You are on page 1of 9

ANALISIS DEGRADASI PESISIR AKIBAT PENAMBANGAN TIMAH

DI PESISIR PANTAI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG


Oleh : Ayu Adi Justicea
Mahasiswi Magister Ilmu Geografi, Universitas Indonesia
Ayujusticea2014@gmail.com
Abstrak
Degradasi dan kondisi pesisir di Kepulauan Bangka Belitung terancam kerusakan karena
semakin maraknya kegiatan penambangan timah diperairan pesisir seperti aktivitas perusahaan
tambang timah, TI(Tambang Inkovensional) apung, kapal hisap dan kapal keruk setelah lokasi
penambangan timah didarat semakin sulit. Hal itu menyebabkan pesisir Kepulauan Bangka
Belitung telah terjadi penurunan kualitas lingkungan pesisir terutama yang merupakan akibat dari
pencemaran dan kerusakan lingkungan dari penambangan timah. Akibatnya, terjadi degradasi
lingkungan, dan perubahan bentang alam di pesisir Kepulauan Bangka Belitung. Perusahaan
tambang timah memiliki teknologi yang lebih baik, namun tambang inkonvensional (TI)
merupakan aktivitas penambangan timah yang memanfaatkan alat mekanis sederhana. Aktivitas
penambangan ini telah lama ada di Bangka Belitung, dilakukan baik secara legal maupun ilegal
oleh masyarakat. Penambangan timah awalnya hanya dilakukan di daratan saja namun
sekarang telah merambah pesisir pantai. Akibatnya, ekosistem-ekosistem penunjang wilayah
pesisir seperti terumbu karang, rumput laut, lamun, biota-biota laut bahkan hutan mangrove tidak
dapat berkembang dengan baik akibat terjadi degradasi.
Kata Kunci : Degradasi, Pesisir, Penambangan timah,
Pendahuluan
Kondisi lingkungan pesisir di Indonesia saat ini, cenderung mengalami penurunan
kualitas sehingga lingkungan pesisir dapat berkurang fungsinya atau bahkan sudah tidak mampu
berfungsi lagi untuk menunjang pembangunan dan kesejahteraan penduduk secara
berkelanjutan di masa depan. Pasal pengelolaan lingkungan hidup telah dibuat guna menunjang
keberlangsungan sumber daya alam di Indonesia, diantaranya yakni Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 (UU Air), Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil),
UU No. 4 tahun 2009 (UU Minerba), hingga Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPLH).
Pemanfaatan sumber daya alam adalah untuk memajukan kesejahteraan bersama, seperti yang
termuat dalam filosofi dasar negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan citacita tersebut, perlu adanya pengelolaan sumber daya alam yang serasi dan seimbang untuk
menunjang pembangunan yang berkesinambungan, yang memperhitungkan kebutuhan generasi
sekarang dan mendatang.
Begitu pula dengan UU Minerba, undang-undang ini sangatlah krusial mengingat
posisinya yang sangat dekat dengan masyarakat dan peran besarnya bagi aspek sosial hingga
ekonomi masyarakat. Pada UU Minerba, disebutkan jika pada dasarnya tujuan pengelolaan
mineral adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta
menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Konteks wilayah pesisir disebutkan jika pada dasarnya UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
terbentuk atas pertimbangan jika wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman
potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi,
budaya, lingkungan, dan kedaulatan bangsa, perlu dikelola secara berkelanjutan dan
berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat.

Perangkat dasar aturan dasar Negara jelas telah mengatur dan menjaga posisi
masyarakat sebagai elemen penting yang terintegrasi dengan pengelolaan dan sumber daya
alam itu sendiri tercantum di Undang-Undang. Realita yang terjadi justru menunjukkan banyak
kasus yang memperlihatkan minimnya peran pemerintah dalam upaya penegakkan amanatamanat konstitusi tersebut. Permasalahan sumber daya alam terdapat pada berbagai aspek.
Padahal saat ini, perlu diketahui bahwa pengelolaan sumber daya alam yang serasi dan
seimbang sangatlah penting untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan dan
menunjang keberlanjutan kehidupan ekosistem di Indonesia.
Degradasi dan kondisi pesisir di Kepulauan Bangka Belitung terancam kerusakan karena
semakin maraknya kegiatan penambangan timah diperairan pesisir seperti aktivitas perusahaanperusahaan tambang timah, TI (Tambang Inkovensional) apung, kapal hisap dan kapal keruk
setelah lokasi penambangan timah didarat semakin sulit. Hal itu menyebabkan pesisir Kepulauan
Bangka Belitung telah terjadi penurunan kualitas lingkungan pesisir terutama yang merupakan
akibat dari pencemaran dan kerusakan lingkungan dari penambangan timah. Akibatnya, terjadi
degradasi lingkungan, dan perubahan bentang alam di pesisir Kepulauan Bangka Belitung.
Tambang Inkonvensional (TI) merupakan aktivitas penambangan timah yang memanfaatkan alat
mekanis sederhana. Aktivitas penambangan ini telah lama ada di Bangka Belitung, dilakukan
baik secara legal maupun ilegal oleh masyarakat. Penambangan timah awalnya hanya dilakukan
di daratan saja namun sekarang telah merambah pesisir pantai. Akibatnya, ekosistem-ekosistem
penunjang wilayah pesisir seperti terumbu karang, rumput laut, lamun, biota-biota laut bahkan
hutan mangrove tidak dapat berkembang dengan baik akibat terjadi degradasi.
Akibatnya, terjadi degradasi lingkungan, dan perubahan bentang alam. Kebijakan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melarang kegiatan penambangan timah di
kawasan yang secara teknis, ekologis, dan sosial, bisa menimbulkan kerusakan lingkungan
maupun merugikan masyarakat sekitar. Namun tidak hanya itu saja, penambangan timah apung
ini selain mengakibatkan abrasi pesisir, dapat merusak laut yang ada di dalamnya. Agar fungsi
lingkungan pesisir dapat dilestarikan, maka perlu dilakukan tindak kerja pengendalian
pencemaran dan perusakan lingkungan tersebut.
Gambaran Umum Kepulauan Bangka Belitung
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (disingkat Babel) adalah sebuah provinsi di
Indonesia yang terdiri dari dua pulau utama yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta pulaupulau kecil seperti P. Lepar, P. Pongok, P. Mendanau dan P. Selat Nasik, total pulau yang telah
bernama berjumlah 470 buah dan yang berpenghuni hanya 50 pulau. Bangka Belitung secara
geografis provinsi ini adalah 150' - 310' LS dan 105 - 108 BT. Provinsi ini terletak di bagian
timur Pulau Sumatera, dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan. Provinsi Bangka Belitung
dikenal sebagai provinsi penghasil timah, memiliki pantai-pantai yang indah dan kerukunan antar
etnis. Ibu kota provinsi ini ialah Pangkalpinang. Pemerintahan provinsi ini disahkan pada
tanggal 9 Februari 2001. Setelah dilantiknya Pj. Gubernur yakni H. Amur Muchasim, SH (mantan
Sekjen Depdagri) yang menandai dimulainya aktivitas roda pemerintahan provinsi.
Selat Bangka memisahkan Pulau Sumatera dan Pulau Bangka, sedangkan
Selat Gaspar memisahkan Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Di bagian utara provinsi ini
terdapat Laut Cina Selatan, bagian selatan adalah Laut Jawa dan Pulau Kalimantan di bagian
timur yang dipisahkan dari Pulau Belitung oleh Selat Karimata.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebelumnya adalah bagian dari Sumatera Selatan,
namun menjadi provinsi sendiri bersamaBanten dan Gorontalo pada tahun 2000. Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000
Tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tanggal 21 November 2000 yang

terdiri dari Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung dan Kota Pangkalpinang. Pada tahun 2003
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tanggal 23 Januari 2003 dilakukan
pemekaran wilayah dengan penambahan 4 kabupaten yaitu Bangka Barat, Bangka
Tengah, Bangka Selatan dan Belitung Timur. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan
pemekaran wilayah dari Provinsi Sumatera Selatan.
Kegiatan Penambangan Timah di Kepulauan Bangka Belitung
Provinsi yang dikenal sebagai salah satu penghasil timah terbesar di Indonesia dengan
pasokan hampir 40% kebutuhan timah dunia adalah Kepulauan Bangka Belitung (Sapanli, 2009).
Semua kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdapat perubahan penggunaan
lahan karena aktivitas penambangan. Menurut Yulita (2011), penggunaan lahan untuk aktivitas
penambangan cenderung mengalami kenaikan. Luas lahan tambang pada tahun 2000 adalah
sebesar 13.490 ha (6,0%), tahun 2004 sebesar 18.350 ha (8,1%) dan tahun 2010 luasannya
sebesar 26.640 ha (11,8%). Lahan tambang meningkat setiap tahunnya dengan laju rata-rata
sekitar 1.315 ha per tahun dimana antara tahun 2000-2004 laju peningkatan luas lahan tambang
sebesar 1.215 ha per tahun dan tahun 2004- 2010 peningkatan tersebut mencapai 1.381,67 ha
per tahun.
Pertambangan timah di Provinsi Bangka Belitung terbagi menjadi tambang darat dan
tambang laut yang dilakukan oleh dua perusahaan tambang PT Tambang Timah dan PT Koba
Tin serta tambang inkonvensional (TI) atau tambang rakyat. Aktivitas penambangan timah terjadi
di hampir setiap kabupaten di provinsi Bangka Belitung yaitu di Kota Pangkalpinang, Kabupaten
Bangka, Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Bangka Tengah,
Kabupaten Belitung, dan Kabupaten Belitung Timur. Penambangan timah lepas pantai dapat
meningkatkan produktivitas pertambangan timah di masa mendatang, namun hal ini akan
mengakibatkan kerusakan lingkungan jika tidak dilakukan sesuai dengan prosedur.
Menurut Connel dan Miller (2006), ekploitasi timbunan bijih akan membongkar
permukaan batuan baru dan sejumlah besar sisa-sisa batu atau tanah sehingga akan
mempercepat kondisi pelapukan. Beberapa elemen yang merupakan logam yang mungkin
dilepaskan ke lingkungan karena perubahan kondisi fisikakimia dalam fase mineral sekunder
adalah Fe, Mn, Cu, Zn, Cd, Pb, W, Bi, Mo, Cr, Ni, Co, As dan U (Favas., et al; 2011).
Penambangan yang dilakukan oleh masyarakat dapat menimbulkan dampak terhadap kerusakan
lingkungan.
Berdasarkan Permen LH No. 05 Tahun 2012 tentang jenis rencana usaha dan/atau
kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup menyebutkan bahwa
semua sebaran penambangan di laut berpotensi menimbulkan dampak berupa perubahan
batimetri, ekosistem pesisir dan laut, mengganggu alur pelayaran dan prosesproses alamiah di
daerah pantai termasuk menurunnya produktivitas kawasan yang dapat menimbulkan dampak
sosial, ekonomi dan kesehatan terhadap nelayan dan masyarakat pesisir.
Penambangan yang dilakukan oleh masyarakat tanpa izin hanya menguntungkan secara
sepihak, tidak adanya pengelolaan lingkungan, jumlah yang banyak dan cenderung berpindah
tempat. Izin operasi untuk 34 dari 67 kapal isap pasir timah di pesisir pulau Bangka diduga kuat
tidak jelas, hal ini akan menyulitkan pengawasan terhadap kapal hisap. Direktur Utama PT Timah
Tbk, Sukrisno menyatakan ada 6.230 unit tambang inkonvensional (TI) apung di kawasan laut
Bangka Belitung. Kondisi ini juga terjadi di Kecamatan Pangkalan Baru tepatnya di Desa Batu
Belubang di mana terjadi tambang timah inkonvensional merebak pada tahun 2010 sehingga
banyak nelayan yang beralih profesi ke sektor pertambangan (Marfiani dan Ariatma, 2011).

Tekanan dari tambang timah mendesak nelayan akibat eksplorasi dan eksploitasi
tambang dapat lebih menguntungkan dibanding menjadi nelayan yaitu mencari ikan. Sebanyak
778 perusahaan tambang sudah beroperasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan
sebanyak 1.117 perusahaan tambang sedang bereksplorasi. Tidak hanya perusahaanperusahaan swasta, namun BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan BUMD (Badan Usaha Milik
Daerah) juga turut memberikan dampak negatif pada nelayan lokal. Begitu banyak nelayan yang
kini beralih profesi menjadi pekerja tambang. Aktivitas Nelayan merupakan pekerjaan turun
temurun yang diwariskan dari nenek moyang karena lokasi tempat tinggal di daerah pesisir. Kini,
kebanyakn nelayan lebih memilih menjadi buruh tambang karena alasan ekonomi.
Analisis Degradasi Pesisir Kepulauan Bangka Belitung Akibat Penambangan Timah
Meningkatnya aktivitas penambangan di pesisir menyebabkan peningkatan kekeruhan
air laut dan terjadinya sedimentasi. Hal tersebut disebabkan tailing sisa pencucian di atas kapal
penambang dibuang langsung dari atas kapal ke permukaan laut. Akibatnya sedimen terutama
fraksi halus seperti debu dan liat yang tercampur dengan air laut akan tersebar luas karena
terbawa arus. Berdasarkan perhitungan kekeruhan di sekitar aktivitas penambangan oleh KIP.
Maraknya tambang inkonvensional, tidak hanya terjadi didaratan tetapi terjadi juga di
wilayah perairan laut. Hal ini menjadi sangat memprihatinkan, karena dampak dari tambang ilegal
tersebut secara langsung merusak ekosistem laut. Akibat langsung dari aktivitas penambangan
lepas pantai (TI Apung, kapal hisap, dan kapal keruk) adalah semakin keruhnya air laut dan
rusaknya ekosistem terumbu karang (coral reef). Seperti yang terjadi di kawasan terumbu karang
(coral reef) di perairan Laut sekitar Kepulauan Bangka Belitung.
Aktivitas keseharian bagi sebagian besar masyarakat di pesisir pantai Kepulauan
Bangka Belitung adalah praktek penambangan timah. Di daerah perairan Bangka dan Belitung,
praktek menambang timah di laut ini kian marak dilakukan secara masal. Dalam sehari puluhan
ton timah disedot dari dasar laut. Setelah pasir timah itu diambil, limbah berupa tanah dibuang
kembali ke laut dengan sembarangan. Bagi perusahaan resmi seperti PT.Timah, penambangan
dilakukan dengan menggunakan kapal besar yang berfungsi untuk menyedot timah dari dalam
tanah di bawah laut, sementara bagi perusahaan-perusahaan swasta yang lebih kecil,
penambangan dilakukan dengan menggunakan kapal-kapal sedang.
Kegiatan menambang timah di laut ini pun mulai ramai dilakukan oleh penambang di luar
PT.Timah pada tahun 2006 sehingga mendorong masyarakat setempat, yang awalnya berprofesi
sebagai nelayan, beralih profesi menjadi penambang timah. Hal itu dilakukan dengan alasan
bahwa keuntungan yang didapat lebih besar daripada melaut untuk mencari ikan. Hal ini pula
yang menyebabkan banyaknya para pendatang dari luar kepulauan untuk melakukan aktivitas
yang sama, yaitu mengeruk sumber daya timah yang dimiliki oleh bumi laskar pelangi tersebut.
Aksi ini kemudian mengundang para penambang ilegal yang berusaha mencari kesempatan
dalam kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi.
Munculnya masalah kerusakan laut dalam hal ini, dilakukan pengerukan tanah yang
dilakukan dalam penambangan timah di lepas pantai kepualuan Bangka Belitung menyebabkan
rusaknya topografi pantai. Pantai yang sehat adalah pantai yang memiliki bentuk tanah yang
landai. Namun, ketika dilakukan kegiatan penambangan timah, kegiatan penambangan tersebut
membuat struktur tanah di lepas pantai menjadi lebih curam sehingga daya abrasi pantai menjadi
semakin kuat.
Akibat lain yang ditimbulkan dari pengerukan tanah di dasar laut adalah berubahnya
garis pantai yang semakin mengarah ke daratan. Pengerukan tanah dan pembuangan sedimen
juga menyebabkan air laut menjadi keruh. Dengan makin maraknya aktivitas penambangan,
intensitas kekeruhan air semakin tinggi dan radiusnya ke kawasan lain di luar kawasan

penambangan semakin luas. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa kawasan terumbu
karang yang bukan merupakan wilayah penambangan terkena imbas akibat kekeruhan air.
Sedimentasi tanah yang menjadi penyebab kekeruhan air ini dapat menutup dan mematikan
terumbu karang. Matinya terumbu karang akan merusak habitat kehidupan laut yang indah;
lingkungan laut akan berubah menjadi habitat alga yang cenderung merugikan. Oleh karena itu,
hal tersebut membuat kerusakan laut di lepas pantai di Kepulauan Bangka Belitung menjadi
semakin parah.
Sejumlah penelitian yang telah dilakukan meyatakan bahwa terumbu karang semakin
terancam kehidupannya karena ulah para pelaku tambang. Sejak tahun 2006 ekosistem laut di
Bangka Belitung semakin parah daripada di daratan. Kehancuran terumbu karang yang
mencapai 40 persen di perariran Bangka disebabkan oleh PT.Timah yang melakukan
penambangan timah selama puluhan tahun sehingga habitat ikan-ikan terganggu, bahkan para
nelayan sudah sangat sulit untuk mendapatkan ikan. PT.Timah memang telah melakukan
perbaikan lingkungan laut, tetapi sistem rehabilitasi lingkungan yang diterapkan dianggap belum
memadai. Pihak PT. Timah hanya menaruh rumpon tanpa penanganan yang berlanjut.
Mata pencaharian masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung adalah menangkap ikan,
tetapi profesi nelayan ini terganggu karena penambangan timah. Kerusakan ekosistem laut yang
terjadi menyebabkan rusaknya habitat tumbuhan dan binatang laut. Karena semakin sulit
mendapatkan ikan, keuntungan yang di dapat oleh nelayan semakin kecil pula. Situasi seperti ini
kemudian mendorong sebagian besar nelayan untuk merubah profesi menjadi penambang timah
inkonvensional (TI) apung dengan menggunakan perahu-perahu kecil atau bagan terapung, baik
secara legal (menjalin kerja sama dengan PT. Timah atau perusahaan swasta yang memiliki izin
resmi) maupun secara ilegal dengan menjadi cukong atau bekerja kepada cukong tambang timah
ilegal.
Kegiatan menambang secara ilegal ini juga banyak menelan korban. Para penambang
harus menyelam hingga kedalaman kurang lebih 40 meter untuk menancapkan pipa penyedot
untuk menambang timah. Mereka menyelam dengan menggunakan perlengkapan sangat
sederhana, seperti masker dengan udara dari kompresor dan alat pengisap pasir merek
Dongfeng. Banyak dari mereka yang harus mengalami pendaharahan di telinga atau hidung saat
menyelam, dan terkadang ada juga yang kehilangan nyawa karena tubuh mereka tidak mampu
dengan kedalaman 40 meter.
Selain menyebabkan berubahnya topografi tanah pada pantai, kegiatan penambangan
timah yang semakin marak ini juga menimbulkan kekhawatiran akan menipisnya persediaan
timah di perairan Bangka dan Belitung. Adanya kebijakan yang diambil oleh Pemerintah setempat
dengan membuka izin penambangan timah dalam skala kecil dan menengah atau tambang
inkonvensional memberikan efek berupa semakin membabi butanya kegiatan penambangan oleh
masyarakat setempat dan juga oleh beberapa perusahaan peleburan timah skala menengah di
Pulau Bangka Belitung. Karena semakin banyak badan usaha yang beroperasi, menyebabkan
persaingan pertambangan timah semakin tinggi. Harga yang dipatok oleh pengumpul timah
swasta semakin tinggi sehingga masyarakat berlomba-lomba untuk meningkatkan produksi
timah. Menurut banyak sumber jika kegiatan membabi buta ini tetap berlanjut, seluruh cadangan
timah yang ada di Kepulauan Bangka Belitung diperkirakan akan habis pada tahun 2027.
Pengelolaan dan Penanggulangan Degradasi Pesisir Akibat Penambangan Timah
di Kepulauan Bangka Belitung
Pengelolaan Wilayah Pesisir terutama untuk penanggulangan degradasi pesisir yang
diakibatkan oleh aktivitas penambangan Timah di Kepulauan Bangka Belitung dapat dilakukan
secara terencana dengan memperhatikan karakteristik wilayah pesisir, keunikan, geomorphologi

pantai dan kondisi ekosistem pesisir serta ukuran pulau disekitarnya. Artinya, pengelolaan
wilayah pesisir disatu wilayah akan bervariasi sesuai dengan perbedaan karakteristik dan
keunikan wilayah pesisir di Kepulauan Bangka Belitung. Di bawah ini adalah contoh bentukbentuk pengelolaan: (Penjelasan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007).
a. Pada wilayah pesisir yang berpantai landai dan terbuka ke laut lepas, konversi mangrove
menjadi tambak, tempat akitivitas penambangan pasir akan menimbulkan erosi pantai yang
cukup kuat dan degradasi kualitas perairannya, sehingga perlu dibatasi.
b. Laju kerusakan terumbu karang yang meningkat pesat akibat penambangan timah di perairan
laut perlu dikendalikan dengan norma pengaturan dan sanksi yang tegas.
c. Pemanfaatan pulau-pulau kecil perlu dibatasi dan diprioritaskan untuk konservasi, ekowisata,
perikanan budidaya terbatas, riset/penelitian dan basis industri perikanan skala kecil; karena
pulau kecil pada umumnya mempunyai air tawar yang terbatas dengan solum tanah yang
dangkal sehingga pengelolaan pulau-pulau kecil yang intensif perlu dibatasi jangan sampai
pulaunya mengalami penurunan atau tenggelam.
d. Pada wilayah pesisir yang ekosistemnya sudah rusak diperlukan direhabilitasi hingga pulih
kembali untuk mendukung kehidupan biota laut dan manusia.
e. Sumber daya pesisir yang relatif kaya sering menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan
populasi penduduknya padat. Sehingga aktivitas penambangan pasir ilegal masih terus
terjadi. Hal tersebut dikarenaan sebagian besar penduduknya relatif miskin, dan kemiskinan
tersebut memicu tekanan terhadap sumberdaya pesisir yang menjadi sumber
penghidupannya. Bila hal ini diabaikan akan berimplikasi meningkatnya kerusakan ekosistem
pesisir. Selain itu masih terdapat kecenderungan bahwa industrialisasi dan pembagunan
ekonomi di wilayah pesisir seringkali memarjinalkan penduduk pesisir setempat. Oleh sebab
itu diperlukan norma-norma pemberdayaan masyarakat.
f. Dalam pengelolaan wilayah pesisir, sifatnya yang rentan perlu dilindungi tetapi juga dapat
dimanfaatkan memenuhi kebutuhan kehidupan. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dalam
pengelolaan wilayah pesisir yang dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya
pesisir untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan
datang melalui pengembangan kawasan konservasi.
g. Seperti halnya hutan, laut juga sebagai sumber daya alam potensial. Kerusakan biota laut dan
pantai banyak disebabkan karena ulah manusia dari kegiatan penambangan timah yang
serampangan merupakan kegatan-kegiatan manusia yang mengancam kelestarian laut dan
pantai. Terjadinya abrasi yang mengancam kelestarian pantai disebabkan telah hilangnya
hutan bakau di sekitar pantai yang merupakan pelindung alami terhadap gempuran ombak.
Adapun upaya untuk melestarikan laut dan pantai dapat dilakukan dengan cara:
1) Ketegasan dari pemerintah daerah Kepulauan Bangka Belitung untuk mengatur sumberdaya
alam ini dengan bijaksana.
2) Melakukan reklamasi pantai dengan menanam kembali tanaman bakau di areal sekitar pantai.
3) Melarang kegiatan penambangan timah sembarangan yang ada di sekitar pantai maupun di
dasar laut,karena karang merupakan habitat ikan dan tanaman laut.
4) Melarang pembuangan serampangan limbah bekas penambangan timah agar tidak
menimbulkan sedimen yang dapat merusak terumbu karang dan menyebabkan dangkalnya
pesisir pantai.
5) Melarang aktivitas penambangan timah yang tidak berwawasan lingkungan, dan perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut agar tidak terjadi degradasi pesisir di Kepulauan Bangka
Belitung.
Pada segmen-segmen garis pantai tertentu dimana mempunyai potensi dampak abrasi aktif di
Kepulauan Bangka Belitung, perlu dilakukan tindakan mitigasi bencana. Selain itu, masih perlu

dikaji lebih lanjut mengenai proses abrasi yang ada, apakah terjadi sebagai proses`alami atau
akibat dampak penambangan pasir laut. Dari sisi ekonomi, Kepulauan Bangka Belitung sangat
berpotensi market-demand yang besar untuk pengembangan investasi di masa yang akan
datang. Potensi sumberdaya hayati di wilayah perairan laut kepulauan Bangka Belitung, secara
umum kondisinya masih relatif baik. Pada beberapa kawasan perairan sekitar bekas
penambangan pasir dinilai masih cukup layak untuk budidaya perikanan, sehingga perlu dijaga
kelestariannya.
Solusi atau Upaya-upaya terhadap Pesisir dan Laut khususnya di Kepulauan Bangka belitung
yakni:
1.Perlunya Kesadaran Manusia akan pentingnya SDA untuk kehidupan masa kini dan masa
mendatang dengan tidak melakukan penambangan timah secara ilegal serta berlebihan dan
harus dilakukan penelitian berkelanjutan sebelum dilakukan penambangan timah di Wilayah
Perairan Laut Kepulauan Bangka Belitung.
2.Pengelolaan yang baik oleh pemerintah serta warga sekitar menentukan bagaimana kondisi
pesisir dan laut di suatu daerah.
3.Hendaknya mengatur cara ataupun proses penambangan timah supaya tidak membuat
kerusakan yang parah di pesisir ataupun laut sekitar Kepulauan Bangka Belitung.
4.Tetaplah untuk membudidayakan kawasan hutan mangrove di pesisir Kepulauan Bangka
Belitung seluas mungkin.
Adapun rekomendasi solusi yang dapat dipertimbangkan adalah dengan melakukan
penambangan timah yang terstruktur dan terencana. Dimana dengan adanya analisa mengenai
dampak lingkungan dari penambangan timah tersebut, harus diperhatikan sejauh mana kirakira batas penambangan yang dilakukan meliputi waktu penambangan, luas cakupan
penambangan timah yang akan dilakukan, tidak berlebihan dalam penambangannya dan
sebagainya.
Perencanaan penambangan yang tepat agar penambangan timah di Kepulauan Bangka
Belitung ini tidak hanya meninggalkan sisa lain yang tidak dapat dimanfaatkan. Apalagi melihat
lokasi penambangan timah tersebut yang dekat dengan pemukiman penduduk setempat.
Mestinya dipertimbangkan efek sampingnya juga terhadap kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat sekitar. Jika memang penambangan akan dilakukan, perlu disiapkan lahan
pengganti untuk dikelola dan ditanam oleh warga sekitar, memberikan jaminan lapangan kerja
sebagai bentuk ganti rugi atau paling tidak timbal balik bagi masyarakat yang telah
mengupayakan kesuburan tanah tersebut selama bertahun-tahun.
Beberapa upaya juga dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak dari penambangan
timah tersebut seperti membuat pemecah gelombang air laut di sepanjang pesisir lahan pasir,
sebab setelah ditambang tentu kapasitas pasir untuk menahan gelombang air menjadi
berkurang sehingga dibutuhkan pemecah gelombang untuk mengurangi intensitas kekuatan
gelombang air laut yang menerpa pesisir pantai.
Uraian Penutup
Peranan penting dan strategis diperlukan dalam suatu kebijakan pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah di wilayah laut dan pesisir, bahwa sinergitas hubungan antara sumber
daya alam dengan lingkungan perlu dijaga keseimbangannya, karena merupakan modal
pembangunan dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan. Karena itu pelindungan
hukum bagi lingkungan kawasan teluk dan pesisir kepulauan Bangka Belitung perlu ada,
sehingga dalam implementasi kebijakan pengelolaan wilayah pemerintahan kepulauan Bangka
Belitung dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan dan pembatasan aktivitas penambangan timah

legal dan ilegal di kepulauan Bangka Belitung, dengan harapan bahwa degradasi pesisir yang
lebih besar lagi di kepulauan Bangka Belitung dapat dicegah.
Oleh karena itu disarankan dilakukan penelitian kembali pada saat ada aktivitas
penambangan di perairan kepulauan Bangka Belitung untuk membuktikan hal-hal lain pada
penelitian ini. Hasil temuan pada penelitian ini sebaiknya dijadikan pertimbangan untuk lebih
memperkuat penegakan hukum atau peraturan yang telah dibuat. Tanpa penegakan hukum
maka kerusakan lingkungan akan terjadi dengan cepat.
Pesisir serta laut merupakan suatu ciptaan Tuhan yang sangat berharga dan bermanfaat
bagi kelangsungan hidup manusia di bumi, hendaknya sumberdaya alam tersebut kita jaga dan
di pergunakan sebaik mungkin tanpa merusak ataupun mengurangi fungsi habitat aslinya, dan
jangan sampai hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau golongan semata kita
merugikan banyak orang dan kerusakan alam yang di timbulkan di masa sekarang dan di masa
yang akan datang. Pentingnya penggunaan sumberdaya alam tersebut dengan cara yang bijak
demi keberlangsungan hidup generasi kita ke depan. Tentu saja memulai untuk menjaga
keindahan alam tersebut bersama-sama di mulai dari hal yang terkecil dari diri kita masingmasing.
Referensi
1. Boggs, S., 2006. Principles of Sedimentology and Stratigraphy Forth Edition,
Pearson Education, Inc. London.
2. Gufron Maba, Kamus Terlengkap 100 Trillion, Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris,
Terbit Terang, Surabaya.
3. Herman Hermit, Pembahasan Undang Undang Penataan Ruang (U.U. No. 26 Tahun
2007). Bandung: CV. Mandar Maju, 2008.
4. Hidayat, N., 2006. Konstruksi Bangunan Laut dan Pantai Sebagai Alternatif
Perlindungan Daerah Pantai, Jurnal SMARTek, Vol. 4, No.1 Februari 2006, hal. 10-16.
5. Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional, Refika Aditama, Bandung,
2003.
6. Noer, A., 1998. Potensi dan Prospek Investasi Pertambangan dan Energi 1998-1999
dalam Nazarruddin (ed) Departemen Pertambangan dan Energi dan Yayasan Krida
Caraka Bumi, Jakarta.
7. Rochmin Dahuri, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.
8. Rustiadi E, S. Saefulhakim, D. R. Panuju, perencanaan dan Pengembangan
Wilayah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2004.
9. Sapanli, K. 2009. Analisis Kebijakan Pembangunan Ekonomi Kelautan di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Tesis. Bogor. Pascasarjana IPB.
10. Saturi, Sapariah. 2013. Rusak Parah Karena Limbah, Pulihkan Lingkungan Bangka.
11. Setiadi, Y., 2006. The Revegetation Strategies for Rehabilitating Degraded Land
after Mine Operation, terdapat di:www.mm.helsinki. (diakses tanggal 24 Juli 2014).
12. Sujitno, S., 2007. History of tin in Bangka Belitung Island, PT. Tambang Timah Tbk.
Pangkalpinang.
13. Sudharto P. Hadi. Dimensi sosial dan Lingkungan Pengelolaan Wilayah
Pesisir, Makalah Seminar Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu,UNDIP,
Semarang, 7 Oktober 2004.
14. Tisdall, J.M. and J.M.Oades. 1982. Organic matter and water stable aggregates in
soils. J. Soil Sci. 33:41-63.

15. Thurman, H.V., 1985. Introductory Oceanography Fourth ed,. Columbus: Charles E.
Merrill Publishing Company.
16. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
17. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025.
18. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
19. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil
20. Undang-udang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
21. Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia Vol.1A, Government Printing
Office, The Hauge, Amsterdam.

You might also like