You are on page 1of 76

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Ekonomi Energi merupakan konsep komprehensif yang ditelurkan oleh PBB sebagai

salah satu inisiatif dalam upaya mengatasi krisis ekonomi global. Secara umum, Ekonomi Energi
merupakan sebuah model ekonomi yang menitikberatkan kepada upaya memperbaiki tingkat
hidup manusia dan secara bersamaan mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Tak ada yang
salah dengan konsep Ekonomi Energi sebagaimana anggapan kalangan organisasi-organsiasi
penyelamat lingkungan yang melihat konsep ini akan menjadi upaya komodofikasi, privatisasi,
dan finansialisasi alam (Kompas 21 Juni 2012). Di tataran kebijakan, Ekonomi Energi adalah
sebuah model pembangunan ekonomi yang bertumpu kepada tiga pilar kebijakan yakni
kebijakan ekonomi yang rendah karbon, hemat energi, dan melibatkan banyak orang.
Permasalahan utama terletak pada sejauh mana implementasi dari konsep Ekonomi Energi itu
sendiri oleh Indonesia.
Dalam kondisi dimana pertumbuhan ekonomi membutuhkan begitu banyak konsumsi
energi dan pada saat yang bersamaan cadangan energi tidak terbarukan semakin menipis,
ekonomi energi merupakan sebuah jawaban bagi perekonomian dunia bahkan sebuah
keniscayaan bagi terciptanya sebuah pembangunan yang berkelanjutan. Negara-negara yang
memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyadari akan pentingnya peran ekonomi
energi dalam perekonomian mereka.
Namun berbeda dengan negara-negara berkembang yang sedang tumbuh lainnya, alihalih fokus kepada upaya menciptakan model perekonomian yang benar-benar energi,
kontekstualisasi pelaksanaan ekonomi energi di Indonesia menjadi salah kaprah tatkala ekonomi
energi hanya ditafsirkan sebagai pengurangan gas karbon tanpa benar-benar menciptakan sebuah
model perekonomian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan yang berbasis kepada efisiensi
energi, karbon yang rendah, dan melibatkan banyak orang.
Hal ini dapat dilihat dari prioritas pemerintah di KTT Rio+20 yang meminta komitmen
negara-negara maju dalam mendukung program Reducing Emission from Deforestation and
Degradation (REDD+) di Indonesia. REDD+ yang selalu didengungkan sebagai program
Ekonomi Energi pemerintah lebih merupakan sebuah mekanisme pembiayaan dimana negara
maju yang memiliki kelebihan karbon dapat membeli kredit karbon dengan membayar Indonesia
1

untuk merawat hutan yang ada di Indonesia tanpa memberikan pengurangan emisi berarti di
negara mereka. REDD+ hanya merupakan skema kompensasi bagi Indonesia dan bukan sebuah
model penerapan Ekonomi Energi. Implementasi seperti inilah yang ditakutkan oleh berbagai
pihak perihal munculnya komodifikasi dan penguasaan sumber daya alam seperti hutan oleh
segelintir pemiliki konsesi hutan di Indonesia.
Dari pada fokus kepada program REDD+, Indonesia seharusnya fokus dalam
menciptakan model ekonomi yang bertumpu pada ketiga pilar Ekonomi Energi. Namun fakta
domestik tidak seindah apa yang dilantangkan Indonesia di fora internasional. Dari segi efisiensi
energi hingga sekarang, penggunaan energi Indonesia masih belum efisien. intensitas energi
primer Indonesia masih tinggi dengan nilai 565 Ton Oil Equivalent (TOE) /juta US$. Dengan
kata lain, untuk meningkatkan PDB sebesar USD 1 juta dibutuhkan penggunaan energi sebesar
565 TOE. Kondisi ini jauh di atas intensitas energi Malaysia yang berkisar 493 TOE/juta US$.
Belum lagi Konsumsi minyak Indonesia hingga saat ini masih sangat mendominasi, yaitu sebesar
42,99% dari konsumsi energi total, diikuti oleh gas dan batu bara masing-masing 18,48% dan
34,47%. Terlebih kebijakan pemerintah yang lamban dalam merespon kenaikan minyak dunia
beberapa bulan yang lalu dan tingginya angka subsidi energi yang mencapai Rp300 Triliun di
RAPBN 2013.
Penerapan Ekonomi Energi di Indonesia juga belum melibatkan banyak pihak. Dari
Sembilan sektor yang menjadi prioritas Ekonomi Energi, sektor pertanian belum menjadi sektor
prioritas bagi Indonesia padahal lebih dari 60% penduduk miskin Indonesia disumbangkan sektor
ini. Tidak seperti India yang telah menginvestasikan begitu besar modal di sektor pertanian untuk
merealisasikan Ekonomi Energi, sektor pertanian di Indonesia masih dianggap sebelah mata oleh
pemerintah. Sebagai contoh belanja untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur irigasi
pertanian, dimana pemerintah hanya mengalokasikan sekitar Rp3 triliun untuk tahun 2011
sementara lahan sawah yang teririgasi hanya 36% dari total lahan pertanian yang ada. Tidak
adanya sistem irigasi yang baik akan menghasilkan probabilitas kelangkaan air yang akan
membatasi produktivitas pertanian.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penerapan Ekonomi Energi dalam Pemberdayaan Sektor Energi Baru Terbarukan Di
Indonesia
Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang
melimpah. Kekayaan sumberdaya alam tersebut hampir meliputi semua sektor antara lain sektor
energi, sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor perikanan, sektor pariwisata, dan lain-lain.
Selain itu keaneka ragaman suku bangsa serta adat istiadat menjadi pelengkap dari seluruh sektor
yang ada. Selain itu juga Indonesia memiliki posisi strategis karena diapit oleh dua benua. Semua
potensi ini akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi jika dapat dikelola dengan baik
dan benar.
Salah satu faktor yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa adalah
sumber energi. Faktor energi memiliki peranan yang sangat besar karena menjadi pendorong
utama untuk berkembangnya sektor-sektor lainnya. Indonesia memiliki potensi sumber energi
baik fosil maupun non-fosil. Kebijakan energi selama ini adalah eksploitasi pada energi fosil.
Keterbatasan yang dimiliki pada energi ini adalah tidak renewble dan menimbulkan dampak
kerusakan lingkungan yang cukup besar. Oleh karena itu kebijakan pemerintah dibidang energi
fosil harus berubah ke Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan.
Sebagaimana yang dirumuskan dalam tujuan pembangunan nasional adalah untuk
memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat indonesia, maka kelestarian lingkungan hidup
juga merupakan prasyarat utama bagi kesejahteraan dan keberlangsungan kehidupan manusia.
Kesejahteraan manusia dipenuhi melalui pembangunan, namun pembangunan itu harus
dilaksanakan dengan tidak merusak lingkungan. Pembangunan yang dilaksanakan tanpa
memperhatikan kelestarian lingkungan dapat mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan
yang dapat berdampak pada menurunnya kapasitas pemenuhan kebutuhan manusia untuk
kesejahteraan. Untuk menjaga keberlanjutan kesejahteraan manusia, diperlukan upaya
pembangunan

yang

berkelanjutan (sustainable

development), yaitu

pembangunan

yang

dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan tiga pilar pembangunan (sosial, ekonomi,


dan lingkungan).
Terbitnya Brundtland Report pada tahun 1980, mengawali perbincangan dan perdebatan
mengenai pembangunan berkelanjutan yang diawali oleh semakin diintensifkan dengan
konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan di Rio de Janeiro tahun 1992.

Konsep dasar dari pembangunan berkelanjutan adalah proses integrasi dan harmonisasi
dari tiga hal kehidupan fundamental yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan, sehingga terwujud
kesetimbangan dalam proses pembangunan yang dapat berkelanjutan (sustainability) ke generasi
berikutnya. Pada September 2000, dalam KTT Millennium PBB di New York, 189 negara,
termasuk Indonesia, telah mendeklarasikan Millennium Development Goals (MDG) atau Tujuan
Pembangunan Millenium, yang berisi delapan tujuan yang ingin dicapai pada 2015 untuk
menjawab tantangan-tantangan utama pembangunan global. Kedelapan tujuan itu adalah
mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, pendidikan untuk semua, memperjuangkan keadilan
gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan mortalitas anak, meningkatkan kesehatan
maternal, membasmi HIV/AIDS, Malaria, dan penyakit menular lainnya, menjamin
keberlanjutan lingkungan, dan membangun kerjasama global untuk pembangunan.
Tujuan Pembangunan Milenium ( MDGs ) pada dasarnya mewujudkan komitmen
internasional yang dibuat di United Nations Summits Dunia dan konferensi global sepanjang
tahun 1990-an . Dengan menandatangani Deklarasi Milenium pemimpin dunia berjanji untuk
mengurangi separuh proporsi penduduk yang menderita kelaparan, menjamin bahwa semua anak
dapat menyelesaikan pendidikan dasar, menghilangkan kesenjangan gender pada semua tingkat
pendidikan, mengurangi tingkat kematian balita dan bayi oleh dua pertiga, dan membagi proporsi
penduduk tanpa akses terhadap sumber air yang lebih baik pada tahun 2015.
Setelah sepuluh tahun implementasi dari konsep Pembangunan Berkelanjutan yang
dicanangkan di konferensi tersebut mencatat bahwa masih banyak sekali permasalahan yang
terjadi dalam implementasi konsep pembangunan berkelanjutan. Kemajuan teknologi,
komunikasi dan telekomunikasi serta transportasi semakian mendukung arus globalisasi sehingga
hubungan ekonomi antar negara dan region menjadi sangat mudah. Dukungan pemerinta melalui
kemudahan bea cukai semakin mendorong perdagangan bebas. Dalam era globalisasi semua
negara harus mempersiapkan diri setangguh mungkin agar tidak tertindas oleh negara yang lebih
kaya dan maju.
Brinkerhoff & Arthur (1992) dalam Shaliza (2003) menyatakan bahwa pembangunan yang
berkelanjutan dapat dipahami melalui kelembagaan yang ada. Kelembagaan diartikan sebagai:
(1) sistem yang berfungsi dalam hubungan pada lingkungan mereka, (2) mengorganisasi dan
mengatur entitas dimana harus ada kesesuaian antara struktur organisasi dan prosedurnya dengan
tugas-tugas, produk-produk, orang, sumberdaya dan konteks yang mereka hadapi dan (3)
memperhatikan lingkungan secara baik beserta perubahan sumberdaya, yang terkait juga dengan
politik dan ekonomi untuk menciptakan pola kekuasaan dan insentif. Dengan demikian,

pembangunan berkelanjutan dimaknai sebagai keberlanjutan dan kemandirian pembangunan


yang bergantung pada kekuatan dan kualitas institusi yang ada.
Sistem ekonomi kapitalis ini menyebabkan negara-negara maju lebih leluasa dalam
melakukan ekspansi ekonomi ke negara-negara berkembang. Hal ini terlihat dengan semakin
banyaknya perusahan-perusahan multinasional dibidang energi, pertambangan, pertanian, dan
kehutanan yang melakukan investasi di negara-negara berkembang. Hal ini akan memberikan
dampak yang sangat besar terhadap kerusakan lingkungan di negara tersebut, karena industri
yang terbangun hanya berorientasi terhadap produksi dan keuntungan bagi para investor dengan
mengabaikan aspek lingkungan.
Menjadi sebuah dilema ketika negara harus memilih antara meningkatkan konsistensi
pertumbuhan ekonomi namun pada sisi yang lain harus mengorbankan aspek fundamental
lainnya yaitu aspek ekologi. Pencapaian pertumbuhan ekonomi posisitif bagi negara-negara maju
pada awalnya pun juga menghadapi kondisi yang sama. Industrialisasi yang menjadi salah satu
penopang untuk meningkatkanya pembangunan ekonomi tidak dapat ditolak untuk dilakukan
demi pencapaian nilai ekonomi. Namun pada sisi yang lain aspek kerusakan terhadap lingkungan
yang ditimbulkan semakin parah. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim dalam kurun
waktu yang sangat cepat.
Kebijakan ekonomi Indonesia diarahkan untuk mendorong pertumbuhan sektor industri
dan sektor jasa guna mneningkatkan GDP, sementara kontribusi sektor pertanian dipertahankan
pada tingkat menengah. Tahun 2003 sektor pertanian menyumbang sekitar 17 % dari total GDP,
sementara dari sektor energi dan industri sekitar 43 % dan 40 % (World Bank Group 2004)
Berkembangnya industri pertambangan, energi, dan manufaktur sangat banyak memberi
andil dalam kerusakan lingkungan bukan hanya di Indonesia tetapi juga terjadi beberapa negara
lain. Hal ini telah disadari oleh semua bangsa-bangsa di dunia, bahwa konsep pembangunan yang
tidak berorinetasi kepada lingkungan akan menyebabkan kerugian yang besar dan bumi akan
semakin rusak. Dampak dari perkembangan industrialisasi dan sarana transportasi adalah
meningkatnya
konsentrasi gas CO2di atmosfer terutama disebabkan karena pembakaran sumber energi dari
bahan fosil (antara lain minyak bumi dan batubara). Penggundulan dan pembakaran hutan juga
turut memberikan kontribusi signifikan.
Salah satu dampaknya adalah timbulnya pemanasan global dan efek gas rumah kaca yang
menyebabkan perubahan iklim. Pemanasan global dan gas rumah kaca adalah dampak dari
aktivitas industri, transportasi, pertanian, peternakan, rumah tangga yang merupakan unit-unit
yang menggunakan energi sebagai unsur utama dalam aktivitas tersebut. Kesadaran global dan
5

kolektif terhadap dampak terhadap lingkungan akibat penggunaan energi yang bersumber dari
fosil memberikan motivasi positif. Dengan demikian secara global, semua penduduk bumi
berpikir untuk mencari energi alternatif yang ramah terhadap lingkungan yang dapat digunakan
bagi umat manusia melakukan aktivitas.
Salah satu aspek pendukung dalam implementasi sustainable development adalah
ketahanan energi. Kondisi saat ini bangsa Indonesia dan di beberapa Negara lainnya masih
sangat tergantung kepada pemanfaatan energi fosil yaitu minyak, gas, dan batu bara. Karena
energi ini merupakan sumberdaya alam yang irreversible maka tentunya lambat laun akan habis.
Pemerintah perlu melihat sumber-sumber lain yang potensial untuk dikembangkan menjadi
energi alternatif.
Permasalahan sumber energi secara global tersebut juga menjadi bagian permasalahan
Indonesia. Ketersediaan energi hidrokarbon yang dimiliki yang semakin menipis tersebut juga
menjadi salah satu pertimbangan untuk mencari energi alternatif. Menurut data Direktorat
Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Potensi sumber energi baru terbarukan nasional dari
Geothermal 19.658 MW dengan kapasitas terpasang 886,90 MW,pemanfaatannya baru 4% dari
total potensi yang dimiliki. Potensi ini tersebar di beberapa wilayah, dan data tersebut
menunjukkan bahwa panas bumi masih sangat menjanjikan untuk dikembangkan karena bersifat
renewble dan potensinya sangat banyak.
Sebagai salah satu negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,
Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan dalam kebutuhan energi di masa yang akan
datang. Dewan Energi Nasional (DEN) memperkirakan kebutuhan energi akan mencapai 400
juta ton setara minyak dan pemanfaatan energi primer per kapita sebesar 1,4 juta ton setara
minyak pada tahun 2025, dan 1000 juta ton setara minyak, dimana pemanfaatan energi primer
per kapita sebesar 3,4 juta ton setara minyak pada tahun 2050. Walau demikian, masih ada lebih
dari 20% rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki akses listrik. Padahal, Indonesia
memiliki target pemenuhan akses listrik di tahun 2025 sebesar 95% dari populasi masyarakat
Indonesia.
Untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut, Indonesia cenderung untuk memperbesar
porsi batubara dalam bauran energi dalam kurun waktu dua dekade yang akan datang, dimana
perkiraan emisi gas rumah kaca dari sektor kelistrikan diperkirakan akan mencapai 3 kali lipat di
tahun 2025 dibandingkan dengan emisi saat ini. Hal tersebut menjadi salah satu alasan bagi
Indonesia untuk meningkatkan komposisi energi terbarukan dalam bauran energi, menjadi 17%
di tahun 2025, serta konservasi energi sebesar 18% di tahun 2025.

2.2 Penerapan Ekonomi Energi dalam Pencarian Potensi Energi Nasional


Pertumbuhan ekonomi nasional menjadi prioritas pemerintah dalam upaya memberi
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut,
maka iklim investasi di segala sektor harus berkembang khususnya di sektor industri dan
transportasi. Salah satu faktor kunci adalah ketersediaan energi. Gairah investasi di bidang
industri dan energi yang secara simultan dilakukan akan berimplikasi kepada pertumbuhan
ekonomi positif yang akan dapat dirasakan oleh seluruh komponen bangsa, dengan demikian
Pembangunan Berkelanjutan dengan berwawasan ekologis-sosial budaya-ekonomi dapat berjalan
dengan baik.
Pemerintah harus memotivasi dan memberikan dukungan secara penuh dalam investasi
energi baru terbarukan ini. Dengan demikian iklim investasi akan menunjukkan perkembangan
positif. Selain itu, Indonesia tidak akan mengalami krisis energi lagi, dan kebutuhan energi listrik
bagi industri dapat terpenuhi yang tentunya disain industri adalah industri yang ramah
lingkungan. Dalam bidang industri otomotif khususnya adalah upaya untuk melakukan revolusi
alat transportasi dari yang menggunakan bahan bakar fosil ke alat transportasi yang
menggunakan listrik non fosil, sehingga akan mengurangi polusi CO2 dan penurunan emisi gas
rumah kaca.
Berdasarkan data potensi energi nasional, maka potensi energi terbarukan pada sumber
energi non fosil memiliki banyak jenis antara lain, tenaga air, tenaga angin, tenaga ombak, tenaga
pasang surut, tenaga matahari, biomassa, dan panas bumi. Dari sekian potensi energi terbarukan
tersebut, maka panas bumi merupakan sumber energi potensial yang dapat dikembangkan. Dan
saat ini baru 4% yang dikembangkan dari seluruh potensi yang ada.
Saat ini potensi panas bumi Indonesia tercatat 299 daerah dan lapangan panas bumi
dengan total potensi energi sekitar 28.835 MWe yang sebagian besar mengikuti jalur vulkanik
dari P. Sumatera, Jawa, Bali-NTB-NTT, Sulawesi, dan Maluku, beberapa berada di Kalimantan
dan Papua.
Daerah prospek panas bumi di Indonesia sebagian besar terkonsentrasi di P. Sumatera
(90 lokasi), P. Jawa (71 lokasi), P. Sulawesi (65 lokasi), P. Bali (6 lokasi), P. Kalimantan (12
lokasi), P. Nusa Tenggara (22 lokasi), dan P. Maluku & Papua (33 lokasi). Dari keseluruhan
daerah prospek tersebut sekitar 45,15 % masih pada tahap penyelidikan pendahuluan awal, 13,04
% pada tahap penyelidikan pendahuluan, 36,79 % pada tahap penyelidikan rinci, 2,34 % pada
tahap pengeboran eksplorasi atau siap dikembangkan dan 2,68 % telah dimanfaatkan sebagai
PLTP.

Pencarian lokasi sumber panas bumi terus dilakukan, hingga pada tahun 2012 telah
ditemukan 14 daerah baru panas bumi, yaitu Diloniyohu, Dulangeya, Pohuwato (Gorontalo),
Ampalas, Karema, Tapalang, Kona-Kaiyangan, Panasuan, Doda (Sulawesi Barat), Dendang,
Nyelanding, Buding, Permis (Babel), Kintamani (Bali). Potensi sumber energi panas bumi
cenderung tidak akan habis, karena proses pembentukannya yang terus menerus selama kondisi
lingkungannya (geologi dan hidrologi) dapat terjaga keseimbangannya. Mengingat energi panas
bumi ini tidak dapat diekspor, maka pemanfaatannya diarahkan untuk mencukupi kebutuhan
energi domestik, dengan demikian energi panas bumi akan menjadi energi alternatif andalan dan
vital karena dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap sumber energi fosil yang kian
menipis dan dapat memberikan nilai tambah dalam rangka optimalisasi pemanfaatan aneka
ragam sumber energi di Indonesia.
Permasalahan yang dihadapi pada sumber energi panas bumi adalah lokasi sumber panas
bumi. Mayoritas lokasi potensi energi panas bumi berada di kawasan ekologi hutan dan energi
panas bumi tidak dapat disalurkan dengan pipa gas, sehingga pembangkit harus dibuat di titik
panas bumi berada. Pembebasan hutan atau lahan yang kerap bermasalah, pengaruh terhadap
kondisi tanah dan sumber air, serta dampak terhadap ekosistem hutan, harus menjadi agenda
penting dalam menyelaraskan eksploitasi energi panas bumi dengan lingkungan hidup di
sekitarnya.
Sampai awal tahun 2013 ini pengaturan tentang energi baru terbarukan secara khusus
masih diatur pada Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Perpres ini bertujuan untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan untuk
mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Beberapa hal yang diatur dalam Perpres No. 5
Tahun 2006 adalah:
-

Energi adalah daya yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan
meliputi listrik, energi mekanik dan panas.

Sumber energi adalah sebagian sumber daya alam antara lain berupa minyak dan gas
bumi, batubara, air, panas bumi, gambut, biomasa dan sebagainya, baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat dimanfaatkan sebagai energi.

Energi baru adalah bentuk energi yang dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal
dari energi terbarukan maupun energi tak terbarukan, antara lain: Hidrogen, Coal Bed
Methane, Coal Liquifaction, Coal Gasification dan Nuklir.
8

Energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumberdaya energi yang
secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara
lain : panas bumi, biofuel, aliran air sungai, panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak
laut, dan suhu kedalaman laut.

Diversifikasi energi adalah penganekaragaman penyediaan dan pemanfaatan berbagai


sumber energi dalam rangka optimasi penyediaan energi.

Konservasi energi adalah penggunaan energi secara efisien dan rasional tanpa
mengurangi penggunaan energi yang memang benar-benar diperlukan.

Sumber energi alternatif tertentu adalah jenis sumber energi tertentu pengganti Bahan
Bakar Minyak.

2.3 Penerapan Ekonomi Energi dalam Manajemen Sumber Daya Energi


Sumber daya energi menjadi salah satu sumber pendapatan bagi negara. Dari pendapatan
itu membantu dalam perekonomian Indonesia. Salah satu masalah yang harus dihadapi manusia
adalah semakin tipisnya persediaan sumber daya alam.

Jika sumber daya alam terus

dieksploitasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi dimungkinkan beberapa saat lagi


pertumbuhan akan terhenti, karena habisnya pasok sumber daya. Sebagai akibat berubahnya
lingkungan strategis dan semakin lajunya pembangunan di daerah, khususnya dalam proses
industrialisasi, akan menyebabkan masalah energi menjadi semakin kompleks sehingga
tantangan yang dihadapi juga semakin berat. Memasuki era keterbukaan sekurang-kurangnya ada
lima tantangan besar yang dihadapi dalam pembangunan energi, yaitu : memenuhi kebutuhan
energi yang terus meningkat sebagai akibat proses industrialisasi : mengatasi masalah dispartitas,
efisiensi penggunaan energi; sumberdaya manusia; dan pembangunan yang berwawasan
lingkungan hidup, maka akan memberikan implikasi langsung maupun tidak langsung. Maka
dari itu kami adakan pelatihan yang akan memberikan pemahaman mengenai ekonomi dan
manajemen sumber daya energi serta mengoptimalkan kemampuan perusahaan untuk mencapai
tujuan strategis perusahaan.
2.4 Penerapan Ekonomi Energi dalam Pemanfaatan Energi Terbarukan Revolusi
Industri

Menurut Jeremy Rifkin (President of The Foundation on The Economic Trends in


Washington, DC), dunia akan memasuki era Revolusi Industri. Revolusi Industri ditandai dengan
terbentuknya masyarakat ekonomi baru yang beradaptasi dengan penerapan energi terbarukan
(renewable energy). Revolusi Industri ini ditopang oleh empat pilar sebagai berikut:
1. Pilar Pertama: Energi Terbarukan
Sinar matahari, angin, air, panas bumi, gelombang laut, dan bio-massa adalah jenis
sumber

energi

terbarukan.

Teknologi

yang

akan

berperan

mengubah

atau

mengkonversikan energi terbarukan tersebut menjadi energi listrik yang siap pakai.
Sampai dengan tahun 2050, di Uni Eropa energi terbarukan diproyeksikan akan
menggantikan separuh dari energi utama dan menghasilkan energi listrik sampai dengan
70%.
2. Pilar Kedua: Bangunan Sebagai Penghasil Energi
Rumah, gedung perkantoran, mal, bangunan pabrik atau industri, nantinya akan berusaha
menyediakan energinya secara mandiri. Dengan memanfaatkan energi terbarukan yang
tersedia secara gratis, kebutuhan energi akan terpenuhi bahkan akan mempunyai
kelebihan yang dapat dibagikan.
3. Pilar Ketiga: Penyimpanan Energi dengan Hidrogen
Energi dari sinar matahari, angin, gelombang, tidak tersedia sepanjang hari. Oleh sebab
itu diperlukan media penyimpanan energinya. Kelebihan energi yang dihasilkan secara
individual dari bangunan penghasil energi sebagaimana pilar dua, dapat disimpan dalam
bentuk sel bahan bakar hydrogen. Hidrogen dikenal sebagai bahan bakar ramah
lingkungan karena hasil pembakarannya berupa air dan energi panas. Sebaliknya juga
sangat mudah diperoleh dan jumlahnya melimpah dengan cara elektrolisa air. Teknologi
sel bahan bakar hidrogen sudah lama digunakan sebagai tenaga pendorong roket luar
angkasa.
4. Pilar Keempat: Infrastruktur Cerdas (Smart Grid) dan Kendaraan plug-in
Kelebihan energi yang diproduksi oleh setiap bangunan individual sebagaimana pilar
tiga, dapat dibagikan melalui suatu infrastruktur cerdas. Infrastruktur cerdas yang
dimaksud disini adalah penerapan teknologi informasi yang akan mengendalikan
pendistribusian energi ini. Dimana diperlukan suatu transaksi, besar energi yang dikirim,
melalui jalur yang mana, sumber dari mana dan dikirim kemana. Dari sisi transportasi,
kendaraan bertenaga listrik dan bahan bakar sel hidrogen akan banyak diproduksi dan
digunakan. Dimana kendaraan tersebut menyesuaikan dengan ketersediaan sumber energi
yang tersebar disetiap lokasi.

10

Konsep Era Revolusi Industri sebagaimana diberikan oleh Jeremy Rifkin sangat sesuai jika
dilihat dari sudut ketersediaan energi. Seperti diketahui bahwa pembangkit listrik bahan bakar
fosil sekarang ini adalah terpusat. Konsep pembangkit listrik terpusat ini untuk memudahkan
transportasi bahan bakar yang digunakan. Sementara jika menggunakan energi terbarukan,
teknologi yang ada saat ini belum mampu mengubah energi yang melimpah ini menjadi energi
listrik dalam jumlah yang memadai secara terpusat. Sebagai contoh untuk menghasilkan daya
listrik 8 10 Watt diperlukan solar panel seluas 1 meter persegi. Artinya untuk menyamai daya
listrik dari turbin gas atau uap misalnya sebesar 50 Mega Watt (MW) diperlukan solar panel
seluas kira-kira 52 hektar. Hampir tidak mungkin menyediakan lahan seluas itu hanya untuk
membangkitkan listrik sampai dengan 50 MW. Begitupun dengan pembangkit listrik tenaga
angin, diperlukan lahan yang luas untuk menghasilkan daya listrik yang memadai. Memang
kelebihan dari pembangkit listrik bahan bakar fosil tidak memerlukan lahan yang luas untuk
menghasilkan daya listrik yang besar. Oleh sebab itu konsep pemanfaatan energi terbarukan pada
era Revolusi Industri adalah, menyatukan penghasil energi individual yang tersebar dan
mendistribusikannya kembali kepada yang memerlukan melalui insfrastruktur cerdas.
2.5 Penerapan Ekonomi Energi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Dalam 20 tahun mendatang, Indonesia akan menghadapi persaingan dan ketidakpastian
global yang makin meningkat, jumlah penduduk yang makin banyak, dan dinamika masyarakat
yang makin beraneka ragam. Untuk mewujudkan Visi Pembangunan Nasional, perlu diteruskan
hasil-hasil pembangunan yang sudah dicapai, permasalahan yang sedang dihadapi dan
tantangannya ke depan ke dalam suatu konsep pembangunan jangka panjang, yang mencakup
berbagai aspek penting kehidupan berbangsa dan bernegara, yang akan menuntun proses menuju
tatanan kehidupan masyarakat dan taraf pembangunan yang hendak dicapai.
Penekanan akan perlunya pembangunan ekonomi untuk mendorong peningkatan
kesejahteraan masyarakat muncul pada awal paruh kedua tahun 60-an. Pada tahun 1966 penataan
sistem perekonomian dicanangkan melalui Program Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi.
Sampai dengan pertengahan tahun 90an, berbagai kemajuan ekonomi telah dicapai. Kebutuhan
pokok masyarakat tercukupi dan swasembada pangan beras terwujud pada tahun 1984.
Perekonomian tumbuh baik dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi dan stabilitas
ekonomi dapat terjaga. Peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nyata dapat ditunjukkan
antara lain melalui peningkatan pendapatan perkapita sekitar sepuluh kali lipat, menurunnya
secara drastis jumlah penduduk miskin, serta tersedianya lapangan kerja yang memadai bagi
rakyat.
11

Pertumbuhan ekonomi yang pesat mendorong penyediaan berbagai sarana dan prasarana
perekonomian penting yang dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan ekonomi. Secara
bertahap, struktur ekonomi berubah dari yang semula didominasi oleh pertanian tradisional ke
arah kegiatan ekonomi lebih modern dengan penggerak sektor industri. Ekspor nonmigas yang
menunjukkan peningkatan kemampuan untuk menghasilkan produk dan daya saing produk
Indonesia terhadap produk negara lain meningkat pesat. Bahkan dalam paruh kedua 80-an,
terjadi perubahan struktur ekspor dari yang semula didominasi oleh ekspor migas menjadi ekspor
yang di dominasi oleh ekspor nonmigas.
Penggunaan energi di Indonesia meningkat cukup pesat sejalan dengan perbaikan ekonomi
setelah krisis. Walaupun berbagai upaya restrukturisasi dan reformasi kelembagaan terus
dilaksanakan, kenaikan konsumsi energi masih lebih tinggi dibandingkan dengan penyediannya.
Meskipun mengalami pergeseran dari sumber energi yang berasal dari bahan bakar minyak ke
gas alam dan batu bara, pola konsumsi energi masih menunjukkan ketergantungan pada sumber
energi tak terbarukan. Potensi energi dan sumber daya mineral yang sampai saat ini telah
diketahui dan terbukti adalah: minyak 86,9 miliar barel, gas 384,7 TCF, batubara 50 miliar ton,
dan panas bumi sekitar 27 GWatt. Cadangan terbukti minyak bumi Indonesia berjumlah 5,8
miliar barel dengan tingkat produksi 500 juta barel per tahun. Sementara itu cadangan terbukti
gas bumi sekitar 90 TCF dengan tingkat produksi sekitar 3 TCF. Sedangkan cadangan terbukti
batubara sekitar 5 miliar ton dengan produksi mencapai 100 juta ton setiap tahunnya. Dengan
demikian, perlu upaya untuk mengembangkan sumber energi terbarukan (mikro hidro, biomassa,
biogas, gambut, energi matahari, arus laut, dan tenaga angin) sehingga di masa mendatang
bangsa Indonesia tidak akan mengalami kekurangan pasokan energi. Selain itu, dengan
dimungkinkannya pembangunan pembangkit tenaga nuklir di Indonesia, pencarian mineral radio
aktif di dalam negeri perlu ditingkatkan. Kegiatan ekonomi yang meningkat akan membutuhkan
penyediaan energi yang makin besar. Dalam kaitan itu, tantangan utama dalam pembangunan
energi adalah meningkatkan kemampuan produksi minyak dan gas bumi yang sekaligus
memperbesar penerimaan devisa; memperbanyak infrastruktur energi untuk memudahkan
penyampaian energi kepada konsumen baik industri maupun rumah tangga; serta mengurangi
secara signifikan ketergantungan terhadap minyak dan meningkatkan kontribusi gas, batubara,
serta energi terbarukan lainnya dalam penggunaan energi secara nasional.
Pembangunan ketenagalistrikan yang telah dilakukan sekitar tiga dekade sebelum krisis
telah memberi sumbangan yang berarti dalam pembangunan di berbagai bidang. Namun sampai
saat ini beberapa permasalahan pokok masih dihadapi. Pertama, kesenjangan antara pasokan dan
kebutuhan tenaga listrik. Dengan terjadinya krisis multidimensi kurun waktu sekitar tahun 199712

2000, kemampuan investasi dan pengelolaan penyediaan tenaga listrik menurun yang berakibat
pada terganggunya kesinambungan penyediaan tenaga listrik serta kehandalan sistemnya
termasuk untuk listrik perdesaan. Kedua, lemahnya efektivitas dan efisiensi. Dalam satu
dasawarsa terakhir tingkat losses masih berada pada kisaran 11-15 persen, baik yang bersifat
teknis maupun non teknis termasuk hal-hal yang terkait dengan lemahnya good governance,
lemahnya penanganan pencurian listrik, serta intervensi politik sangat kuat mempengaruhi
pengelolaan korporat Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalisrikan (PKUK) yang masih bersifat
monopolistik. Ketiga, ketergantungan pada pembangkit listrik berbahan bakar minyak sebagai
akibat dari berlimpahnya cadangan BBM Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir. Keempat,
pengembangan sistem ketenagalistrikan nasional sebagian besar masih didominasi peralatan dan
material penunjang yang di impor sehingga nilai tambah sektor ketenagalistrikan nasional dalam
negeri diperkirakan masih relatif kecil.
Tantangan sektor ketenagalistrikan yang dihadapi meliputi luasnya wilayah Indonesia yang
berbentuk kepulauan dengan densitas penduduk yang bervariasi yang mempengaruhi tingkat
kesulitan pengembangan sistem kelistrikan yang optimal; potensi cadangan energi primer yang
cukup besar namun lokasinya sebagian besar jauh dari pusat beban dengan infrastruktur
pendukung yang masih sangat terbatas; keterbatasan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta budaya usaha di bidang ketenagalistrikan; pertumbuhan kebutuhan tenaga
listrik yang cukup tinggi setiap tahun; daya beli masyarakat yang masih rendah dan relatif tidak
merata; citra politik, ekonomi dan moneter yang belum mendukung untuk menarik investasi
swasta di bidang kelistrikan; serta regulasi investasi kelistrikan yang belum tertata dengan baik.
2.6 Pengembangan Model Ekonomi-Energi dan Identifikasi Kebutuhan Infrastruktur
Energi
2.6.1. Pemodelan Energy Mix Indonesia
Kerangka model INOSYD ditunjukkan pada Gambar 2. Modul yang dikembangkan meliputi
permintaan energi, penyediaan energi , ekonomi makro dan lingkungan. Jaringan Sistem
Energi (Reference Energi System, RES) dari INOSYD disempurnaan, terutama sisi infrastruktur
penyediaan energinya.

Energi primer mengalami berbagai proses sebelum dapat dimanfaatkan oleh konsumen, berupa
konversi ke bentuk energi lainnya, pengilangan energi menjadi berbagai jenis fraksi bahan bakar,
serta transmisi dan distribusi. Pada setiap proses, penggunaan berbagai jenis teknologi, sarana
dan prasarana menimbulkan kehilangan energi, sehingga energi yang terpakai selalu lebih kecil
dibanding energi primernya.

13

Jaringan sistem energi (RES) digunakan untuk merepresentasikan aktivitas/ hubungan dari
sebuah sistem energi. RES bukan hanya sarana untuk menunjukkan energy balance, namun juga
berfungsi sebagai kerangka analitis untuk memperkirakan besarnya permintaan energi. Gambar 3
memperlihatkan Jaringan Sistem Energi umum, sedangkan yang dipergunakan dalam studi ini
merupakan pengembangan lanjut dari RES tersebut yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia.

Setiap link pada jaringan RES mewakili suatu aktivitas proses (suplai, konversi energi, distribusi,
atau penggunaannya). Beberapa proses tersebut menimbulkan kehilangan energi, yang
direpresentasikan dengan effisiensi (). Besarnya energi pada successive link (en) dihitung dari
predecessor link (en-1), dengan persamaan umum:
e

(1)

..............................................................................

14

n1

Terkadang, suatu energi diperoleh melalui berbagai proses konversi. Sebagai contoh, energi
listrik diperoleh dari berbagai jenis pembangkitaan listrik (power generation) sehingga dengan
demikian perlu diketahui besar kontribusi masing-masing proses, yang dinyatakan dalam fraksi f.
e

=
fe

(2)

.....................................................................

15

n 1

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

Gambar 3. Contoh Jaringan Sistem Energi sederhana

Primary Energy

Conversion

End-Use

Demand for

33

Supply

Technology

34

Technology

Energy Service

35

36

Renewable, eg.

Fuel Processing

Industry, eg.

37

Biomass

Plant, eg.

Steam Boiler

38

Hydro

- Oil Refineries

Machinery

Mining, eg.

- Gas Refineries

39

Commercial, eg.

Industry

40

Crude Oil

Power Plant, eg.

Air Conditioner

41

Natural Gas

- Gas

Light Bulbs

Commercial

Coal

42

- Coal

43

- Renewable

Households, eg.

Import, eg.

44

Refrigerator

Household

45

Oil Products

Air Conditioning

46

Crude Oil

Cooking

Transport

47

ssExport

Transport, eg.

48

49

2.6.2 Ramalan permintaan energi

Peramalan adalah pekerjaan rumit namun harus dilakukan dalam rangka perencanaan energi.
Permintaan energi dapat digolongkan menjadi permintaan energi listrik dan permintaan energi
non-listrik. Sektor permintaan energi dapat dikelompokkan ke dalam industri, rumah tangga,
komersial dan transportasi.
Peramalan kebutuhan tenaga listrik secara makro dilakukan dengan metode ekonometrik, yang
menyatakan permintaan energi listrik (kwh) = (pertumbuhan ekonomi, tarif listrik,
pertumbuhan penduduk) atau disederhanakan ke dalam persamaan regresi:

B
b

1
1

x2
3

x
(3)

di mana:

50

Y
=

Pemakaian energi listrik

1, 2, 3
=

Pendapatan, harga listrik, jumlah konsumen

b0
=

Konstanta

b1, b2, b3
=

Elastisitas 1, 2, 3 terhadap Y

Kajian yang dilakukan menemukan beberapa persamaan regresi untuk permintaan lisrik nasional,
sebagai berikut:

51

ETot Listrik = ETot Listrik 1 { 1 + elastisitas x g PDB } .........................................


(4)

52

dimana
ETotListrik : Konsumsi energi listrik total (Juta SBM)

gPDB : laju pertumbuhan PDB


Elastisitas

: Laju pertumbuhan permintaan energi listrik /laju

pertumbuhan PDB

Permintaan listrik untuk sektor rumah tangga didekati dengan persamaan regresi seperti untuk
kebutuhan listrik total. Permintaan listrik untuk kelompok pengguna lain (industri, komersial,
perkantoran dan sarana umum) didekati berdasarkan hubungan elastisitas masing-masing
kelompok tersebut terhadap rumah tangga.

Berikut hasil estimasi permintaan tenaga listrik untuk kelompok-kelompok konsumen listrik
tersebut:

Rumah tangga:
ERT Listrik = 391,381 - 11,994 HListrik RT per KWh

+ 0,009 PDB + 1,072 ERT Listrik 1 ..................................


(5)

Komersial: ekr =
RT / RT

.................................................................................
(6)

53

Dengan demikian, setelah angka pertumbuhan kelompok rumah tangga diperoleh maka angka
pertumbuhan kelompok komersial dapat dihitung :

Kt
=
rt . ekr ..................................................................................
(7)
Kt
=
Kt-1 . (1 + rt . ekr) ................................................................
(8)

Permintaan listrik untuk kelompok industri serta perkantoran dan sarana umum didekati dengan
metode yang serupa dengan yang dilakukan untuk sektor komersial.

Untuk energi bukan listrik, permintaan energi masing-masing kelompok pengguna energi adalah
sebagai berikut:

Industri:
Eind = 0.749 E ind-1 + 0.000323 PDB + 4.795 ........................................
(9)

Transportasi:
-6

Etrans = 0.0209 Etrans-1 + 0.000487 PDB +1.78 10 Pop 298.91 ...


(10)
Komersial:
Ekom = 0.241 EKom-1 +
-5

7.16 10 PDB 4.395 ..........................................


54

(11)
Rumah Tangga: ERT= ERT 2000 (1
n

+ elastisitas x PDB ) ..........................................


(12)

2.6.3 Modul penyediaan energi


Modul penyediaan energi yang dikembangkan terdiri dari modul energi primer minyak, gas,
batubara, dan energi terbarukan. Analisis sistem dinamik dilakukan terhadap semua sumber
energi primer yang ada. Sebagai contoh, di bawah ini dijelaskan sebagian alur pikir dan
parameter yang digunakan dalam penyusunan modul penyediaan minyak dan gas bumi (Gambar
4).

55

Minyak dan gas bumi digambarkan sebagai aliran material dari sumber aliran ke
tempat penampungan. Untuk mengalirkan dari sumber diperlukan pengontrolan
laju alir. Pengontrolan kebutuhan minyak dan gas bumi dilakukan dengan
mengontrol laju penemuan (eksplorasi) dan laju produksi. Kegiatan eksplorasi dan
produksi merupakan struktur umpan balik (feedback loop) yang bersifat negatif
(opposite). Ini karena minyak bumi dan gas bumi adalah sumber daya yang
terbatas dan tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources). Kegiatan
eksplorasi dan produksi mengakibatkan cadangan minyak bumi dan gas bumi
mengalami penurunan, dengan penurunan yang bersifat asimptotik.

Gambar 4. Struktur model penyediaan minyak bumi

Model penyediaan energi dalam bentuk struktur umpan balik tersebut


ditransformasikan dan disimulasikan dengan bahasa POWERSIM.

2.6.4 Simulasi dan optimasi energy mix Indonesia


INOSYD dilengkapi dengan modul optimasi untuk meminimumkan biaya suplai
energy mix, dengan masukan parameter makroekonomi dan keluaran permintaan
energi per jenis dan sektor, untuk energi listrik maupun non listrik. Modul
56

optimasi dilengkapi data biaya energi (investasi, biaya O&M, dan biaya bahan
bakar) untuk konversi energi maupun transportasi energi. Pekerjaan optimasi
dilakukan dengan memanfaatkan modul Solver.
Dalam optimasi, fungsi tujuan (objective function) atau target variable yang
diminimumkan adalah discounted cost of energy system:

qt Cita eit

qt (Citi

+Citk )xit +

qt Citk rit

.....................(13)

i
t
it
It

dimana :

Ca

: Biaya bahan bakar (fuel cost) (US$/SBM)

Ci

: Biaya investasi per unit kapasitas (US$/SBM)


57

: Biaya operasi dan pemeliharaan (US$/SBM)

58

e : Aliran energi (SBM/tahun) q : discounted factor


x : Penambahan kapasitas (SBM/tahun)
r : Kapasitas terpasang yang telah ada (SBM/tahun) i : Jenis energi
t : Tahun
Simulasi dilakukan untuk memahami perilaku energi Indonesi hingga tahun 2020 berdasarkan
beberapa macam perkiraan pertumbuhan ekonomi. Ramalan permintaan dilakukan untuk
berbagai macam jenis energi, termasuk ekspor dan impornya. Berdasarkan ramalan permintaan
dan penyediaan energi yang mungkin, disusun neraca energi (energy balance) Indonesia untuk
berbagai periode.
Beberapa hasil simulasi dikemukakan di bawah ini.
Pertumbuhan PDB 5 persen mengakibatkan pertumbuhan permintaan minyak bumi 3,8 persen,
gas bumi 5,6 persen dan batubara 4,3 persen. Pertumbuhan permintaan energi terbarukan akan
selalu lebih rendah dibanding energi fosil bila tidak diikuti dengan kebijakan yang tegas untuk
meningkatkan penggunaannya.
Simulasi menunjukkan ekspor minyak mentah (crude oil) terus menurun dan mendekati nol pada
tahun 2020. Lonjakan impor minyak mentah akan terjadi mulai 2008, karena permintaan
domestik yang naik pesat. Impor produk-produk minyak (oil products) meningkat, dan minyak
mentah untuk input kilang akan lebih banyak berasal dari impor.
Konsumsi gas bumi akan meningkat; karena harganya yang murah dibandingkan minyak bumi
dan sifatnya yang akrab lingkungan. Batubara juga akan meningkat penggunaanya, khususnya
untuk memenuhi permintaan listrik. Peningkatan permintaan kedua jenis energi ini
membutuhkan dukungan pembangunan infrastruktur.
Pengaruh PDB terhadap permintaan energi non-listrik lebih sensitif untuk sektor industri dan
transportasi relatif terhadap sektor rumah tangga dan komersial.
Data pangsa (share) baik energi primer maupun energi final hasil simulasi menunjukkan
kecenderungan peningkatan penggunaan gas bumi dan batubara dan penurunan minyak bumi.
Pangsa energi terbarukan mengalami penurunan walaupun secara absolut nilainya meningkat.
Prakiraan energy mix ini dapat dipergunakan sebagai landasan kebijakan energi ke depan.
Analisis infrastruktur energi Indonesia
Infrastruktur energi meliputi infrastruktur konversi energi (pembangkit listrik, kilang minyak,
kilang gas) serta infrastruktur transmisi dan distribusi energi (pipa minyak, pipa gas, jaringan
transmisi dan distribusi listrik, dermaga minyak dan batubara, depo penyimpanan BBM dan gas,
dstnya). Dikaji ketersediaan infrastruktur energi di Indonesia serta pengembangan infrastruktur
energi yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi dan memanfaatkan ketersediaan
sumber energi, khususnya domestik.
59

Kebutuhan penambahan infrastruktur diindikasikan oleh selisih permintaan energi dengan


kapasitas infrastruktur yang tersedia. Untuk kilang dan pembangkit listrik secara otomatis dapat
ditentukan kebutuhannya. Namun demikian lokasi kilang dan pembangkit listrik diskenariokan
berdasarkan pertimbangan lokasi sumber energi, lokasi konsumen, biaya transportasi, dll. Untuk
transportasi energi, diskenariokan jalur-jalur transmisi dan distribusi yang harus dibangun
dengan mempertimbangkan rute dan biaya pembangunan termurah, dstnya. Dengan demikian,
tetap dibutuhkan pertimbangan pakar (expert judgement) untuk menentukan lokasi pembangunan
suatu infrastruktur.
Sebagai contoh, dengan menggunakan optimasi fraksi minyak bumi sebagai energi primer dalam
pemenuhan BBM, dapat diproyeksikan kebutuhan infrastruktur konversi energi primer untuk
minyak bumi, yaitu kilang minyak (refinery), dimana minyak mentah diproduksi menjadi BBM
melalui proses distilasi dan konversi. Dengan memperhatikan selisih antara permintaan BBM
dan kapasitas kilang yang ada serta faktor kapasitasnya ditentukan besar penambahan kapasitas
kilang yang diperlukan. Selanjutnya, ditentukan besarnya investasi untuk pembangunan kilang
tersebut. Untuk menggambarkan kebutuhan pengembangan infrastruktur konversi, transmisi dan
distribusi energi, di bawah ini diuraikan kebutuhan pengembangan infrastruktur energi dan
investainya untuk beberapa jenis energi.
Permintaan LPG di dalam negri cenderung meningkat, dan perlu dipenuhi oleh pabrik LPG yang
berasal dari kilang minyak. LPG dari kilang LNG akan menurun akibat turunnya produksi LNG.
Produksi LNG Arun menurun karena penurunan cadangan gas, walaupun demikian pasokan gas
untuk LNG Arun akan cukup untuk memenuhi kontrak penjualan sampai tahun 2006.
Sebagai langkah untuk pengembangan LNG perlu dibangun Kilang LNG Tangguh (2007) dan
Kilang LNG Matindok (2010). Sampai saat ini produk LNG semuanya diekspor, belum ada yang
dimanfaatkan di dalam negeri. Namun di masa mendatang karena menurunnya pasokan dan
meningkatnya permintaan gas di Jawa, perlu dibangun LNG Receiving Terminal yang dapat
5

dipasok, misalnya dari LNG Tangguh (Papua). Hingga tahun 2020, diperkirakan terdapat
kebutuhan investasi sebesar 6,2 milyar US$ untuk pembangunan kilang LNG dengan kapasitas
17,74 juta ton/tahun, berlokasi di Tangguh (Papua) dan Matindok (Sulawesi).
Untuk keperluan distribusi gas bumi diperlukan tambahan jaringan pipa. Saat ini di Jawa terdapat
jaringan pipa gas Cirebon Merak dan Pagerungan Gresik, sedang di Sumatera terdapat
jaringan pipa gas Grissik - Duri dan Grissik - Singapura. Sedang dalam masa pembangunan
adalah jalur pipa transmisi Sumatera Selatan Jawa Barat. Terkait dengan pengembangan
industri yang membutuhkan gas bumi sebagai bahan bakar (fuel) maupun bahan baku
(feedstock), permintaan gas yang meningkat untuk pembangkit tenaga listrik, dstnya, maka perlu
dibangun jaringan pipa gas regional maupun nasional.
Rencana pengembangan infrastruktur gas nasional secara skematik diperlihatkan dalam Gambar
5.
Dengan mengikuti pola pemikiran serupa, dapat diturunkan beberapa kebutuhan pengembangan
infrastruktur batubara, yang meliputi pelabuhan, jalan darat, angkutan sungai maupun angkutan
60

kereta api. Penyederhanaan analisis menghasilkan, di antaranya skenario pembangunan


pelabuhan batubara pada Tabel 1.
Setelah mempertimbangkan kebutuhan pengembangan infrastruktur energi yang meliputi kilang
minyak, pipa transmisi produk-produk minyak, kilang gas, jaringan transmisi gas, pelabuhan dan
angkutan kereta api batubara, serta pembangkit dan transmisi listrik, diperkirakan kebutuhan
biaya investasi untuk mewujudkan kebutuhan pengembangan infrastruktur energi tersebu

Gambar 5. Pengembangan infrastruktur gas bumi

61

LNG 12.50

Arun Block

LPG 1.60

Block B-Duyong

Medan Block
West Natuna

- Singapore

Bunyu

4
LNG 18.50

32, 620 km
32, 400 km

62

LPG 1.10

42, 1350 km

Duri-Grissik
Bontang
Tangguh

Corridor-Singapore

38

28, 740 km

So. Palembang Block


42, 676 km

16, 74 km

15

63

32, 370 km

42, 600 km 42, 620 km


1,700 km

17

28, 1066 km

Mundu
28, 256 km

3,300 km

64

Jawa Timur

11

Existing

Reserves NG (TCF)
Existing LPG Refinery

Planned Pipeline

Existing LNG Refinery (Bilion Ton/Year)

Planned LNG Shipping

Planned LNG Refinery

65

Tabel 1. Skenario pembangunan pelabuhan batubara

Maximum

Tambahan
Tahun

66

kapasitas

Terminal
Operator
Lokasi
Vessel

handling
Operasi

(DWT)

67

(Juta Ton/Thn)

Kertapati
PTBA
SumSel
7.000

0.5
2005

Tarahan
PTBA
SumSbel
60.000

68

6
2010

Teluk Bayur
PTBA
Sumbar
40.000

2
2008

Pulau Baai
Government
Bengkulu
35.000

1
2005

Tanjung Api-api
PTBA
SumSel
40.000

20
2020

Tanjung Bara
Kaltim Prima
Kaltim

69

200.000

4
2008

Tanah merah
Kideco
Kaltim
20.000

3
2007

North Pulau Laut


Arutmin
Kalsel
150.000

5
2005

Balikpapan
PT DPP
Kaltim
60.000

2
2008

Indonesia Bulk Term.

70

IBT
Kalsel
70.000

5
2010

Tanjung Redep*
Berau
Kaltim
5.000

2
2008

Banjarmasin*
Various
Kalsel
6.000

5
2011

Kelanis*
Adaro
Kalteng
12.000

10
2015

71

Additional Total

65.5

Handling Capacity

Tabel 2. Biaya investasi infrastruktur energi (juta USD)

Jenis Enegi
Jenis Infrastruktur
Investasi yang diperlukan

72

sampai 2020 (mil. US$)


Minyak Bumi
Kilang
minyak,
pipa
tranmsisi,
17,3

tangki timbun

Gas Bumi
Kilang
LNG,
pipa
transmisi,
9,6

LNG receiving terminal

Batubara
Pelabuhan batubara,
rel kereta
1,34

73

api batubara

Listrik
Pembangkit, jaringan transmisi
62
Total

90,24

BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

Issue bauran energi yang optimum di Indonesia, dengan penekanan pada pembuatan model
dinamik ekonomi- energi, proyeksi kebutuhan energi primer dan energi final serta infrastruktur
energi yang harus dikembangkan, termasuk perkiraan biayanya. Jenis energi yang dikaji terutama
bahan bakar fosil, dan proyeksi dilakukan hingga 2020.

Model ekonomi energi yang dikembangkan, ramalan permintaan energi serta beberapa hasil
simulasi, khususnya yang menyangkut minyak bumi, gas bumi, batubara dan kelistrikan.
Dilaporkan pula kebutuhan infrastruktur yang perlu dibangun.

74

75

DAFTAR PUSTAKA
http://jieb.feb.ugm.ac.id/catalog/index.php/jieb/article/view/1132/1115
(15/03/2014, pukul: 19:20)
http://www.antaranews.com/print/83911/two-s-african-citizens-arrestedfor-bringing-in-meth (17/03/2014, pukul: 20:21)
http://charyconomi.blogspot.com/2013/11/aplkasi-ekonomi-mikro.html
(20/04/2014), pukul: 19:20)
http://andiansah-pengetahuan.blogspot.com/2010/04/ekonomi-makro.html
(20/04/2014), pukul: 20:38)
http://cintyasherry.wordpress.com/tag/syarat-diskriminasi-harga/
(23/04/2014. Pukul: 14:20)
http://hary-semarang.blogspot.com/2012/01/diskriminasi-harga.html
(23/04/2014. pukul: 14:23)
http://hakimjuntak.blogspot.com/2013/06/pengertian-aplikasi-ekonomi
-energi.html (23/04/2014, pukul: 14:40)
Yusgiantoro, Purnomo.2000.Ekonomi Energi Teori dan Praktik. Jakarta

You might also like