You are on page 1of 37

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN

JAKARTA
REFERAT
GAMBARAN RADIOLOGI PADA ARTRITIS REUMATOID
Diajukan Kepada Pembimbing :
dr.Renita Zein, Sp.Rad

Disusun oleh :
Pandu Wicaksono (1510221028)

Kepaniteraan Klinik Departemen Radiologi


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Periode 4 Januari 6 Febuari 2016
LEMBAR PENGESAHAN KEPANITERAAN RADIOLOGI

Referat dengan judul :

GAMBARAN RADIOLOGI PADA ARTRITIS REUMATOID

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Radiologi RSUP Persahabatan Jakarta

oleh :
Pandu wicaksono

1510221028

Telah disetujui oleh Pembimbing :


Pembimbing

dr. Renita Zein, Sp. Rad

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa kareana
atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat mengenai

gambaran radiologi pada reumatoid atritis tepat pada waktunya. Referat ini untuk
memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Radiologi.
Penyusunan tugas referat ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak
yang turut membantu terselesaikannya tugas referat ini. Untuk itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Renita zein, Sp.Rad. atas bimbingannya selama ini dan juga tidak lupa
kepada teman-teman seperjuangan di kepaniteraan klinik bagian radiologi atas
kerjasamanya selama penyusunan referat ini.
Semoga referat ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca,
maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, januari 2016


Penulis

Daftar Isi
BAB I pendahuluan....................................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka............................................................................................2
II.1 Anatomi dan fisiologi..........................................................................................2
II.2 Atritis Reumatoid (AR)..............................................................................6
3

II.3 Diagnosis....................................................................................................11
II.4 Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid........................................................13

II.5 Diagnosis banding Artritis Reumatoid.......................................................21


II.6 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................21
II.7 Penatalaksanaan..........................................................................................29
II.8 Kriteria Remisi...........................................................................................33

BAB IV Kesimpulan.........................................................................................34
Daftar Pustaka...................................................................................................35

BAB I
PENDAHULUAN
I. latar belakang
Artritis Reumatoid (AR) sering mengenai penduduk pada usia produktif
sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar. AR adalah penyakit

yang dapat menyebabkan kerusakan pada sendi dan tulang. Sebagian besar pasien
menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati
akan menyebabkan terjadinya kerusakan persendian lebih lanjut yang
menyebabkaan kecacatan.
Artritis Reumatoid adalah penyakit inflamasi yang belum diketahui pasti
penyebabnya gambaran radiologi ditandai dengan poliarthritis simetris dan
perifer. Inflamsi dari athritis kronis sering menimbulkan kerusakan pada sendi,
karena AR merupakan penyakit sistemik, AR dapat menimbulkan maniftasi
ekstraartikulasi, termasuk kelemahan, nodul subcutaneous, pericarditis, neuropati
perifer, vasculitis dan abnormal hematologi.
Pemahaman tentang penyakit diperoleh dari sebuah penelitian kesehatan
merubah dari paradigma tentang diagnosis dan manajemen AR. Serum antibodi
cyclic circullinated peptides (anti-ccps) sekarang sudah menjadi penanda penting
dari dari diagnosis dan prognosis. Selain itu, kemajuan akan penggunaan suara
ultrasonik dan resonansi magnetik dapat meningkatkan kemampuan kita untuk
mendeteksi inflamasi dan kerusakan sendi pada Rheumatoid Arthritis. Ilmu
pengetahuan mengenai AR telah mengambil lompatan besar dengan
mengidentifikasi penyakit baru yang berhubungan dengan genetik dan
menguraikan lebih lanjut mengenai jalur molekuler dari patogenesis penyakit.
Diagnosis dini dan terapi agresif sangat penting untuk mencegah
terjadinya kecacatan pada pasien dengan artritis reumatoid. Pada sisi lain
diagnosis dini sering menghadapi kendala yaitu pada masa dini sering belum
didapatkan gambaran karakteristik AR karena gambaran karakteristik AR
berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai
pengobatan yang adekuat. Penelitian terbaru untuk pengobatan AR adalah dengan
mengkombinasikan antara etanercept yang merupakan TNF- blocking agents
dengan metotrexate yang merupakan DMARD.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi Dan Fisiologi

Sistem muskuloskeletal berfungi sebagai penunjang bentuk tubuh dan ikut


serta dalam pergerakan. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon,
ligamen, bursa, dan jaringanjaringan khusus yang menghubungkan struktur
tersebut.5
II.1.1 Sendi
Sendi adalah pertemuan dua atau lebih tulang. Tulang-tulang ini dipadukan
dengan berbagai cara, misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen,
tendon, fasia, atau otot.
Ada tiga tipe sendi, yaitu :
1. Sendi fibrosa atau sinarthroidal, merupakan sendi yang tidak dapat
bergerak.
2. Sendi kartilaginosa atau amphiarthroidal, merupakan sendi yang sedikit
bergerak.
3. Sendi sinovial atau diarthroidal, merupakan sendi yang dapat bergerak
dengan bebas.

Gambar. 1. Normal joint and Arthritic joint


II.1.1.1 Sendi fibrosa (Sinarthroidal)

Sendi ini tidak memiliki lapisan tulang rawan, dan tulang yang satu
dengan yang lainnya dihubungkan oleh jaringan penyambung fibrosa. Contohnya
terdapat pada sutura tulang-tulang tengkorak. Yang kedua disebut sindesmosis,
dan terdiri dari suatu membran interosseus atau suatu ligamen antara tulang.
Hubungan ini memungkinkan sedikit gerakan, tetapi bukan gerakan sejati.
Contohnya ialah perlekatan tulang tibia dan fibula bagian distal. 5,7

Gambar. 2.

Synarthroidal joint

II.1.1.2 Sendi kartilaginosa (Amphiarthroidal)


Sendi kartilaginosa adalah sendi dimana ujungujung tulangnya
dibungkus oleh rawan hialin dan disokong oleh ligamen, sehingga hanya
memungkinkan suatu gerakan yang terbatas. Sinkondrosis adalah sendi-sendi
yang seluruh persendiannya diliputi oleh tulang rawan hialin. Sendi-sendi
kostokondral adalah contoh dari sinkondrosis. Simfisis adalah sendi yang tulangtulangnya memiliki suatu hubungan fibrokartilago, dan selapis tipis tulang rawan
hialin yang menyelimuti permukaan sendi. Simfisis pubis dan sendi-sendi pada
tulang punggung adalah contoh-contohnya.5

Gambar. 3. Amphiarthroidal joint

II.1.1.3 Sendi sinovial (Diarthroidal)


Sendi sinovial adalah sendi-sendi tubuh yang dapat digerakkan. Sendi-sendi
ini memiliki rongga sendi dan permukaan rongga sendi dilapisi tulang rawan
hialin.
Kapsul sendi terdiri dari suatu selaput penutup fibrosa padat, suatu lapisan
dalam yang terbentuk dari jaringan penyambung berpembuluh darah banyak dan
sinovium yang membentuk suatu kantung yang melapisi seluruh sendi, dan

membungkus tendon-tendon yang melintasi sendi. Sinovium tidak meluas


melampaui permukaan sendi, tetapi terlipat sehingga memungkinkan gerakan
sendi secara penuh. Lapisan-lapisan bursa diseluruh persendian membentuk
sinovium. Periosteum tidak melewati kapsul.5,7
Sinovium menghasilkan cairan yang sangat kental yang membasahi
permukaan sendi. Cairan sinovial normalnya bening, tidak membeku dan tidak
berwarna. Jumlah yang ditemukan pada tiap-tiap sendi relatif kecil (1 sampai 3
ml). Hitung sel darah putih pada cairan ini normalnya kurang dari 200 sel/ml dan
terutama adalah sel-sel mononuklear. Asam hialuronidase adalah senyawa yang
bertanggung jawab atas viskositas cairan sinovial dan disintesis oleh sel-sel
pembungkus sinovial. Bagian cair dari cairan sinovial diperkirakan berasal dari
transudat plasma. Cairan sinovial juga bertindak sebagai sumber nutrisi bagi
tulang rawan sendi.5
Kartilago hialin menutupi bagian tulang yang menanggung beban tubuh pada
sendi sinovial. Tulang rawan ini memegang peranan penting dalam membagi
beban tubuh. Rawan sendi tersusun dari sedikit sel dan sebagian besar substansi
dasar. Substansi dasar ini terdiri dari kolagen tipe II dan proteoglikan yang berasal
dari sel-sel tulang rawan. Proteoglikan yang ditemukan pada tulang rawan sendi
sangat hidrofilik sehingga memungkinkan tulang rawan tersebut menerima beban
yang berat.7
Tulang rawan sendi pada orang dewasa tidak mendapat aliran darah, limfe,
atau persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme lain dibawa oleh cairan
sendi yang membasahi tulang rawan tersebut. Perubahan susunan kolagen
pembentukan proteoglikan dapat terjadi setelah cedera atau usia yang bertambah.
Beberapa kolagen baru pada tahap ini mulai membentuk kolagen tipe I yang lebih
fibrosa. Proteoglikan dapat kehilangan sebagian kemampuan hidrofiliknya.
Perubahan-perubahan ini berarti tulang rawan akan kehilangan kemampuannya
untuk menahan kerusakan bila diberi beban berat.
Sendi dilumasi oleh cairan sinovial dan oleh perubahan-perubahan hidrostatik
yang terjadi pada cairan interstitial tulang rawan. Tekanan yang terjadi pada tulang
rawan akan mengakibatkan pergeseran cairan ke bagian yang kurang mendapat
tekanan. Sejalan dengan pergeseran sendi ke depan, cairan yang bergerak ini juga

bergeser ke depan mendahului beban. Cairan kemudian akan bergerak ke


belakang ke bagian tulang rawan ketika tekanan berkurang. Tulang rawan sendi
dan tulang-tulang yang membentuk sendi biasanya terpisah selama gerakan
selaput cairan ini. Selama terdapat cukup selaput atau cairan, tulang rawan tidak
dapat aus meskipun dipakai terlalu banyak.
Aliran darah ke sendi banyak yang menuju ke sinovium. Pembuluh darah
mulai masuk melalui tulang subkondral pada tingkat tepi kapsul. Jaringan kapiler
sangat tebal di bagian sinovium yang menempel langsung pada ruang sendi. Hal
ini memungkinkan bahan-bahan di dalam plasma berdifusi dengan mudah ke
dalam ruang sendi. Proses peradangan dapat sangat menonjol di sinovium karena
di dalam daerah tersebut banyak mengandung aliran darah, dan disamping itu juga
terdapat banyak sel mast dan sel lain dan zat kimia yang secara dinamis
berinteraksi untuk merangsang dan memperkuat respons peradangan.5
Saraf-saraf otonom dan sensorik tersebar luas pada ligamen, kapsul sendi, dan
sinovium. Saraf-saraf ini berfungsi untuk memberikan sensitivitas pada strukturstruktur ini terhadap posisi dan pergerakan. Ujung-ujung saraf pada kapsul,
ligamen, dan adventisia pembuluh darah sangat sensitif terhadap peregangan dan
perputaran. Nyeri yang timbul dari kapsul sendi atau sinovium cenderung difus
dan tidak terlokalisasi. Sendi dipersarafi oleh saraf-saraf perifer yang
menyeberangi sendi. Ini berarti nyeri yang berasal dari satu sendi mungkin dapat
dirasakan pada sendi yang lainnya, misalnya nyeri pada sendi panggul dapat
dirasakan sebagai nyeri lutut.5

Gambar. 4. Diarthroidal joint


9

II.2 Atritis Reumatoid (AR)


II.2.1 Definisi
Atritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh
inflamasi sistemik kronik dan progesif, dimana sendi merupakan target utama.
Manifestasi klinis AR adalah poliartritis sistemik yang terutam mengenai sendi
kecil pada tangan dan kaki, Karena AR merupakan penyakit sistemik, AR
menimbulkan berbagai manifestasi ekstraarticular, termasuk kelelahan, nodul
pada lapisan subcutaneous, lung involvement, pericarditis, neuropati perifer,
vaskulitis, dan keabnormalan dari hematologi. Mortalitas AR meningkat akibat
adanya komplikasi cardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya
komorbilitas.
II.2.2 Epidemologi
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta
melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. AR lebih sering dijumpai pada
wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1. Perbandingan ini
mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur.2
Prevalensi artritis reumatoid relatif tetap pada banyak populasi, sebesar
0,5% - 1,0%. Prevalensi tertinggi dilaporkan pada Pima Indians (5,3%) dan pada
Chippewa Indian (6,8%). Sebaliknya rendahnya angka kejadian telah dilaporkan
pada populasi dari China dan Jepang.8
Di Indonesia prevalensi AR kurang dari 0,4 % baik di daerah rural maupun
urban. Hasil survey yang dilakukan di jawa tengah mendapatkan prevalensi AR
sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban. Di poliklinik reumatologi
RSUP Cipto Mangukusumo Jakarta, kasus baru AR merupakan 4,1% dari seluruh
kasus baru tahun 2000 dan pada periode januari s/d juni 2007 didapatkan 203
kasus dari jumlah kunjungan sebanyak 1.346 orang (15,1%).8
II.2.3 Etiologi
1 Faktor Genetik
Penyebab penyakit AR belum diketahui secara pasti. Terdapat interaksi yang
kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting
terhadap kejadian RA, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar
60%. Hubungan HLA class II histocompatibility antigen, DRB1-9 beta chain
10

(HLA-DRB1) dengan kejadian RA telah diketahui dengan baik, walaupun


beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan RA seperti daerah 18q21 dari
gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NFB).2,8
Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor genetik
juga berperanan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim seperti
methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk
metabolisme methoraxate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik.
2 Hormon Seks
Prevelansi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki,
sehingga diduga hormon seks berperanan dalam perkembangan penyakit ini. Pada
observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala AR selama kehamilan.
Perbaikan ini diduga karena adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang
menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang
mengakibatkan perbaikan penyakit. Selain itu, terdapat juga perubahan profil
hormon. Placental corticotropin releasing hormone secara langsung menstimulasi
sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada
perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus.8
Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan humoral.
DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan
progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon
imun selular (Th1). Oleh karena pada AR respon Th1 lebih dominan sehingga
estrogen

dan

perkembangan

progesteron
AR.

mempunyai

Pemberian

efek

kontrasepsi

yang
oral

berlawanan
dilaporkan

terhadap
mencegah

kemungkinan AR atau berhubungan dengan penurunan insiden RA yang lebih


berat.8
3. Faktor Infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab. Organisme
diduga menginfeksi sel induksi sel (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel
T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen
infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyakit.8
Agen infeksi
Mycoplasma
Parvovirus B19

Mekanisme patogenik
Infeksi sinovial langsung, superantigen
Infeksi sinovial langsung

11

Retrovirus
Enteric bacteria
Mycobacteria
Epstein-Barr Virus
Bacterial Cell Walls

Infeksi sinovial langsung


Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Aktivasi mikrofag

Tabel 1. Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab AR


4. Protein heat shock (HSP)
HSP adalah protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai
respon terhadap stress. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino
homolog. HSP tertentu manusia dan HSP mikobacterium tuberkulosis mempunyai
untain 65% yang homolg. Hipotesisnya dalah antibodi dan sel T mengenali epitop
HSP pad agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit
dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal
sebagai kemiripan molekul (molecular mimcry).8
II.2.4 Patogenesis
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibrosis
sinovial setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit
akan menginfiltrasi daerah perivaskuler dan kemudian terjadi poliferasi sel
endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi
akan mengalami okulsi akibat bekuan kecil atau sel-sel inflamsi. Jaringan yang
mengalami inflamasi akan mengalami pembentukan jaringan pannus yang akan
merusak tulang rawan pada sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin,
proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga dapat mendestruksi sendi
dan komlikasi sistemik.8
Patogenesis AR dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada pada
membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut, antigen tersebut akan diproses
oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti
synoviocyte A, sel dendritik atau makrofag dan semuanya mengekspresi
determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses oleh
APC selanjutnya dilekatkan pada CD4+. Suatu subset sel T sehingga terjadi
aktivasi sel tersebut. Untuk memungkinkan terjadinya aktivasi CD4+, sel tersebut
harus mengenali antigen dan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan
membran APC. Proses aktivasi CD4+ ini juga dibantu oleh interleukin-1 (IL-1)
yang disekresi oleh monosit atau makrofag. Pada tahap selanjutnya, antigen
determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC dan CD4+

12

akan membentuk suatu kompleks antigen trimolekular. Kompleks antigen


trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) pada
permukaan CD4+. IL-2 yang disekresi oeh CD4+ akan mengikatkan diri pada
reseptornya dan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut.
Proliferasi sel CD4+ akan berlangsung terus selama antigen tetap berada pada
lingkungan tersebut.
Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai
limfokin lain seperti A-interferon, tumor necrosis factor (TNF-), IL-3, IL-4 (Bcell differentiating factor), granulocytelmacrophage colony stimulating factor
(GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk
meningkatkan fagositosisnya dan merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi
sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini juga dibantu
oleh IL-1, IL-2 dan IL-4 yang disekresi oleh sel CD4+ yang telah teraktivasi.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang
sendi. Pengendapan kompleks imun pada membran sinovial akan menyebabkan
aktivasi sistem komplemen yang membebaskan komponen C5a. Komponen C5a
merupakan komponen kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas
vaskular juga menarik lebih banyak sel PMN yang memfagositir kompleks imun
tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi mast cell dan pembebasan radikal
oksigen, leukotriene, enzim liposomal, prostaglandin, collagenase dan stromelysin
yang semuanya bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi dan kerusakan
jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang8,2.
Radikal oksigen dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hyaluronate
sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi serta juga
merusak jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Walaupun leukotrien
LTB4 diketahui menyebabkan terjadinya migrasi dan agregasi netrofil yang kuat,
akan tetapi peranan LTB4 pada patogenesis AR belum dapat dijelaskan dengan
pasti. Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat
merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF. Akan tetapi karena PGE2 juga menghambat sekresi IL-2 dan A-interferon.
PGE2 juga memiliki efek anti inflamasi.8

13

Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T ke dalam


membran sinovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan
elemen yang paling bersifat destruktif pada patogenesis AR. Pannus merupakan
jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang
berproliferasi dan jaringan mikrovaskular. Pannus dapat menginvasi jaringan
kolagen dan proteoglikan rawan sendi serta tulang sehingga dapat menghancurkan
struktur persendian. Jika proses pembentukan pannus tidak terhenti baik karena
pengobatan atau terjadinya remisi spontan, proses ini akan menyebabkan
terjadinya ankilosis. Pembentukan pannus juga mengakibatkan terjadinya
peningkatan ekskresi intacellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang merupakan
tempat sel mononukleus pada sel endotel mikrovaskular. Ekspresi ICAM-1 pada
sel endotel kapiler sinovial mengakibatkan terjadinya peningkatan adhesi sel
mononukleus pada endotel kapiler. Walaupun pada AR terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler dan peningkatan adhesi sel mononuklear, tidak semua subset
sel T mengalami migrasi dari kapiler sinovial. Hanya fenotip sel T tertentu saja
yang keluar dari kapiler sinovial yaitu subset CD4+, CD45RO dan CD29 bright.
Peristiwa diatas menunjukkan bahwa pengenalan antigen AR terjadi
setelah subset sel T tersebut meninggalkan thymus. Terdapatnya reseptor MHC
Class II seperti HLA-DR, DQ dan DP pada permukaan sel T bersama dengan
adanya very late antigen type 1 (VLA-1) menunjukkan bahwa aktivasi dan
proliferasi sel T terjadi secara lokal. Dari penemuan ini dapat disimpulkan bahwa
aktivasi sel T mungkin dicetuskan oleh suatu antigen yang tidak diketahui, APC
atau kompleks peptida trimolekular dalam ruang sendi yang mengakibatkan
terjadinya sinovitis pada AR.
Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen
penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR,
antigen atau komponennya umumnya akan menetap pada struktur persendian
sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Berlangsung terusnya
destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan karena terbentuknya
faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu antibodi terhadap epitope fraksi
Fc IgG yang dijumpai pada 70 sampai 90 % pasien AR. Faktor reumatoid juga
dapat berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga
proses peradangan akan berlanjut terus. Terbentuknya autoantibodi terhadap

14

collagen type II baik yang bersifat native ataupun yang telah mengalami
denaturasi dapat pula mengekalkan terjadinya peradangan dengan mekanisme
yang sama.
II.3 Diagnosis
II.3.1 Gejala Klinis
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama
mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris.
Pada kasus AR yang jelas diagnosis tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan
tetapi pada permulaan penyakit, seringkali gejala AR tidak bermanifestasi dengan
jelas, sehingga kadang-kadang timbul kesulitan dalam menegakkan diagnosis.1
Pada pasien harus diberitahukan bahwa semakin lama diagnosis AR tidak
dapat ditegakkan dengan pasti oleh seorang dokter yang berpengalaman,
umumnya akan semakin baik pula prognosis AR yang dideritanya.1
II.3.2 Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid
Kriteria diagnostik AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu
komite khusus dari American Rheumatism Association (ARA). Susunan
kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
-

Kaku pagi
Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
Artritis pada persendian tangan
Artritis simetris
Nodul reumatoid
Faktor reumatoid serum positif
Perubahan gambaran radiologis
Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurangkurangnya kriteria 1 sampai 4 yang diderita sekurang-kurangnya 6
minggu.8
Kriteria
Kaku pagi hari

Definisi
Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan sekitarnya,

Artritis pada 3

sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.


Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih

daerah persendian

efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang kurangnya

atau lebih
Artritis pada

3 sendi secara bersamaan yang diobservasi seorang dokter


Sekurang kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian

persendian tangan
Artritis simetris

tangan seperti yang tertera di atas


Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada
kriteria 2 pada kedua belah sisi (keterlibatan PIP, MCP atau

15

MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat


Nodul reumatoid

simetris)
Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ekstensor atau daerah juksta artikuler yang diobservasi oleh

Faktor reumatoid

seorang dokter.
Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang

serum positif

diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang

Perubahan

dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa.


Perubahan gambaran radiologis yang radiologis khas bagi

gambaran

artritis reumatoid pada pemeriksaan sinar-x tangan posterior

radiologis

atau pergelangan tangan yang harus menunjukkan adanya


erosi atau kalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau
daerah yang berdekatan dengan sendi (perubahan akibat

osteoartritis saja tidak memenuhi persyaratan).


PIP= Proximal Interphalangeal, MCP= Metacarpophalangeal, MTP= Metatarsophalangeal

Kriteria ini mempunyai sensitifitas 91% dan spesifisitas 74%.


Tabel.2 Kriteria American Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid

II.4 Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid


Walaupun AR dapat timbul berupa serangan poliartritis akut yang
berkembang cepat dalam beberapa hari, pada umumnya gejala penyakit ini
berkembang secara perlahan dalam beberapa minggu. Dalam keadaan dini, AR
dapat bermanifestasi sebagai palindromic rheumatism, yaitu timbulnya gejala
monoartritis yang hilang timbul yang berlangsung antara 3-5 hari dan diselingi
dengan masa remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai AR yang khas.
Dalam keadaan ini AR juga dapat bermanifestasi sebagai pauciarticular
rheumatism, yaitu gejala poliartritis yang melibatkan 4 persendian atau kurang.
Kedua gambaran klinik seperti ini seringkali menyebabkan kesukaran dalam
menegakkan diagnosis AR dalam masa dini.2.8
II.4.1. Manifestasi Artikular
Manifestasi artikular AR dapat dibagi menjadi 2 kategori: gejala inflamasi
akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel. Gejala akibat kerusakan struktur
persendian yang bersifat ireversibel. Adalah sangat penting untuk membedakan
kedua hal ini karena penatalaksanaan klinis kedua kelainan tersebut sangat
berbeda. Sinovitis merupakan kelainan yang umumnya bersifat reversibel dan
dapat diatasi dengan pengobatan medikamentosa atau pengobatan non-surgikal
lainnya. Pada pihak lain kerusakan struktur persendian akibat kerusakan tulang
rawan sendi atau erosi tulang periartikular merupakan proses yang tidak dapat

16

diperbaiki lagi dan memerlukan modifikasi mekanik atau pembedahan


rekonstruktif.8
Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah kaku
pagi hari. Kekakuan pada pagi hari merupakan gejala yang selalu dijumpai pada
AR aktif. Berbeda dengan rasa kaku yang dapat dialami oleh pasien osteoartritis
atau kadang-kadang oleh orang normal, kaku pagi hari pada AR berlangsung lebih
lama, yang pada umumnya lebih dari 1 jam. Lamanya kaku pagi hari pada AR
agaknya berhubungan dengan lamanya imobilisasi pada saat pasien sedang tidur
serta beratnya inflamasi. Gejala kaku pada pagi hari akan menghilang jika remisi
dapat tercapai. Faktor lain penyebab kaku pagi hari adalah inflamasi akibat
sinovitis. Inflamasi akan menyebabkan terjadinya imobilisasi persendian yang jika
berlangsung lama akan mengurangi pergerakan sendi baik secara aktif maupun
secara pasif. Otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami
peradangan cenderung untuk mengalami spasme dan pemendekan. Fenomena ini
terutama jelas terlihat pada otot intrinsik tangan yang berjalan sepanjang
persendian metacarpophalangeal (MCP) dan otot perineus anterior yang berjalan
sepanjang persendian talonavikularis pada arkus pedis. Deformitas persendian
pada AR dapat terjadi akibat beberapa mekanisme yang berhubungan dengan
terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus. Sinovitis akan menyebabkan
kerusakan tulang rawan sendi dan erosi tulang periartikular sehingga
menyebabkan terbentuknya permukaan sendi yang tidak rata. Jika kerusakan
rawan sendi terjadi pada daerah yang luas dan imobilisasi berlangsung lama, akan
terjadi fusi tulang-tulang yang membentuk persendian. Lebih jauh pannus yang
menginvasi jaringan kolagen serta proteoglikan rawan sendi dan tulang dapat
menghancurkan struktur persendian sehingga terjadi ankilosis. Ligamen yang
dalam keadaan normal berfungsi untuk mempertahankan kedudukan persendian
yang stabil dapat pula menjadi lemah akibat sinovitis yang menetap atau
pembentukan pannus yang memiliki kemampuan melarutkan kolagen tendon,
ligament atau rawan sendi. Gangguan stabilitas persendian dapat jelas terlihat
pada subluksasio persendian MCP akibat terjadinya perubahan arah gaya tarik
tendon sepanjang aksis rotasi sehinga menyebabkan terbentuknya deviasi ulna
yang khas dan AR. Walaupun peran sinovitis dalam menyebabkan deformitas

17

persendian berlaku bagi semua persendian, terdapat beberapa aspek khusus yang
berhubungan dengan sendi tertentu.
1. Veterbra Servikalis
Vertebra servikalis merupakan segmen yang sering terlibat pada AR. Proses
inflamasi ini melibatkan persendian diartroidal yang tidak tampak atau teraba oleh
pemeriksaan. Gejala dini AR pada vertebra sevikalis umumnya bermanifestasi
sebagai kekakuan pada seluruh segmen leher disertai dengan berkurangnya
lingkup gerak sendi secara menyeluruh Tenosinovitis ligamen transversum C1
yang mempertahankan kedudukan prosesus odontoid yang menyebabkan
pengenduran dan ruptur ligamen sehingga menimbulkan penekanan pada medulla
spinalis. Gangguan stabilitas sendi akibat peradangan dan kerusakan permukaan
sendi apofiseal dan pengenduran ligament juga dapat menyebabkan terjadinya
subluksasio yang sering dijumpai pada C4-C5 atau C5-C6.
2.Gelang Bahu
Peradangan pada gelang bahu akan mengurangi lingkup gerak sendi bahu.
Karena dalam aktivitas sehari-hari gerakan bahu tidak memerlukan lingkup gerak
yang luas, umumnya pada keadaan diam pasien tidak merasa terganggu dengan
keterbatasan tersebut. Walaupun demikian,tanpa latihan pencegahan akan mudah
terjadi kekakuan gelang bahu yang berat yang disebut frozen shoulder syndrome.
3. Siku
Sinovitis artikulasio kubiti dapat dengan mudah teraba oleh pemeriksa
karena letaknya yang superfisial. Sinovitis dapat menimbulkan gejala neuropati
tekanan pada nervus ulnaris sehingga menimbulkan gejala neuropati tekanan.
Gejala ini bermanifestasi sebagai parestesia dari 4 dan 5 akan kelemahan otot
fleksor jari 5.

Gambar. 5. Sinovitis artikulatio cubiti

18

4. Tangan.
Pada AR keterlibtan persendian distal interphalangeal (DIP) yang relatif
jarang dijumpai, keterlibatan persendian pergelangan tangan, MCP dan PIP
hampir selalu dijumpai pada AR. Gambaran swan neck deformities akibat fleksi
kontraktur MCP, hiperekstensi PIP dan fleksi DIP serta boutonniere akibat fleksi
PIP dan hiperekstensi DIP dapat terjadi akibat kontraktur otot serta tendon fleksor
dan interoseus merupakan deformitas patognomonik yang banyak dijumpai pada
AR.
Selain gejala yang berhubungan dengan sinovitis, pada AR juga dapat
dijumpai nyeri atau disfungsi persendian akibat penekanan nervus medianus yang
terperangkap dalam rongga karpalis yang mengalami sinovitis sehingga
menyebabkan gejala carpal tunnel syndrome. Walaupun jarang nervus ulnaris
yang berjalan dalam kanal Guyon dapat pula mengalami penekanan dengan
mekanisme yang sama. AR dapat pula menyebabkan terjadinya tenosinovitis
akibat pembentukan nodul reumatoid sepanjang sarung tendon yang dapat
menghambat gerakan tendon dalam sarungnya. Tenosinovitis pada AR dapat
menyebabkan terjadinya erosi tendon dan mengakibatkan terjadinya ruptur tendon
yang terlibat.

Gambar. 6. Artrhitis rheumatoid

5. Panggul
Sendi panggul terletak jauh di dalam pelvis, kelainan sendi panggul akibat
AR umumnya sulit dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini keterlibatan
19

sendi panggul mungkin hanya dapat terlihat sebagai keterbatasan gerak yang tidak
jelas atau gangguan ringan pada kegiatan tertentu seperti mengenakan sepatu.
Walaupun demikian, jika destruksi rawan sendi telah terjadi, gejala gangguan
sendi panggul akan berkembang lebih cepat dibandingkan gangguan pada
persendian lainnya.
6. Lutut.
Penebalan sinovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada
pemeriksaan. Herniasi kapsul sendi ke arah posterior dapat menyebabkan
terbentuknya kista Baker.

Gambar. 7. Rheumatoid arthritis genu

7. Kaki dan Pergelangan Kaki.


Keterlibatan persendian MTP, talonavikularis dan pergelangan kaki
merupakan gambaran yang khas AR. Karena persendian kaki dan pergelangan
kaki merupakan struktur yang menyangga berat badan, keterlibatan ini akan
menimbulkan disfungsi dan rasa nyeri yang lebih berat dibandingkan dengan
keterlibatan ekstremitas atas. Peradangan pada sendi talonavikularis akan
menyebabkan spasme otot yang berdekatan sehingga menimbulkan deformitas
berupa pronasio dan eversio kaki yang khas pada AR. Walaupun jarang, nervus
tibialis posterior dapat pula mengalami penekanan akibat sinovitis pada rongga
tarsalis (tarsal tunnel) yang dapat menimbulkan gejala parestesia pada telapak
kaki.

20

Gambar. 8. Foot rheumatoid arthritis

II.4.2 Manifestasi ekstraartikular


1. Kulit.
Nodul reumatoid merupakan suatu gejala AR yang patognomonik. Nodul
reumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan terbentuk di bawah kulit terutama
pada lokasi yang banyak menerima tekanan seperti olekranon, permukaan
ekstensor lengan dan tendon Achilles.
Vaskulitis sering kali bermanifestasi sebagai lesi purpura atau ekimosis
pada kulit dan nekrosis kuku. Jika vaskulitis menyebabkan iskemia pada daerah
yang cukup luas, kelainan ini dapat menyebabkan terbentuknya gangren atau
ulkus terutama pada ekstremitas bawah.

Gambar. 9. Rheumatoid nodul

2. Mata.
Kelainan mata yang sering dijumpai pada AR adalah keratokonjungtivitis
sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjorgen. Pada keadaan dini gejala ini
sering kali tidak dirasakan oleh pasien. Untuk itu pada seitiap pasien AR
kemungkinan terdapatnya kelainan mata harus selalu dicari secara aktif agar
kerusakan mata yang berat dapat dicegah. Pada AR umumnya dapat dijumpai
beberapa episode episkleritis yang umumnya sangat ringan dan akan sembuh
secara spontan. Walaupun demikian, pada AR dapat pula dijumpai gejala skleritis
yang secara histologis menyerupai nodul reumatoid dan dapat menyebabkan
terjadinya erosi sklera sampai pada lapisan koroid serta menimbulkan gejala
skleromalasia perforans yang dapat menyebabkan kebutaan.
21

3. Sistem Respiratorik.
Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada AR. Gejala
keterlibatan saluran nafas atas ini dapat berupa nyeri tenggorokan, nyei menelan
atau disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari.
Walaupun jarang menunjukkan gejala klinis yang berat, paru merupakan
organ yang sering terlibat pada AR. Umumnya keterlibatan paru yang ringan
hanya dapat diketahui dari hasil autopsi berupa pneumonitis interstitial. Akan
tetapi pada AR yang lanjut dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru yang
luas.
4. Sistem kardiovaskular.
Seperti halnya pada sistem respiratorik, pada AR jarang dijumpai gejala
perikarditis berupa nyeri dada atau gangguan faal jantung. Akan tetapi pada
beberapa pasien dapat pula dijumpai gejala perikarditis konstriktif yang berat.
Lesi inflamatif yang menyerupai nodul reumatoid dapat dijumpai pada
miokardium dan katup jantung. Lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katup,
fenomen embolisasi, gangguan konduksi, aortitis dan kardiomiopati.
5. Sistem Gastrointestinal
Umumnya pada AR tidak pernah dijumpai kelainan traktus gastrointestinalis
yang spesifik selain dari pada xerostomia yang berhubungan dengan sindrom
Sjorgen atau komplikasi gastrointestinal akibat vaskulitis. Kelainan traktus
gastrointestinal yang sering dijumpai pada AR adalah gastritis dan ulkus peptik
yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi non steroid
(OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit/ disease modifing anti
rheumatoid drugs (DMARD) yang merupakan faktor penyebab morbiditas dan
mortalitas utama pada AR.
6. Ginjal
Berbeda dengan lupus eritematosus sistemik, pada AR jarang sekali
dijumpai kelainan glomerular, jika pada pasien AR dijumpai proteinuria,
umumnya hal tersebut lebih sering disebabkan karena efek samping pengobatan
seperti garam emas dan d-penisilamin atau terjadi sekunder akibat amiloidosis.
Walaupun kelainan ginjal interstitial dapat dijumpai pada sindrom Sjorgen,
umumnya kelainan tersebut lebih banyak berhubungan dengan penggunaan
OAINS. Penggunaan OAINS yang tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan
nekrosis papilar ginjal.
22

7. Sistem syaraf
Komplikasi neurologis yang sering dijumpai pada AR umumnya tidak
memberi gambaran yang jelas sehingga sukar untuk membedakan komplikasi
neurologis akibat lesi arlikular dari lesi neuropatik. Patogenesis komplikasi
neurologis pada AR umumnya berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas
vertebra, servikal, neuropati jepitan atau neuropati iskemik akibat vaskulitis.
8. Sistem hematologis
Anemia akibat penyakit kronis yang ditandai dengan gambaran eritrosit
normositik-normokromik (atau hipokromik ringan) yang disertai dengan kadar
besi serum yang rendah merupakan gambaran umum yang sering dijumpai pada
AR.

II.5 Diagnosis Banding Artritis Reumatoid


Gambaran
Radiologi
Soft tissue
swelling

Artritis
Reumatoid
Periartrikular,
simetris

Gout

Osteoartritis

Esentrik,
tophi

Subluksasi
Mineralisasi

Tidak biasa
Baik

Kalsifikasi

Ya
Menurun di
periartrikular
Tidak

Intermitten,
tidak sejelas
yang lain
Kadang-kadang
Baik

Celah sendi

Menyempit

Erosi

Tidak

Produksi
tulang

Tidak

Kadangkadang pada
tophi
Baik hingga
menyempit
Punched out
dengan garis
sklerotik
Menjalar ke
tepi korteks

Tidak
Menyempit
Ya, pada
intraartikular
Ya

23

Simetri
Lokasi

Karakteristik
yang
membedakan

Bilateral,
simetri
Proksimal ke
distal
Poliartrikular

Asimetri

Bilateral,
simetri
Distal ke
proksimal

Kaki,
pergelangan
kaki, tangan
dan siku
Pembentuka
n kristal

Seagull
appearance
pada sendi
interfalangeal

II.6 Pemeriksaan Penunjang


II.6.1 Pencitraan
1. Foto Polos
Pemeriksaan foto polos merupakan titik tolak sebagian besar pemeriksaan
pencitraan penyakit-penyakit reumatik walaupun mungkin setelah itu akan
dilakukan pemeriksaan MRI. Foto polos memberikan gambaran erosi dan
kalsifkasi tulang di sekitar sendi.7 Pada foto polos dapat ditemukan berbagai
gambaran pada sendi yang berbeda pada suatu waktu khususnya pada tahap awal,
Oleh karena itu setiap sendi harus diperiksa masing-masing secara terpisah. Untuk
tujuan diagnostik, sendi yang menunjukkan gejala dan sendi yang biasanya
terlibat pada Artritis Reumatoid (sendi tangan dan pergelangan tangan) harus di
foto. Kerusakan fungsi pada sendi yang mengalami rheumatoid arthritis
diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan pada sendi berdasarkan klasifikasi
Steinbroker yaitu;
Stadium I
Hasil radiografi menunjukkan tidak adanya kerusakan pada sendi.
Stadium II :
Terjadi osteoporosis dengan atau tanpa kerusakan tulang yang
ringan disertai penyempitan pada ruang sendi.
Stadium III :
Terjadi kerusakan pada kartilago dan tulang tertentu dengan

penyempitan

ruang sendi; sehingga terjadi perubahan bentuk sendi.


Stadium IV :
Imobilisasi menyeluruh pada sendi karena menyatunya tulang-tulang dengan
sendi.
Follow-up sendi tangan dan pergelangan tangan dengan menggunkan foto
polos merupakan tempat pilihan untuk menilai kemajuan terapi. Tanda paling
24

awal dari Artritis Reumatoid adalah pembengkakan soft-tissue periartikular


dengan munculan fusiform. Jaringan lemak normal dapat hilang, yang terjadi
karena efusi sendi, edema, dan tenosinovitis.

Gambar 10. soft tissue swelling dan erosi awal pada sendi PIP
Juxta Articular Osteopenia merupakan tanda awal yang lain, terutama pada saat
terjadi inflamasi akut pada sendi. Osteopenia kemudian menjadi lebih umum
sesuai dengan perjalanan penyakit.

Gambar 11. Osteopenia Juxta Articular yang menonjol pada semua sendi IP

25

Pada stadium lebih lanjut AR dapat mengakibatkan erosi pada tulang,


alkalosis yaitu sendi menjadi kaku yang pada gambaran radiologinya terjadi
penempelan pada tulang-tulang.

Gambar 12. Ankilosis pada tulang Karpal dengan erosi yang menyebar

26

Gambar. 13. Rheumatoid Arthritis penyempitan celah-celah sendi

2. Computed Tomography

27

CT-scan merupakan teknik yang sangat baik untuk mengevaluasi penyakit


degeneratif diskus intervertebralis dan kemungkinan herniasi diskus pada orang
tua. Berhubung sejumlah penyakit reumatik berkaitan dengan kelainan paru-paru,
cukup beralasan bahwa pemeriksaan CT-scan dengan resolusi tinggi pada paruparu dapat memperlihatkan detil penyakit yang tidak dapat dilihat dengan CT-scan
irisan tebal. Terlihatnya infiltrate ground glass menunjukan proses aktif yang
mungkin memberikan respon terhadap pengobatan.7

Gambar 14. Atritis rematoid pada cervical spine


3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan gambaran yang jelas dari
perubahan jaringan lunak, kerusakan kartilago, dan erosi tulang-tulang yang
dihubungkan dengan artritis reumatoid. MRI mampu mendeteksi adanya erosi
sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos dan dilengkapi dengan tampilan
struktur sendi yang lebih rinci. Gambaran MRI pada Artritis Reumatoid. Tampak
gambaran hyperenhancement pada sendi kecil di tangan.

Gambar 15. Atritis rematoid pada genu


28

Gambar 15. hyperenhancement pada sendi kecil di tangan

Gambar 16. MRI menunjukkan sinovitis pada sendi MCP I dan II

29

Gambar 17. Erosi pada tulang


4. Radioisotop
Daerah desktruksi tulang oleh trauma, peradangan atau keganasan,
selalu berkaitan dengan usaha memperbaiki desktruksi (bone repair)tersebut
dengan meningkatkan aktivitas metabolisme tulang sehingga keadaan ini
dapat dimanfaatkan untuk mendektesi lesi tulang, misalnya pada senyawa
fosfat yang ditandai Tc-99m akan terkonsentrasi di tempat yang lesi.
Penggunaan radioisotop dapat digeunaka untuk mendeteksi AR.7

Gambar 18. Radioisotop pada atritis rematoid


II.6.2 C-Reactive Protein (CRP)

30

CRP merupakan salah satu protein fase akut, CRP terdapat dalam
konsentrasi rendah (trace) pada manusia. Pengukuran konsentrasi CRP secara
akurat menggunakan immunoassay atau nefelometri laser. Kadar CRP pada
menusia dewasa sehat < 0,2 mg/dl.8
Normal atau peningkatan

Peningkatan

Peningkatan tinggi

tidak signifikan(<1 mg/dl)

sedang (1-10

(>10 mg.dl)

mg/dl)
Infark miokard
Keganasan
Pankreatitis
Infeksi mukosa

Kerja berat
Infeksi bakteri akut
Commond cold
Trauma berat
Kehamilan
Vaskulitis sistemik
Gingivitis
Stroke
(bronkitis, sistitis)
Kejang
Penyakit reumatik
Angina
Tabel. 3. Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan kadar CRP
Hampir selalu ada
Demam reumatik
Artritis reumatoid
Infeksi bakteri akut
Hepatitis akut

Sering ada
Tuberkulosis aktif
Tumor ganas stadium lanjut
Leprosy
Sirosis aktif
Luka bakar luas
Peritonitis

Kadang-kadang ada
Sklerosis multipel
Sindroma Guillain Barre
Cacar air
Pasca bedah
Penggunaan alat

kontrasepsi
intrauterin
Tabel. 4. Penyakit-penyakit dengan peningkatan kadar CRP
II.6.3 Faktor Reumatoid
Faktor Reumatoid (FR) merupakan antibodi sendiri terhadap determinan
antigenik pada fragmen Fc dari immunoglobulin. Kelas immunoglobulin yang
muncul dari antibodi ini adalah IgM, IgA, IgG dan IgE. Tapi yang selama ini
diukur ialah faktor reumatoid kelas IgM.8
Faktor Reumatoid
1. Titer
2. Heterogenitas
3. Reaksinya terhadap

Artritis Reumatoid
Tinggi
++
Lengkap

Penyakit non-reumatik
Rendah
+
Tidak lengkap

IgM, IgG, IgA


Sinovium dan tempat

Terutama IgM
Tidak jelas, tetapi

gamma globulin
manusia dan hewan
4. Klas

31

immunoglobulin
5. Lokasi produksi

ekstravaskuler lainnya

bukan pada daerah

synovial
Tabel.5 Perbandingan FR pada artritis reumatoid dan penyakit nonreumatik
Cara yang paling mudah dalam mengukur IgM-FR ialah teknik
aglutinasi yaitu cara non imunologik menggunakan lateks dan cara imuologik
menggunakan sel darah biri-biri.
II.6.4 Laboratorium
-

Laju Endap Darah (LED): Pada arthritis rheumatoid nilainya dapat

tinggi (100 mm/jam atau lebih tinggi lagi).


Cairan sinovial: cairan sinovial bersifat jernih, berwarna kuning muda,
hitung sel darah putih kurang dari 200/mm3. Pada artritis reumatoid cairan
sinovial kehilangan viskositasnya dan hitungan sel darah putih meningkat
mencapai 15.000 20.000/mm3. Hal ini membuat cairan menjadi tidak
jernih. Cairan semacam ini dapat membeku, tetapi bekuan biasanya tidak
kuat dan mudah pecah.

II.7 Penatalaksanaan
1. Non-farmakologis
a. Edukasi
Edukasi yang cukup penting bagi pasien, keluarga, dan orang-orang yang

1)
2)
3)
4)

berhubungan dengan penderita.:


Pengertian tentang patofisiologi
Penyebab penyakit
Prognosis penyakit
Semua komponen program penatalaksanaan

termasuk

yang kompleks
5) Sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini
6) Metode-metode efektif tentang penatalaksanaan

regimen

yang

obat

diberikan

oleh tenaga kesehatan


b. Istirahat
Perencanaan aktivitas mutlak diperlukan bagi pasien rheumatoid
arthritis karena penderita biasanya disertai dengan rasa lelah yang
hebat. Kekakuan dan rasa kurang nyaman biasanya dapat diperingan
dengan beristirahat.
c. Latihan-latihan spesifik

32

Latihan spesifik ini dapat berupa :


1) Gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, minimal dua
kali dalam sehari.
2) Kompres panas pada sendi. Tujuan dari kompres panas ini untuk
mengurangi nyeri pada sendi.
3) Mandi parafin dengan suhu yang dapat diatur. Latihan ini paling
baik diatur dan diawasi oleh tenaga kesehatan yang sudah
mendapat latihan khusus, seperti fisioterapi atauterapis kerja.
d. Alat pembantu dan adaptif
Alat pembantu dan adaptif ini mungkin diperlukan saat melakukan
aktivitas sehari-hari, seperti tongkat untuk membantu berdiri dan
berjalan.
e. Terapi yang lain
Terapi lain yang dimaksud yaitu : terapi puasa, suplementasi asam lemak
esensial, terapi spa dan latihan, suplementasi minyak ikan (cod liver oil)
sebagai NSAID-sparing agent.
2. Farmakologis
a. Aspirin dan semua golongan obat-obatan

antiinflamasi

nonsteroid

(OAINS)
Tujuan : terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan .
b. Glukokortikoid
Steroid dengan prednisone dengan dosis kurang 10 mg/hari.
Mekanisme kerja : untuk meredakan gejala dan memperlambat kerusakan

c.
1)
2)
3)
4)
5)

sendi. Pemberian glukokortikoid harus disertai pemberian kalsium 1500


mg dan vitamin D 400-800 IU/hari.
DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs)
Pemberian DMARD harus mempertimbangkan aspek :
Kepatuhan pasien
Beratnya penyakit
Pengalaman dokter
Adanya penyakit penyerta
Adanya penyakit penyerta
DMARD

Mekanisme kerja

Dosis

Waktu

Efek samping

timbulnya
respon
2-6 bulan

Hidroksiklor-okuin

Menghambat sekresi

200-400 mg p.o. per

Mual, sakit kepala,

(Plaquenil), klorokuin

sitokin, enzim

hari

sakit perut, myopati,

fosfat

lisosomal, dan fungsi

250 mg p.o. per hari

toksisitas pada retina

makrofag

33

Methorexate (MTX)

Inhibitor dihidrofolat

7,5-25 mg p.o, IM

reduktase, hambat

atau SC per minggu

1-2 bulan

kelemahan, ulkus

kemotaksis, efek anti


Sulfasalazin

inflamasi
Menghambat respon

Mual, diare,
mulut, gangguan

2-3 gr p.o. per hari

1-3 bulan

fungsi hati, dll


Mual, diare,

sel B dan hambat

leukopeni, gangguan

Mengahambat

fungsi hati, dll

sintesis DNA
angiogenesis

Azathioprine

50-150 mg p.o. per

(Imuran)

hari

Cyclosporine

Menghambat sintesis

2,5-5 mg/kgBB p.o.

IL-2 dan sitokin sel T

per hari

lainnya

2-3 bulan

Mual, leukopeni,
sepsis, limfoma

2-4 bulan

Mual, parestesia,
gangguan ginjal,
hipertensi, sepsis, dll

Table 6. DMARD yang paling banyak digunakan


d. Terapi kombinasi
Kombinasi terbukti memiliki efikasi terapi yang lebih tinggi
daripada terapi tunggal. Beberapa kombinasi yang sudah banyak
diteliti dan memiliki efektivitas yang lebih besar yaitu :
1) MTX + hidroksiklorokuin
2) MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine
3) MTX + sulfasalazine + prednisolon
4) MTX + leflunomide
5) MTX + infiximab
6) MTX + etanercept
7) MTX + adalimumab
8) MTX + anakinra
9) MTX + rituximab
Terapi kombinasi ini memberikan respon yang lebih baik dan
efektif dalam menghambat progresivitas penyakit dan kerusakan
radiografi.
e. Emas
Natrium auritiomalat diberikan melalui injeksi IM dengan dosis 50
mg/minggu sampai terdapat bukti remisi (biasanya setelah
pemberian 500 mg). pasien yang memberikan respons, interval
34

dosis ditingkatkan secara bertahap setiap bulan. Pengobatan bisa


dilanjutkan sampai mencapai 5 tahun. Diperlukan pemeriksaan
darah dan urinalisis rutin. Leucopenia dan trombositopenia atau
proteinuria biasanya bersifat reversible jika pemberian emas
dihentikan
f. Penatalaksanaan bedah
Tindakan bedah perlu dipertimbangkan bila :
1) Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi
yang ekstensif
2) Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi
yang berat
3) Ada ruptur tendon
Sinovektomi, khususnya pada sendi lutut berguna untuk
meluruskan kembali dan memperbaiki tendon. Sendi buatan
dapat dilakukan misalnya pada sendi panggul, lutut, jari-jari
tangan. Artrodesis mungkin perlu dilakukan pada nyeri atau
deformitas
II.7 Kriteria Remisi
Menurut kriteria ACR, AR dikatakan remisi bila 5 atau lebih dari kriteria di
bawah ini berlangsung kurang lebih selam 2 bulan berturut-turut.8
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kaku pada pagi hari tidak lebih dari 15 menit


Tidak ada kelelahan
Tidak ada nyeri sendi (melalui anamnesis)
Tidak ada nyeri tekan atau gerak pada sendi
Tidak ada pembengkakan jaringan lunak atau sarung tendon
LED<30 mm/jam untuk perempuan atau pada laki-laki <20 mm/jam
(dengan metode westergren)

35

BABIII
KESIMPULAN
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik
yang walaupun menifestasi utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan
tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Penyakit ini merupakan
suatu penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik
di dunia. AR lebih sering dijumpai pada wanita dari pada laki-laki. Walaupun
faktor penyebab maupun faktor patogenesis AR yang sebenarnya hingga kini tetap
belum diketahui dengan pasti, faktor genetik seperti produk kompleks
histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR) dan beberapa faktor lingkungan
telah lama diduga berperanan dalam timbulnya penyakit ini.
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama
mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris.
Pada kasus AR yang jelas diagnosis tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan
tetapi pada permulaan penyakit, seringkali gejala AR tidak bermanifestasi dengan
jelas, sehingga kadang-kadang timbul kesulitan dalam menegakkan diagnosis,
Walaupun demikian dalam menghadapi AR yang pada umumnya berlangsung
kronis ini sehingga dokter tidak perlu buru-buru menegakkan diagnosis
Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuhkan pendekatan
multidisipliner. Suatu tim yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli
fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja social, ahli farmasi, ahli gizi, dan ahli
psikologi. Dengan penerangan yang baik mengenai panyakitnya, pasien AR
diharapkan dapat melakukan kontrol atas perubahan emosional, motivasi dan
kognitif yang terganggu akibat penyakit ini. Banyak obat-obatan yang dipakai
untuk artritis reumatoid seperti golongan OAINS, DMARD, agen biologik. Dalam
36

klinik, Etanercept sangat baik digunakan sebagai kombinasi bersama MTX.


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan etanercept bersama MTX
pada artritis rematoid yang berat akan dapat mempercepat perbaikan radang sendi
pada artritis reumatoid.
Daftar Pustaka
1. Bates. 2014. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik Dam Riwayat Kesehatan. Edisi
8. Jakarta: EGC
2. Chairudin, R. 2011. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif
watampone
3. Carvalho et all. 2014 study of advanced rheumatoid arhritis. Biomed,
v.30, n.1, p. 54-63
4. Kumar V, Cotran SR, Robbins SL. 2004. Buku Ajar Patologi Robbin
Kumars, edisi. 7. Jakarta: EGC
5. Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem, edisi 6. Jakarta:
EGC
6. Sjahriar, R. 2013. Radiologi diagnostik. Edisi dua, Jakarta: FK UI
7. Snell RS. 2000. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, edisi 6,
Jakarta: EGC.
8. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2009. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: FKUI
9. Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M.. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC.

37

You might also like