You are on page 1of 17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Malaria


2.1.1. Pengertian Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi yang di sebabkan oleh parasit plasmodium di
tularkan melalui nyamuk Anopheles spp kepada manusia. Gejala klinis utama adalah
demam periodik di sertai dengan rasa menggigil, berkeringat dan sakit kepala, gejala
lain seperti: badan terasa lemas dan pucat, nafsu makan berkurang, mual muntah
diare, kuning pada kulit, pembesaran limpa dan, kejang sampai koma.

2.1.2. Agent Penyebab Malaria


Infeksi malaria di sebabkan oleh parasit genus plasmodium melalui
perantaraan gigitan nyamuk Anopheles spp. Ada 4 (empat) spesies plasmodium yaitu
a. Plasmodium Vivax
Memiliki distribusi giografis terluas, termasuk wilayah beriklim dingin,
suptropis hingga ke daerah tropis, penyebab malaria tertiana. Demam terjadi setiap 48
jam atau setiap hari ketiga, waktu siang atau sore, dan masa inkubasinya 12-17 hari.
b. Plasmodium Falcifarum
Plasmodium ini menyebabkan malaria tropika dan sering menyebabkan malaria otak,
sehingga dapat menyebabkan kematian dan masa inkubasinya 10-12 hari

Universitas Sumatera Utara

c. Palsmodium malariae
Plasmodium ini merupakan penyebab malaria kuartana yang memberikan
gejala demam setiap 72 jam. Malaria jenis ini umumnya di temukan di daerah
pegunungan dan dataran rendah dan dataran tropis, dengan masa inkubasi 14 hari
d. Plasmodium ovale
Jenis ini sangat jarang di jumpai umumnya banyak terjadi di afrika dan Pasifik
barat. Masa inkubasi penyakit yang di sebabkan Plasmodium ovale 12-17 hari.
Dengan gejala demam setiap 48 jam, relatif ringan dan cepat sembuh sendiri.

2.2. Nyamuk Anopheles spp


2.2.1. Klasifikasi Nyamuk Anopheles spp
Secara Taksonomi nyamuk Anopheles termasuk filum Arthopoda, kelas
Hexapoda, Ordo Diptera, Sub Ordo Nematocera, Familia Culicidae, tribus
Anophelini, genus Anopheles, dan spesies Anopheles sundaicus, Anopheles
maculates, dan Anopheles letifer (Soemarto, 1998). Ada 90 jenis Nyamuk Anopheles
spp di Indonesia, beberapa diantaranya sebagai penular malaria (Depkes RI, 2003).

2.2.2. Siklus Hidup Nyamuk Anopheles spp


Siklus hidup nyamuk diawali dari telur, larva, kepompong dan nyamuk.
Berikut dapat dijelaskan masing-masing siklus hidup nyamuk, yaitu:
1. Telur
a) Diletakan dipermukaan air atau benda-benda lain dipermukaan air

Universitas Sumatera Utara

b) Ukuran telur 0,5 mm, dengan jumlah telur (sekali bertelur) 100 300 butir,
rata-rata 150 butir, dan frekuensi bertelur dua atau tiga hari
c) Lama menetas dapat beberapa saat setelah kena air, hingga dua sampai tiga
hari setelah berada di air, dan menetas menjadi larva (larva)
2. Larva
- Larva terletak di air dan mengalami empat masa pertumbuhan (stadium)
yaitu : stadium 1 ( 1 hari), stadium II ( 1-2 hari), stadium III ( 2 hari),
dan standium IV ( 2-3 hari)
- Masing-masing stadium ukurannya berbeda-beda dan juga bulu-bulunya,
dan tiap pergantian stadium disertai dengan pergantian kulit, dan belum ada
perbedaan jantan dan betina
- Pada pergantian kulit terakhir berubah menjadi kepompong dengan umur
rata-rata antara 8-14 hari
3. Kepompong
Kepompong terdapat di air, tidak memerlukan makanan tetapi memerlukan
udara, menetas 1-2 hari menjadi nyamuk, dan umumnya nyamuk jantan menetas lebih
dahulu daripada nyamuk betina
4. Nyamuk Dewasa
Nyamuk anopheles dewasa bentuk badannya lebih besar kalau di bandingkan
dengan rata-rata nyamuk lain, mempunyai urat sayap bersisik, mempunyai prombosis
panjang, mempunyai sirip penutup tubuh, sisik pada pinggir sayap berubah menjadi

Universitas Sumatera Utara

jumbai, dan sayap terdiri dari 6 urat sayap, yaitu urat sayap 2, 4 dan 5 bercabang.
(Depkes RI,2003)
Jumlah nyamuk jantan dan nyamuk betina yang menetas dari sekelompok
telur pada umumnya sama banyak (1 : 1), nyamuk jantan umurnya lebih pendek dari
nyamuk betina seminggu, umur nyamuk betina lebih panjang daripada nyamuk
jantan, dan nyamuk betina dapat terbang jauh antara 0,5 5 km
Berdasarkan morfologi, diketahui Morfologi Nyamuk Anopheles spp dewasa,
diketahui bahwa bagian tubuh nyamuk terdiri dari kepala, dada dan perut, kepala :
proboscis, palpi (pembelai), antenna, dada (thoraks) : scutellum, halter, sayap dan
venasinya, perut : ruas-ruas abdomen, sayap terdiri dari costa, sub costa, venasinya
sayap, jumbai, dan kaki terdiri dari coxa, femur, tibia, tarsus. Secara spesifik dapat
dijelaskan ciri-ciri nyamuk dewasa, yaitu
(1) Ciri-ciri umum nyamuk Anopheles spp dewasa yaitu :
a. Proboscis dan palpi sama panjang
b. Scutellum berbentuk satu lengkungan ( lingkaran)
c. Urat sayap bernoda pucat dan gelap
d. Jumbai biasanya terdapat noda pucat
e. Pada palpi bergelang pucat atau sama sekali tidak bergelang
f. Kaki panjang dan langsing
(2) Ciri-ciri khusus nyamuk Anopheles spp dewasa, yaitu:
a. Pada palpi bergelang pucat atau tidak sama sekali
b. Pada sayap ditekankan pada urat-urat sayap dengan noda gelap dan pucat

Universitas Sumatera Utara

c. Pada jumbai kadang-kadang bernoda pucat atau gelap sama sekali


d. Pada kaki belakang sering terdapat bintik-bintik (bernoda pucat)
(3) Pada nyamuk betina dewasa palpi dan proboscis sama panjang sedangkan
pada nyamuk jantan palpi pada bagian ujung berbentuk alat pemukul
(4) Pada saat menggigit nyamuk Anopheles sp membentuk sudut 45o 60o
(5) Nyamuk Anopheles spp lebih menyukai mengisap darah di luar bangunan
(endofagik) dan istirahat di dalam bangunan (endofilik).

2.3. Program Pemberantasan dan Penanggulangan Malaria


Menurut Direktorat Jenderal PPM&PL Depkes RI (2004) kegiatan
pemberantasan dan penanggulangan penyakit malaria sebagai berikut:
A.

Penemuan Kasus (penderita)

Untuk pelaksanaan penemuan penderita dapat dilakukan :


Pertama, secara aktif atau Active Case Detection (ACD), ini hanya di lakukan
di Jawa-Bali dan Barelang Binkar oleh petugas Juru Malaria Desa (JMD), dengan
cara menemukan penderita malaria klinis, mengambil sediaan darah, dan memberikan
pengobatan. Ini dilakukan dengan kunjungan dari rumah ke rumah.
Kedua, secara pasif atau Passive Case Detection (PCD). Kegiatan ini
dilakukan oleh semua puskesmas atau Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) lainnya.
Semua yang memiliki sarana pemeriksaan sediaan darah malaria diharuskan
mengambil sediaan darah dari setiap penderita malaria klinis.

Universitas Sumatera Utara

Diluar Jawa-Bali, penemuan penderita dilakukan secara pasif (PCD) yang


bertujuan untuk menemukan penderita secara dini dan diberikan pengobatan. Hal ini
merupakan kegiatan rutin dalam rangka memantau fluktuasi malaria (AMI % Pf), alat
bantu untuk menentukan musim penularan, dan peringatan dini terhadap Kejadian
Luar Biasa (KLB) dengan sasaran semua penderita malaria klinis (akut & kronis)
yang datang berkunjung (berobat) ke UPK.
Melalui kegiatan PCD tersebut, sediaan darah yang dikumpulkan tidak boleh
<5 % dari penduduk cakupan puskesmas pertahun. Adapun metode yang dilakukan
adalah sebagai berikut (1) Menentukan diagnosis klinis malaria akut dengan gejala
demam menggigil secara berkala disertai sakit kepala, demam yang tidak diketahui
sebabnya, dan penderita malaria klinis, (2) Pengambilan sediaan darah terhadap
penderita malaria klinis di daerah resisten dan penderita gagal obat, (3) Melakukan
pengobatan pada penderita (Depkes RI,1999).
Selain PCD, diluar Jawa-Bali juga dilakukan kegiatan Survei Malariometrik
(SM). Bentuk pelaksanaannya yaitu:
(a) Malariometrik Survei Dasar (MSD) dengan tujuan mengukur tingkat endemisitas
dan prevalensi malaria, di suatu bagian wilayah/status epidemiologi yang belum
tercakup oleh kegiatan pemberantasan vektor, khususnya penyemprotan di luar
Jawa-Bali.
(b) Survei Malariometrik Evaluasi (SME) dengan tujuan mengukur dampak kegiatan
pemberantasan vektor, khususnya penyemprotan rumah di daerah prioritas di luar
Jawa-Bali bertujuan untuk konfirmasi KLB. MSD dilaksanakan pada saat

Universitas Sumatera Utara

prevalensi malaria mencapai puncak (point prevalence). Untuk mengetahui


puncak tersebut, digunakan beberapa indikator :
(1) Angka klinis di suatu daerah yang dikumpulkan oleh unit pelayanan kesehatan
(UPK) setempat secara teratur setiap bulan yang diperkirakan jumlah penderita
malaria paling tinggi.
(2) Angka kepadatan vektor yang diperoleh dari penyelidikan entomologi.
Survai malariometrik dilaksanakan 1-11/2 bulan sesudah kepadatan vektor
tertinggi dicapai. Pada saat melakukan survai malariometrik

juga di lakukan

pemeriksaan limpa dengan menggunakan indikator Spleen Rate (SR) yaitu persentase
dari orang yang membesar limpanya terhadap orang yang di periksa (Depkes RI,
2003).
B.

Pengobatan Penderita
Tujuan pengobatan secara umum adalah untuk mengurangi kesakitan,

menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah komplikasi dan relaps, dan


mengurangi kerugian akibat sakit. Selain itu upaya pengobatan mempunyai peranan
penting lainnya yaitu mencegah kemungkinan terjadinya penularan penyakit dari
seseorang yang mengidap penyakit kepada orang sehat lainnya.
Adapun jenis pengobatan malaria meliputi:
a. Pengobatan malaria klinis, adalah pengobatan penderita malaria berdasarkan
diagnosa klinis tanpa pemeriksaan laboratorium;
b. Pengobatan radikal, adalah pengobatan penderita malaria berdasarkan diagnosa
secara klinis dan pemeriksaan laboratorium.

Universitas Sumatera Utara

c. Pengobatan Mass Drug Administration (MDA), adalah pengobatan massal pada


saat KLB, mencakup >80% jumlah penduduk di daerah tersebut.
d. Penatalaksanaan malaria berat, dilakukan di semua unit pelayanan kesehatan
sesuai dengan kemampuan dan fasilitas yang ada.
e. Profilaksis, adalah pengobatan pencegahan dengan sasaran warga transmigrasi
dan ibu hamil di daerah endemis malaria (Harijanto,2000).
C.

Pemberantasan Vektor
Pemberantasan vektor malaria dilaksanakan berdasarkan pertimbangan;

Rationale, Effective, Efficient, Sustainable dan Acceptable yang sering disingkat


dengan REESA. (Depkes RI,2004)
a. Rationale adalah untuk lokasi kegiatan pemberantasan vektor yang diusulkan
memang terjadi penularan (ada vektor) dan tingkat penularannya memenuhi
kriteria yang ditetapkan, antara lain wilayah pembebasan: desa HCI dan
ditemukan penderita indegenous dan wilayah pemberantasan PR >3 %.
b. Effective, dipilih salah satu metode/jenis kegiatan pemberantasan vektor atau
kombinasi dua metode yang saling menunjang dan metode tersebut dianggap
paling berhasil mencegah atau menurunkan penularan, hal ini perlu didukung
oleh data epidemiologi, entomologi dan laporan masyarakat.
c. Efficient, diantara beberapa metode kegiatan pemberantasan vektor yang efektif
harus dipilih metode yang biayanya paling murah.
d. Sustainable, kegiatan pemberantasan vektor yang dipilih harus dilaksanakan
secara berkesinambungan sampai mencapai tingkat penularan tertentu dan hasil

Universitas Sumatera Utara

yang sudah dicapai harus dapat dipertahankan dengan kegiatan lain yang
biayanya lebih murah, antara lain dengan penemuan dan pengobatan penderita.
e. Acceptable, kegiatan yang dilaksanakan dapat diterima dan didukung oleh
masyarakat setempat
Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pemberantasan vektor adalah
sebagai berikut (Depkes RI,2004): (a) penyemprotan rumah, (b) Larvaciding, (c)
Biological control, (d) pengelolaan lingkungan (source reduction), dan (e) pemolesan
kelambu dengan insektisida.
D.

Parameter Pengukuran Malaria


Menurut Depkes RI (2004), bahwa dalam studi epidemiologi yang paling

utama diperlukan adalah alat pengukuran frekuensi penyakit. Pengukuran frekuensi


penyakit tersebut dititik beratkan pada angka kesakitan dan angka kematian yang
terjadi dalam masyarakat (DepkesRI, 1999).
Frekuensi penyakit dalam epidemiologi biasanya dalam bentuk perbandingan
antara populasi. Unsur dalam perbandingan tersebut adalah pembilang (numerator),
penyebut (denominator) dan waktu atau jarak (periode). Alat ukur yang biasa dipakai
adalah rate dan ratio. Adapun ukuran-ukuran yang dipakai khususnya dalam penyakit
malaria adalah sebagai berikut:
(1) Annual Parasite Incidence (API)
Adalah angka kesakitan per1000 penduduk dalam satu tahun adalah jumlah
sediaan darah positif dibandingkan dengan jumlah penduduk, dalam permil ()

Universitas Sumatera Utara

API =

jumlah penderita Sediaan Darah positif dalam satu tahun


x 1000
jumlah penduduk tahun tersebut

(2) Annual Malaria Incident ( AMI)


Adalah angka kesakitan (malaria klinis) per 1000 penduduk dalam satu tahun
dinyatakan dalam permil () (Depkes RI,1999)
AMI =

jumlah penderita malaria klinis dalam satu tahun


x 1000
jumlah penduduk tahun tersebut

(2) Case fatality Rate (CFR)


Digunakan untukmengukur angka kematian (kematian disebabkan oleh malaria
falciparum) dibandingkan dengan jumlah penderita falcifarum (Depkes RI,1999)
CFR =

jumlah penderita meninggal karena malaria falciparum


x 100 %
jumlah penderita malaria falciparum

(4) Annual Blood Examination Rate (ABER)


Adalah jumlah sediaan darah yang diperiksa terhadap semua penduduk dalam
satu tahun dan dinyatakan dalam persen (%), (Dep Kes RI, 1999)
ABER =

jumlah sediaan darah diperika dalam satu tahun


x 100 %
jumlah penduduk tahun tersebut

(5) Slide Positif Rate (SPR)


Adalah persentase dari sediaan darah yang positif dari seluruh sediaan darah yang
diperiksa, dinyatakan dalam persen (%), (Depkes RI,1999)
SPR =

jumlah sediaan darah positif


x 100%
jumlah seluruh sediaan darah yang diperiksa

Universitas Sumatera Utara

(6) Parasit Rate (PR)


Adalah sama dengan SPR tetapi PR

ini digunakan pada kegiatan survei

malariometrik terhadap anak berumur 0 9 tahun (Depkes RI, 1999)


PR =

jumlah sediaan darah positif


x 100%
jumlah seluruh sediaan darah yang diperiksa

(7) Spleen Rate (SR)


Adalah adanya pembesaran limpa pada golongan umur tertentu terhadap jumlah
penduduk yang diperiksa limfanya pada golongan umur yang sama dan tahun
yang sama, dinyatakan dalam persen (Depkes RI, 1999)
SR =

jumlah anak (2 9) tahun yang besar limpanya


x 100%
jumlah (2 9)tahun yang diperiksa limpanya

2.4. Pestisida
Menurut Depkes RI (2000),, pestisida adalah semua bahan kimia, binatang
maupun tumbuh-tumbuhan yang dipergunakan untuk mengendalikan hama. Secara
umum pestisida dapat didefinisikan sebagai bahan yang dipergunakan untuk
mengendalikan jasad hidup yang dianggap hama (pest) yang secara langsung ataupun
tidak langsung merugikan kepentingan manusia.
Pestisida yang dipergunakan dalam pemberantasan hama dikelompokan
menjadi 3 kelompok yaitu (1) pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, (2)
pestisida yang berasal dari hewan, dan (3) pestisida yang berasal dari bahan kimia.
Secara umum pestisida yang lazim digunakan adalah pestisida berasal dari bahan

Universitas Sumatera Utara

kimia. Berdasarkan cara kerja atau pengaruh fisiologis, pestisida dapat digolongkan
menjadi: (1) racun perut (stomach poisson), (2) racun kulit (contact poisson),(3)
racun nafas. Sedangkan pestisida kimia secara farmakologis, dapat digolongkan
menjadi (Depkes RI, 2000):
(1) Senyawa organofosfat
Senyawa organofosfat antara lain temasuk diazinon, dimethyl phosphate,
dimeton, oxydimeton methyl, azinophosmethyl, carbophenothion, ethion, methyl
parathion, ethyl parathion, trichlorfon, malathion dimethoate, phorate, dan
dinitrodimeton.
(2) Senyawa organokhlorin
Senyawa organokhlorin antara lain DDT, BHC, chlorobenzilate, dicotol,
aldrin, dieldrin, chlordane, neptachlor, metoxychlor, lindane, endrin, toxophene,
methyl bromide, ethylene dichloride, carbon tetra bromide, ethylene dibromide.
(3) Senyawa carbamat
Senyawa carbamat dapat menghambat aktifitas enzim cholinesterase darah,
dengan ciri khasnya mengandung unsur nitrogen. Senyawa carbamat seperti
pyrolan, isolan, dimethilan, karbaryl (baygon, banol, mesurol, zectran).

2.5. Larvasiding
Larvasiding adalah aplikasi larvasida pada tempat perindukan potensial vektor
guna membunuh /memberantaskan larva dengan menggunkan bahan kimia atau agen
biologis dan bahan kimia. Menurut WHO (2004), Larvicida adalah formulasi

Universitas Sumatera Utara

insektisida yang dapat diserap oleh tanah atau aplikasi untuk menekan perkembangan
vektor sejak tahap. Penggunaan larvasida dinilai lebih efektif dan mengurangi biaya
yaitu, pengendalian larva nyamuk sebelum mereka muncul sebagai nyamuk dewasa.
Aplikasi larvacida merupakan komponen penting dari setiap program pengendalian
nyamuk secara terpadu.

2.5.1. Larvasida Kimia


Larvasida kimia adalah jenis-jenis larvasida dengan unsur kimia yang
digunakan untuk memberantas nyamuk Anopheles spp. Jenis larvasida tersebut
umumnya berbasis pestisida jenis organophosfat,

misalnya diflubernzuron yaitu

suatu zat pengghambat pembentukan cylitine, apabila larva nyamuk terkena dosis
yang cukup, maka larva akan mati pada waktu menjadi pupa atau dapat menetas
menjadi nyamuk tidak normal yang tidak dapat terbang. Selain itu larvasida smethoprene yang merupakan IGR (Insect Growth Regulator).
Larvasida kimia dalam penelitian ini adalah s-methoprene. Metopren adalah
serangga pengatur tumbuh yang sangat efektif sebagai agen kontrol untuk larva
nyamuk, karena dapat menghambat dengan pematangan dan reproduksi dalam
serangga. Metoprene adalah pengatur pertumbuhan serangga yang telah terdaftar
sebagai pestisida yang digunakan secara umum sejak tahun 1975. Metoprene tidak
memiliki efek yang signifikan toksikologi merugikan dalam setiap manusia efek
kesehatan dan sebagai biokimia pestisida karena mengendalikan serangga melalui

Universitas Sumatera Utara

toksisitas langsung, mengganggu siklus hidup serangga dan mencegah dari mencapai
kematangan dan mereproduksi.
Secara komersial metoprhene dijual dengan nama dagang "Altosid". Produk
komersial tersedia yaitu Altosid produk formulasi slow release seperti Briket, yang
rilis bahan aktif terus-menerus ketika basah saat mereka mengikis selama periode
yang berkisar antara 12 hari sampai 150 hari. Aplikasi larvasida ini bervariasi
tergantung pada jenis habitat, kedalaman air dan kualitas air. Adapun rumus molekul
metophrene adalah C19H34O3, yaitu

Gambar 2.1. Struktur Molekul S-metoprene


Secara kimia, berbentuk rumus melekul S-metoprene terdiri dari Isopropil
(2E, 4E)-11- Metoksi-3,7,11 - trimetil-2 ,4-dodecadienoate), dan secara fisik
berwarna pucat kuning cairan dengan bau buah.
Aplikasi Altosid adalah menempatkannya pada tempat perkembangbiayakan
nyamuk yang areal dan lokasinya relatif sulit dan terpencil seperti rawa-rawa, hutan
bakau, bekas galian pasir (lagun) dan lain-lain. Briket tersebut di bungkus dengan
kain berpori atau jaring yang di ikat pada pasak (tiang) kemudian di masukkan
kedalam air lebih kurang 15-20 cm yang di ketahui sebagai tempat potensial nyamuk
(Wellmark, 2005).
Altosid terdiri dari dua jenis yaitu jenis Altosid 1,3 G yang berbentuk granul
(butiran) berwarna hitam dan bersifat terurai secara perlahan, dan Altosid 1,8 G yang

Universitas Sumatera Utara

berbentuk briket berwarna abu-abu dan juga bersifat terurai secara perlahan. Kedua
jenis tersebut sangat cocok untuk mengontrol hampir seluruh populasi nyamuk.
Altosid mengandung s-methoprene sebagai larvasida dengan cara kerja larva yang
memakan atau terkena methoprene tidak dapat mengeluarkan cycilitin, sehingga pupa
tidak dapat berkembang menjadi nyamuk dewasa dengan pelepasan zat aktif secara
bertahap. Altosid berisi zat arang (charcoal) yang melindungi zat aktif dari sinar
matahari, tetap efektif pada serangga yang resisten terhadap organophophat, carbonat
dan pyrethroid, serta efektif pada air dengan tingkat polusi tinggi seperti septic tank
(Wellmark, 2005).
Menurut Depkes RI (1999), penggunaan larvasida biologis jenis S-metoprene
efektif menurunkan populasi larva nyamuk Anopheles spp sampai 82,1% pada dosis
3,0 ppm dan 4,0 ppm.

2.5.2. Larvasida Biologis


Pengendalian vektor dengan bakteri Bacillus thuringiensis tidak menimbulkan
kerugian pada mamalia, tanaman dan organisme bukan sasaran. Bakteri ini dapat
bertahan pada suhu 00C-15 0C jika disimpan dalam wadah yang tertutup rapat,
dengan masa kadarluasanya 6 bulan sejak tanggal pembuatan. Menurut Widyastuti
(1997) biosida ini dalam dosis 0,28 g/m2 efektif membunuh larva Anopheles
barbirostris pada semua instar. Kematian rata-rata larva Anopheles barbirostris 24
jam setelah aplikasi Bacillus thuringiensis berkisar antara 80% - 100% (Depkes RI,
1999).

Universitas Sumatera Utara

Bacillus thuringiensis memproduksi toksin yang terdapat dalam bentuk kristal


yang sangat beracun dengan larutan alkalis yang terdapat dalam usus serangga terjadi
perubahan kristal-kristalnya dan apabila diabsorbsi ke dalam darah menyebabkan
kenaikan PH darah. Secara spesifik bakteri Bacillus thuringiensis terdiri dari Bacillus
thuringiensis Serotype H-14, dan Strain HD-14, dan sub spesies Bacillus sphaericus,
dan Bacillus thuringiensis israelensis Penggunaan B. thuringiensis H-14 (Vectobac 12

AS) untuk penurunan kepadatan larva Anopheles di Teluk Dalam, Pulau Nias, setelah
penyemprotan pertama dan kedua berkisar antara 70,4-89,7% (Mujiyono, dkk,1996).
Menurut Depkes RI (1999), penggunaan larvasida biologis jenis B.
thuringiensis efektif menurunkan populasi larva nyamuk Anopheles spp sampai
82,1% pada dosis 4,0 ppm.

2.6. Landasan Teori


Menurut Depkes RI (2004) upaya menurunkan faktor resiko penularan oleh
vektor dapat dilakukan dengan meminimalkan habitat potensial perkembangbiakan
vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor serta mengurangi kontak vektor
dengan manusia. Pengendalian vektor tersebut salah satunya melalui larvasiding,
yaitu aplikasi larvasida pada tempat perindukan potensial vektor guna membunuh
/memberantaskan larva dengan menggunkan bahan kimia atau agen biologis, bahkan
bahan kimia yang di pakai.
Larvasiding dapat dilakukan dengan menggunakan Altosid dengan bahan
aktifnya S-methropene dan Vektobac dengan bahan aktifnya Bacillus thurigiensis.

Universitas Sumatera Utara

Kedua bahan aktif tersebut dapat membunuh larva nyamuk dewasa sehingga
memutuskan mata rantai populasi nyamuk Anopheles khususnya pada daerah endemis
malaria.
Konsep teori dalam penelitian ini mengacu pada konsep Blum (1974), bahwa
ada empat faktor utama mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat/individu yaitu
perilaku, faktor lingkungan, pelayanan kesehatan dan faktor genetik. Kaitannya
dengan kejadian malaria kecenderungan disebabkan oleh faktor perilaku, dan
lingkungan baik lingkungan fisik, dan biologis. Pengendalian vektor melalui
larvasiding

termasuk

dalam

upaya

manipulasi

keadaan

lingkungan

untuk

memberantas vektor penyebab malaria.


2.7. Kerangka Konsep Penelitian
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seperti pada Gambar 2.2.
Altosid (S-Methropene)
A1. Dosis 1,0 ppm
A2. Dosis 2,0 ppm
A3. Dosis 3,0 ppm
A4. Dosis 4,0 ppm

Angka Kematian
Anopheles spp

Vektobac (Bacillus thurigiensis)


V1. Dosis 1,0 ppm
V2. Dosis 2,0 ppm
V3. Dosis 3,0 ppm
V4. Dosis 4,0 ppm
Faktor Penganggu
(1) Suhu Air
(2) Kelembaban
(3) pH air
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

You might also like