You are on page 1of 9

Suplement

NYERI SUATU RAHMAT SEKALIGUS SEBAGAI TANTANGAN


A. Husni Tanra
Bidang Ilmu Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Sulit dibayangkan bagaimana kejadiannya andaikata
tubuh kita tidak tidak dilengkapi dengan persepsi nyeri
seperti halnya pada kasus-kasus yang dikenal sebagai
congenital insentivity to pain. Penderita yang demikian
umumnya mudah mengalami luka bakar yang dalam,
luka laserasi yang luas, menggigit lidah waktu
mengunyah, bahkan patah tulang tanpa keluhan apaapa. Ketidakmampuannya merasakan nyeri, sehingga
sulit mengetahui jika ia menderita penyakit akut, sampai
akhirnya terjadi komplikasi yang membahayakan
hidupnya. Penderita semacam ini pada umumnya
meninggal dunia dalam usia muda akibat indeksi.
Sebuah kasus yang klasik tentang congenital
insentivity to pain yang dilaporkan oleh Dick, dkk. Nona
C seorang mahasiswa dari Universitas McGill di
Monterial, Kanada. Ia memiliki intelegensia yang tinggi
dan semua pemeriksaan lainnya normal kecuali tidak
mampu merasakan nyeri. Sewaktu kecilnya dia sering
menggigit lidahnya dan pernah menderita luka bakar
yang dalam, akibat tersentuh dengan radiator yang
panas. Pada pemeriksaan ia tidak memperlihatkan
respon ketika diberi rangsang kuat, rangsang listrik, air
panas maupun air dingin. Yang paling menakjubkan
bahwa tidak terlihat adanya perubahan tekanan darah,
denyut nadi maupun pernafasan pada saat rangsang
nyeri dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi
respon saraf otonom, yang menambah keyakinan bahwa
Nona C sama sekali tidak merasakan apa-apa pada
saat rangsang nyeri dilakukan. Pada pemeriksaan
histologis ditemukan bahwa saraf perifernya sangat
kurang mengandung serabut saraf pembawa nyeri. Nona
C akhirnya meninggal pada usia 20 tahun akibat infeksi
yang massif.
Sampai saat ini, kasus seperti yang dialami oleh
Nona C di atas telah beberapa yang dilaporkan dan
semuanya meninggal pada usia muda bahkan pernah
lebih muda dari yang dialami Nona C. Dari ilustrasi di
atas dapat disimpulkan bahwa fungsi utama dari
persepsi nyeri adalah upaya tubuh untuk menemukenali
bahwa telah terjadi sesuatu yang salah. Nyeri yang
demikian memiliki arti biologis yang positif sebagai
isyarat bagi kita guna mencari pertolongan dokter. Selain
itu rasa nyeri ini merupakan raison detre yang amat
penting bagi seorang dokter, untuk mendiagnose
penyakit yang terjadi.
Sampai pada awal millenium ketiga ini, misteri
tentang berbagai bentuk nyeri belum seluruhnya dapat
diungkapkan atau diterangkan. Ilmu pengetahuan belum
mampu menerangkan mengapa organ-organ dalam

Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

(organ viseral) kalau dipotong atau dibakar tidak


menimbulkan nyeri, sedangkan jika dilakukan
peregangan akan terasa nyeri yang luar biasa. Contoh
klasik adalah kolik ureter yang disebabkan oleh setetes
gumpalan darah dapat menyebabkan nyeri yang luar
biasa. Sebaliknya, organ-organ somatik akan terasa
amat nyeri jika dipotong atau dibakar, sedangkan
peregangannya justru sama sekali tidak menimbulkan
nyeri.
Demikian juga dengan nyeri pada penderita pasca
amputasi lengan atau tungkai yang dikenal sebagai
panthom pain (nyeri setan). Mereka sering mengeluhkan
adanya rasa nyeri pada bagian yang telah diamputasi,
meskipun bagian tersebut telah tiada. Fenomena yang
lain terjadi pada penderita herpez soster, yang justru
nyerinya timbul setelah penyembuhan usai, fenomena
mana berlawanan dengan proses penyembuhan luka
yang normal.

Definisi Nyeri
Walaupun nyeri sudah dikenal sejak kehadiran
manusia di muka bumi ini, namun mengingat
kompleksnya masalah nyeri, maka definisi nyeri baru
dapat disepakati oleh perkumpulan ahli nyeri sedunia
yakni The International Association for the Study of
Pain (IASP) pada tahun 1979. Definisi tersebut diajukan
oleh Merskey, seorang psikiater sebagai berikut: Pain
is the unpleasant sensory and emotional experience,
associated with actual or potensial tissue damage or
described in term of such damage (Nyeri adalah rasa
inderawi dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang
tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan
yang nyata atau yang berpotensi rusak atau sesuatu yang
tergambarkan seperti itu). Dari definisi di atas dapat
ditarik beberapa pengertian antara lain:
1.

Nyeri adalah perasaan inderawi yang tidak


menyenangkan, artinya unsur utama yang harus ada
untuk disebut nyeri, adalah rasa tidak
menyenangkan. Tanpa unsur itu, tak dapat
dikategorikan sebagai nyeri, walaupun sebaliknya,
tidak semua yang tidak menyenangkan dapat
disebut sebagai nyeri.

2.

Nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak


menyenangkan, artinya persepsi nyeri seseorang
ditentukan oleh pengalamannya dan status
emosionalnya. Persepsi nyeri sangat bersifat pribadi
dan subjektif. Oleh karena itulah maka, suatu
rangsang yang sama dapat dirasakan berbeda oleh

75

dua orang yang berbeda, bahkan suatu rangsang


yang sama dapat dirasakan berbeda oleh satu
orang karena keadaan emosionalnya yang berbeda.
3.

Nyeri terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang


nyata (pain associated with actual tissue damage).
Nyeri yang demikian disebut sebagai nyeri akut
(acute pain) yang diharapkan menghilang seiraima
dengan proses penyembuhannya. Nyeri yang
demikian inilah yang banyak ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari.

4.

Nyeri dapat juga terjadi oleh suatu rangsang yang


cukup kuat (rangsang noksius), yang berpotensi
merusak jaringan. Nyeri yang demikian disebut
sebagai nyeri fisiologik (physiological pain) yang
fungsinya untuk membangkitkan refleks proteksi
guna mencegah terjadinya kerusakan jaringan lebih
lanjut.

5.

Nyeri dapat juga terjadi tanpa adanya kerusakan


jaringan, tetapi tergambarkan seolah-olah terdapat
kerusakan jaringan yang hebat (pain described in
term such damage). Nyeri yang terakhir ini justru
timbul setelah penyembuhan usai, dan jika
berlangsung lebih dari 3 bulan digolongkan sebagai
nyeri kronik (chronic pain).

Dari uraian di atas, ada 2 hal penting yang dapat


disimak. Pertama, nyeri memiliki 2 komponen yakni
komponen inderawi yang melibatkan susunan saraf
(fisik) dan komponen emosional yang melibatkan
kejiwaan (psikologis). Hal ini sering dilupakan oleh
dokter yang umumnya menganggap nyeri hanya bersifat
inderawi sehingga dengan memotong alur perambatan
nyeri maka selesailah persoalannya, padahal
kenyataannya
tidak
demikian.
Pengalaman
menunjukkan bahwa jika seseorang penderita nyeri
dilakukan rizotomi atau kordotomi (alur inderawi
dipotong) nyerinya memang banyak berkurang tetapi
tetap masih ada yang sisa. Mereka umumnya berkata
the big pain is away, but small pain still exists. Ini suatu
bukti bahwa yang dirasakannya adalah komponen
psikologis dari nyeri itu.
Sebenarnya pemahaman tentang 2 komponen nyeri
seperti yang disebutkan di atas telah diamati oleh para
filsuf terdahulu. Homer menganggap nyeri adalah anak
panah yang dilepaskan oleh Tuhan, yang berarti nyeri
adalah faktor fisik. Sedangkan Aristoteles sebagai
penemu pertama kelima pancaindera menganggapnya
bukan sensasi melainkan suatu ekspresi emosional,
berarti faktor psikologis. Kata nyeri (pain) berasal dari
bahasa latin yakni poena yang berarti hukuman, lagilagi bermakna komponen psikologis. Ini berarti telah
lama diketahui bahwa nyeri memiliki 2 komponen. Oleh
karena itu, prinsip pengelolaan nyeri senantiasa harus
mempertimbangkan kedua komponen tersebut. Tanpa
mengelola kedua komponen di atas secara bersamaan,
sulit mendapatkan analgesia yang optimal. Kedua, nyeri
pada umumnya terjadi akibat adanya kerusakan jaringan

76

(pain with injury or nociception), yang merupakan ciri


khas nyeri akut, tetapi ada juga nyeri yang terjadi tanpa
adanya kerusakan jaringan (pain without injury or
nociception) yang merupakan ciri khas nyeri kronik.
Di lain pihak, Woolf (1989) membagi nyeri dalam
dua kategori yang secara kualitatif sangat berbeda yakni
nyeri fisiologilk dan nyeri patologik. Perbedaan utama
dari kedua jenis ini adalah bahwa nyeri fisiologik
dikategorikan sebagai suatu sensasi normal,
sedangkan nyeri patologik dikategorikan sebagai
konsekwensi dari suatu sensasi abnormal. Nyeri
fisiologik terjadi karena adanya rangsang noksius dan
berfungsi sebagi alat proteksi dari sesuatu yang dapat
merusak tubuh. Contoh klasik dari nyeri fisiologik adalah
jika kita meraba benda panas, dingin atau cubitan, maka
kita akan segera melakukan gerakan reflek penghindar
yang dikenal sebagai withdrawal reflex. Sedangkan
nyeri patologik merupakan nyeri yang terjadi sebagai
konsekuensi adanya kerusakan jaringan. Kerusakan
jaringan ini akan menghasilkan nyeri inflamasi
(inflamatory pain), dan jika melibatkan kerusakan saraf
menghasilkan nyeri neuropatilk (neuropathic pain).
Gejala nyeri inflamasi dan nyeri neuropatik memiliki
kesamaan gejala, yang sangat berbeda dengan nyeri
fisiologik. Kesamaan gejala tersebut dapat berupa
spontan pain, artinya nyeri terjadi secara spontan;
allodinia, artinya rangsang lemah yang normal tidak
menimbulkan nyeri, kini menjadi nyeri, hiperalgesia,
artinya rangsang noksius yang dirasakan sebagai nyeri
yang lebih hebat; dan referred pain, artinya nyeri yang
dapat menyebar ketempat yang lebih jauh.
Mengapa gejala nyeri inflamasi dan nyeri neuropatik
memiliki kesamaan? Hal ini disebabkan karena setelah
terjadi kerusakan jaringan (proses inflamasi) yang
merupakan asupan nyeri, akan diikuti dengan
perubahan sensitisasi saraf, baik di perifer (peripheral
sensitization), maupun di sentral (central sensitization)
sehingga saraf menjadi lebih sensitif dari sebelumnya.
Kemampuan susunan saraf untuk berubah sifat seperti
ini, disebut sebagai plastisitas susunan saraf (plasticity
of the nervous system). Artinya, susunan saraf tidak
dapat digambarkan sebagai suatu kabel baja (hard wire)
yang fungsinya menetap, melainkan mampu berubah
sifat akibat perubahan lingkungan.
Akibat proses sensitisasi inilah yang menyebabkan
saraf semakin sensitif terhadap rangsangan sebagai
konsekuensi dari adanya kerusakan jaringan. Dengan kata
lain, akibat plastisitas inilah yang menyebabkan timbulnya
gejala-gejala berupa allodinia, hiperalgesia dan referred
pain pada daerah inflamasi. Gejala ini diharapkan
berkurang atau hilang dengan majunya proses
penyembuhan. Jika gejala ini berlangsung normal, artinya
nyeri hilang setelah penyembuhan usai, disebut sebagai
adaptive pain. Sebaliknya, jika gejala tersebut menetap,
walaupun penyembuhan telah usai, disebut sebagai
maladaptive pain. Hal inilah yang mendasari terjadinya
nyeri neuropatik.
Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

Mekanisme Nyeri
Antara kerusakan jaringan sebagai sumber
rangsang nyeri, sampai dirasakan sebagai persepsi
nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektro fisiologik
yang secara kolektif disebut nosisepsi (nociception).
Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada suatu
nosisepsi, yakni:
1.

Proses Transduksi (transduction), merupakan


proses di mana suatu rangsang nyeri (noxious
stimuli) diubah menjadi suatu aktifitas listrik, yang
akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve
endings). Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik,
suhu, ataupun kimia;

2.

Proses Transmisi (transmission), dimaksudkan


sebagai perambatan rangsang melalui saraf
sensoris menyusul proses transduksi;

3.

Proses Modulasi (modulation), adalah proses di


mana terjadi interaksi antara sistem analgesilk
endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu
posterior. Jadi merupakan proses desendern yang
dikontrol oleh otak seseorang. Analgesik endogen
ini meliputi endorfin, serotonin, dan noradrenalin
yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri
pada kornu posterior. Kornu posterior ini dapat
diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat
tertutup atau terbuka dalam menyalurkan asupan
nyeri. Peristiwa terbuka dan tertutupnya pintu
gerbang tersebut diperankan oleh sistem analgesik
endogen di atas. Proses modulasi inilah yang
menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat
pribadi dan subjektif pada setiap orang. Hal ini
sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya,
pendidikan, atensi, serta makna atau arti dari suatu
rangsang;

4.

Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari


proses interaksi yang kompleks dan unik yang
dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan
modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu
perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri.

Secara umum, dalam klinik dikenal tiga jenis nyeri,


yakni: 1) nyeri akut,
2) nyeri kronik, dan 3) nyeri
kanker.
1.

Nyeri Akut (Acute Pain)

Menurut Federation of State Medical Boards of the


United States; acute pain is the normal, predicted
physiological response to an adverse chemical,
thermal or mechanical stimulus, associated with
surgery trauma and acute illness. (Nyeri akut adalah
respon fisiologik normal yang diramalkan terhadap
rangsang kimiawi, panas atau mekanik menyusul suatu
pembedahan, trauma, dan penyakit akut). Ciri khas suatu
nyeri akut adalah nyeri yang diakibatkan oleh adanya
kerusakan jaringan yang nyata dan akan hilang seirama
dengan proses penyembuhannya.
Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

Prototipe dari nyeri akut adalah nyeri pascabedah


yang merupakan pernandangan sehari-hari bagi
seorang dokter spesialis anestesiologi. Bagi dokter
spesialis anestesiologi, nyeri pascabedah merupakan
tantangan yang besar. Tidak sedikit penderita yang
menunda bahkan menolak untuk dibedah bukan karena
takut untuk dibedah, sebab mereka sadar dan yakin
bahwa selama pembedahan berlangsung mereka tidak
akan merasakan apa-apa, melainkan justru mereka
takut menanggung nyeri pascabedah.
Meskipun pengetahuan kita tentang mekanisme
nyeri pascabedah sudah mengalami banyak kemajuan,
namun pengelolaan nyeri pascabedah belum optimal
dan masih sering terabaikan serta belum membudaya
di kalangan dokter spesialis anestesiologi. Lebih dari
setengah penderita yang telah dibedah masih
mengalami penderitaan nyeri pascabedah mulai dari
nyeri ringan sampai nyeri berat. Hal ini terjadi bukan
saja di negara baru berkembang seperti di Indonesia
namun juga masih terjadi di negara maju seperti Amerika
Serikat. Dilaporkan, bahwa jumlah penderita yang
mengalami pembedahan di Amerika Serikat sekitar 25
juta orang pertahun. Dari jumlah ini, mayoritas mereka
masih mengalami penderitaan nyeri pascabedah karena
pengelolaannya yang belum adekuat.
Pengelolaan nyeri pascabedah, bukan saja
merupakan upaya mengurangi penderitaan penderita,
tetapi juga meningkatan kualitas hidupnya. Telah terbukti
bahwa tanpa pengelolaan nyeri pascabedah yang
adekuat penderita akan mengalami gangguan fisiologis
maupun psikologis yang pada gilirannya secara
bermakna meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas.
Tujuan dari pengelolaan nyeri pascabedah adalah
selain membuat penderita merasa nyaman (comfort)
karena bebas nyeri, tetapi juga harus mampu
menghambat alur respon stres akibat suatu
pembedahan. Dengan kata lain pengelolaan nyeri
pasacabedah yang ideal harus pain free dan stress
free. Pengelolaan nyeri pascabedah yang efektif seperti
disebutkan di atas akan merestorasi fungsi tubuh
penderita pascabedah, guna secara leluasa melakukan
gerak nafas, batuk, bahkan bergerak, sehingga
penyembuhan berlangsung lebih cepat.
Dikenal berbagai teknik pengelolaan nyeri
pascabedah, namun analgesia balans merupakan
teknik yang sangat ideal dan efektif sebab dapat
menghasilkan pain free dan stress free.
Analgesia balans adalah suatu teknik pengelolaan
nyeri pascabedah yang menggunakan pendekatan
multimodal di mana, mekanisme nyeri dihambat atau
ditekan pada setiap tahap pada proses nosisepsi
(transduksi, transmisi dan modulasi). Jadi nyeri
dihambat pada tiga tempat secara bersamaan,
sehingga terjadi hambatan yang bersifat sinergik.
77

Dengan teknik pendekatan multimodal ini, maka dosis


setiap obat menjadi lebih rendah, dengan analgesia
yang optimal.
Sebenarnya konsep dasar analgesia balans adalah
mencegah terjadinya plastisitas susunan saraf,
sehingga tidak menjadi lebih sensitif walaupun asupan
nyeri tetap ada. Dengan kata lain berupaya agar fungsi
saraf dipertahankan tetap normal walaupun asupan nyeri
tetap ada, sehingga obat-obat analgesik dapat bekerja
lebih efektif.

2.

Nyeri Kronik

The International Association for Study of Pain


(IASP) mendefinisikan nyeri kronik sebagai pain that
persists beyond normal tissue healing time, which is
assumed to be three months (nyeri kronik adalah nyeri
yang menetap melampaui waktu penyembuhan normal
yakni 3 bulan).

Kehlet (1996) secara dramatis mempersingkat lama


rawat inap penderita pascabedah melalui suatu program
yang disebut sebagai accelerated surgical stay
program. Program tersebut meliputi:

Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa yang


dimaksud dengan nyeri kronik adalah nyeri yang timbul
setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung
lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas. Oleh
karena itu nyeri kronik biasa disebut sebagai chronic
non malignant pain. Dikenal tiga macam bentuk nyeri
kronik yakni:

a.

Prabedah, berupa pendekatan psikologis guna


mengurangi kecemasan dan meningkatkan motivasi
penderita dalam menghadapi pembedahan;

a.

b.

Durantebedah, dengan menggunakan teknik


anestesi yang dapat mengurangi respon stres akibat
pembedahan; dan

Nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai,


misalnya complex regional pain syndrom yang
dahulu dikenal sebagai reflex symphathetic
dystrophy, post herpetic neuralgia, phantom pain,
neurophatic pain, dan lain-lain;

b.

Nyeri yang timbul tanpa penyebab yang jelas,


misalnya nyeri pinggang bawah (low back pain),
sakit kepala, dan lain-lain;

c.

Nyeri yang didasari atas kondisi kronik, misalnya


osteoartheritis atau reumathoid arthritis, dan lainlain.

c.

Pascabedah, dengan menggunakan teknik


analgesia balans.

Jika ketiga hal tersebut dilakukan secara adekuat,


diikuti dengan mobilisasi yang agresif dan pemberian
nutrisi oral sedini mungkin, maka outcome penderita
pascabedah akan sangat meningkat.

Setiap unit APS dipimpin oleh seorang dokter


spesialis anestesiologi yang bertanggungjawab
terhadap pengelolaan nyeri pasca bedah baik untuk
penderita rawat inap lebih-lebih untuk penderita tanpa
rawat inap. Jika APS berfungsi optimal maka penderita
pascabedah tidak lagi akan menderita nyeri
pascabedah, suatu harapan yang telah lama
didambakan dan dicita-citakan umat manusia.

Berbeda dengan nyeri akut yang mudah didiagnosis,


berfungsi biologis dan bersifat satu dimensi artinya ia
merupakan gejala tentang adanya jarigan rusak atau
penyakit akut maka nyeri kronik justru sulit didiagnosis,
tidak berfungsi biologis, penyebabnya tidak jelas, dan
bersifat multidimensi dimana faktor fisik, psikologi dan
sosial memegang peranan penting. Lebih parah lagi
karena obat-obat analgesik yang tergolong antiinflamsi
nonsteroid (AINS) yang banyak di pasaran sama sekali
tidak efektif terhadap nyeri kronik. Di sinilah, tidak jarang
dokter sering salah kaprah karena menganggap semua
nyeri sama, maka obatnya pun sama yakni analgesik
AINS, padahal analgesik AINS tidak berarti apa-apa
terhadap nyeri kronik. Tindakan yang demikian justru
akan memperburuk keadaan penderita, bahkan
menambah penderitaannya. Hal ini pulalah yang
menyebabkan penderita nyeri kronik berpindahpindah
dari satu dokter ke dokter lain.

Ready (1999) dari Universitas Washington (Medical


Center) tempat lahirnya APS melaporkan bahwa selama
15 tahun, 25.000 penderita yang telah mendapat
pengelolaan nyeri pascabedah. Dari jumlah itu, 90%
merasa sangat puas, dan hanya sebagian kecil yakni
9% yang kurang puas dan kurang dari 1% yang tidak
puas, suatu hasil yang sangat menjanjikan dambaan
ummat manusia. Semua ini hanya dapat terwujud bila
setiap Rumah Sakit memiliki unit APS yang didukung
oleh dokter spesialis anestesiologi yang tangguh baik
pengetahuan, sikap maupun keterampilannya.

Penderita nyeri kronik selain sulit dikelola, juga


sangat menderitakan penderita baik fisik, psikologis,
maupun sosial. Bagaimana penderitaan seorang
penderita nyeri kronik hanya penderitalah yang tahu. Tak
seorang pun dapat menggambarkan penderitaan
tersebut apa pun upaya yang dilakukannya baik oleh
dokternya, keluarganya, bahkan juga oleh orang yang
mencintainya. Kesehatan penderita dapat secara
progresif memburuk akibat menurunnya nafsu makan,
insomnia, dan kecemasan sampai depresi yang hebat.
Ditinjau dari segi aspek sosial, penderita akan

Menyadari akan pentingnya pengelolaan nyeri


pascabedah seperti dikemukakan di atas, maka di
berbagai rumah sakit di negara maju dibentuk suatu
unit khusus untuk mengelola nyeri pascabedah yang
disebut sebagai Acute Pain Service (APS). Upaya
semacam ini, telah dirintis sejak 1980 di University of
Washington, Seatle, Amerika Serikat dan dewasa ini telah
menyebar luas di banyak negara maju.

78

Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

mengalami kehancuran akibat ditinggalkan oleh


keluarga, kehilangan pekerjaan, bahkan sampai
kehilangan semangat, frustrasi, putus asa, sampai
timbul keinginan bunuh didi.

2.

Guna memahami penderitaan penderita nyeri kronik


harus disadari bahwa seorang penderita merupakan
manusia utuh yang terdiri dari tubuh (body) dan jiwa
(mind). Pandangan dualisme yang memisahkan tubuh
dan jiwa yang diilhami oleh filsuf Rene Descartes pernah
menyesatkan para dokter di dunia Barat selama satu
abad. Tubuh dan jiwa tidak dapat dipisahkan satu sama
lain, ia merupakan suatu kesatuan yang utuh yang oleh
Melzak disebut sebagai neuromatrix. Tubuh manusia
dapat diibaratkan sebagai suatu sel raksasa, yang kalau
ada bagian yang sakit maka seluruh sel akan ikut
terpengaruh.

Pengetahuan kita tentang mekanisme nyeri kronik


belum seluruhnya dapat diterangkan. Pertanyaan
klasik yang masih menghantui kita adalah mengapa
nyeri kronik ini justru terjadi setelah penyembuhan
usai, yang seharusnya hilang seirama dengan
proses penyembuhannya. Tujuh puluh persen
penderita nyeri pinggang bawah (low back pain),
setelah dilakukan pemeriksaan yang teliti tidak
ditemukan kelainan apapun pada daerah tersebut.
Berbagai teori memang telah banyak dikemukakan
namun belum ada yang secara tuntas dapat
menjawab pertanyaan tersebut di atas;

3.

Pengelolaan nyeri kronik yang tidak integratif dan


holistik. Perkembangan spesialisasi sampai
superspesialis yang semakin pesat cenderung
membuat para spesialis memandang nyeri sebagai
tubular vision, padahal nyeri, khususnya nyeri kronik,
harus dipandang sebagai titik sentral yang
memedukan penanganan yang holistik, bukan saja
aspek fisik dan psikologis tapi juga termasuk aspek
sosial dan ekonomi. Oleh karena itu pengelolaan
nyeri kronik mutlak dikelola secara multidisiplin.

Memang tidak semua nyeri akut berlanjut menjadi


nyeri kronik namun, suatu nyeri akut, utamanya yang
melibatkan kerusakan jaringan saraf, berpotensi
menjadi nyeri kronik jika tidak dikelola dengan baik dan
benar. Hal ini telah diamati oleh Beecher, seorang ahli
bedah yang terkenal pada Perang Dunia II yang
mengatakan: Pain is just like any enemy. You keep
moving around and the enemy cannot hit you. Same
way with pain. The quicker you break away, the quicker
you will drive the pain out of your system. You sit too long
and you will not be able to move. Makin lama penderita
nyeri kronik tanpa pengelolaan yang baik dan benar akan
menambah penderitaannya, bukan saja karena sarafnya
semakin sensitif sebagai akibat dari sensitisasi sentral,
tapi juga sebagai akibat efek samping dari berbagai
obat-obatan yang diperolehnya.
Dibandingkan dengan negara baru berkembang,
negara maju menghadapi tantangan yang jauh lebih
besar dalam masalah nyeri kronik. Tampaknya
modernized people create their chronic pain. Di Amerika
Serikat pada tahun 1980 kehilangan 700 juta hari kerja
dengan biaya sekitar 70 milyar dollar pertahun sebagai
kompensasi bagi penderita nyeri kronik. Jumlah ini
merupakan 10% dari APBN Amerika serikat, 40% dari
total biaya Departemen Kesehatan dan 10 kali lebih
besar dari pada biaya penelitian biomedik. Dewasa ini,
diperkirakan sekitar 50 juta penduduk Amerika yang
menderita nyeri kronik yang sangat mengurangi kualitas
hidupnya dengan biaya kompensasi meningkat menjadi
100 milliar dollar pertahun.
Mengapa nyeri kronik menjadi masalah besar bagi
kita? Jawabannya dapat dibagi dalam tiga kelompok:
1.

Pengajaran tentang nyeri belum terorganisasi


dengan baik. Sampai saat ini, pengorganisasian
pengajaran tentang nyeri, baik untuk mahasiswa
kedokteran maupun dokter belum sempurna. Pada
umumnya, mahasiswa kedokteran diajari tentang
nyeri akut sebagai alat untuk mendiagnosis
penyakit dan bagaimana mengobatinya. Hampir

Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

tidak pernah atau sangat sedikit Fakultas Kedokteran


yang mengajarkan tentang nyeri kronik yang
patofisiologinya sangat berbeda dengan nyeri akut;

Dewasa ini berbagai cara pengelolaan nyeri kronik


telah diperkenalkan, mulai dari obat-obatan sampai
dengan pembedahan. Narnun, peranan dokter spesialis
Anestesiologi dalam mengelola nyeri kronik adalah
kemampuannya melakukan berbagai tindakan blokade
saraf yang saat ini banyak dipergunakan. Di negara maju
spinal cord stimulation sangat populer dan dilaporkan
sangat efektif terhadap nyeri neuropatik.
Suatu teknik baru yang disebut encapsulated cells
(immunoisolation) atau biohybrid therapy telah
dikembangkan sejak 1997. Dengan teknik ini, dilakukan
implantasi sel-sel hidup yang dibungkus dengan kapsul
plastik ke dalam ruang subarachnoid. Kapsul plastik
tersebut memiliki pori-pori yang amat kedl sehingga selsel imun tidak dapat melewatinya, tetapi sekresi zat
analgesik mau pun nutrisi lainnya dapat leluasa melalui
pori-pori tersebut. Pori-pori ini tidak dapat dilalui oleh
selsel imun sehingga tidak terjadi reaksi imun, yang
merupakan kendala besar pada setiap transplantasi
sel-sel hidup atau jaringan dari spesies lainnya.
Jika di tahun 1975, Bonica dari Universitas
Washington
telah
merintis
pembentukan
Multidisciplinary Pain Center, maka sudah saatnyalah
di Indonesia terutama pada pusat pendidikan
Anestesiologi telah dimiliki unit yang sama atau sedikit
lebih sederhana yakni multidisciplinary Pain Clinic di
mana penderita nyeri kronik dikelola secara integratif
dan holistik
3.

Nyeri Kanker
Masalah nyeri kanker merupakan masalah dunia,
baik di negara maju lebih-lebih di negara berkembang,
79

sebab kanker masih merupakan penyakit yang belum


sepenuhnya dapat disembuhkan sampai saat ini.
Menurut WHO, diperkirakan 7 juta penduduk dunia yang
didiagnosis sebagai penderita kanker baru dan lebih 5
juta yang meninggal setiap tahunnya. Ini merupakan
angka kematian 10% dari seluruh kematian.

satu tindakan yang amat efektif dalam menanggulangi


nyeri viseral akibat kanker pankreas, hati maupun
lambung. Tindakan ini selain akan meningkatkan
kualitas hidup penderita, juga terbukti memperpanjang
hidupnya secara bermakna dibandingkan dengan
pemberian obat analgesik secara oral.

Di Indonesia, secara umum, angka kekerapan


penderita kanker 100 orang untuk setiap 100.000
penduduk. Ini berarti bahwa di Indonesia terdapat tidak
kurang dari 200.000 penderita kanker baru setiap
tahunnya. Walaupun tidak semua penderitra kanker akan
menderita nyeri, namun tidak kurang dari 70% dari
seluruh penderita kanker akan menderita nyeri kanker
di akhir hayatnya. Ini berarti, dari 200.000 penderita
kanker di Indonesia, tidak kurang dari 140.000 penderita
kanker di Indonesia yang menderita nyeri kanker
sebelum menemui ajalnya.

Menyadari akan pentingnya pengelolaan nyeri kanker


yang jumlahnya semakin meningkat setiap tahun baik
di negara maju, apalagi di negara berkembang, maka
WHO sejak tahun 1986 telah menerbitkan buku
pedoman pengelolaan nyeri kanker Cancer Pain Relief
yang kemudian dimodifikasi pada tahun 1990 dengan
judul Cancer Pain Relief and Palliative Care guna
meringankan penderitaan akibat nyeri kanker.

Ini berarti bahwa masalah penderita nyeri kanker


merupakan masalah nasional dari kesehatan
masyarakat. Saat ini di seluruh dunia, diperkirakan
sekitar 3,5 juta penderita kanker yang mengalami
penderitaan nyeri kanker dengan atau tanpa
memperoleh pengelolaan nyeri.
Dibandingkan dengan nyeri akut atau nyeri kronik,
maka masalah nyeri kanker jauh lebih rumit. Hal itu
disebabkan karena nyeri kanker tidak saja bersumber
dari faktor fisik akibat adanya kerusakan jaringan, tetapi
juga diperberat oleh faktor nonfisik berupa faktor
psikologis, sosial budaya dan spiritual, yang secara
keseluruhan disebut NYERI TOTAL. Dengan kata lain,
NYERI TOTAL dibentuk oleh berbagai unsur yakni, biopsikososio-kulturo-spiritual.
Oleh karena itu, pengelolaan nyeri kanker yang baik
membutuhkan pendekatan multidisplin yang melibatkan
sernua disiplin ilmu yang terkait. Bahkan lebih dari itu,
anggota keluarga penderita pun harus dilibatkan
utamanya dalam perawatan yang tidak kurang
pentingnya.
Pengelolaan nyeri kanker hanya merupakan salah
satu tindakan paliatif guna mengurangi penderitaan
penderita kanker. Menurut Wisconsin, nyeri merupakan
faktor utama yang mendorong penderita nyeri kanker
berupaya untuk bunuh diri. Pengalarnan ini pulalah yang
memicu lahirnya paham euthanasia yang memberi hak
seseorang mengakhiri hidupnya lebih cepat. Sebagai
bangsa yang agamais hal ini tentu tidak dapat diterima,
tetapi di lain pihak para dokter tentu harus terpanggil
dan tergugah untuk memanfaatkan ilmunya guna
meringankan beban penderita nyeri kanker.
Peranan Dokter Spesialis Anestesiologi dalam
pengelolaan nyeri kanker cukup besar utamanya dalam
melakukan blokade saraf, baik dengan menggunakan
anestetik lokal, maupun dengan zat neurolitik (fenol atau
alkohol). Blok seliak dengan neurolitik merupakan salah

80

Morfin adalah obat yang paling ampuh (golden drug)


dalam menanggulangi nyeri kanker, utamanya nyeri
kanker berat, tetapi penggunaannya sering tidak
legeartis. Menurut Bonica, terdapat tiga kesalahan
persepsi pada sebagian besar dokter dalam
menggunakan morfin untuk nyeri kanker. Pertama, dokter
memberikan morfin tidak sesuai dengan efek
farmakokinetiknya (tidak by the clock tetapi PRN)
sehingga tidak adekwat. Kedua, morfin diberikan dalam
dosis rendah karena khawatir terjadi penekanan pusat
nafas, padahal nyeri adalah perangsang pusat
pernafasan yang kuat. Jadi, selama nyeri ada, tidak
mungkin terjadi penekanan pusat nafas. Ketiga, takut
menggunakan dalam jangka waktu lama karena khawatir
terhadap efek adiksi (ketagihan), padahal efek ini sangat
jarang terjadi. Efek adiksi lebih banyak ditentukan oleh
struktur kepribadian dan lingkungan sosial penderita
ketimbang efek morfin sendiri.
Penelitian Boston Cooperative Surveillance Study
menemukan hanya empat kasus adiksi dad 12.000
penderita yang mendapat morfin untuk jangka waktu
lama. Bahkan tidak ditemukan satupun kasus adiksi
pada 10.000 penderita yang mendapat morfin karena
luka bakar. Atas dasar penelitian ini, maka tidaklah
beralasan bagi dokter untuk tidak menggunakan morfin
dalam jangka waktu lama dan dosis tinggi, untuk
mengelola nyeri kanker, hanya karena takut adiksi.
Keampuhan morfin dalam menanggulangi nyeri
kanker menjadikannya sebagai parameter apakah suatu
bangsa peduli terhadap penderita nyeri kanker atau tidak.
Artinya semakin tinggi konsumsi morfin suatu negara,
semakin peduli terhadap pengelolaan nyeri kanker. Data
dari INCB (Intemational Narcotic Control Board) di
Jenewa menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara
yang hampir tidak terdaftar dalam penggunaan morfin
untuk pengelolaan nyeri kanker, artinya kita adalah salah
satu bangsa yang kurang peduli terhadap penderita nyeri
kanker. Ironisnya, di sisi lain Indonesia dewasa ini
dikenal sebagai negara yang generasi mudanya sudah
sangat tercemar dengan Narkoba. Artinya obat sebangsa
morfin banyak digunakan bukan untuk nyeri kanker,

Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

tetapi digunakan sebagai penyalahgunaan obat (drug


abuse).
Penggunaan morfin sebagai obat yang ampuh dalam
mengelola nyeri kanker secara bebas memang
mengundang terjadinya penyalahgunaan obat tersebut.
Namun tidak bisa menjadi alasan untuk tidak
menyediakannya. Yang penting adalah pengawasannya
yang baik, sehingga generasi muda kita tidak terjerumus
ke dalam penyalahgunaan narkoba, tetapi penderita
nyeri kanker dapat tertanggulangi.
Perkembangan Kedokteran Mutakhir
Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang
dipicu oleh pemanfaatan konsep dan teknik biologi
molekuler dan genetika telah mendorong terjadinya
revolusi dalam bidang kedokteran. Kini, tissue
engineering atau tissue factory dengan menggunakan
teknologi embryonic stem cells sedang blooming di
Amerika Serikat. Di masa datang, manusia dengan
mudah membeli jaringan atau organ yang diinginkan
yang di biak dari selnya sendid. Tahun lalu, Amerika
Serikat telah berhasil memproduksi jaringan kulit yang
di biak dari sel resipien sendiri sehingga tidak pedu
khawatir terjadinya reaksi penolakan. Kemajuan
teknologi ini akan mengubah pola pengobatan berbagai
penyakit yang tidak dapat dicegah. Penderita kencing
manis, parkinson, anemia, hemofilia termasuk penderita
nyeri dan lain sebagainya, tidak perlu lagi memakan atau
disuntikkan
obat,
tetapi
cukup
dengan
mentranplantasikan jaringan dikehendaki.
Pemetaan gen yang dimotori oleh human genome
project yang diharapkan selesai pada tahun 2003 yang
akan datang (diperkirakan lebih cepat) juga merupakan
lembaran baru dalam bidang genetika. Penemuan
berbagai gen yang terlibat dalam berbagai proses
kehidupan akan meningkatkan kemampuan kita untuk
memprediksi apakah seseorang lebih sensitif atau
resisten untuk menderita penyakit tertentu. Upaya untuk
memetakan dan mengetahui fungsi gen yang menyandi
semua sistem yang terlibat di dalam jalur persepsi nyeri,
menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Beberapa
gen yang mengatur sensitifitas dan resistensi terhadap
nyeri, telah diketahui. Hal ini akan membuka cakrawala
baru bukan saja dalam pengelolaan nyeri, melainkan
juga pada pencegahan dan prediksi. Pengobatan dapat
dilakukan secara lebih rasional, terarah dan spesifik
sampai pada tingkat molekuler.

perubahan mindset, memerlukan paradigma baru.


Mereka tidak hanya sebagai dokter yang memberikan
pelayanan anestesi untuk keperluan pembedahan, tetapi
juga harus mampu mengelola nyeri secara keseluruhan
dan menangani keadaan darurat medik. Arah
pengembangan pendidikan anestesiologi di masa
mendatang hendaknya memperhatikan dua hal:
pertama, perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran
itu sendiri, khususnya bidang anestesiologi, dan kedua,
peningkatan mutu pelayanan kesehatan masyarakat.
Kedua hal ini sangat berkaitan satu sama lainnya. Artinya,
penguasaan ilmu dan teknologi yang baik pada
gilirannya akan mendorong peningkatan mutu pelayanan
kesehatan masyarakat yang lebih baik pula.
Persepsi nyeri adalah suatu proses yang kompleks.
Tidaklah tepat, jika suatu proses yang kompleks seperti
nyeri dikelola dengan cara berpikir dan pendekatan yang
sederhana. Cara berpikir dualisme yang dikembang oleh
Rene Descarte dan cara berpikir mekanistik yang
dikembangkan oleh Newton harus ditinggalkan diganti
dengan cara berpikir holistik dan ekologis. Sebagai
mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka
bumi ini, manusia harus senantiasa dipandang sebagai
satu kesatuan yang utuh, bukan sebagai kumpulan
organ-organ yang tercerai berai. Cara berpikir ini akan
mendorong kita untuk melakukan pendekatan
interdisiplin dan ekologis mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia termasuk sosial, ekonomi, budaya
dan lingkungan.
Tuntutan akan pelayanan kesehatan yang lebih
bermutu merupakan sisi lain yang tidak kalah pentingnya.
Demokratisasi, keterbukaan, status sosial dan ekonomi
akan mendorong masyarakat untuk menuntut pelayanan
kesehatan yang lebih adil dan bermutu. Ukuran
keberhasilan pelayanan kesehatan, bukan lagi angka
kematian dan kesakitan, tetapi peningkatan kualitas
hidup manusia, termasuk kualitas hidup penderita
pascabedah, nyeri kronik maupun nyeri kanker. Kedua
komponen ini, yakni ilmu pengetahuan dan teknologi
serta mutu pelayanan kesehatan, harus mendapat
perhatian yang besar dalam pendidikan dokter spesialis
anestesiologi.

PENUTUP
1.

Perlunya unit pelayanan nyeri akut (acute pain


service) pada setiap rumah sakit, khususnya pada
pusat pendidikan spesialis Anestesiologi. Dengan
demikian, penderita pascabedah selain ditingkatkan
kualitas hidupnya, mempercepat penyembuhan,
juga biaya perawatan dapat ditekan. Penundaan dan
penolakan tindakan pembedahan karena alasan
nyeri pascabedah tidak perlu terjadi lagi.

2.

Pada setiap pusat pendidikan spesialis


Anestesiologi idealnya memiliki pusat pengelolaan
nyeri kronik yang bersifat multidisiplin

Dalam waktu yang tidak terlalu lama terapi gen sudah


menjadi hal yang biasa; kelahiran bayi dengan cacat
bawaan akibat mutasi gen tidak perlu lagi kita jumpai,
sehingga hanya menjadi kenangan dalam buku teks
kedokteran.
Arah Pengembangan Pendidikan Dokter Spesialis
Anestesiologi
Dalam memasuki era millenium ke-3, pendidikan
dokter spesialis anestesiologi membutuhkan

Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

81

3.

(multidisciplinary pain center) yang selain


mengelola nyeri kronik, juga melakukan aktifitas
penelitian mengenai nyeri. Tersedianya fasilitas
semacam ini akan menolong dan mengurangi
penderitaan penderita nyeri kronik yang jumlahnya
semakin meningkat seirama dengan modernisasi.

7.

Ferrante, FM. Acute pain management: International


Anesthesia Research Society. Review Course Lectures
1993: 102-108.

8.

Ferrante, FM. Chronic pain management. American Society


of Anesthesiologist. Annual Refresher Course Lectures
1998; 266: 1-7.

Mengingat penyakit kanker belum dapat


disembuhkan, maka pada setiap pusat pendidikan
Anestesiologi mutlak dibutuhkan kehadiran
perawatan paliatif yang dikelola secara multidisplin.
Pengelolaan nyeri merupakan salah satu tindakan
paliatif yang amat penting untuk meningkatkan
kualitas hidup mereka.

9.

Field HL. Pain Introduction. Mc Graw-Hill Book Company,


New York 1987.

10. Iadarola, MJ. Good Pain, Bad Pain. Neuroscience 1997;


278: 239-240.
11. Khatami, M. Coping with pain, Southwest medical pain
management program. St. Paul Medical Center. Dallas, Texas
75235.

Because we cannot cure the cancer patients, let them


die free of pain with iman.

12. Kehlet, H. Surgical stress: the role of pain and analgesia.


Br J Anaesth 1989; 63: 189-195.

Suatu pusat pendidikan spesialis Anestesiologi yang


dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas tersebut di atas,
akan menghasilkan Iuaran dokter spesialis
anestesiologi yang dapat berfungsi secara optimal.
Selain mampu memberikan pelayanan anestesi untuk
berbagai jenis pembedahan, juga mampu mengelola
berbagai jenis nyeri serta tindakan kedaruratan medik.
Akan lebih sempurna lagi, bila setiap pusat pendidikan
spesialis anestesiologi dapat melakukan aktifitas
penelitian mengenai nyeri, sehingga pusat pendidikan
tidak hanya berfungsi sebagai pusat pelayanan
kesehatan, tetapi juga berfungsi sebagai pusat
pengembangan ilmu pengetahuan.

13. Kehlet, H. The stress response to surgery: release


mechanisms and the modifying effect of pain relief. Acta
Chir Scand (Suppl) 1988; 550: 22-28.

Kemampuan ini sangat diperlukan dalam memasuki


globalisasi khususnya AFTA tahun 2003, di mana pada
saat itu, dokter spesialis Anestesiologi dari berbagai
negara tetangga yang memiliki kualitas tinggi dapat
leluasa masuk ke Indonesia. Hanya dengan Iuran yang
berkualitas pula yang dapat bersaing dan
berkoneksitas dengan mereka. Tanpa memperhatikan
kualitas yang baik, tidak mustahil dokter spesialis
anestesi Indonesia akan menjadi penonton di negeri
sendiri. Suatu hal yang kita semua tidak
menginginkannya.

DAFTAR PUSTAKA

14. Kehlet, H. Postoperative pain relief, does it improve


outcome? 17th International Symposium of the pain clinic
(abstract). Utuh Press, Turkey 1996;193.
15. Kehlet, H. Multimodal approach to central postoperative
pathophysiology and rehabilitation. Br J Anesth 1997; 78:
606617.
16. Kehlet, H. Neurohumoral Response to Surgery and Pain in
Man. Proceedings of the VI th World Congress on Pain,
Elsevier, Amsterdam, 1991; 35-51.
17. Loeser, JD. A defenition of pain, University of Washington.
Medicine 1980; 7: 3-4.
18. Loeser, JD et al. Desirable characteristics for pain treatment
facilities. International Association for the Study of Pain
1990, 1-4.
19. Manning, DC. Primer on Advances in Physiology and
Anatomy of Difficult Pain Syndromes.
20. McQuey, H. Opioids in pain Management. Lancet 1999;
353:2229-2232.
21. Melzack, R. Phantom limb and the concept of neuromatirx.
Trend Neurosci 1990: 3; 38-92.
22. Merskey, H. Pain Terms: a list with definitions and a note on
usage. Recommended by the International Association for
the Study of Pain (IASP) subcommittee on taxonomy. Pain,
1979;6:249-252.

1.

Arust, C, Barret, A. Conquering pain new discoveries and


treatments after hope. Business Week, March 1, 1999: 4347.

2.

Bonica, JJ. The management of pain, 2nd ed. Philadelphia;


Lea-Febringer, 1990.

3.

Carr, DB. Acute pain. Lancet 1999; 353: 2051-2058.

24. Mooney, DJ. Growing new organ. Sci Am, April 1999; 3843

4.

Cassel, BJ. The nature of suffering and the goals of


medicine. New York, Oxford University Press, 1991.

25. Pederson, RA. Embryonic stem cells for medicine. Sci Am,
1999; 44-49

5.

Cervero, F. Visceral Pain. Lancet 1999; 352: 2145-2148.

6.

Cousin, MJ. Prevention of Postoperative Pain. Proceeding


of the VIth World Congress on Pain. Elsevier, Amsterdam
1991; 41-53.

26. Ready, LB. The treatment of postoperative pain. Proceeding


of the sixth World Congress on Pain. Elsevier, Amsterdam,
1991.

82

23. Michael J. Encapsulated cells as therapy. Sci Am, April


1999; 52-58

Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

27. Ready, LB. Acute Pain : Lesson Learned From 25,000


Patients. Regional Anesthesia and Pain Medicine 1999; 24:
499-505.
28. Rinichitz, RM. Life without Pain. Addison Wesley Publishing
Company, Inc. Massachusetts 1987.
29. Rowlingston, JC. Developing comprehensive pain
evaluation and management center. American Society of
Anesthesiologist. Annual Refresher Course Lectures 1998;
265: 1-6.
30. 30.Staats, PS. Interventional Pain Medicine :The Paradigm
for the Next Millenium. Syllabus American Society of
Regional Anesthesia. Philadelphia 1999; 85-93.
31. Song, SO. Pain. Clinical updates. International Association
for the Study of Pain 1999;VII:1-4.
32. Tanra, AH. Penatalaksanaan nyeri pascabedah. Warta IKABI
Surabaya, Mei 1991.
33. Tanra, A.H. Pre-Emptive Analgesia a New Approach in
Postoperative Pain Management. Prosiding Kongres
Nasional Ikatan Dokter Anestesiologi, tanggal 5 November
1992, Surabaya.
34. Tanra, A.H. Balans Analgesia. Pertemuan Berkala Ikatan
Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia (IDSAI),
Palembang, 29-30 Juli 1996.
35. Tanra, AH. Pengelolaan nyeri kanker dengan blokade saraf.
Majalah Paliatif Kanker 1996; 2: 72-79.
36. Tanra, AH. Nyeri akut, mekanisme dan prinsip pengelolaan.
Pertemuan Ilmiah Regional PERDOSSI Cabang Makassar
dan Manado, 2-4 Desember 1999, Makassar.
37. Tanra, AH. Respons stres terhadap pembedahan dan
pengelolaannya. Kursus Penambah Ilmu Anestesia (KPPIA),
4 Desember 1999, Jakarta.

Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

38. Tejawinata, RS. Update Penanganan Nyeri Kanker. Majalah


Paliatif Kanker 1999; 4: 1 -11.
39. Walker, SM. Paradigm Shifts in Chronic Pain Anesthesia in
the New Millenium, Edited by Davadass, A. Voyager Sdn.
Bhd. 1999.
40. Warfield, CA. Pain management for non pain specialist.
American Society of Anesthesiologist. Annual Refresher
Course Lecturers 1988;264:1-5.
41. Woolf, CJ. Recent Advance in the Pathophysiology of Acute
Pain. Br. J. Anaesth, 1989; 63:139-146.
42. Woolf, CJ. Central Mechanism of Acute Pain. Proceedings
of the VIth World Congress on Pain. Elsevier, Amsterdam
1991; 25-34.
43. Woolf CJ. Recent advance in the pathophysiology of acute
pain by prevention the establishment of central
sensitization. Anesth Analg 1993; 77: 362-379.
44. Woolf, CJ. Preemptive Analgesia-Treating Postoperative
Pain by Preventing the Establishment of Central
Sensitization. Anesth-Analg 1993; 77:362-379.

45. Woolf, CJ, et. al. Molecular approaches for the study of
Pain Differential gene expression. Updated Review.
Refresher Course Syllabus 1999; 509-514.
46. Woolf, CJ. Neuropathic Pain : aetiology, symptom,
mechanisms, and management. Lancet 1999;
353:19591964.
47. World Health Organization. Cancer Pain Relief. WHO,
Geneva, 1986.
48. World Health Organization. Cancer Pain Relief and Paliatif
Care. WHO, Geneva, 1990.

83

You might also like