You are on page 1of 21

Case Report Session

MIASTENIA GRAVIS

Oleh:
Nidia Ramadhani (1010313099)

Preseptor:
dr. Hj. Meiti Frida, Sp. S (K)
dr. Lydia Susanti, Sp. S

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD DR M DJAMIL
PADANG
2015
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.1,2
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction.2
1.2 Epidemiologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada
berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun.
Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan
wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6:4. Pada wanita, penyakit
ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada
pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun.1,2
1.3 Fisiologi Neuromuscular Junction
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan
merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf
membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuscular. Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya
yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction.3,4

Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah sebagai


berikut:5

Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)

Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275


kDa.

Mengandung lima subunit

Hanya subunit yang mengikat asetilkolin dengan afinitas tinggi.

Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang
memungkinkan aliran baik Na+ maupun K+.

1.4 Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.2
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada
serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot.
Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita
dengan miastenia gravis. Antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan
penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi
terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien
yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.2
Menurut anggapan ini, akan timbul suatu reaksi auto-imunologik, atrofi
dari membran post sinaptik sehinggan Ach.reseptor pada membran post sinaptik

menjadi berkurang. Atrofi membran post-sinaptik ini pula akan menyebabkan


melebarnya celah sinaptik sehingga penyeberangan acetylcholin itu akan
memerlukan waktu banyak daripada biasanya. Akibat penyeberangan yang lebih
panjang adalah bahwa akan lebh banyak terjadi penguraian dari acetylcholin
oleh cholinesterase sehingga acetylcholin yang sampai pada membran post
sinaptik tidaklah lagi mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi. Maka
timbullah gejala-gejala Miastenia Gravis.2
1.5 Gejala Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan pada otot
rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita
akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan
berkurang apabila penderita beristirahat.4 Gejala klinis miastenia gravis antara
lain:

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis

Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius,


sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia
gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular
masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua
belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga
sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.3

Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot


esktraokular (ptosis).

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.


Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot
leher, hingga ke otot ekstremitas.4

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga


mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari
otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran
menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara
sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya.
1.6 Klasifikasi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:1
a. Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
b. Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas
IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
h. Klas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,
otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak
akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari, gejala-gejala itu akan
tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun.1
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti
dibawah ini.1
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuh pun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

Myasthenia gravis dibagi dalam 4 kelompok:


Kelompok I : Okuler miastenia

Satu atau lebih otot mata yang diserang. Timbul ptosis dan diplopia yang
pada permulaan nampak pada sore hari dan menghilang pada keesokan
harinya.

Bentuk ini biasanya ringan, akan tetapi seringkali relatif resisten terhadap
terapi. Bila terjadi progresi maka ini biasanya terjadi dalam waktu 2 tahun
sesudah onset.

Kelompok II : Mild Generalised Miastenia

Onset berangsur-angsur. Mulai dengan gejala okuler menyebar ke otot-otot


muka, ekstremitas dan bulbus. Terjadi dysphonia dan dysartria yang
bertambah berat bila penderita terus berbicara.

Otot-otot pengunyah menjadi lemah dan terjadi dysphagia dan regurgitasi


makanan dari hidung.

Otot-otot pernapasan biasanya tidak diserang.

Progresi ke kelompok III terjadi dalam waktu 2 tahun pertama dari


penyakit.

Kelompok III : Severe Generalised Miastenia

Onset biasanya berat dengan diserangnya otot-otot okuler, ekstremitas dan


pernapasan secara menyeluruh.

Respons terhadap terapi anticholinesterase baik hanya pada 50% dari


kasus, yang memberi respons jelek berada dalam bahaya, oleh karena
dapat timbul krisis myasthenia atau cholinergis.

Kelompok IV : Krisis

Timbul kelemahan otot berat yang menyeluruh dengan paralyse otot-otot


pernapasan, sehingga merupakan keadaan darurat.

Krisis myasthenia terjadi:

Pada

penderita

kelompok

III

yang

refrakter

terhadap

obat

anticholinesterase saat infeksi.


Overmedication yang dinamakan cholinergic crisis. Sejumlah factorfaktor seperti penyakit demam, kehamilan, haid dapat memperberat
kelemahan.

1.7 Diagnosis
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada
otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a masklike face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.2
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)
serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain
itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada
miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga
dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi
dari leher.2
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh
atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh
bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jarijari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantar fleksi jari-jari kaki.2
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas
akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi
cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya
hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran

napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia
gravis fase akut sangat diperlukan.2
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada
mata yang melakukan abduksi.2
c. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti
Pemeriksaan Laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibody.2
Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang
dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut2
Imaging3

Chest x-ray (foto roentgen thorak)

Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.

Hasil rontgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya


thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan
untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis,
terutama pada penderita dengan usia tua.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari
penyebab defisit pada saraf otak

EMG
Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas
pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal. Pada penderita miastenia gravis terlihat penurunan progresif
amplitudo potensial aksi otot ketika pasien melakukan kontraksi volunter
berulang.
1.8 Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara
lain1,2

Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain :

Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)

Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring

Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

Paralisis pasca difteri

Pseudoptosis pada trachoma

Periodik paralysis

Guillain Barre Syndrome

Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya


suatu sklerosis multipleks.

Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

1.9 Penatalaksanaan
Secara garis besar, pengobatan MG berdasarkan 3 prinsip:2,3
Mempengaruhi transmisi neuromuskuler.
Mempengaruhi proses imunologik.
Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,
tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang
rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan
pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat dan terpat yang memiliki onset lebih lambat tetapi
memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan .
1.9.1 Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut5
- Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab, biasa diberikan 3x1 tab.
Efek Samping : gangguan penglihatan, sakit perut, kemerahan, perut kembung,
pusing, mengantuk, kram otot.
- Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5mg/amp. (im/iv). Dewasa : dosis
tunggal 0,5-2,5 mg (0,05-0,07 mg/kg berat badan) dengan Atropin Sulfat 0,6-1,2
mg (0,02-0,03 mg/kg berat badan) disuntikkan intravena secara perlahan selama 1
menit.
Efek Samping :
Aritmia jantung, hipotensi, henti jantung, sakit kepala, kejang, koma, lelah, bicara
kacau, kegelisahan, ketakutan, mual, muntah, diare, buang air besar & kencing di
luar kehendak (tidak sengaja), sekresi bronkhus, bronkhospasme, depresi

10

pernafasan, dada seperti tertekan, nafas atau dada berbunyi menciut-ciut, ruam
urtikaria
- Edrophonium chloride (tensilon) 10mgr/amp secara iv.
Efek Samping :
Kram otot abdomen, diare, nausea, vomiting, sekresi liur berlebihan, miosis,
hiperhidrosis.
- pyrisdostigmin bromide (mestinon) 60mgr/tab, Dosis: Dws 30-120 mg/hr
dengan dosis disesuikan dengan gejala (misalnya: 30-120 mg PO setiap 4-6 jam).
Efek Samping :
Mual, muntah, hipersalivasi, diare, kram abdomen
Plasma Exchange (PE)6
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek
yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang
akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan
tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan
menjalani periode postoperative.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan
selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium
yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan
pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang.
Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan
terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.
Intravenous Immunoglobulin (IVIG)6
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena
kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa
minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon
yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang
tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki

11

keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai


sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Intravenous Methylprednisolone (IVMp)6
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada
respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga
tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15
pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2
pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai
dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan
krisis akan dipertimbangkan apabila terapi lain gagal atau tidak dapat digunakan.
Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
Kortikosteroid2
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan
efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.
Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada
fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang
sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis
maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan
tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap
harinya, akan timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi
obesitas serta hipertensi.
Azathioprine2
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.

12

Cyclosporine2
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari
sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada
produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari
terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat
dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping
berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
Cyclophosphamide (CPM)
CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan
secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM
memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.
Thymectomy (Surgical Care)2
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan
signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.6
1.10 Komplikasi
1. Krisis Cholinergic
Karena kelebihan pemberian pengobatan anticholinesterase.

Ditandai oleh: kram otot abdomen, diare, nausea, vomiting, sekresi liur
berlebihan, miosis, hiperhidrosis, kesadaran sopor atau confused.

2. Krisis Miastenic
Akibat pengobatan yang tidakadekuat dan dipercepat adanya infeksi.
Ditandai olah : kesukaran bernapas, henti napas, sianosis, nadi cepat,
tekanan darah meningkat, tidak mampu batuk , disfagia, kelemahan
umum.

13

BAB 2
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama

: Tn. H

No. MR

: 624195

Umur

: 52 tahun

Pekerjaan

: Swasta

Agama

: Islam

Alamat

: Jati Koto Panjang


Seorang pasien laki-laki umur 52 tahun dirawat di RSUP Dr. M. Djamil

Padang pada tanggal 4 Desember 2015 dengan:


Anamnesis
Keluhan Utama:
Sesak nafas dan sulit menelan
Riwayat Penyakit Sekarang:

Sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak tidak disertai
batuk ataupun suara nafas yang menciut. Sesak nafas terutama dirasakan
pada sore dan malam hari, dan membaik ketika pasien bangun pada pagi
hari.

Suit menelan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien
masih bisa menelan makanan lunak, namun sejak 2 hari ini pasien tidak
lagi dapat menelan makanan lunak dan cair.

Pasien mengeluarkan air minum melalui hidung sebanyak yang ia minum


melalui mulutnya.

Pasien juga mengalami demam sejak 3 hari sebelumnya.

Terdapat keluhan suara pasien yang sengau

Keluhan diiringi oleh kelemahan pada seluruh anggota gerak sejak 3 hari
terakhir.

Keluhan juga disertai kelopak mata mata cenderung jatuh.

14

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat menderita timoma pada tahun 2005 dan telah dilakukan


operasi di RSCM dan juga telah dilakukan 20 kali radioterapi dan
plasmafaresis, namun pasien masih mengalami sulit menelan dan suara
sengau.

Pasien dirawat di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2007 dengan


keluhan sesak nafas dan sulit menelan. Pasien di diagnosis miastenia
gravis dan mendapat obat mestinon 3 x 2 tablet. Pasien kontrol tidak
teratur.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama seperti
pasien.
Riwayat Sosial dan Ekonomi :
Pasien tidak lagi bekerja sejak tahun 2007.
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum

: Sedang

Kesadaran

: Kompos mentis kooperatif

Tekanan Darah

: 130/80 mmHg

Frekuensi Nadi

: 89 x/menit

Frekuensi Nafas

: 27 x/menit

Suhu

: 38,6 C

Status Internus:
Torak:
Paru: Inspeksi

: Simetris paru kanan dan kiri

Palpasi

: Fremitus kanan dan kiri sama.

Perkusi

: Sonor

Auskultasi

: Vesikular di seluruh lapangan paru, wheezing -/ronki -/-

Jantung:

Inspeksi

: Iktus kordis tidak terlihat.

Palpasi

: Iktus kordis tidak teraba.

15

Perkusi

: Jantung tidak membesar.

Auskultasi

: Suara jantung tambahan (-), Gallop (-)

Status Neurologik:
1. Tanda perangsangan selaput otak
Kaku kuduk

: Tidak ada

Kernig : Tidak ada

Brudzinsky I : Tidak ada


Laseque

Brudzinsky II : Tidak ada

: Tidak ada

2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial: tidak ada


3. Nervi Kranialis
N. Olfaktorius

: penciuman baik

N. Optikus

: pupil isokor, diameter 3 mm / 3 mm, reflex cahaya


+/+

N. III, IV dan VI

:ptosis (+) pada kedua mata, nistagmus (-),


pergerakan bola mata bebas ke segala arah.

N. Trigeminus

:membuka mulut tidak maksimal, menggerakkan


rahang tidak maksimal, menggigit sulit, mengunyah
sulit, reflek kornea (+)

N. Fasialis

: plika nasolabialis simetris kiri dan kanan.

N. Vestibularis

: dalam batas normal

N. Glossofaringeus

: reflek muntah (+) dengan tounge spatel

N. Vagus

: nafas baik

N. Asesorius

: menggelengkan kepala kiri kanan (+)

N. Hipoglosus

: deviasi lidah tidak ada

4. Koordinasi

: gerakan nistagmus (-)

5. Motorik
Ekstremitas superior

kiri

kanan

Pergerakan

aktif

aktif

Tonus

eutonus

eutonus

Trofik

eutrofik

eutrofik

Kekuatan

555

555

Ekstremitas inferior

kiri

kanan

Pergerakan

aktif

aktif

16

Tonus

eutonus

eutonus

Trofik

eutrofik

eutrofik

Kekuatan

555

555

6. Sensorik

: eksteroseptif dan nosiseptif baik

7. Fungsi otonom
Miksi

: terkontrol

Defekasi

: terkontrol

Sekresi keringat: dalam batas normal


8. Reflek fisiologis
Reflek Biseps

: ++/++

Reflek Triseps

: ++/++

APR

: ++/++

KPR

: ++/++

9. Reflek patologis

Babinski -/Oppenheim -/Gordon -/Chaddock -/Schaffer -/Hofner-Tromner -/10. Fungsi luhur


Glasgow Coma Scale : E4 M6 V5
Reaksi Bicara

: Terganggu

Reaksi Intelek

: Tidak Terganggu

Reaksi Emosi

: Stabil

Laboratorium:
Hb: 11,2 gr/dl
Leukosit: 13400 /mm3
Ht: 33%
Trombosit: 173.000/ mm3

17

Diagnosis:
1. Diagnosis Klinik : Miastenia gravis grade II B
2. Diagnosis Topik : Myoneural junction
3. Diagnosis Etiologi : Autoimun
4. Diagnosis Sekunder: Pemeriksaan anjuran:
- EMG
Penatalaksanaan
Umum :
- IVFD Nacl 0,9% 12 jam/kolf
- Oksigen 3L/menit
- Diet MC
Khusus :
- Mestinon 3 x 120 mg (p.o)
- Metil prednisolone 4 x 125 mg (IV)
- Paracetamol 3 x 500 mg (p.o)
- Cefixim 2 x 100 mg (p.o)

18

BAB 3
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien laki-laki, usia 52 tahun dengan diagnosis
miastenia gravis.
Dari anamnesis didapatkan sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Sesak nafas terutama dirasakan pada sore dan malam hari, dan membaik
ketika pasien bangun pada pagi hari. Suilt menelan sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Awalnya pasien masih bisa menelan makanan lunak, namun sejak 2
hari ini pasien tidak lagi dapat menelan makanan lunak dan cair. Pada pasien juga
terdapat keluhan bahwa pasien mengeluarkan air minum melalui hidung sebanyak
yang ia minum melalui mulutnya. Pasien juga mengalami demam sejak 3 hari
sebelumnya. Terdapat keluhan suara pasien yang sengau. Keluhan diiringi oleh
kelemahan pada seluruh anggota gerak sejak 3 hari terakhir. Keluhan juga disertai
kelopak mata mata cenderung jatuh.
Pada miastenia gravis, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)
serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain
itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan. Pada pasien terdapat keluhan sesak nafas, kesulitan mengunyah dan
menelan dimana hal ini sesuai dengan klinis miastenia gravis.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan membuka mulut tidak maksimal,
menggerakkan rahang tidak maksimal, menggigit sulit, mengunyah sulit, dan
reaksi bicara terganggu akibat adanya adanya kelemahan yang berfluktuasi pada
otot rangka.
Pasien ditatalaksana dengan terapi umum -IVFD Nacl 0,9% 12 jam/kolf,
oksigen 3L/menit, diet MC, Mestinon 3 x 120 mg (p.o), Metil prednisolone 4 x
125 mg (IV), Paracetamol 3 x 500 mg (p.o) dan Cefixim 2 x 100 mg (p.o).

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Ngoerah, I. G. N. G. 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya:


Airlanga University Press.

2. Shah, et al. Myasthenia Gravis. 2014. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview, diakses pada
tanggal 11 Agustus 2015.
3. Keesey, John. 2004. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia
Gravis. Muscle & Nerve.
4. Myasthenia Gravis and Related Disorders of The Neuromuscular Junction.
In: Ropper A, Brown R, eds. Adam and Victors: Principles of Neurology
8th ed. McGraw Hill. 2005.
5. Drachman DB. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The
Neuromuscular Junction Kasper. In: Braunwald, Fauci, Hauser, Longo,
Jameson. Harrisons: Principle of Internal Medicine 16th ed. McGraw Hill.
2005.

6. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A. 1999. Biokimia Harper: Dasar
Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Jakarta: EGC.

20

You might also like