You are on page 1of 5

MEMBANGUN STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN

MELALUI PERDA IDENTITY YANG PARTISIPATIF


Abstract
Agus Budianto, SH., MH1
Pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan merupakan dua senjata untuk
berperang melawan Kemiskinan. Dua senjata tersebut merupakan satu paket kebijakan
yang harus diterapkan secara bersama-sama, untuk menuju pada satu tujuan utama yaitu
pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan.
Perang melawan kemiskinan mulai dicanangkan oleh Presiden Soeharto dengan
program bernama Bimas, Insus dan Supra Insus dan dilajutkan pada tahun 1994 dengan
IDT. Hasilnya angka kemiskinan selama Repelita II V, menurun tajam, dari 54,2 juta
jiwa atau sebanyak 40,1% penduduk miskin menurun hingga 22,5 juta jiwa atau sebesar
11,3%. Namun program ini serta merta menjadi terkoyak, manakala terjadi krisis moneter
pada tahun 1998, dimana jumlah penduduk miskin menjadi meningkat tajam dalam kurun
waktu 3 tahun.
Untuk menghindari efek domino dari masyarakat, maka pemerintah memaparkan
4 program, salah satunya adalah Program Pemberian Subsidi Langsung Tunai kepada
Rumah Tangga Miskin (BLT) sebesar Rp. 300.000 untuk tiga bulan. Namun BLT tersebut
melahirkan kericuhan yang diakibatkan dua hal, yaitu ketidaksesuaian data dan
ketidaksiapan BLT itu sendiri.

Saat ini penulis sebagai salah satu Tenaga Ahli dalam penyusunan RUU Perlindungan Identitas Diri.
Sengaja saya ingin ikut serta dalam Call For Papers ini, karena ada pesan yang ingin saya sampikan
kepada daerah, bahwa tanpa dukungan daerah melalui Perda, maka kaum miskin di Indonesia jauh untuk
bisa menikmati kehidupan yang layak, kehidupan sebagai manusia bermartabat yang hak-haknya dilindungi
oleh undang-undang.
Agus Budianto, SH., MH. Dosen FH UPH, Gedung B, Lt. 5, UPH Tower Lippo Karawaci, Tangerang
15811. Phone : (021) 5460901 ext 558 ; HP : 0816-997-7676; Email : agusbudianto@email.com

Kalau kita tengok kebelakang, para founder fathers telah mengamanatkan


perlindungan terhadap kaum miskin, yang diatur dalam Pasal 34 UUD 1945. Tujuannya
tidak lain adalah untuk memberikan kesempatan dan persamaan menjalani hidup serta
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan. Hal ini kemudian menjadi hak dasar bagi setiap warga negara, bahkan PBB
dalam Universal Declaration of Human Rights telah mengaturnya dalam Pasal 25.
Pengentasan kemiskinan di Indonesia dijalankan dengan setengah hati, meskipun
telah dikeluarkan PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan, namun angka kemiskinan menurut data BPS masih tinggi, yaitu untuk garis
kemiskinan (setiap orang/bulan) Rp. 120.000 terdapat 16 juta jiwa; Rp. 150 terdiri dari 40
juta jiwa dan Rp. 175.000 (near poor) sebanyak 62 juta jiwa. Ini artinya, pemerintah
belum berhasil memberdayakan dan mengentaskan kemiskinan.
Seperti yang telah diterangkan diatas, ketimpangan dalam BLT tidak lain adalah
ketidaksesuaian data. Dasar hukum dari BLT itu sendiri adalah PP Nomor 56 Tahun 2005
Juncto Inpres Nomor 12 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa tugas pendataan, persiapan
dan pendistribusian dilakukan oleh BPS sedangkan Presiden menginstruksikan kepada
Para Gubernur beserta jajarannya untuk memberikan dukungan terhadap pelaksanaan dan
pengawasan program pemberian bantuan langsung tunai kepada rumah tangga miskin
tersebut. Padahal, justru daerah sendirilah yang tahu tentang warga masyarakat yang
berstatus miskin. Jika daerah tidak dilibatkan dalam pendataan warga, maka yang terjadi
adalah pembakaran balai desa, petugas pendata yang dianiaya, dan sebagainya.
Disisi lain, semenjak mundurnya Presiden Soeharto, euforia Otonomi Daerah
semakin marak disuarakan oleh daerah-daerah. Kebijakan desentralisasi melahirkan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam


menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban, salah satunya adalah
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan mengembangkan sistem jaminan
sosial. Juga, dikatakan bahwa tugas dan wewenang dari Kepala Daerah adalah
mengajukan rancangan Perda. Namun ironisnya, Perda yang sudah dibuat justru tidak
berpihak pada kaum marginal dan tidak berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang diamanatkan dalam Pasal 137, yaitu salah satunya adanya
kedayagunaan dan kehasilgunaan dan Pasal 138 materi Perda tidak mengandung:
pengayoman; kemanusiaan; kekeluargaan; keadilan; dan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan.
Data yang dihimpun oleh Kualisi Perempuan Indonesia, mencatat sedikitnya
terdapat 25 Perda dan kebijakan lain ditingkat lokal serta tujuh rancangan perda yang
mengatur masalah kesusilaan dengan mengkriminalkan perempuan miskin dengan
ancaman kurungan paling lama 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 15.000.000,-.
Ada juga perda larangan merokok dengan denda maksimal sebanyak 50 Juta atau
kurungan 6 bulan, yang ditujukan untuk mengurangi polusi udara (bagaimana dengan bis
yang sudah tua-tua ?). Perda-perda tersebut lebih terkesan mengkomersialkan warga
miskin ketimbang berupaya untuk pemberdayaan dan pemberantasan kaum miskin.
Moral seharusnya dipahami sebagai ketidakpedulian pada kaum miskin (termarjinalkan),
korupsi, kehipokritan dan menyalahgunakan kekuasaan.
Pemberdayaan

kaum

miskin

atau

setidak-tidaknya

mengurangi

jumlah

kemiskinan merupakan tolak ukur kemajuan pemerintah daerah sebagai wujud dari
Governance Reform. Reformasi kepemerintahan berarti penataan kembali urusan-urusan

sektor

publik dalam aspek politik, ekonomi dan administratif untuk kepentingan

pembangunan masyarakat guna mencapai Good Governance. Karakteristiknya meliputi


participation, rule of law, transparency, responsifness, consensus orientation, equity,
efficiency and effectiveness, accountability, strategic vision. Dengan kata lain, adanya
reposisi pemerintah daerah dari mengatur menjadi memberdayakan masyarakat,
khususnya kaum marginal.
Pemberdayaan kaum miskin tidak akan berhasil tanpa kita tahu apa tolak ukur
dari kemiskinan dan siapa yang masuk dalam kategori miskin. Oleh karena itu,
pemerintah daerah harus mandata kembali masyarakatnya dan kemudian memberi nomor
tersendiri, dimana nomor ini akan melekat pada setiap orang. Dengan demikian akan
terlihat siapa dan berapa warga yang berada dibawah garis kemiskinan.
Apabila pemerintah daerah sudah mendata dan memberikan nomor pada setiap
warganya, maka akan mempermudah kerja pemerintah pusat dalam penyaluran danadana subsidi seperti BLT, BOS dan sebagainya. Selain itu, juga membawa keuntungan
bagi warga yang tergolong miskin, karena akan mendapatkan keringanan dalam
pengurusan administratif, seperti KTP, Akta Kelahiran, dan sebagainya. Model pendataan
warga dan pemberian nomor untuk tujuan pemberdayaan kaum miskin ini pernah
dilakukan Amerika Serikat ketika mengalami great depression atau penurunan tingkat
kemakmuran masyarakat (social welfare) pada tahun 1929. Untuk melindungi
masyarakat yang telah lanjut usia, pemerintah Amerika Serikat membuat progam jaminan
sosial (social security program) yang ditujukan kepada orang-orang yang tidak memiliki
pendapatan

(income),

seperti

pensiunan,

pengangguran,

dan

lainnya

dengan

mengeluarkan Social Security Number (SSN). Adapun tujuan SSN adalah memantau

individu yang tidak bekerja untuk menerima keuntungan (benefit) dari jaminan sosial
tersebut yang akan ditanggung oleh orang-orang yang bekerja dan perusahaanperusahaannya melalui pembayaran pajak.
Di Indonesia, hal demikian baru dilaksanakan oleh Pemkot Surabaya melalui
Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana meluncurkan Kartu Identitas
Keluarga Miskin sebanyak 111.223 kartu pada tanggal 4 Mei 2006. Kartu tersebut
mempunyai fungsi sebagai bukti diri masyarakat miskin untuk memperoleh bantuan dan
pelayanan dibidang kesehatan, pendidikan, pangan, kependudukan dan pencatatan sipil
serta peningkatan sumber daya. Untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum,
akankah program seperti ini dibuat dalam sebuah Perda ?
Metode penelitian yang digunakan adalah normatif, yaitu mencari landasan juridis
dalam membangun strategi pengentasan kemiskinan melalui Perda Identity yang
partisipasif dan memihak kaum miskin, sedangkan kendalanya adalah perlu membangun
kerjasama dengan instansi pemerintah pusat dalam implementasi kebijakan Perda identity
ini, karena Pemerintah Daerah secara psikologis tidak akan siap apabila menjadi daerah
kantong kemiskinan.

You might also like