Professional Documents
Culture Documents
kompensasi dan koreeksi fisiologis oleh paru-paru dan ginjal (Kravath, R.E.,
1993).
Bila pH darah meningkat dari normal disebut alkalemia dan sebaliknya pH
darah menurun disebut asidemia. Sedangkan istilah osis (asidosis atau
alkalosis) merupakan proses yang menyebabkan perubahan kadar asam atau
basa dalam darah (asidemia atau alkalemia). Demikian juga, istilah osis tidak
selalu berarti ada perubahan pH darah. Misalnya, pada asidosis metabolik
tidak selalu ada asidemia. Karena penumpukan asam dapat dinetralisir oleh
sistem buffer yang dibantu mekanisme kompensasi dan koreksi oleh paru-paru
dan ginjal. Dalam praktik sehari-hari kedua istilah ini, osis dan emia selalu
disamakan.
HCO 3
H 2 CO3
pH= pK +log
kadar klorida darah, disamping kadar bikarbonat dan natrium darah diperlukan
untuk membedakan kedua jenis asidosis metabolik tersebut di atas. Pada
penderita diare, asidosis metabolik dengan anion gap normal dijumpai bila
penurunan kadar bikarbonat darah murni akibat hilangnya bikarbonat melalui
tinja.
e. Patofisiologis
Ada 3 pendekatan untuk memahami keseimbangan asam/basa: Pendekatan
kualitatif menggunakan persamaan Henderson/Hasselbalch, pendekatan
semikualitatif dengan kelebihan basa, dan Teori Ion yang kuat.
a) Pendekatan Handerson-Hasselbalch terhadap Fisiologi Asam/Basa
Persamaan Handerson-Hasselbalch menjelaskan hubungan pH darah dan
komponen sistem buffer H2CO3. Deskripsi kualitatif fisiologi asam/basa ini
memungkinkan komponen metabolik untuk dipisahkan dari komponen
keseimbangan asam/basa respiratorik.
pH = 6,1 + log (HCO3 / H2CO3)
Bikarbonat (HCO3) berada dalam kesetimbangan dengan komponen
metabolik. Produksi bikarbonat di dalam ginjal, produksi asam dari
sumber endogen atau eksogen.
Asam karbonat (H2CO3) dalam kesetimbangan dengan komponen
respiratorik, seperti yang ditunjukkan oleh persamaan berikut:
H2CO3 = pCO2 (mmHg) x 0,03
Asidosis metabolik dapat disebabkan oleh berikut:
i. Peningkatan generasi H+ dari asam endogen (misalnya laktat,
keton) atau asam eksogen (misalnya salisilat, etilena glikol,
metanol)
ii. Ketidakmampuan ginjal untuk mengsekresikan hidrogen dari
asupan protein (tipe I, IV asidosis tubulus ginjal)
iii.
Hilangnya bikarbonat (HCO3-) karena pembuangan melalui ginjal
(tipe II asidosis tubulus ginjal) atau melalui saluran pencernaan
(diare)
iv. Respon ginjal terhadap alkalosis respiratorik
b) Pendekatan Kelebihan Basa terhadap Fisiologis Asam/Basa
Sayangnya, persamaan Handerson-Hasselbalch tidak linear; pCO 2
menyesuaikan pH sebgai bagian dari kompensasi respiratorik normal
untuk kekacauan asam/basa. Ketidaklinearan Handerson-Hasselbalch
mencegah persamaan ini dari menghitung jumlah yang tepat dari defisit
bikarbonat dalam asidosis metabolik. Pengamatan ini menyebabkan
perkembangan dari pendekatan semikualitatif, kelebihan basa (KB).
KB = (HCO3 24,4 + [2,3 x Hb + 7,7] x [pH 7,4]) x (1 0,023 x Hb)
Perbedaan ion kuat (PIK) atau Strong Ion Difference (SID) ion
hampir sepenuhnya terdisosiasi pada pH fisiologis.
SID = [Na+ + K+ + Ca+ + Mg2+] [Cl- + Laktat-]
(Ca2+ dan Mg2+ adalah konsentrasi bentuk terionisasi mereka, Mg2+
x 0,7 = konsentrasi Mg2+ terionisasi)
ii.
iii.
pCO2 (mmHg)
Persamaan handerson-Hasselbalch dapat dirumuskan dengan
variabel dari teori Ion Kuat untuk memberikan solusi yang lebih
general untuk pH.
8
'
1
pH = p K + log
(K1 adalah konstanta kesetimbangan untuk persamaan HandersonHasselbalch, Ka adalah disosiasi asam lemah konstan, dan S adalah
kelarutan CO2 dalam plasma). Perhatikan gambar berikut.
paru. Keadaan ini jika terus berlangsung dapat menyebabkan terjadinya gagal
ventrikel kanan. Pada saat pH arteri kurang dari 7,2 umumnya sering terjadi
depresi miokard. Pada otot pembuluh darah arteri, penurunan pH dapat
memicu terjadinya vasodilatasi sistemik yang kemudian menyebabkan
terjadinya hipotensi dan kegagalan sirkulasi.
[Charles, J.C and Heilman, R.L. 2005. Clinical Review Article: Asidosis
Metabolic. (Online). (Available at http://www.turner-white.com. Diakses 30
Mei 2010)]
Asidosis metabolik dapat mengakibatkan beberapa perubahan spesifik pada
sistem organ termasuk sistem saraf, kardiovaskular, paru, gastrointestinal, dan
disfungsi musculoskeletal. Gejala sering spesifik dan biasanya diakibatkan
oleh etiologi yang mendasari asidosis metabolik tersebut.
[Quinn, A. 2008. Metabolic Acidosis. (Online). (Available at
http://emedicine.medscape.com/article/768268-overview. Diakses 30 Mei
2010)]
a) Kepala, mata, telinga, hidung, tenggorokan
i. Tinnitus, pandangan kabur, dan vertigo
ii. Gangguan penglihatan seperti penurunan visus , photophobia, dan
scotomata.
b) Kardiovaskular
i. Palpitasi
ii. Nyeri dada
c) Sistem saraf
i. Sakit kepala
ii. Perubahan penglihatan
iii.
Mental confusion
d) Paru - Subjective dyspnea dari hasil observasi pasien yang hiperventilasi
e) Gastrointestinal
i. Mual, muntah dan diare
ii. Abdominal pain
iii.
Polyphagia
f) Muskuloskeletal
i. Kelemahan otot
ii. Nyeri tulang
Pemeriksaan Fisik
g) Sistem saraf
i. Kelumpuhan nervus cranial yang dapat terjadi pada keracunan
etilen glikol.
10
ii.
11
h. Penatalaksanaan
Indikasi korensi asidosis metabolik yang dilakukan harus tepat agar tidak
semakin membahayakan pasien.
a) Langkah pertama adalah menetapkan berat ringannya gangguan asidosis.
Gangguan disebut letal bila pH darah kurang dari 7 atau kadar ion H + lebih
dari 100 nmol/L. Gangguan yang perlu mendapat perhatian bila pH darah
7,1 7,3 atau kadar ion H+ antara 50 80 nmol/L.
b) Langkah kedua adalah menetapkan anion gap atau bila perlu anion gap
urin untuk mengetahui dugaan etiologi asidosis metabolik.
c) Langkah ketiga adalah bila kita mencurigai adanya kemungkinan asidosis
laktat, hitung rasio anion gap dengan HCO 3 (anion gap = anion gap
pada saat pasien diperiksa dikurangi dengan median anion gap normal;
HCO3 normal dikurangi dengan kadar HCO3 pada saat pasien diperiksa).
Bila rasio lebih dari 1, asidosis disebabkan oleh asidosis laktat atau lebih
tepat 1,6. Langkah ketiga adalah menetapkan sampai sejauh mana koreksi
dapat dilakukan.
i.
Pada penurunan fungsi ginjal, koreksi dapat dilakukan secara
penuh hingga mencapai kadar ion HCO3- 20 22 mEq/L.
Pertimbangan yang dilakukan adalah mencegah terjadinya,
mengurangi kemungkinan malnutrisi, mengurangi percepatan
gangguan tulang (renal osteodistrofi).
ii.
Pada ketoasidosis diabetik, atau pada asidosis laktat tipe A, koreksi
dilakukan bila kadar ion HCO3- dalam darah sebesar kurang dari
atau sama dengan 5 mEq/L atau bila terjadi hiperkalemi berat atau
setelah koreksi insulin pada DM dan koreksi oksigen pada asidosis
laktat, asidosis belum terkendali. Koreksi dilakukan sampai kadar
ion HCO3- sebesar 10 mEq/L.
iii.
Pada asidosis metabolik bercampur dengan asidosis respiratorik,
tidak dalam ventilator, koreksi harus dilakukan secara hati hati
atas pertimbangan depresi pernapasan.
Koreksi dilakukan dengan pemberian larutan Na bikarbonat, setelah
diketahui kebutuhan bikarbinat pada pasien. Kebutuhan bikarbonat adalah
berapa banyak bikarbonat yang akan diberikan untuk mencapai kadar
bikarbonat darah yang kita tuju.
Untuk ini kita harus mengetahui bicarbonat space atau ruang bikarbonat
(Ru bikar) pasien pada kadar bikarbonat tertentu dari pasien. Ruang
bikarbonat adalah besarnya kapasitas penyangga total tubuh, termasuk
bikarbonat ekstraseluler, protein intraseluler dan bikarbonat tulang.
12
Ruang Bikarbonat
% BB
HCO3
Ru Bikar
mEq/L
300
9
170
10
127
11
105
12
92
13
83
14
77
15
72
16
% BB
Ru Bikar
69
66
64
62
60
58
57
56
HCO3
mEq/L
17
18
19
20
21
22
23
24
% BB
Ru Bikar
55
54
54
53
52
52
51
51
Ruang bikarbonat (Ru - bikar) pada keadaan bikarbonat plasma tertentu. Bila
kita menginginkan menaikan kadar bikarbonat plasma dari 10 meq/L menjadi
20 mEq/L, maka bikarbonat yang kita butuhkan adalah sebagai berikut:
Ru bikar pada keadaan 10 mEq/L = {0,4 + (2,6 : 10} x BB atau 66% BB
Ru bikar pada keadaan 20 mEq/L = {0,4 + (2,6 : 20} x BB atau 53% BB
Bila berat badan 60 kg, maka bikarbonat yang dibutuhkan adalah:
{(0,66 + 0,53) : 2} x 60 x (20 - 10)} = 357 mEq.
Rerata Ru Bikar x BB x Bikarbonat plasma
357 mEq bikarbonat kita berikan secara intra vena selama 1 sampai 8 jam,
tergantung berat ringannya asidosis yang terjadi (letal atau tidak letal).
[Siregar, P. 2007. Gangguan Keseimbangan Asam Basa Metabolik In:
Sudoyo, A.W. (eds.) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta:
Penerbitan FKUI. Hal: 143 - 146]
2) Asidosis Respiratorik
a. Definisi
13
Asidosis respiratorik adalah kondisi yang terjadi ketika paru-paru tidak dapat
membuang semua karbon dioksida yang diproduksi tubuh sehingga cairan
tubuh, terutama darah, menjadi terlalu asam. Nama lain untuk asidosis
respiratorik atau asidosis pernapasan adalah asidosis hiperkapnia dan asidosis
karbon dioksida. (http://kamuskesehatan.com/arti/asidosis-respiratorik/)
b. Etiologi
Beberapa faktor di bawah ini dapt menimbulkan asidosis respiratorik, antara
lain:
a) Inhibisi Pusat Pernafasan
i. Obat yang menimbulkan depresi pusat pernafasan: sedatif,
anastetikum
ii. Central sleep apnea
iii.
Kelebihan O2 pada hiperkapnia atau hipoksemia kronik
b) Penyakit Neuromuskular
i. Neurologik: poliomyelitis, sindrom Guilain Barr
ii. Muskular: hipokalemia, muscular distrophy
c) Obstruksi Jalan Nafas
i. Asma bronkial
ii. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
iii.
Spasme laring
iv. Aspirasi
v. Obstructive sleep apnea
d) Kelainan Restriktif
i. Penyakit pleura: efusi pleura, empiema, pneumotoraks, fibrotoraks
ii. Kelainan dinding dada: kifoskoliosis, obesitas
iii.
Kelaianan restriktif paru: fibrosis pulmoner, pneumonia, edema
paru
e) Mechanical Under Ventilation
f) Overfeeding
Hiperkapnia disebabkan oleh karena produksi CO2 yang berlebihan pada
overfeeding. Proses oksidasi karbohidrat, lemak dan protei dalam
menghasilkan energi membutuhkan oksigen (O2) dan menghasilkan CO2
dan H2O yang dapat digambarkan dengan respiratory quotient (RQ). RQ
merupakan perbandingan antara CO2 yang dihasilkan dengan kebutuhan
O2 dari masing-masing substrat. RQ untuk karbohidrat adalah 1, protein
0,8 dan lemak 0,7. Lipogenesis akan menghasilkan RQ lebih besar dari 1.
Pemberian diet tinggi karbohidrat dapat menyebabkan peningkatan
produksi CO2, sementara diet tinggi lemak dapat menyebabkan
peningkatan oksidasi asam lemak yang berakibat konsumsi O 2 dan
produksi CO2 meningkat. Hal ini menjelaskan bahwa pemberian kalori
secara berlebihan, baik yang berasal dari karbohidrat maupun lemak, akan
meningkatkan konsumsi O2 dan produksi CO2.
[Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa, FKUI, 2012]
c. Jenis
a) Asidosis Respiratorik Akut
14
Terjadi jika komponen ginjal belum berjalan dan HCO 3- masih dalam
keadaan normal. Seperti pada edema pulmonal akut, aspirasi benda asing,
atelektasis, pneumutorak, syndrome tidur apnea, pemberian oksigen pada
pasien hiperkapnea kronis (kelebihan CO2 dalam darah), ARSP.
b) Asidosis Respiratorik Kronis
Jika kompensasi ginjal telah berjalan dan HCO3- telah meningkat. Terjadi
pada penyakit pulmunari seperti emfisema kronis dan bronchitis, apnea
tidur obstruktif.
d. Patofisiologis
e. Manifestasi Klinik
Tanda-tanda klinik berubah-ubah pada asidosis respiratorik akut dan kronis,
yaitu:
a) Hiperkapnea mendadak (kenaikan PaCO2) dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi nadi dan pernafasan, peningkatan tekanan darah,
kusust piker, dan perasaan penat pada kepala
b) Peningkatan akut pada PaCO2 hingga mencapai 60 mmHg atau lebih
mengakibatkan: somnolen, kekacauan mental, stupor, dan akhirnya koma
juga menyebabkan sindrom metabolik otak, yang dapat timbul asteriksis
(flapping tremor) dan mioklonus (kedutan otot)
c) Retensi O2 menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak, maka kongesti
pembuluh darah otak yang terkena menyebabkan peningkatan tekanan
intra cranial dan dapat bermanifestasi sebagai papilladema (pembengkakan
dikus optikus yang terlihat pada pemeriksaan dengan optalmoskop)
d) Hiperkalemia dapat terjadi sebagai akibat konsentrasi hidrogen
memperburuk mekanisme kompensatori dan berpindah ke dalam sel,
sehingga menyebabkan kalsium keluar sel.
f. Penatalaksanaan
15
(http://www.spesialis.info/?penyebab-alkalosis-metabolik,177)
c. Jenis
a) Alkalosis Metabolik Ringan
HCO3- kurang dari 32 34 mmol/L
Plasma Kalium 3,5 3,9 mmol/L
b) Alkalosis Metabolik Sedang
HCO3- 32 40 mmol/L
Plasma Kalium 2,5 3,5 mmol/L
c) Alkalosis Metabolik Berat
HCO3- mencapai 40 42 mmol/L
Plasma Kalium 2,0 2,5 mmol/L
d. Manifestasi Klinik
Alkalosis metabolik ditandai dengan:
a) Sakit kepala dan lesu adalah gejala awal
b) Kulit memerah hangat
c) Kejang
d) Kebingungan mental
e) Otot berkedut
f) Agitasi; koma (asidosis berat)
g) Anorexia, mual, muntah, dan diare
h) Respirasi dalam dan cepat (respirasi Kussmaul)
i) Hiperkalemia (pergeseran asam untuk ICF dan K+ ke ECF)
j) Distrimia jantung
Sedangkan kelemahan umumnya adalah:
a) Kram otot
b) Refleks hiperaktif
c) Tetani (karena penurunan kalsium)
d) Kebingungan dan kejang dapat terjadi dalam situasi yang parah
e) Peningkatan pH darah; HCO3- meningkat; PaCO2 normal atau meningkat
jika kompensasi terjadi
e. Mekanisme
Ada 3 mekanisme yang menerangkan peningkatan ambang batas reabsorpsi
bikarbonat pada hipokalemia yaitu adanya asidosis intrasel, peningkatan
fungsi H+, K+ ATPase exchanger dan peningkatan sekresi ammonium. Kadar
kalium ekstrasel yang rendah menyebabkan terjadinya perbedaan daya difusi
kalium dari intrasel ke ekstrasel. Keluarnya kalium diikuti dengan bikarbonat.
Menurunnya kadar bikarbonat intrasel menyebabkan asidosis intrasel. Asidosis
intrasel oleh sel tubulus ginjal dianggap sebagai asidosis ekstrasel dan
direspons dengan sekresi proton yang diikuti reabsorpsi bikarbonat.
Hipokalemia juga mengaktifkan system transport aktif proton kalium H +, K+
ATPase exchanger. Aktivasi H+, K+ ATPase exchanger bertujuan untuk
meningkatkan kadar kalium ekstrasel dan intrasel. Setiap reabsorpsi kalium
disertai dengan sekresi proton dan reabsorpsi bikarbonat.
17
18
Pengobatan dimulai pada alkalosis sedang, dan alkalosis berat harus ditangani
sebagai kegawatan. Faktor penyebab terjadinya alkalosis harus dihilangkan
seperti penghentian diuretika, penekanan produksi asam lambung dengan
simetidin atau ranitidine, pembedahan pada adenoma adrenal. Terapi agresif
meliputi pemberian penghambat anhidrase karbonat (acetazolamid), dialysis,
pemberian infus asam (HCl) dan pemberian infus prekursor asam seperti
ammonium klorida.
4) Alkalosis Respiratorik
a. Definisi
Alkalosis respiratorik adalah keadaan klinis yang terjadi akibat penurunan
abnormal PaCO2 (hipokapnia) sehingga, terjadi alkalemia.
[Latief A. Gangguan Keseimbangan Asam Basa Dalam: Trihono PP,
Purnamawati S, Syarif DR, Hegar B, Gunardi H, Oswari H, dkk. Hot Topics
In Pediatrics, penyunting. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLV Jakarta. BL FKUI 2001. Hal. 146-61]
b. Etiologi
Beberapa faktor berikut ini dapat menimbulkan alkalosis respiratorik:
a) Rangsangan Hipoksemia
i. Penyakit paru dengan kelainan gradien Aa
ii. Penyakit jantung dengan right to left shunt
iii.
Penyakit jantung dengan edema paru
iv. Anemia gravis
b) Stimulasi Pusat Pernafasan di Medula
i. Kelainan neurologis
ii. Psikogenik misalnya serangan panik, nyeri
iii.
Gagal hati dengan ensefalopati
iv. Kehamilan
c) Mechanical Over Ventilation
d) Sepsis
e) Pengaruh Obat: salisilat, hormon progesteron
[Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa, FKUI, 2012]
c. Patogenesis
Alkalosis respiratorik dapat terjadi akibat rangsangan pusat pernapasan di
medula oblongata. Sejauh ini, penyebab tersering adalah hiperventilasi
fungsional akibat kecemasan dan stres emosional (sindrom hiperventilasi atau
hiperventilasi psikogenik). Apabila kita memperhatikan situasi hidup manusia
yang penuh stres baik dalam lingkungan rumah sakit (misal: nyeri, menuggu
hasil pemeriksaan keganasan) maupun dalam masyarakat, maka tidak
mengherankan jika sindrom hiperventilasi ini sering terjadi.
Hampir setiap orang pernah mengalami sindrom hiperventilasi dalam
hidupnya. Keadaan lain yang merangsang pusat pernapasan adalah keadaan
hipermetabolik yang disebabkan oleh demam atau tirotoksikosis serta lesi
19
CNS seperti gangguan pembuluh darah otak, meningithis, cedera kepala, atau
tumor otak.
Salisilat adalah obat terpenting yang dapat menyebabkan alkalosis
respiratorik, agaknya melalui rangsangan langsung pada pusat pernapasan di
medula oblongata. Hipoksia adalah penyebab lazim hiperventilasi primer yang
menyertai pneumonia, edema paru atau fibrosis paru, dan gagal jantung
kongestif. Umunya, diperlukan penurunan PaCO2 di bawah 60 mmHg untuk
merangsang ventilasi. Koreksi hipoksia jaringan menyebabkan cepat pulihnya
alkalosis respiratorik. Hiperventilasi kronis terjadi sebagai respons
penyesuaian terhadap ketinggian (tekanan oksigen lingkungan yang rendah).
Alkalosis respiratorik sering disebabkan faktor iatrogenik akibat ventilasi
mekanis dengan ventilator siklus volume atau tekanan. Alkalosis respiratorik
sering terjadi pada sepsis gram negatif dan sirosis hati. Akhirnya, meskipun
hiperpnea merupakan respons penyesuaian terhadap kebutuhan oksigen yang
meningkat selama latihan fisik, tapi kadang juga dapat menimbulkan alkalosis
respiratorik sementara.
Karbondioksida adalah hasil tambahan penting dari metabolisme oksigen dan
terus menerus yang dihasilkan oleh sel. Darah membawa karbondioksida ke
paru-paru dan di paru-paru karbondioksida tersebut dikeluarkan
(dihembuskan). Pusat pernafasan di otak mengatur jumlah karbondioksida
yang dihembuskan dengan mengendalikan kecepatan dan kedalaman
pernafasan. Jika pernafasan meningkat, kadar karbondioksida darah menurun
dan darah menjadi lebih basa yang dapat menyebabkan alkalosis respiratorik.
d. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari alaklosis respiratorik yaitu:
+
a) Penurunan PaCO2 berakibat Penurunan H2CO3, penurunan H dan HCO3 ,
serta meningkatkan pH darah sehingga AGD: pH naik, PaCO2 turun dan
HCO3- turun.
+
+
b) Meningkatnya K dalam serum, H intrasel keluar dan diganti K yang ada
+
dalam ekstrasel. H bergabung dengan HCO3- menjadi H2CO3 yang
berakibat pH semakin rendah. AGD: pH turun, HCO3 naik dan K turun.
c) Hipokapnia akan merangsang Carotik dan aortik dan aortic bodiea
sehingga frekuensi denyut jantung naik tanpa naiknya tekanan darah,
perubahan EKG dan kelelahan.
d) Pada saat yang bersamaan, terjadi vasokonstriksi cerebral dan tururnnya
perfusi darah ke otak dengan gejala: Kecemasan, dispnea, keringat dingin,
pernafasan cheyne stokes, pusing dan kesemutan.
e) Jika hipokapnia lebih dari 6 jam, ginjal akan meningkatkan sekresi HCO 3
dan menurunkan ekskresi H+.
f) Keadaan PaCO2 yang turun terus menerus menyebabkan vasokonstriksi
sehingga meningkatkan hipoxia serebral dan perifer.
g) Alkalosis berat, Hambatan ionisasi Ca meningkatkan eksitasi syaraf dan
konstraksi otot dengan gejala: Kejang, hiperefleksi, koma.
e. Penatalaksanaan
20
21
Ketidakseimbangan
Komp. Respiratori
Asidosis
Alkalosis
Komp. Metabolik
Asidosis
Alkalosis
Metabolik asidosis
Metabolik alkalosis
s
Indikasi
Indikasi tindakan analisa gas darah adalah sebagai berikut (McCann, 2004):
a. Tindakan analisa gas darah ditujukan pada pasien dengan sebagai berikut:
a) Obstruktif kronik pulmonari
Penyakit paru obstruktif kronis yang ditandai dengan adanya hambatan
aliran udara pada saluran napas yang bersifat progresif non reversible
23
secara tak langsung dari penyakit lain seperti kanker paru atau penggunaan
alkohol.
b. Tindakan ini juga diberikan pada pasien yang sedang mengalami syok dan
setelah menjalani pembedahan bypass arteri koronaria.
Syok merupakan suatu sindrom klinik yang terjadi jika sirkulasi darah arteri
tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi
jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor utama, yaitu curah jantung,
volume darah, dan pembuluh darah. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu
ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi
syok. Pada syok juga terjadi hipoperfusi jaringan yang menyebabkan
gangguan nutrisi dan metabolisme sel sehingga seringkali menyebabkan
kematian pada pasien.
c. Pasien yang mengalami resusitasi dari penyumbatan atau penghambatan
kardiak.
Kontra Indikasi
Kontra indikasi pada tindakan analisa gas darah, yaitu (Potter & Perry, 2006):
a. Pada pasien yang daerah arterialnya mengalami:
a) Amputasi
b) Contractures
c) Infeksi
d) Dibalut dan cast
e) Mastektomi
f) Arteriovenous shunts
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada tindakan ini, yaitu (McCann, 2004):
a. Adanya risiko jarum mengenai periosteum tulang yang kemudian
menyebabkan pasien mengalami kesakitan. Hal ini akibat dari terlalu menekan
dalam memberikan injeksi.
b. Adanya risiko jarum melewati dinding arteri yang berlainan.
c. Adanya kemungkinan arterial spasme sehingga darah tidak mau mengalir
masuk ke syringe.
Faktor yang Mempengaruhi Pemeriksaan
a. Gelembung udara.
25
Tekanan oksigen udara adalah 158 mmHg. Jika terdapat udara dalam sampel
darah maka ia cenderung menyamakan tekanan sehingga bila tekanan oksigen
sampel darah kurang dari 158 mmHg, maka hasilnya akan meningkat.
b. Antikoagulan
Antikoagulan dapat mendilusi konsentrasi gas darah dalam tabung. Pemberian
heparin yang berlebihan akan menurunkan tekanan CO2, sedangkan pH tidak
terpengaruh karena efek penurunan CO2 terhadap pH dihambat oleh keasaman
heparin.
c. Metabolisme
Sampel darah masih merupakan jaringan yang hidup. Sebagai jaringan hidup,
ia membutuhkan oksigen dan menghasilkan CO 2. Oleh karena itu, sebaiknya
sampel diperiksa dalam 20 menit setelah pengambilan. Jika sampel tidak
langsung diperiksa, dapat disimpan dalam kamar pendingin beberapa jam.
d. Suhu
Ada hubungan langsung antara suhu dan tekanan yang menyebabkan
tingginya PO2 dan PCO2. Nilai pH akan mengikuti perubahan PCO2.
Alat dan Bahan yang Digunakan
Alat dan bahan yang digunakan dalam melakukan analisa gas darah meliputi
(McCann, 2004):
a. 3 ml sampai 5 ml gelas syringe,
b. 1 ml ampul heparin aqueous,
c. 20 G 11/4 jarum,
d. 22 G 1 jarum,
e. Sarung tangan,
f. Alkohol atau povidone-iondine pad,
g. Gauze pads,
h. Topi karet untuk syringe hub atau penutup karet untuk jarum,
i. Label,
j. Ice-filled plastic bag,
k. Laporan permintaan laboratorium,
l. Perekat balutan, dan
m. Opsional: 1% licoaine solution, atau
n. Peralatan siap AGD.
Anatomi Daerah Target
Anatomi daerah yang menjadi target tindakan analisa gas darah adalah sebagai
berikut:
a. Arteri Radial
Arteri radial merupakan kelanjutan dari brakhial, tetapi lebih kecil
dibandingkan dengan ulnar. Arteri radial dimulai di percabangan brakhial,
dibawah lekukan dari siku dan melewati sisi radial dari bagian depan lengan
ke pergelangan tangan. Lalu ke daerah belakang, sekitar sisi lateral carpus,
dibawah tendon abductor pollicis longus, extensors pollicis, dan brevis ke
26
ruang bagian atas diantara tulang metakarpal ibu jari dan jari telunjuk.
Terakhir, arteri radial melewati diantara dua kepala pertama interosseous
dorsalis, ke dalam telapak tangan, dimana arteri radial menyeberangi tulang
metakarpal dan sisi ulnar tangan dengan deep volar branch dari arteri ulnar ke
deep volar arch. Hal inilah yang menyebabkan arteri radial terdiri dari tiga
porsi, yaitu forearm, belakang pergelangan tangan, dan tangan.
b. Arteri Brakhial
Arteri brankhial dimulai dari batas bawah tendon pada teres major dan
menurun kebawah lengan, dan berakhir sekitar 1 cm dibawah lekukan siku
dimana dibagi menjadi arteri radial dan arteri ulnar. Pertama, arteri brakhial
terletak dari medial ke humerus, tetapi ketika arteri brachial menuju lengan
secara perlahan menuju atau terletak di depan tulang dan lekukan siku yang
terletak diantara dua epicondyles.
c. Arteri Femoral
Arteri femoral merupakan arteri yang melewati cukup dekat dengan
permukaan atas, dibagi ke dalam cabang yang kecil untuk menyediakan darah
ke otot dan jaringan superficial di daerah paha. Arteri femoral juga menyuplai
kulit dan dinding abdominal bawah. Cabang arteri femoral yang penting
meliputi:
a) Arteri superficial circumflex iliac, arteri ke lymph nodes dan kulit;
b) Arteri superficial epigastric ke dinding kulit abdominal;
27
c) Arteri superficial dan arteri eksternal pudenal ke kulit abdomen bawah dan
eksternal genital;
d) Arteri profunda, yang merupakan cabang paling besar pada arteri femoral
dan menyuplai sendi paha dan berbagai otot di paha;
e) Arteri deep genicular ke bagian paling jauh pada otot paha dan
menghubungkan jaringan impuls sekitar sendi lutut.
d. Arteri Tibialis Posterior dan Arteri Doralis Pedis
d. Catat label nama pasien, nomor ruangan, temperatur suhu pasien, tanggal dan
waktu pengambilan, metode pemberian oksigen, dan nama perawat yang
bertugas pada tindakan tersebut.
e. Beritahu pasien alasan dalam melakukan tindakan tersebut dan jelaskan
prosedur ke pasien untuk membantu mengurangi kecemasan dan
meningkatkan kooperatif pasien dalam melancarkan tindakan tersebut.
f. Cuci tangan dan setelah itu gunakan sarung tangan.
g. Lakukan pengkajian melalui metode tes Allen.
Cara allens test:
Minta klien untuk mengepalkan tangan dengan kuat, berikan tekanan langsung
pada arteri radialis dan ulnaris, minta klien untuk membuka tangannya,
lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna jari-jari, ibu jari dan tangan.
Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15 detik, warna merah
menunjukkan test allens positif. Apabila tekanan dilepas, tangan tetap pucat,
menunjukkan test allens negatif. Jika pemeriksaan negatif, hindarkan tangan
tersebut dan periksa tangan yang lain.
h. Bersihkan daerah yang akan di injeksi dengan alkohol atau povidoneiodine
pad.
i. Gunakan gerakan memutar (circular) dalam membersihkan area injeksi,
dimulai dengan bagian tengah lalu ke bagian luar.
j. Palpasi arterti dengan jari telunjuk dan tengah satu tangan ketika tangan
satunya lagi memegang syringe.
k. Pegang alat pengukur sudut jarum hingga menunjukkan 30-45 derajat. Ketika
area injeksi arteri brankhial, posisikan jarum 60 derajat.
l. Injeksi kulit dan dinding arterial dalam satu kali langkah.
m. Perhatikan untuk blood backflow di syringe.
n. Setelah mengambil contoh, tekan gauze pad pada area injeksi hingga
pedarahan berhenti yaitu sekitar 5 menit.
o. Periksa syringe dari gelembung udara. Jika muncul gelembung udara,
pindahkan gelembung tersebut dengan memegang syringe ke atas dan secara
perlahan mengeluarkan beberapa darah ke gauze pad.
p. Masukan jarum ke dalam penutup jarum atau pindahkan jarum dan tempatkan
tutup jarum pada jarum yang telah digunakan tersebut.
q. Letakkan label pada sampel yang diambil yang sudah diletakkan pada icefilled plastic bag.
r. Ketika pedarahan berhenti, area yang di injeksi diberikan balutan kecil dan
direkatkan.
s. Pantau tanda vital pasien, dan observasi tanda dari sirkulasi. Pantau atau
perhatikan risiko adanya pedarahan di area injeksi.
Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Perawat
Hal-hal yang harus diperhatikan bagi perawat dalam melakukan tindakan,
antara lain:
29
Nilai anion gap dapat normal, tinggi, atau rendah. Anion gap yang tinggi
menunjukkan proses asidosis metabolik, peningkatan keasaman dalam darah
karena proses metabolik. Anion gap yang rendah relatif jarang tetapi dapat terjadi
karena adanya protein bermuatan positif abnormal, seperti pada multiple myeloma.
Anion gap digunakan untuk menentukan differensial diagnosis dari metabolik
asidosis.
[Patlak, J. 2000. The Anion Gap. Department of Physiology. University of
Vermont]
Pengukuran Anion Gap
Anion gap dihasilkan dari pengurangan jumlah konsentrasi natrium dan
kalium (kation) dengan jumlah konsentrasi klorida dan bikarbonat (anion). Kation
terukur adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca+) dan Magnesium (Mg2+).
Kation tidak terukur mencakup protein serum yang dalam keadaan normal
jumlahnya sedikit, dan beberapa protein patolois (misalnya paraprotein yang
ditemukan pada multiple myeloma). Sedangkan anion terukur adalah klorida (Cl -),
bikarbonat (HCO3-) dan fosfat (PO3-) dengan anion tidak terukur adalah sulfat dan
sejumlah protein serum (dominan albumin). Yang disepakati untuk pengukuran
anion gap adalah natrium, klorida dan bikarbonat.
Keseimbangan antara kation dan anion dapat dilihat dari persamaan berikut:
(Na+) + (kation lain) = (Cl-) + (HCO3-) + (anion lain)
(Na+) [(Cl-) + (HCO3-)] = (anion lain) (kation lain) = anion gap
Anion Gap (mEq/L) = (Na+) [(Cl-) + (HCO3-)]
Rentang Normal Anion Gap
Rata-rata nilai anion gap untuk dewasa sehat adalah 8 12 mEq/L. Pada orang
normal ada beberapa anion tak terukur di dalam serum sehingga anion gap selalu
positif. Disebut anion gap tinggi bila lebih dari 12 mEq/L. Sebelumnya metode
untuk pengukuran anion anion gap terdiri dari kolorimetri untuk (HCO 3-) dan (Cl-)
dan fotometri untuk (Na+) dan (K+). Sehingga rentang normal anion gap dari 8
16 mEq/L plasma bila tidak mengikutsertakan (K +) dan dari 10 20 mEq/L
plasma bila mengikutsertakan (K+). Analiser modern menggunakan elektrode ion
selektif yang memberikan anion gap normal kurang dari 11 mEq/L. Berdasarkan
pada klasifikasi baru, anion gap dikatakan tinggi bila lebih dari 11 mEq/L dan
anion gap normal adalah 3 11 mEq/L.
[Silverthorn, et al. 2004. Human Physiology. USA: Mc. Graw Hill]
Nilai anion gap dapat mencapai 20 mEq/L jika nilai kalium ditambahkan pada
persamaan tersebut.
31
Anion gap berhubungan erat dengan kadar albumin. Anion gap akan turun 2,5
mmol/L setiap penurunan albumin 1 g/dL. Oleh karena itu, nilai anion gap harus
disesuaikan pada kondisi hipoalbuminemia:
Anion Gap = Anion Gap Terukur + 2,5 (4 Kadar Albumin Plasma)
Bila anion gap koreksi > 11 mEq/L, berarti terjadi asidosis metabolik dengan
peningkatan anion gap.
Nilai anion gap yang sangat tinggi (> 20 mmol/L) mengindikasikan adanya
kondisi HAGMA, meski pH atau kadar [HCO3-] masih normal. Setelah diketahui
nilai anion gap tinggi, maka perlu ditentukan nilai excess anion gap untuk
mengidentifikasi ada/tidaknya kelainan sekunder dengan menilai ada/tidaknya
kompensasi tubuh yang adekuat.
Excess anion gap: AG = Anion Gap 11
[Patlak, J. 2000. The Anion Gap. Department of Physiology. University of
Vermont]
Langkah selanjutnya adalah menambahkan nilai excess anion gap dengan
[HCO3-] terukur. Bila total perhitungan sama dengan kadar [HCO 3-] normal,
berarti telah terjadi simple HAGMA. Bila total perhitungan melebihi kadar
[HCO3-] normal, maka menunjukkan terlalu banyaknya [HCO 3-] dalam tubuh, dan
berarti juga terdapat alkolisis metabolik. Bila total perhitungan kurang dari kadar
[HCO3-] normal, maka menunjukkan terlalu sedikitnya [HCO3-] dalam tubuh, dan
berarti juga terdapat NAGMA (Normal Anion Gap Metabolic Acidosis).
[Casaletto, Jennifer J. 2005. Differential Diagnosis of Metabolic Acidosis. USA:
Department of Emergency Medicine, Maricopa Medical Center]
Interpretasi Anion Gap
Anion gap yang meningkat menunjukkan adanya penambahan anion tidak
terukur yang pada dasarnya bersifat asam, dan terjadi penurunan kation yang tidak
terukur (hipomagnesemia, hipokalsemia).
[Silverthorn, et al. 2004. Human Physiology. USA: Mc. Graw Hill]
Bila anion pada asam bukan Cl- (misalnya laktat, keton [asetoasetat, hidroksibutirat], salisilat, format, glikolat), maka anion gap meningkat, dan
disebut sebagai High Anion Gap Metabolic Acidosis (HAGMA). Penurunan
[HCO3-] tidak sesuai peningkatan [Cl-], tetapi sesuai peningkatan anion tak
terukur:
HA + NaHCO3 NaA + H2CO3 CO2 + H2O
Di mana A adalah anion tak terukur.
32
Bila anion pada asam yang ditambahkan ke dalam plasma adalah [Cl-], maka
anion gap akan normal, dan disebut Normal Anion Gap Metabolic Acidosis
(NAGMA). Penurunan [HCO3-] sesuai dengan peningkatan [Cl-]:
HCl + NaHCO3 NaCl + H2CO3 CO2 + H2O
Penggantian elektrolit ekstraseluler dari [HCO3-] dengan [Cl-] tidak
menyebabkan perubahan pada penghitungan anion gap, asalkan penjumlahan [Cl -]
+ [HCO3-] konstan. Namun, karena adanya kebutuhan listrik netral, maka klorida
plasma akan menggantikan bikarbonat yang kurang, sehingga terdapat kelebihan
kadar [Cl-], dan terjadi asidosis metabolik hiperkloremik.
Tabel 3. Anion Gap pada Asidosis Metabolik
Mekanisme Hilangnya
Anion Gap yang
HCO3
Diharapkan
Klorida
Hilangnya bikarbonat
Normal
Tinggi
Meningkat
Normal
33
Suatu kelainan dengan anion gap yang normal (NAGMA) yaitu terjadinya
asidosis hiperkloremik, disebabkan karena menurunnya ion HCO3- dan tubuh
mengkompensasi dengan meningkatkan ion Cl-. Beberapa kondisi dengan kadar
ion HCO3- yang turun antara lain diare, renal tubular asidosis, hipoaldosteron,
gagal ginjal, terapi ammonium klorida, nutrisi parenteral total.
Penyebab NAGMA dapat pula disingkat USEDCARP:
U = Ureterosigmoidostomy
Pasien ureterosigmoidostomy mengalami akumulasi urine di colon.
Kandungan klorida dan amonium urine ini akan direabsorbsi dan ditukar
dengan bikarbonat, akibatnya pasien akan kehilangan bikarbonat, namun
terkompensasi dengan peningkatan klorida, sehingga anion gap tetap normal.
S = Small Bowel Fistula
Mekanisme terjadinya peningkatan klorida dan hilangnya bikarbonat hampir
sama dengan ureterosigmoidostomy. Bikarbonat akan hilang melalui fistula.
E = Extra Chloride
Pemberian makanan atau preparat dengan kadar klorida tinggi menyebabkan
peningkatan klorida.
D = Diarrhea
Diare terutama pada anak menyebabkan kehilangan bikarbonat dalam jumlah
sangat besar, sekitar 70 80 mEq/L. Sebagai kompensasi, tubuh akan
mempertahankan anion klorida melalui reabsorbsi klorida dari ginjal.
Mekanisme ini akan semakin meningkat bila sudah tidak ada lagi anion lain
yang digunakan untuk bereaksi dengan ion H+ dalam darah. Akibatnya terjadi
asidosis metabolik dengan kadar klorida dalam darah yang meningkat.
C = Carbonic Anhidrase Inhibitor
Adanya penghambat enzim karbonik anhidrase menyebabkan terganggunya
proses perubahan asam karbonat menjadi bikarbonat dan ion [H+], sehingga
tubuh akan kekurangan bikarbonat. Pada saat sudah tidak ada lagi anion yang
bisa bereaksi dengan ion H+, maka tubuh akan mempertahankan anion terakhir
yaitu klorida, sehingga kadar klorida akan naik dan anion gap tetap normal.
A = Adrenal Insufficiency
R = Renal Tubular Acidosis
Sering terjadi pada anak karena kelainan kongenital ginjal. Pasien dengan RTA
dapat kehilangan bikarbonat dalam jumlah besar diikuti dengan kehilangan
natrium. Akibatnya akan terjadi asidosis metabolik. Namun karena natrium
juga ikut hilang, maka nilai anion gap tetap normal atau turun.
36
P = Pancreatic Fistula
[Silverthorn, et al. 2004. Human Physiology. USA: Mc. Graw Hill]
[Patlak J. 2000. The Anion Gap. Department of Physiology, University of
Vermont]
Beberapa penyebab menurunnya anion gap antara lain :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
b. Diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan
kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah (failure to thrive)
selama masa diare tersebut
2) Berdasarkan mekanisme patofisiologik:
a. Diare sekresi (secretory diarrhea), disebabkan oleh:
a) Infeksi bakteri (Shigella, salmonella, E. coli, staphylococcus, aoreus,
vibria cholerea, dll)
Infeksi virus (rotavirus, norwaik, astrovirus, calcivirus, coronavirus,
adenovirus, dll)
Infeksi parasit (protozoa, balantidium coli, giardia lamblia, capilaria
philippinensi, isospora billi, cryptosporodium, fasioloposis buski,
sacrocystis suihaminis, dll)
b) Hiperperistaltik usus halus yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan
kimia, makanan, gangguan psikis, gangguan saraf, hawa dingin, alergi, dsb
c) Defisiensi imun terutama SigA (secretory immunoglobulin A) yang
mengakibatkan terjadinya/berlipatgandanya flora usus dan jamur terutama
candida.
b. Diare osmotik (osmotic diarrhea), disebabkan oleh:
a) Malabsorbsi makanan
i. Karbohidrat (laktosa, maltosa, sukrosa, glukosa,
galaktosa)
ii. Lemak (Long Chain Triglyceride)
iii.
Protein (asam amino, B. Laktoglobulin)
iv. Vitamin dan mineal
b) KKP (Kekurangan Kalori Protein)
c) BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
d) Keracunan (food poisoning)
e) Alergi (alergi susu, alergi makanan) (Suraatmaja, 2007)
fruktosa,
38
Diare dapat juga disebabkan oleh intoleransi laktosa, alergi protein susu sapi
namun tetap sebagian besar diare disebabkan oleh infeksi. Di Indonesia, penyebab
utama diare adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter, E. Coli, dan Entamoeba
histolytica (Depkes RI, 2000).
3.4 Patogenesis
Penyebab tersering diare pada anak adalah disebabkan oleh rotavirus. Virus ini
menyebabkan 40-60% dari kasus diare pada bayi dan anak (Simatupang, 2004).
Setelah terpapar dengan agen tertentu, virus akan masuk ke dalam tubuh bersama
dengan makanan dan minuman. Kemudian virus itu akan sampai ke sel-sel epitel usus
halus dan akan menyebabkan infeksi dan merusakkan sel-sel epitel tersebut. Sel-sel
epitel yang rusak akan digantikan oleh sel enterosit baru yang berbentuk kuboid atau
sel epitel gepeng yang belum matang sehingga fungsi sel-sel ini masih belum bagus.
Hal ini menyebabkan vili-vlli usus halus mengalami atrofi dan tidak dapat
menyerap cairan dan makanan dengan baik. Cairan dan makanan tadi akan terkumpul
di usus halus dan akan meningkatkan tekanan osmotik usus. Hal ini menyebabkan
banyak cairan ditarik ke dalam lumen usus dan akan menyebabkan terjadinya
hiperperistaltik usus. Cairan dan makanan yang tidak diserap tadi akan didorong
keluar melalui anus dan terjadilah diare (Kliegman, 2006).
3.5 Patofisiologis
Menurut Nursalam, dkk. (2005), patofisiologi diare terdiri dari diare osmotik,
sekretorik, dan gangguan motilitas usus.
Diare osmotik terjadi akibat adanya makanan yang tidak dapat diserap.
Makanan yang tidak diserap ini akan menyebabkan tekanan osmotik di rongga usus
meningkat yang akan menarik air dan elektrolit ke dalam lumen usus, sehingga air
dan elektrolit terbuang bersama feses dan timbul diare.
Diare sekretorik terjadi akibat rangsangan tertentu, misalnya toksin pada
dinding usus yang akan merangsang peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam
rongga usus, sekresi air dan elektrolit ini menyebabkan air dan elektrolit terbuang
bersama feses dan timbul diare.
Pada gangguan motilitas usus dapat terjadi hipermotilitas maupun
hipomotilitas. Pada hipermotilitas makanan tidak dapat diserap dengan sempurna,
dimana penyerapan terhadap air dan elektrolit juga terganggu. Makanan yang tidak
diserap dengan sempurna ini juga dapat menyebabkan tekanan osmotik di rongga usus
meningkat. Peningkatan tekanan osmotik di rongga usus menyebabkan penarikan
cairan dan elektrolit ke dalam rongga usus tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya
diare (Silbernagl, 2006).
Terbuangnya air dan elektrolit bersama feses akan menyebabkan tubuh
kehilangan air dan elektrolit yang dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi.
39
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/kgBB dan selanjutnya
diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.
c. Diare dengan Dehidrasi Berat
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas
untuk di infus. (Kemenkes RI, 2011)
Tabel. Kebutuhan oralit per Kelompok Umur
Jumlah oralit yang
Jumlah oralit yang disediakan di
Umur
diperlukan tiap BAB
rumah
< 12 bulan
50 100 ml
400 ml/hari (2 bungkus)
1 4 tahun
100 200 ml
600 800 ml/hari (3 4 bungkus)
> 5 tahun
200 300 ml
800 1000 ml/hari (4 5 bungkus)
Dewasa
300 400 ml
1200 2800 ml/hari
Sumber: DepKes RI, 2006
Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok
dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak
boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari gelas. Bila
terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan
misalnya 1 sendok setiap 2-3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai
dengan diare berhenti (Juffrie, 2010).
2) Zinc Diberikan Selama 10 Hari Berturut-Turut
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc dapat
menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi
enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus.
Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan
morfologi dan fungsi selama kejadian diare (Kemenkes RI, 2011). Pemberian Zinc
selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare,
mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta
menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya. Berdasarkan
bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc segera saat anak mengalami diare.
Dosis pemberian Zinc pada balita:
a. Umur < 6 bulan: tablet (10 mg) per hari selama 10 hari
b. Umur > 6 bulan: 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti. Cara
pemberian tablet zinc: Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau
ASI, sesudah larut berikan pada anak diare (Kemenkes RI, 2011).
3) Teruskan Pemberian ASI dan Makanan
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada
penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah
berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering di beri
ASI. Anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya.
Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan
41
padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih
sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra
diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan (Kemenkes
RI, 2011).
4) Antibiotik Selektif
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare
pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada
penderita diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera
(Kemenkes RI, 2011).
Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita
diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak dianjurkan kecuali
muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan
status gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang
berbahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti
diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia) (Kemenkes RI, 2011).
5) Nasihat Kepada Orang Tua/Pengasuh
Menurut Kemenkes RI (2011), ibu atau pengasuh yang berhubungan erat
dengan balita harus diberi nasehat tentang:
a. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
b. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila:
a) Diare lebih sering
b) Muntah berulang
c) Sangat haus
d) Makan/minum sedikit
e) Timbul demam
f) Tinja berdarah
g) Tidak membaik dalam 3 hari.
42
DAFTAR PUSTAKA
Adrogue HJ, Madias NE.(1998) Management Of Life-Threatening Acid-Base Disorders.
England: N Engl J Med; 338:107-11
Casaletto, Jennifer J. 2005. Differential Diagnosis of Metabolic Acidosis. USA: Department
of Emergency Medicine, Maricopa Medical Center
Charles, J.C and Heilman, R.L. 2005. Clinical Review Article: Asidosis Metabolic. (Online).
(Available at http://www.turner-white.com. Diakses 30 Mei 2010)
Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa, 2012, FKUI
Gardner, W.N..(1996). The Patophysiology Of Hyperventilation Disorders. Chest; 109: 51634
http://bukusakudokter.org/2012/11/05/asidosis-metabolik/
http://emedicine.medscape.com/article/768268-overview#a5
http://kamuskesehatan.com
http://kamuskesehatan.com/arti/asidosis-metabolik/
http://kamuskesehatan.com/arti/asidosis-respiratorik/
http://www.spesialis.info/?penyebab-alkalosis-metabolik,177
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Latief A. Gangguan Keseimbangan Asam Basa Dalam: Trihono PP, Purnamawati S, Syarif
DR, Hegar B, Gunardi H, Oswari H, dkk. Hot Topics In Pediatrics, penyunting. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLV Jakarta. BL FKUI 2001. Hal. 146-61
Patlak, J. 2000. The Anion Gap. Department of Physiology. University of Vermont
Politeknik Kesehetan Kementrian Kesehatan Kalimantan Timur, 2011
Sherwood, L.(2007). Human Physiology 7th Ed. Canada: Brooks/Cole, Cangage Learning.
Hal: 569 584
Silverthorn, et al. 2004. Human Physiology. USA: Mc. Graw Hill
Siregar, P. 2007. Gangguan Keseimbangan Asam Basa Metabolik In: Sudoyo, A.W. (eds.)
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: Penerbitan FKUI. Hal: 143 146
43