You are on page 1of 11

Ciri-ciri tomografi terhitung pada tonsil yang membesar

sebagai gejala pertama non-Hodgkin lymphoma.


XiaoYi Wang, Ning Wu, Zheng Zhu, YanFeng Zhao
Department of Diagnostic Radiology, Cancer Hospital, Peking Union Medical
College, Chinese Academy of Medical Sciences, Beijing 100021, P. R. China
(Abstrak) Latar belakang dan Tujuan: Tonsil merupakan bagian utama yang
terlibat paling umum pada non-Hodgkin lymphoma (NHL) pada kepala dan leher,
yang biasanya terjadi di cincin Waldeyer. Penelitian kita mendeskripsikan ciri-ciri
tomografi terhitung pada tonsil yang membesar sebagai gejala awal NHL dan
karakteristik nodus limfa servikal yang terlibat.
Metode: pemeriksaan retrospektif dilakukan pada 130 pasien dengan limfoma
extranodal utama pada kepala dan leher di atas 16 tahun. Dari mereka, 22 pasien
yang tidak terobati menunjukkan luka tonsil sebagai gejala pertama. Hasil: Tonsil
membesar secara bilateral terlibat pada 13 pasien, dan luka unilateral pada 9
pasien. Luka pada 20 pasien muncul seperti gumpalan, sementara 2 pasien
mengalami penebalan difus. Terdapat 8 pasien dengan serangan nasofaring, langitlangit mulut halus, dan epiglotis yang simultan. Dari 19 pasien yang menjalani CT
scan ditentukan stadiumnya, 15 pasien menunjukkan peningkatan homogen yang
sedikit, 4 dengan sepotong kerapatan rendah atau berlubang, dan 1 dengan
peningkatan seperti cincin. Seluruh 22 pasien nampaknya mempunyai keterlibatan
nodus limfa servikal. Kelompok nodus limfa servikal atas terlibat secara bilateral
pada 13 pasien, dan secara unilateral pada 9 pasien. Kelompok tengah terlibat
secara bilateral di 7 pasien, secara unilateral di 10 pasien. Kelompok bawah
terlibat secara bilateral pada 2 pasien, dan unilateral pada 5 pasien/ Setelah
pemberian kontras, nodus limfa menunjukkan kerapatan homogen dan sedikit
peningkatan pada 11 pasien, peningkatan heterogen dengan nekrosis dan
perubahan sistis pada 6 pasien, dan peningkat seperti cincin pada 2 pasien.
Kesimpulan: Keterlibatan bilateral, kerapatan homogen, dan sedikit peningkatan
merupakan karakteristik keterlibatan tonsil pada lymphoma non-Hodgkin.
Kelompok atas bilateral dari nodus limfa servikal merupakan nodus limfa yang

paling sering terlibat, sering ditunjukkan dengan kerapatan homogen dan sedikit
peningkatan.
Kata kunci: limfoma non-Hodgkin, tonsil, nodus limfa servikal, tomografi
terhitung.
Limfoma merupakan jenis penyakit sistemik. Sekali terdiagnosis secara
patologis, pasien harus menjalani pemeriksaan fisik secara menyeluruh untuk
menyediakan referensi bagi perlakuan klinis. Setelah limfoma gastrointestinal,
limfoma kepala dan leher merupakan bagian paling umum kedua dari limfoma
ekstranodal. Sekitar satu setengah limfoma kepala dan leher terjadi di cincin
Waldeyer, dan hampir semuanya merupakan limfoma non-Hodgkin. Kira-kira
40%-79% limfoma non-Hodgkin yang terjadi di cincin Waldeyer menyerang
tonsil. Untuk itu, tonsil merupakan tempat utama yang paling umum, yang kedua
nasafaring, sementara akar lidah dan langit-langit mulut halus kurang terlibat.
Investigasi penyebaran dan karakteristik computed tomography (CT) nodus limfa
servikal yang melibatkan tonsil mempunyai signifikansi yang tinggi pada
diagnosis dan diagnosis diferensial. Penggambaran penelitian limfoma yang
melibatkan tonsil telah kurang dilaporkan. Penelitian kita meninjau pasien dengan
limfoma yang melibatkan tonsil dan menganalisis karakteristik CT dari limfoma
non-Hodgkin yang melibatkan tonsil dan karakteristik nodus limfa servikal yang
terlibat.

Material dan metode


Karakteristik klinis
Sejumlah 130 pasien dengan limfoma yang melibatkan kepala dan leher
dan awalnya terdiagnosis dengan data gambaran CT, rekaman medis, hasil
patologis, dan rekaman pemeriksaan pada Rumah Sakit Kanker Akademi Ilmu
Kedokteran Cina dari Januari 1991 hingga Desember 2006 ditinjau. Sejumlah 22
pasien awalnya didiagnosis dengan luka primer di tonsil.

Sejumlah 13 pasien adalah pria, 9 wanita, dan usia mereka berkisar dari 15
hingga 70 tahun, dengan usia tengah 50 tahun. Berdasarkan klasifikasi patologis,
14 pasien mempunyai tipe sel-B difus, 1 mempunyai tipe sel-B difus dengan sel
terbelah yang kecil, 1 mempunyai sel-B difus dari tipe sel kecil dan besar yang
tercampur, 1 mempunyai tipe berkaitan mukosa, 1 mempunyai tipe turunan sel
pusat folikel (folikular II), 1 mempunyai tipe sel NK/T, 1 mempunyai tipe sel-T
periferal, 1 mempunyai limfoma limfoblastik T prekursor, dan 1 tak terklasifikasi.
Berdasarkan sistem penentuan stadium American Joint Committee on
Cancer (AJCC) tahun 2002, 3 pasien mempunyai stadium penyakit IEA, 16
mempunyai stadium penyakit IIEA, 1 mempunyai stadium penyakit IIIEA, 1
mempunyai stadium penyakit IV-A, dan 1 mempunyai stadium penyakit IVBS.
Organ ektranodal yang terlibat secara primer pada stadium I-II adalah tonsil dan
terdapat 6 pasien dengan serangan nasofaring simultan (termasuk 2 pasien dengan
limfoma sel B besar yang difus, 1 dengan prekursor T limfoma limfoblastik, 1
dengan limfoma sel NK/T, 1 dengan limfoma sel T periferal, dan 1 dengan
limfoma turunan sel pusat folikel), 2 dengan serangan langit-langit mulut halus, 1
dengan serangan pada epiglotis (tiga keseluruhan merupakan limfoma sel B besar
difus). Sejumlah 9 pasien mempunyai nodus limfa servikal unilateral dan bilateral
yang terlibat secara simultan. Satu pasien mempunyai serangan nodus limfa
mediastinal simultan stadium III; dua mempunyai serangan sumsum tulang
stadium IV, dan 1 mempunyai serangan di limpa, ginjal bilateral, septum
mediastinal, dan nodus limfa hilar unilateral, dan lainnya mempunyai serangan di
nodus limfa aksilar bilateral.
Berdasarkan pengobatan, untuk para pasien dengan penyakit stadium I, 1
mengalamai radioterapi saja, 2 menjalani kemoradioterapi. Bagi pasien dengan
penyakit stadium II, 3 menjalani radioterapi saja, 10 menjalani kemoradioterapi, 3
menjalani kemoterapi saja. Satu pasien dengan penyakit stadium III menjalani
kemoradioterapi. Dua pasien dengan penyakit stadium IV menjalani kemoterapi
saja.

Metode penggambaran
Penelitian kita melibatkan CT spiral (PQ6000, ultra GE Lightspeed dan
GT Lightspeed pro) untuk menampilkan penggambaran, dengan ketebalan potong
5 mm, interval potong 5 cm, 120 kV mA, dan seluruh pasien mempunyai scan
kepala dan leher aksial dan scan koronal langsung, atau rekontruksi koronal dan
sagital. Bagi 19 pasien tanpa kontradiksi iodin, 95 medium kontras teriodinisasi
nonionik (300 mgl/mL) dipakai untuk menampilkan scan yang ditentukan
stadiumnya, dan injeksi intravenosa ditampilkan oleh injekter power dengan
kecepatan aliran 3.0 mL/s, kemudian ditunda 45s untuk memulai scan. Tiga
pasian menjalani scan non-kontras. Jangkauan perekaman pada kepala dan leher
yaitu dari dasar tengkorak hingga area supraklavikular. Enam pasien secara
simultan menjalani CT scan dada; 9 menjalani CT scan pelvis dan abdominal
untuk menentukan stadium.
Mengenai daerah serangan nodus limfa, sistem klasifikasi nodal berdasar
penggambaran digunakan untuk mengklasifikasikan nodus limfa servikal. Nodus
limfa supraklavikular, retrofaringeal, parotid, dan superfisial lainnya dianalisis.
Kriteria diagnostik nodus limfa yang terlibat termasuk pengukuran
diameter nodus limfa yang lebih pendek. Ambang batas diagnostik adalah 1.0 cm,
dan nodus limfa lebih besar dari 1.0 dikatakan abnormal. Yang lebih kecil dari 1.0
cm, jika mereka terjadi di kluster, atau nodus limfa yang membesar diobservasi di
daerah nodus limfa berdekatan, nodus limfa tersebut diperbesar pada pemeriksaan
CT, atau tenggelam atau menghilang setelah kemoterapi, juga didefinisikan
sebagai nodus limfa yang terlibat.
Diagnosis pemeriksaan
Sejumlah 18 pasien diperiksa dalam 2-31 bulan, dengan rerata 12 bulan,
menerima 33 CT scan kepala dan leher, 19 CT scan leher dan dada, 13 CT scan
pelvis dan abdominal, 5 scan dada dan abdominal, dan 1 CT scan dada,
abdominal, dan pelvis. Empat pasien tidak diikutkan di rumah sakit kita.

Hasil
Ciri-ciri patologis tonsil
Tonsil bilateral dilibatkan pada 13 pasien, yang mana 3 dari mereka
menunjukkan pembesaran tonsilar simetris (Gambar 1), 10 menunjukkan
pembesaran tonsilar asimetris, dan 9 mempunyai luka unilateral (Gambar 2). Luka
muncul seperti gumpalan pada 20 pasien, 17 dari mereka terdefinisikan dengan
baik, dan 3 kurang terdefinisikan. Bagi pasien-pasien ini, diameter luka yang
panjang adalah 1.3-4.8 cm, dengan rerata 2.7 cm. Dua pasien menunjukkan
penebalan difus, dan ketebalannya adalah 1.2 cm dan 2.2 cm, secara respektif.
Terdapat 6 pasien dengan serangan simultan pada nasofaring (Gambar 3), 2
dengan serangan pada langit-langit mulut halus (Gambar 1), dan 1 dengan
serangan di epiglotis. Dari 3 pasien yang menjalani scan non-kontrak, mereka
menunjukkan kerapatan homogen mirip otot (Gambar 4). Dari 19 pasien yang
menjalani CT scan bertingkat, 15 mempunyai peningkatan secara homogen,
dengan kerapatan enteng lebih tinggi dari otot (Gambar 2); 4 mempunyai lubang
atau sepotong kerapatan rendah (Gambar 5), dan 1 mempunyai peningkatan
seperti cincin.
Karakteristik nodus limfa servikal yang terlibat
Nodus limfa servikal bilateral diserang pada 13 pasien, dan nodus limfa
servikal unilateral diserang pada 9 pasien. Di antara mereka, kelompok atas nodus
limfa servikal terlibat secara bilateral pada 13 pasien, dengan rerata 1.5 cm
(jangkauan 0.7-3.4 cm); secara unilateral pada 9 pasien, dengan rerata 1.5 cm
(jangkauan 1.0-4.2 cm). Kelompok tengah terlibat secara bilateral pada 7 pasien,
secara unilateral pada 10 pasien, dengan rerata 1.3 cm (jangkauan 0.6-4.8 cm).
Kelompok bawah terlibat secara bilateral pada 2 pasien, secara unilateral pada 5
pasien, dengan rerata 1.0-1.2 cm (jangkauan 0.8-2.5 cm). Kelompok submaksilar
terlibat secara bilateral pada 5 pasien, dan secara unilateral pada 3 pasien dengan
rerata 1.3 cm ( jangkauan 0.9-2.0 cm). Kelompok submental terlibat pada 2
pasien, dnegan diameter lebih pendek 0.9-1.2 cm. Kelompok segitiga servikal
posterior terlibat pada 3 pasien, dengan diameter lebih pendek 0.5-1.1 cm. Nodus

limfa parafaringeal, retrofaringeal, dan parotid terlibat pada 1 kasus, dengan


diameter lebih pendek 0.8 cm dan 1.0 cm.
Dari 19 pasien yang menjalani CT scan, nodus limfa muncul sebagai
peningkatan secara homogen pada 11 pasien, dan kerapatan rendah lebih tinggi
dari yang ada pada otot. Peningkatan heterogen dengan nekrosis dan perubahan
sistis muncul pada 6 pasien (Gambar 5). Peningkatan seperti cincin muncul pada 2
pasien. Kerapatan homogen jelas pada 3 pasien yang menjalani scan non-kontras
dan mirip otot (Gambar 4). Nodus limfa soliter nyata pada 17 pasien, jumlah
unilateral kurang dari 5 pada tiap potongan scan, dan satu dari mereka menyerang
otot sternokleidomastoid. Bagian nodus limfa melebur menjadi sebuah gumpalan
pada 5 pasien, dan 4 dari mereka serangan ke otot sternokleidomastoid (Gambar
2). Nodus limfa dengan diameter lebih pendek kurang dari 1.0 cm dikonfirmasi
telah menyusut atau menghilang setelah pengobatan pada pemeriksaan CT.
Gambar 1 Seorang wanita berusia 50 tahun dengan limfoma sel B besar difus
Pembesaran tonsil bilateral ditingkatkan sedikit dan secara homogen melalui CT
scan aksial ditingkatkan yang kontras (A) dang MPR koronal (B).
Gambar 2 Seorang pria berusia 53 tahun dengan limfoma turunan dari sel
pusat folikular (Folikular tingkat II)
Tonsil kanan mempunyai pembesaran, kontur lobular, peningkatan homogen
sedikit, dengan luka nodus limfa pertemuan meningkat secara homogen pada
leher menengah keatas ipsilateral, melalui CT scan bertingkat kontras.
Gambar 3 Seorang wanita berusia 25 tahun dengan limfoma sel B besar difus
Tonsil bilateral mempunyai pembesaran simetris dengan sedikit peningkatan dan
homogen melalui CT scan yang ditingkatkan-kontras (A) dan dengan keterlibatam
nasofaring dan parafaring (B).
Hasil pemeriksaan
Dari 18 kasus pemeriksaan, luka pada tonsil dari 17 pasien yang muncul,
menyusut setelah pengobatan, dan nodus limfa servikal yang terserang juga

menyusut atau menghilang. Bagi 1 pasien dengan limfoma turunan sel-B difus
stadium-IV (sel terbelah yang kecil) diperparah oleh leukimia limfositik kronis
dan nodus limfa aksilar bilateral yang terserang, luka pada tonsil tidak
menunjukkan perubahan nyata setelah pengobatan, nodus limfa servikal sedikit
membesar, nodus limfa aksilar bilateral tidak menunjukkan perubahan nyata. Dari
17 pasien yang menunjukkan kemajuan, 1 pasien dengan limfoma limfoblastik T
perkursor T stadium-IVBS diperparah oleh serangan ke sumsum tulang,
mediastinum, nodus limfa hilar kiri, cairan pleura kiri, limpa, dan ginjal bilateral,
hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa gumpalan mediastinal, nodus limfa jilar
kiri, limpa, dan ginjal bilateral menyusut setelah pengobatan selama 3 bulan. Satu
pasien dengan limfoma sel-NK/T stadium-IIA menunjukkan serangan di kunci
paha, area pembuluh iliac bilateral, dan nodus limfa sekitar rektum dan limpa juga
membesar setelah 2 tahun. Setelah pengobatan selama 4 bulan, luka pada nodus
limfa pelvis menyusut dan limpa tidak menunjukkan perubahan. Satu pasien
dengan limfoma sel-B besar difus stadium-IIIEA menunjukkan limpa yang
membesar, sehingga ini dikatakan bahwa limpa terserang, kemudia hati kelihatan
mempunyai luka serangan yang mungkin dan nodus limfa hilar splenik membesar
setelah 10 bulan.
Gambar 4. Seorang wanita berusia 53 tahun dengan limfoma limfoblastik
sel-T
Pembesaran simetris dari tonsil bilateral ditunjukkan dengan nodus limfa yang
membesar pada sisi bilateral leher. Kerapatan tonsil dan nodus bersifat homogen
dan mirip dengan otot melalui CT scan yang tidak diperbesar.
Gambar 5. Seorang wanita berusia 53 tahun dengan limfoma sel-B besar
difus
Pembesaran tonsil kiri ditingkatkan secara heterogen dengan perubahan sistik
kerapatan lemah melalui CT scan diperbesar yang kontras, mempunyai luka nodus
limfa dengan nekrosis sistik dan perubahan yang mengelompok pada leher
menengah ke atas kiri dan area submandibular.

Pembahasan
Limfoma sel besar merupakan klasifikasi patologis yang paling umum
pada limfoma non-Hodgkin yang terjadi di cincin Waldeyer. Berdasarkan
klasifikasi limfoma ganas oleh World Health Organization (WHO), sekitar 66%75% limfoma yang terjadi di cincin Waldeyer merupakan tipe sel-B besar difus,
sementara klasifikasi patologis lain, seperti limfositik kecil, sel besar folikular,
limfoblastik, limfoma Bunkitt, dan tipe sel-T periferal itu langka. Limfoma sel-B
besar difus bersifat dominan pada pasien yang terlibat di penelitian kita (terhitung
64%), yang konsisten dengan sebagian besar laporan. Klasifikasi patologis
dipertimbangkan sebagai faktor prognostik penting. Klasifikasi patologis yang
berbeda membawa ke perbedaan-perbedaan besar pada prognosis. Secara umum,
NHL turunan sel-T yang terjadi di cincin Waldeyer mempunyai prognosis yang
lebih lemah dibandingkan luka turunan sel-B. International Lymphoma Study
Group (ILSG) menegaskan bahwa, dibandingkan dengan luka turunan sel-B pada
tingkat histologis yang sama, luka turunan sel-T menunjukkan lebih banyak ciriciri morfologis yang berlipat dan mempunyai lebih banyak infiltrasi vaskular dan
nekrosis fokal. Jumlah luka turunan sel-T sangat kecil di penelitian kita dan tidak
ada keteraturan ditampilkan.
Stadium limfoma secara langsung mempengaruhi pilihan aturan
pengobatan. Radioterapi sendiri atau terapi yang dikombinasi merupakan metode
pengobatan utama bagi NHL stadium I dan II yang terjadi di cincin Waldeyer, dan
daerah target radioterapi pada NHL stadium I dan II melibatkan nasofaring, tonsil
bilateral, akar lidah, langit-langit mulut yang halus, langit-langit mulut yang kasar,
seluruh nodus limfa servikal, nodus limfa supraklavikular, dan nodus limfa
subklavikular. Rongga hidung juga dilibatkan jika tidak terserang. Untuk limfoma
rongga nasofaringeal utama yang diperparah oleh gejala saraf kranial, daerah
target seharusnya juga melibatkan daerah 2 cm di atas dasar tengkorak. Terapi
gabungan dapat meningkatkan daya tahan hidup bebas tumor selama 5 tahun bagi
pasien dengan NHL tonsilar stadium-II, dan kemoterapi merupakan pengobatan
dominan bagi pasien dengan penyakit stadium-III dan IV. Tetapi, hasil
pemeriksaan jangka panjang memberi kesan bahwa dampak terapeutik luka
dengan klasifikasi patologis yang berbeda itu berbeda secara nyata. Pasien dengan

NHL kronis tingkat rendah yang terjadi di cincin Waldeyer dapat mencapai
dampak terapeutik yang lebih baik, tetapi mayoritas kasus yang kembali muncul
pada pasien dengan luka kronis tingkat rendah atau menengah berulang melebihi
daerah target radioterapi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terapi
gabungan radioterapi dan kemoterapi secara universal diadopsi pada pengobatan
pasien dengan luka kronis tingkat rendah atau menengah. Di samping mendeteksi
letak luka primer, CT scan juga dapat mendeteksi serangan struktur dalam di atas
posisi, menyediakan dasar bagi stadium tumor, evaluasi dampak terapeutik, dan
penentuan stadium kembali pada pemeriksaan setelah pengobatan.
Ukuran tumor dan area yang terlibat dari tumor primer NHL yang terjadi
secara primer di cincin Waldeyer mempengaruhi prognosis sebagai laporan.
Prognosis akan berbeda berdasarkan posisi luka yang berbeda, dan tingkat remisi
lengkap setelah pengobatan untuk pasien dengan luka tonsil primer lebih tinggi
secara signifikan dibandingkan pasien dengan luka primer nasofaring dan akar
lidah. Untuk luka pada stadium I dan II, pasien dengan gumpalan unilateral tebal
atau nodus limfa servikal bilateral yang menebal mempunyai prognosis yang lebih
lemah dibandingkan pasien tanpa faktor ini. Pasien dengan serangan tonsil
bilateral bersifat dominan pada penelitian kita (terhitung 59%), dengan rerata 2.5
cm, dan 2 pasien ditunjukkan dengan penebalan difus dari dinding orofaring. Pada
penelitian kita, 8 pasien mempunyai luka tonsil stadium-I dan II unilateral dan
benjolannya lebih besar dari 3 cm. Dari mereka, 5 membaik setelah pengobatan,
dengan tidak kambuh setelah 3-20 bulan pemeriksaan (rata-rata 10 bulan), dan 3
pasien menghilang untuk pemeriksaan. Dari 11 pasien lainnya dengan luka
stadium-I dan II, 10 membaik setelah pengobatan, dan tidak kambuh ditemukan
setelah 2-31 bulan (rata-rata 12 bulan). Karena jumlah kasus yang sedikit dan
waktu pemeriksaan yang terbatas pada penelitian kita, tidak ada peraturan terlapor
sebelumnya yang ditemukan.
Sebagian besar ciri-ciri CT yang terdiagnosis pada awalnya dari limfoma
yang menyerang tonsil merupakan serangan bilateral, dan kerapatan homogen dan
tampilan seperti gumpalan yang sedikit ditingkatkan merupakan karakteristiknya.
Dari 19 pasien di penelitian kita, 15 (79%) mempunyai sedikit peningkatan
homogen, dan kerapatannya sedikit lebih tinggi daripada otot. Dari empat pasien

(21%) dengan sepotong kerapatan rendah atau berlubang, 3 mempunyai limfoma


sel-B besar difus, dan 1 mempunyai tipe turunan sel-B difus (seluleritas
campuran). Kerapatan luka pada 3 pasien yang menjalani scan non-kontras
bersifat homogen dan mirip dengan otot. Ini sangat berbeda dari karsinoma sel
skuamosa pada tonsil, yang muncul sebagai tonsil yang membesar secara
unilateral dan peningkatan heterogen yang nyata dengan nekrosis dan sebagian
besar serangan terhadap organ yang berdekatan sepanjang dinding faringeal pada
sisi yang sama. Pembesaran tonsil inflamatori juga dapat menyerang tonsil secara
bilateral, dan luka secara primer menunjukkan sedikit pembesaran difus, dan
peningkatan homogen, sementara beberapa luka muncul sebagai bengkak
bernanah dengan kerapatan rendah dan peningkatan tepi, dengan edema struktur
yang berdekatan. Ini akan dibedakan oleh riwayat dan remisi klinis setelah
pengobatan anti-biotik.
Sebagian besar pasien dengan didiagnosis pada mulanya dengan limfoma
non-Hodgkin pada tonsil mempunyai keterlibatan nodus limfa servikal dalam
bilateral, terutama kelompok atas nodus limfa servikal. Pada penelitian kita,
tingkat serangan kelompok atas adalah 100%, dan serangan bilateral terhitung
59%. Tingkat serangan kelompok menengah adalah 77%, dan serangan bilateral
terhitung 32%. Tingkat serangan kelompok bawah adalah 32%, dan serangan
bilateral terhitung 9%. Nodus limfa yang terserang itu baik itu sangat besar atau
dalam sebuah

rumpun dengan diameter kurang dari 1 cm tiap nodus limfa.

Diameter lebih pendek maksimum pada penelitian kita adalah 4.8 cm, dengan
rerata 1.5 cm.
Di antara banyak sekali ciri-ciri yang diperbesar CT pada luka nodus limfa
servikal di limfoma kronis, satu yang paling umum adalah nodus limfa yang
membesar dengan kerapatan homogen mirip dengan otot. Kerapatan rendah
kontra dengan peningkatan periferal tidak bersifat spesifik di metastasis nodus
limfa dari karsinoma sel skuamosa, dan ditemukan limfoma kronis pada 37.5%.
Kerapatan jaringan halus pusat dengan kapsul diperbanyak yang sangat kecil
diobservasi di 26.8% limfoma, tetapi mereka bersifat langka di metastasis nodus
limfa, hanya 1.5%. Sebagian besar pola peningkatan nodus limfa yang terinfeksi
pada penelitian kita merupakan sedikit peningkatan homogen (58%), nekrosis,

dan perubahan sistik diobservasi di 6 pasien (31%), dan peningkatan tepi seperti
cincin diobservasi di 2 pasien (11%). Di seluruh nodus limfa yang terinfeksi, 77%
pasien mempunyai nodus limfa soliter, 23% menunjukkan peleburan nodus limfa
parsial, dan bagian nodus limfa yang lebur lebih mungkin menyerang otot
sternocleidomastoid. Kecuali untuk 1 pasien dengan luka stadium-IV diperparah
oleh leukimia limfositik kronis, seluruh nodus limfa yang terserang menyusut
setelah pengobatan, dan tidak kambuh setelah 2-31 bulan.
Untuk diagnosis diferensial, nodus limfa servikal dalam, segitiga servikal
posterior, dan nodus limfa superfisial sering terlibat di NHL, yang berbeda dari
karsinoma sel skuamosa tonsil sejak belakangan sering menyerang kelompol submaksilar dan kelompok atas nodus limfa servikal dalam, dan nodus limfa
metastatis karsinoma sel skuamosa tonsil sering muncul dengan pembesaran
heterogen, digabungkan dengan nekrosis di pusat dan cenderung menyerang
kapsul dan melebur jadi gumpalan. Saat inflamasi tonsil dikaitkan dengan nodus
limfa servikal yang terkena inflamasi atau membesar, servikal atas bilateral dan
nodus limfa submaksilar juga dapat diperbesar, nodus limfa dapat berbentuk
lingkaran atau oval, dengan sedikit lebur menjadi sebuah gumpalan, dan
ditingkatkan sedikit homogen. Ini dapat dibedakan melalui penyusutan atau
ketidakmunculan setelah pengobatan anti-biotik.
Ringkasnya, luka tonsil dan nodus limfa servikal yang diserang pada
pasien dengan NHL primer atau awal tonsil mempunyai beberapa ciri-ciri CT.
Memahami ciri-ciri CT ini bersifat esensial bagi diagnosis dan diagnosis luka
yang berbeda. Di samping mendeteksi luka tonsil dan menyediakan bantuin untuk
diagnosis, tujuan utama perekaman CT juga melibatkan deteksi serangan struktur
dalam, seperti nasofaring, rongga hidung, rongga hidung asesori, langit-langit
mulut yang halus dan kasar, epiglotis, dan jaringan parafaringeal. Stadium tumor
kemudian dapat ditentukan untuk menyeleksi aturan pengobatan yang sesuai.

You might also like