 resin uptake dilakukan untuk menilai perubahan
konsentrasi protein serum yang dapat merubah ikatan T3 dan T4, T4 merupakan hormon yang
lebih poten. Perubahan tiroxine-binding globulin (TBG) dan prealbumin dapat merubah
konsentrasi T4 bebas, dan sedikit merubah T3.
Peningkatan kadar T4 biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat, sedangkan
pemeriksaan T3 lebih sensitif dalam menentukan hipertiroid ringan. Radioimmunoassay TSH dan
tes stimulasi dapat membantu membedakan hipertiroid primer dan sekunder. Pemeriksaan nodul
tiroid mungkin memerlukan biopsi jarum dan eksplorasi bedah.
2.1.9 Komplikasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
kemungkinan adanya perubahan emosi yang berkaitan dengan hipertiroid, status emosi dan
psikologi pasien dievaluasi. Keluarga pasien mungkin memberikan informasi tentang
perubahan terakhir dalam status emosi pasien.
1. Data Subjektif
Hipersekresi kelenjar tiroid menimbulkan efek yang hebat pada kemampuan pasien
untuk berfungsi, begitu pula pada proses-proses fisiologis.Perawat mengumpulkan data dari
pasien atau anggota keluarganya mengenai keadaan yang lalu dan keadaan sekarang : Tingkat
energi, kemampuan suasana hati dan mental,Kemampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari,
Kemampuan mengatasi stress, Intoleransi terhadap panas atau dingin, Asupan makanan, Pola
eliminasi.Wawancara harus dapat membantu perawat mengetahui pemahaman pasien atau
keluarganya mengenai penyakit dan pengobatannya, dan mengenai perawatan yang
diperlukan oleh pasien.
2. Data Objektif
Pemeriksaan fisik awal harus mencakup keterangan pokok mengenai pasien : status
mental (kemampuan mengikuti pengarahan),status gizi, status kardiovaskular, karakteristik
tubuh, penampilan dan tektur kulit, penampilan mata dan gerakan ekstraokuler, adanya edema
serta lokasinya, penampilan leher dan gerakannya, lingkaran perut, ekstremitas.
3. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan fungsi tiroid dapat dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid,
serum atau jaringan perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
kadar T3 dan T4 serum dan T3 resin uptake. Pemeriksaan T3 resin uptake dilakukan untuk
menilai perubahan konsentrasi protein serum yang dapat merubah ikatan T 3 dan T4, T4
merupakan hormon yang lebih poten Perubahan tiroxine-binding globulin (TBG) dan
prealbumin dapat merubah konsentrasi T4 bebas, dan sedikit merubah T3.Peningkatan kadar
T4 biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat, sedangkan pemeriksaan T 3 lebih
sensitif dalam menentukan hipertiroid ringan. Radioimmunoassay TSH dan tes stimulasi dapat
membantu membedakan hipertiroid primer dan sekunder. Pemeriksaan nodul tiroid mungkin
memerlukan biopsi jarum dan eksplorasi bedah.
4. Dasar Data Pengkajian
a.
Aktifitas / istirahat
Tanda :disritma (vibrilasi atrium), irama gallop, mur-mur, peningkatan tekanan darah dengan
tekanan nada yang berat.Takikardi saat istirahat, sirkulasi kolaps, syok (krisis tiroksikosisi).
c.
Eliminasi
Gejala : kehilangan berat badan mendadak, napsu makan meningkat, makan banyak,
makannya sering kehausan, mual, muntah.
Tanda : pembesaran tiroid, goiter, edema non pitting terutama daerah pretibial.
f.
Neurosensori
Tanda : bicara cepat dan parau, gangguan status mental, perilaku (bingung, disorientasi,
gelisah, peka rangsang), tremor halus pada tangan, tanpa tujuan beberapa bagian tersentaksentak, hiperaktif refleks tendon dalam (RTP).
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri orbital, fotofobia.
h. Pernapasan
Tanda : frekuensi pernapasan meningkat, takipnea, dispea, edema paru (pada krisis
tirotoksikosis).
i.
Keamanan
Gejala : tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap
Seksualitas
Tanda : penurunan libido, hipomenorea, amenorea dan impoten.
Intervensi Keperawatan
N
O
1
NOC
Hipertermi:
Thermoregulation
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 24
jam suhu tubuh kembali
NIC
Mandiri
menggunakan
tehnik
1. Observasi reaksi nonverbal dari
nonfarmakologi
untuk
ketidaknyamanan
mengurangi
2. Gunakan teknik komunikasi terapeutik
nyeri,mencari bantuan)
untuk mengetahui pengalaman nyeri
Melaporkan bahwa nyeri
pasien
berkurang
dengan
Penkes
menggunakan
1. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
manajemen nyeri
2. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
Mampu mengenali
3. Tingkatkan istirahat
kolaborasi
nyeri (skala, intensitas,
1. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
frekuensi dan
tanda
keluhan dan tindakan nyeri tidak
nyeri)
berhasil
Menyatakan rasa
2. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyaman setelah nyeri
nyeri
berkurang
3. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
Tanda vital dalam
(farmakologi, non farmakologi dan
rentang normal
inter personal)
Temperature regulation:
Pengkajian
1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
2. Monitor TD, nadi, dan RR
3. Monitor warna dan suhu kulit
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh: Nutritional Status :
food and Fluid Intake
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 24
jam, kebutuhan nutrisi
kembali terpenuhi dengan
kriteria hasil:
Adanya peningkatan
berat badan sesuai
dengan tujuan
Beratbadan ideal sesuai
dengan tinggi badan
Mampumengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
Tidk ada tanda tanda
malnutrisi
Menunjukkan
peningkatan fungsi
pengecapan dari menelan
Pengkajian
1. Kaji adanya alergi makanan
2. Kaji
kemampuan
pasien
untuk
mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
3. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan
kalori
Mandiri
1. Berikan informasi tentang kebutuhan
nutrisi
2. Berikan substansi gula
Penkes
1. Yakinkan
diet
yang
dimakan
mengandung
tinggi
serat untuk
mencegah konstipasi
2. Ajarkan pasien bagaimana membuat
catatan makanan harian
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
2. Berikan makanan yang terpilih ( sudah
dikonsultasikan dengan ahli gizi)