You are on page 1of 10

AKNE VULGARIS TIPE INFLAMASI

Disusun Oleh:
Ovienanda Kristi P
1102011205
Pembimbing:
dr. Ahmad Haykal A.R.B, Sp. KK, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN


KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
19 SEPTEMBER 22 OKTOBER 2016

DEFINISI
Akne adalah penyakit kulit obstruktif dan inflamasi kronik pada unit pilosebasea yang
terlihat terutama pada remaja, merupakan dermatosis polimorfik dan memiliki peranan
poligenetik. Sebagian besar kasus akne tersusun dari pleomorfik lesi, yang terdiri dari komedo,
papula, pustula, dan nodul dengan berbagai variasi dan keparahannya (Zaenglein, 2012).
EPIDEMIOLOGI
Bentuk keparahan dari akne lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi akne cenderung
lebih persisten pada wanita, yang mungkin memiliki periodik puncak sebelum periode
menstruasi, yang terus terjadi sampai menopause (Habif, 2010). Prevalensi akne pada masa
remaja cukup tinggi, yaitu berkisar antara 47-90% selama masa remaja (Cunliff, 2001). Pada ras
Asia, lesi inflamasi lebih sering dibandingkan lesi komedonal, yaitu 20% lesi inflamasi dan 10%
lesi komedonal. Tetapi pada ras Kaukasia, akne komedonal lebih sering dibandingkan akne
inflamasi, yaitu 14% akne komedonal, 10% akne inflamasi (Perkins, 2011).
ETIOPATOGENESIS
Etiologi akne vulgaris masih belum diketahui. Beberapa etiologi yang diduga terlibat
berupa faktor intrinsik yakni genetik, ras, dan hormonal sedangkan faktor ekstrinsik berupa
stress, iklim/ suhu/ kelembaban, kosmetik, diet, dan obat- obatan (Hasbif, 2010).
Patogenesis akne meliputi empat faktor, yaitu hiperproliferasi epidermis folikular
sehingga terjadi sumbatan folikel atau hiperproliferasi folikuler epidermal, produksi sebum yang
berlebihan, inflamasi, dan aktivitas Propionibacterium acnes (P. acnes). Masing-masing proses
tersebut saling berkaitan dan di bawah pengaruh hormonal dan kekebalan tubuh. (Zaenglein,
2012).

Gambar 1. Patogenesis Akne (Acne Vulgaris and Acneiform Eruptions Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine)
Hiperproliferasi epidermis folikular juga diduga akibat penurunan asam linoleat kulit dan
peningkatan aktivitas IL-1. Asam linoleat adalah asam lemak esensial dalam kulit. Epitel folikel

rambut bagian atas, yaitu infundibulum, menjadi hiperkeratotik dan kohesi keratinosit
bertambah, sehingga terjadi sumbatan pada muara folikel rambut. Selanjutnya di dalam folikel
rambut tersebut terjadi akumulasi keratin, sebum, dan bakteri, dan menyebabkan dilatasi folikel
rambut bagian atas, membentuk mikrokomedo. Mikrokomedo yang berisi keratin, sebum, dan
bakteri, akan membesar dan ruptur. Selanjutnya, isi mikrokomedo yang keluar akan
menimbulkan respons inflamasi. Akan tetapi, terdapat bukti bahwa inflamasi dermis telah terjadi
mendahului pembentukan komedo. Faktor keempat terjadinya akne adalah P. acnes, bakteri
positif gram dan anaerob yang merupakan flora normal kelenjar pilosebasea. Remaja dengan akne
memiliki konsentrasi P. acnes lebih tinggi dibandingkan remaja tanpa akne, tetapi tidak terdapat
korelasi antara jumlah P. acnes dengan berat akne. Peranan P. acnes pada patogenesis akne adalah
memecah trigliserida, salah satu komponen sebum, menjadi asam lemak bebas sehingga terjadi
kolonisasi P. acnes yang memicu inflamasi. Selain itu, antibodi terhadap antigen dinding sel P.
acnes meningkatkan respons inflamasi melalui aktivasi komplemen. Pada gambar 2 menunjukkan
jalur fisiologis pada dehidroepiandrosterone sulfate (DHEA-S) diubah menjadi DHT androgen.
17- dehidrogenase hydroxysteroid (HSD) dan 5- reduktase adalah enzim-enzim yang
bertanggung jawab untuk mengubah DHEA-S menjadi DHT. Dibandingkan dengan keratinosit
epidermis, keratinosit folikel meningkatkan 17- HSD dan reduktase 5-, sehingga dapat
meningkatkan produksi DHT. DHT dapat merangsang proliferasi folikel keratinosit dan dapat
mendukung peran androgen pada patogenesis akne ialah bukti bahwa individu dengan
insensitivitas androgen tidak dapat berkembang menjadi akne (Zaenglein, 2012).
Proses inflamasi dimulai ketika P. acnes terdeteksi oleh sistem kekebalan tubuh. P. acnes
memiliki efek inflamasi yang dapat memicu pelepasan faktor chemostatic seperti limfosit,
neutrofil dan makrofag. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan kerusakan folikel, pecah dan
kebocoran bakteri, asam lemak dan lipid ke dalam dermis sekitarnya. Proses ini akan
menimbulkan inflamasi lesi (pustula, nodul, kista dan papula). Lesi inflamasi penuh dengan
nanah dan lebih besar dari lesi non-inflamasi. Selain itu ditemukan bahwa neutrofil
menghasilkan reactive oxygen species (ROS) yang sebagian mengkontribusi untuk terjadinya
peradangan akne dengan merusak epitel folikular. Hal ini menyebabkan keluarnya isi folikel ke
dermis yang akibatnya menyebabkan berbagai proses inflamasi (Fox, 2016)
Enzim 5 reduktase, enzim yang mengubah testosteron menjadi dihidrotestosteron
(DHT), memiliki aktivitas tinggi pada kulit yang mudah berakne, misalnya pada wajah, dada, dan
punggung. Pada hiperandrogenisme, selain akne, sering disertai oleh seborea, alopesia,
hirsutisme, gangguan haid dan disfungsi ovulasi dengan infertilitas dan sindrom metabolik,
gangguan psikologis, dan virilisasi. Penyebab utama hiperandrogenisme adalah sindrom
polikistik ovarium (polycystic ovarian syndrome, PCOS). Sebagian penderita PCOS, yaitu
sebanyak 70%, juga menderita akne. Meskipun demikian, sebagian besar akne pada perempuan
dewasa tidak berkaitan dengan gangguan endokrin. Penyebab utama akne pada kelompok ini
adalah perubahan respons reseptor androgen kulit terhadap perubahan hormon fisiologis siklus
haid. Sebagian besar perempuan mengalami peningkatan jumlah akne pada masa premenstrual
atau sebelum haid (Addor, 2010).

KLASIFIKASI

Gambar 3. Klasifikasi Akne. (Clinical Dermatology 5th Edition)

Lokasi utamanya pada area wajah, punggung, dada dan bahu. Pada area tubuh, lesi lebih
dominan pada daerah midline (tengah). Penyakit ini berkarakteristik sebagai beberapa lesi klinis.
Meskipun satu tipe lesi bisa mendominasi, pada pemeriksaan inspeksi secara dekat dapat melihat
adanya beberapa tipe lesi, yakni tipe non inflamasi dan tipe inflamasi (Zaenglein, 2012).
Lesi inflamasi bervariasi dari papula kecil dengan perbatasan merah untuk pustula dan
besar, lembut, nodul berfluktuasi. Beberapa nodul besar sebelumnya disebut "kista" dan istilah
nodulocystic telah digunakan untuk menggambarkan kasus peradangan akne yang parah. Kista
yang sesungguhnya jarang ditemukan pada akne; istilah ini harus ditinggalkan dan diganti
dengan severe nodular acne. Apakah lesi muncul sebagai papul, pustule, atau nodul tergantung
pada luas dan lokasi infiltrat inflamasi pada dermis (Zaenglein, 2012). Untuk lesi inflamasi,
Consensus Panel menyatakan bahwa lesi diklasifikasikan sebagai papulopustular dan / atau
nodular. Tingkat keparahan berdasarkan perkiraan hitungan lesi ditetapkan dari ringan, sedang,
atau berat. Faktor-faktor lain dalam menilai keparahan termasuk jaringan parut yang sedang
berlangsung, purulen yang menetap dan / atau drainase serosanguineous dari lesi, dan adanya
saluran sinus (Habif, 2010).

Gambar 4. Type of
classification and
(Clinical Dermatology

Lession, Acne
grading.
5th Edition)

TATALAKSANA
Mekanisme kerja dari
paling umum untuk
dikategorikan dalam
kategori berikut yang
dengan patofisiologi:

terapi
akne

1. Perbaiki pola
folikel.
2. Kurangi aktivitas
sebaceous.
3. Kurangi populasi
terutama P. acnes.
4. Mengerahkan efek anti-inflamasi.

keratinisasi

yang
dapat

berhubungan

kelenjar
bakteri folikel,

Gambar 5. Mode of action of therapeutic agents (Clinical Dermatology 5th Edition)

Tabel 1. Treatment Algorithm for Acne Vulgaris

Sumber: Acne Vulgaris and Acneiform Eruptions Fitzpatricks Dermatology in General


Medicine.
Menurut Habif dalam buku Clinical Dermatology 5th Edition, tatalaksana medikamentosa untuk
pengobatan akne inflamasi ialah sebagai berikut:
1. MILD INFLAMMATORY ACNE
Presentasi Klinis: Pustular ringan dan papular akne inflamasi dengan jumlah kurang
dari 20 pustula. Lesi inflamasi terjadi pada komedo yang telah terjadi proliferasi P.
acnes. Papula atau pustula dengan minimal komedo dapat berkembang setelah
comedonal acne.
Terapi:
Topikal

Benzoil peroksida, antibiotik topikal, atau kombinasi obat (misalnya, BenzaClin,


Duac) dan retinoid yang awal penggunaannya diterapkan pada malam hari. Tahap
awal digunakan konsentrasi paling rendah. Setelah penyesuaian awal periode, retinoid
yang digunakan setiap malam dan benzoyl peroksida atau antibiotik setiap pagi.
Kekuatan obat meningkat jika ditoleransi. antibiotik oral diperkenalkan jika jumlah
pustula tidak menurun. Terapi topikal mungkin harus dilanjutkan untuk jangka waktu
yang lama.

Gambar 6.
dengan papul,

Gambaran akne ringan


pustula dan komedo.
(Clinical Dermatology 5th Edition)

2. MODERATE-TO-SEVERE INFLAMMATORY ACNE


Presentasi Klinis: Pasien yang memiliki akne dengan tingkat peradangan sedang
hingga berat (lebih dari 20 pustula). Penyakitnya mungkin secara bertahap telah
memburuk atau mungkin virulensi telah terjadi diawal. Timbulnya pustula secara
masif terkadang dapat dipicu oleh stres. Mungkin beberapa orang mengabaikan saat
muncul komedo. Pada daerah yang terkena seharusnya tidak mengalami iritasi selama
tahap awal terapi.
Terapi:
Banyak dermatologis akan memulai dengan topikal retinoid dan
mengkombinasikannya dengan topical antbiotik. Pengobatan ini dilakukan dua kali
sehari dengan antibiotik topikal, benzoyl peroxide, atau obat kombinasi seperti
BenzaClin, Duac atau kombinasi dari benzoyl peroxide dan sulfur / selfacetamide.
Program drying agent ini sangat efektif. Pasien yang menggunakan drying agent
harus menyesuaikan frekuensi dari pemakaian untuk menginduksi ringan pada kulit
secara terus- menerus. Respon pengobatan mungkin terjadi 2- 4 minggu.
Antibiotik oral (tetrasiklin atau doksisiklin) digunakan untuk pasien dengan
pustula lebih dari 10. Pengobatan seharusnya dilanjutkan sampai tidak terdapat lesi
baru yang berkembang (2-4 bulan) dan kemudian harus dikurangi perlahan. Jika
terdapat tanda- tanda iritasi, frekuensi dan potensi dari obat topikal harus diturunkan.
Iritasi, terutama pada daerah sekitar mandibula dan leher, pustula akne yang
memburuk. Retinoid dapat digunakan jika jumlah pustula dan derajat peradangan
mengalami penurunan.

Dimulai minocycline dengan dosis penuh jika tidak ada respon terhadap tetrasiklin
atau doksisiklin setelah 3 bulan. Injeksi setiap pustule dengan dosis yang sangat kecil
dari triamcinolone acetonide (Kenalog 2.5 s/d 5.0 mg/ml) dapat memberikan hasil
secara langsung dan memuaskan. Mereka yang memiliki respon dengan baik
mungkin antibiotik oral mulai untuk dikurangi dan akhirnya dihentikan. Beberapa
pasien merespon dengan sangat baik terhadap dosis yang lebih rendah dari antibiotik
oral dan memerlukan tetrasiklin 250mg/ hari atau bahkan kontrol setiap hari. Pasien
mungkin aman dipertahankan dengan antibiotik oral dosis rendah untuk jangka waktu
yang lama. Pasien yang tidak merespon terhadap konvensional terapi mungkin
memiliki lesi dengan kolonisasi gram negatif. Biakan dari pustula dan kista diperoleh
dan disesuaikan dengan antibiotik.

Gambar 7.

3.

Papul, nodul, dan kista


menutupi seluruh wajah. (Clinical Dermatology 5th Edition)

SEVERE: NODULOCYSTIC ACNE

Akne nodulokistik termasuk akne kistik local (beberapa kista pada wajah, dada,
atau punggung), akne kistik (area luas pada wajah, dada, dan punggung), pyoderma fasial
(kista local inflamasi pada wajah perempuan), dan akne conglobata (inflamasi berat,
dengan kista yang terkomunikasi dibawah kulit, abses, dan traktus lubang sinus)
Pasien diyakinkan adanya pengobatan yang efektif. Pasien harus diberitahu bahwa
mereka akan dipantau secara ketat dan jika penyakitnya aktif, mereka akan berkunjung
setidaknya setiap minggu sampai kondisi terkontrol. Tujuan utama terapi adalah untuk
menghindari luka parut dengan menghilangkan inflamasi intens secara cepat; prednisone
terkadang diperlukan. Kista dengan atap tebal diinsisi dan didrainase. Kista yang lebih
dalam disuntuk dengan triamcinolone acetonide (kenalog 2,5 sampai 10 mg/ml).

Gambar 8. Kista bisa


terlokalisasi di punggung atas
atau menyebar ke pinggang (Clinical Dermatology 5th Edition)

DAFTAR PUSTAKA

Addor FAS, Schalka S. Acne in Adult Women. An Bras Dermatol. 2010;85(6):789-95.


Cunliff e WJ, Gollnick HPM. Clinical features of acne. In: Cunliff e WJ, Gollnick HPM, eds.
Acne diagnosis and management. London: Martin Dunitz Ltd, 2001:49-68.
Fox, L, et.al. Treatment Modalities for Acne. MDPI Journal North West University: South Africa
2016.
Habif, Thomas P. Acne, Rosacea, and Related Disorders Clinical Dermatology 5th Edition.
Mosby Elivier: UK. 2010: 228-263.
Perkins AC, et.al. Comparison of the epidemiology of acne vulgaris among Caucasian, Asian,
Continental Indian and African American Women. J Eur Acad Dermatol Venerol.
2011;25(9):1054-60.
Zaenglein, Andrea L, Graber, Emmy M, Thiboutot, Diane M. Acne Vulgaris and Acneiform
Eruptions Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. The McGraw-Hill Companies,
Inc: United State. 2012: 1264-1290.

You might also like