You are on page 1of 14

1.3.

PENTING SOSIALISASI PERKEMBANGAN BUDAYA POLITIK


-

Makna Sosialisasi Budaya Politik


Sosialisasi politik merupakan konsep yang diperkenalkan oleh seorang sarjana Amerika

Robert Hyman pada tahun 1950-an. Menurut Hyman, sosialisasi politik adalah suatu proses
penyerapan nilai dari lingkungan sistem politik ataupun masyarakat terhadap individu atau
terhadap masyarakat secara keseluruhan. Konsep ini muncul ketika para ilmuwan politik
menyadari bahwa pewarisan nilai dan kepentingan serta prilaku politik selalu terjadi dan
merupakan satu proses yang penting artinya dalam kehidupan politik. Kaitan antara sosialisasi
politik dan sistem politik dijelaskan oleh David Easton dan Janck Dennis. Keduanya
mengemukakan bahwa tujuan sosialisasi politik adalah untuk memantapkan sistem politik itu
sendiri. Dengan diserapnya nilai-nilai politik atau orientasi-orientasi politik dari suatu sistem
politik, maka diharapkan bahwa warganegara mempunyai seperangkat pengetahuan atau
seperangkat nilai yang diperlukan untuk mendukung terpeliharanya sistem politik .
Sosialisasi politik merupakan satu konsep yang menentukan prilaku politik masyarakat.
Dalam banyak masyarakat, pelestarian norma dan sikap politik dari satu generasi ke generasi
selanjutnya sangat penting artinya bagi tegak berdirinya satu kekuatan politik (partai). Sosialisasi
yang baik dianggap dapat meningkatkan stabilitas politik. Proses sosialisasi politik ini dapat
terjadi karena pendidikan politik yang sering diadakan.
Secara umum, sosialisasi melalui tiga buah proses, yaitu kognitif, afektif, dan evaluatif.
Kognitif adalah proses seseorang memperoleh pengetahuan. Sedangkan ketika pikiran seseorang
terpengaruhi oleh pengetahuan yang diperolehnya merupakan penjelasan dari afektif. Sedangkan
ketika telah memasuki proses penilaian maka telah berada pada proses yang terakhir, yaitu
evaluatif.
Pengertian sosialisasi politik diugkapkan oleh berapa ahli, diantaranya :
TOKOH
Gabriel

SOSIALISASI POLITIK MERUPAKAN :


proses di mana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik

Almond

diperoleh atau dibentuk dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk
menyampaikan patakon-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik

Kenneth

kepada generasi berikutnya.


P cara bagaimana masyarakat meneruskan kebudayaan politiknya. Hal ini

Langton

dilakukan dengan memberikan penekanan pada cara masyarakat dalam

Ramlan

meneruskan kebudayaan politiknya.


proses pembentukan sikap dan orientasi politik anggota masyarakat.

Surbakti
Irwin L. Child

Segenap proses dimana individu, yang dilahirkan dengan banyak sekali


potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya
yang dibatasi di dalam satu jajaran yang menjdi kebiasaannya dan bisa

David

diterima olehnya sesuai standar-standar dari kelompoknya.


F. pola-pola mengenai aksi sosial atau aspek-aspek tingkah laku yang

Aberle

menanamkan kepada individu-individu, ketrampilan-ketrampilan, motifmotif, dan sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang
sekarang atau yang tengah diantisipasikan sepanjang kepentingan manusia

Ricard

normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.


E. suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik

Dawson

dari orang tua, guru dan sarana-sarana sosialisasi politik lainnya kepada

warganegara baru dan mereka yang menginjak dewasa.


Jadi sosialiasi politik adalah suatu proses untuk memasyarakatkan nilai-niali atau budaya
politik kepada masyarakat. Sosialisasi politik harus dilakukan terus menerus selama hidup
seseorang.
Sosialisasi merupakan proses induksi ke dalam kultur politik yang sama. Proses sosialisasi
adalah proses seseorang mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan tingkah laku masyarakat.
Dalam bahasa yang berbeda, sosialisasi politik merupakan proses sosial pewarisan nilai dan
pembentukan prilaku politik melalui agen-agen politik dan berjalan sepanjang hidup seseorang
(Bau, 2003: 38).
Ranney (1996) juga menyebutkan tahapan sosialisasi politik. Tahapan-tahapan tersebut
antara lain : pengenalan nilai dan pola tingkah laku politik, melakukan seleksi dan pemantapan
nilai dan pola tingkah laku politik, dan akhirnya institusionalisasi nilai dan pola tingkah laku
politik. Kemudian pertemuan antara institusionalisasi dengan institusionalisasi lainnya disebut
dengan budaya politik. Budaya politik amat tergantung kepada sosialisasi politik karena
sosialisasi politik dapat mempertahankan budaya politik.
Bau (2003) menyebutkan bahwa keluarga dan sistem pendidikan merupakan dua institusi
yang sangat penting dalam proses sosialisasi politik disamping partai politik sendiri, juga peer
groups, media massa, kelompok terorganisir, kelompok informal, atau individu yang
berpengaruh juga merupakan agen sosialisasi politik yang baik.
-

Mekanisme Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik


Dalam upaya pengembangan politik, sosialisasi politik sangat penting karena dapat

membentuk dan mentransmisikan budaya politik suatu bangsa, selain itu juga dapat memelihara
budaya politik suatu negara dalam peyampaian budaya politik dari suatu generasi ke generasi
berikutnya, serta dapat mengubah budaya politik.
Untuk dapat membentuk, mentrasmisisikan, memelihara, dan mengubah nilai, sikap,
pandangan maupun keyakinan politik diperlukan sarana-sarana dan agen-agen penunjang
sosialisasi politik. Sarana-sarana dan agen-agen tersebut, antara lain :

SARANA

KETERANGAN

DAN AGEN
Keluarga

Keluarga merupakan lembaga atau kelompok sosial paling awal dijumpai oleh

seorang anak (individu). Nilai, sikap, kaidah yang diperkenalkan kepada


anak tidak secara eksplisit mengenai masalah politik, namun dalam keluarga
yang demokratis anak akan lebih banyak mendapat kebebasan, sedangkan di
dalam keluarga yang demokratis anak akan lebih banyak tertekan.
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan
efektif adalah keluarga. Dalam keluarga, orang tua dan anak sering
melakukan obrolan ringan tentang segala hal menyangkut politik, sehingga
tanpa disadari terjadi transper pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu
Sekolah

yang diserap oleh si anak.


Di sekolah, melalui

pelajaran

Civics

Education

(Pendidikan

Kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan


berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilainilai politik dan praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh
pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai
politik yang benar dari sudut pandang akademis.
Pemilihan sekolah sebagai sarana sosialisasi politik di dasarkan pada
pertimbangan bahwa :
a) Sekolah sebagai media pembelajaran politik yang dinamis
b) Pelajar sebagai pemilih rasional dan kritis
c) Potensi pelajar sebagai pelopor di tengah masyarakat
Kelompok

d) Jumlah pelajar yang akan memilih cukup signifikan


Seorang individu atau seseorang akan tertarik kepada masalah politik, apabila

Ber-main
Pekerjaan

teman-temannya dalam kelompok itu tertarik kepada masalah politik.


Organisasi yang dibentuk atas dasar pekerjaan dapat berfungsi sebagai
saluran informasi tentang hal yang menyangkut masalah politik dengan jelas,
atau paling tidak akan mempunyai pengaruh apabila yang bersangkutan terjun

Media Massa

secara aktif di dalam organisasi politik.


Melalui media massa masyarakat dapat memperoleh informasi politik,
dimana media massa dapat mempengaruhi sikap dan keyakinan politik

Kontak

maupun ideologi seseorang.


Selain melalui sarana keluarga, sekolah, dan partai politik, sosialisasi politik

Politik

juga dapat dilakukan melalui peristiwa sejarah yang telah berlangsung

Langsung

(pengalaman tokoh-tokoh politik yang telah tiada). Melalui berbagai seminar,

(Partai

dialog, debat, dan sebagainya yang disiarkan ke masyarakat, tokoh-tokoh

Politik)
politik juga secara tidak langsung melakukan sosialisasi politik.
- Fungsi Partai politik
1. Representasi
2. Rekrutmen dan Pembentukan elit
3. Perumusan tujuan
4. Artikulasi dan agregasi kepentingan
5. Sosialisasi dan mobilisasi politik; dan
6. Pengorganisasian Pemerintah.

1. Fungsi representasi
Representasi kadang dilihat sebagai fungsi utama sebuah partai politik. Representasi
menunjukkan kapasitas partai untuk merespon dan mengartikulasikan pandangan-pandangan
baik pandangan para anggota maupun para pemilihnya. Dalam bahasa teori sistem, partai
politik adalah alat pemasok utama yang memastikan bahwa pemerintah akan melaksanakan
apa yang menjadi kebutuhan masyarakat luas.
Jelasnya, ini adalah fungsi untuk dilaksanakan sebaik-baiknya di dalam suatu sistem terbuka
dan kompetitif yang memaksa partai untuk merespon pilihan-pilihan rakyat. Teoritisi Pilihanrasional, semisal Anthony Downs (1957) menjelaskan proses ini dengan menyarankan bahwa
pasar politik paralel dengan pasar ekonomi, di dalam mana para politisi bertindak yang
intinya sebagai wiraswastawan yang memburu suara, berarti bahwa partai bertindak seperti
berbisnis.
Kekuasaan, dengan demikian, utamanya terletak pada konsumennya, yakni para pemilih.
Tetapi model ekonomi ini mendapatkan kritikan dengan dasar bahwa partai itu tidak
semata-mata mencari suara tetapi juga membentuk atau memobilisasi pendapat umum
sebagaimana dia meresponnya, dan bahwa citra para pemilih sebagai orang yang sangat tahu,
rasional, dan seperti konsumen yang berorientasi masalah (isu) patut dipertanyakan, dan
bahwa bentangan pilihan para pemilih (atau elektorat) seringkali sempit.
2. Pembentukan elit dan rekrutmen
Partai-partai politik dalam semua jenisnya bertanggung jawab menyediakan bagi negara para
pemimpin politiknya. Salah satu kekecualian yang jarang ada dalam aturan ini adalah
Jenderal de Gaulle, yang menawarkan dirinya untuk memimpin Prancis tahun 1944 sebagai
seorang juru selamat yang berada di atas semua perbedaan partai-partai. Partai seperti
Union for the New Republic (UNR) adalah ciptaannya.
Lebih lazim lagi, politisi mendapatkan jabatan dengan memanfaatkan kedudukan di
partainya; kontestan dalam pemilihan presiden biasanya pemimpin puncak partai, sementara
di dalam sistem parlementer pemimpin partai terbesar di majelis biasanya menjadi perdana
menteri. Kabinet dan pos-pos kementerian lainnya biasanya diisi oleh figur-figur senior
partai, meskipun kekecualian dapat ditemukan di dalam sistem presidensial di Amerika
Serikat yang dapat menunjuk menteri-menteri dari tokoh-tokoh non-partai.
Di sebagian besar kasus, partai-partai dengan demikian menyediakan basis pelatihan dan
pengalaman politik bagi para politisi, melengkapi mereka dengan ketrampilan, pengetahuan,
dan pengalaman, dan menawari mereka sejumlah bentuk struktur karir, kecuali orang yang
hanya mengharapkan keberuntungan dari partai. Di sisi lain, monopoli partai di dalam
pemerintahan mendapatkan kritikan karena para pemimpin politiknya diambil dari tempat
yang sangat sempit: tokoh-tokoh senior partai besar. Tetapi, di Amerika Serikat sifat
monopoli itu sangat berkurang karena adanya penggunaan luas dari pemilihan di tingat
primary, yang mengurangi kendali partai dalam menyeleksi dan menominasikan kandidatnya.

3. Perumusan tujuan
Partai-partai politik secara tradisional merupakan cara melalui mana masyarakat menata
tujuan-tujuan kolektif dan, di beberapa kasus, memastikan bahwa hal itu dilaksanakan.
Partai-partai memainkan peran ini sebab di dalam proses pemerolehan kekuasaan, mereka
merumuskan program pemerintah (melalui konperensi, konvensi, manifesto pemilihan
umum, dan sebagainya) dengan suatu pandangan untuk menarik dukungan rakyat.
Hal ini bukan berarti bahwa partai politik adalah satu-satunya sumber inisiatif kebijakan,
tetapi partai politik juga berperan mendorong rakyat untuk merumuskan tatanan koheren dari
pilihan-pilihan kebijakan yang akan memberi para pemilih suatu pilihan terbaik yang
realistik dan tujuan yang dapat dicapai.
Fungsi ini secara sangat jelas dibawakan oleh partai dalam sistem parlementer yang dapat
mengklaim membawa amanat untuk melaksanakan kebijakannya jika terpilih untuk berkuasa.
Tetapi hal itu juga bisa terjadi di dalam siste presidensial yang biasanya partai-partai nonprogram semisal dalam kasus partai Republik di Amerika Serikat yang menyerukan kontrak
dengan Amerika! dalam pemilihan Kongres tahun 1994.
Namun demikian, tendensi de-ideologisasi partai catch-all dan fakta bahwa kampanye
pemilihan umum semakin menekankan pada figur dan citra kandidat ketimbang kebijakan
dan isu, telah secara umum mereduksi peran partai-partai sebagai perumus kebijakan. Lebihlebih, program partai biasanya juga mengalami modifikasi oleh adanya tekanan dari rakyat
sipil dan kelompok kepentingan, dan juga keadaan domestik dan internasional. Implementasi
kebijakan, di sisi lain, biasanya lebih dilaksanakan oleh birokrasi ketimbang partai, kecuali di
dalam sistem ekapartai (partai tunggal) seperti di negara-negara komunis ortodoks, di mana
partai berkuasa mengawasi aparatur negara pada level mana pun.
4. Artikulasi dan agregasi kepentingan
Dalam proses pengembangan tujuan-tujuan kolektif, partai-partai juga membantu
mengartikulasikan dan mengagregasikan berbagai kepentingan masyarakat. Memang, partai
sering berkembang sebagai kendaraan melalui mana kelompok-kelompok bisnis, buruh,
agama, etnik, atau kelompok lainnya, memperluas atau mempertahankan beragam
kepentingannya.
Contohnya, Partai Buruh di Inggris, diciptakan oleh gerakan serikat dagang untuk tujuan
mendapatkan representasi politik klas pekerja. Partai lain secara efektif memiliki kemampuan
untuk merekrut kepentingan dan kelompok tertentu untuk memperluas basis pemilihnya,
sebagaimana yang dilakukan partai-partai di Amerika Serikat di akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20 kepada kelompok-kelompok imigran.
Fakta bahwa partai-partai nasional sedemikian mengartikulasikan tuntutan dari beragam
kekuatan memaksa partai-partai itu untuk mengagregasikan kepentingan ini dengan
membawanya ke dalam kesatuan kepentingan yang koheren dan menyeimbangkan
kepentingan-kepentingan yang berlawanan. Partai-partai konstitusional secara jelas dipaksa

untuk melakukan hal ini di bawah tekanan kompetisi pemilihan umum, tetapi bahkan partaipartai monopolistik pun mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan melalui
hubungan dekatnya dengan negara dan ekonomi, khususnya di dalam sistem ekonomi yang
terencana secara terpusat.
Tetapi, bahkan di dalam sistem partai kompetitif pun tidak semua kepentingan diartikulasikan
dan apalagi diagregasikan. Kelompok-kelompok kecil, yang relatif miskin dan secara politik
tak terorganisir menjadi sangat rentan untuk dikucilkan dari proses artikulasi kepentingan.
5. Sosialisasi dan mobilisasi
Melalui debat dan diskusi internal, dan juga berkampanye serta berkompetisi dalam
pemilihan umum, partai-partai menjadi agen penting pendidikan dan sosialisasi politik. Isuisu yang dipilih oleh partai untuk memusatkan perhatian pada agenda politik tertentu, dan
tata nilai serta sikap yang ditunjukkannya menjadi bagian dari budaya politik yang lebih luas.
Dalam kasus partai monopolistik, propaganda ideologi resmi (misal, Marxisme-Leninisme,
Sosialisme Nasional, atau seadar gagasan-gagasan pemimpin karismatik) secara sadar diakui
sebagai fungsi yang sentral, jika bukan fungsi utama.
Partai-partai utama dalam sistem kompetitif memainkan peran yang tak kalah pentingnya
dalam mendorong kelompok-kelompok untuk bermain dalam koridor aturan main demokrasi,
dengan demikian mengerahkan dukungan bagi rezim itu sendiri. Contohnya, kebangkitan
partai-partai sosialis di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan cara yang penting
untuk mengintegrasikan klas pekerja ke dalam masyarakat industri.
Namun demikian, kapasitas partai untuk mobilisasi dan sosialisasi kemudian diragukan
karena terdapat bukti-bukti di banyak negara adanya para partisan yang keluar dari partai dan
semakin tidak menariknya partai-partai pro-sistem konvensional. Masalah yag disandang
oleh partai-partai adalah, sampai batas tertentu, mereka sendiri korup, sehingga membuatnya
kurang efektif dalam meraih simpati dan gagal menarik perhatian dan perasaan para partisan.
6. Pengorganisasian pemerintah
Sering dilontarkan pendapat yang menyatakan bahwa dalam masyarakat modern yang rumit
akan menjadi nirpemerintahan apabila tidak ada partai politik. Pada awalnya partai
membantu pembentukan pemerintahan, di dalam sistem parlementer sampai dengan yang
dapat disebut sebagai pemerintahan oleh partai.
Partai juga memberi pemerintah sebentuk stabilitas dan keberlangsungan, khususnya jika
anggota pemerintahan itu diambil dari satu partai dan dengan demikian dipersatukan oleh
simpati dan keterikatan bersama. Bahkan jika pemerintah itu dibentuk dari suatu koalisi
partai-partai itupun akan membantu persatuan dan persetujuan dari pihak-pihak yang masingmasing berbeda prioritasnya.
Lebih jauh lagi, partai-partai memberi fasilitas bagi kerja sama antara dua cabang utama
pemerintahan, yakni majelis (dewan) dan eksekutif. Dalam sistem parlementer, hal ini secara
efektif dijamin oleh fakta bahwa pemerintah dibentuk dari partai atau partai-partai yang
memiliki kursi mayoritas di majelis (dewan). Tetapi bahkan di dalam sistem presidensial pun,

kepala eksekutif dapat memberikan sebentuk pengaruh, jika bukan kendali, melalui daya
tarik kebersatuan partai.
Akhirnya, partai-partai menyediakan, setidaknya di dalam sistem yang kompetitif, sumber
vital dari oposisi dan kritik, baik di dalam maupun di luar pemerintah. Dan juga dengan
memperluas debat politik dan mendidik para pemilih, hal ini membantu memastikan bahwa
kebijakan pemerintah akan lebih dapat diawasi dengan baik dan dengan demikian dapat
dilaksanakan dengan baik pula.

1.4. PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN


-

Bentuk Bentuk Partisipan

Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor kebiasaan partisipasi


politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud
nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson
membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
1. Kegiatan Pemilihan yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan
umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan
bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha
mempengaruhi hasil pemilu;
2. Lobby

yaitu

upaya

perorangan

atau

kelompok

menghubungi

pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka


tentang suatu isu;
3. Kegiatan Organisasi yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi,
baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh pemerintah;
4. Contacting yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun
jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi
keputusan mereka, dan
5. Tindakan Kekerasan (violence) yaitu tindakan individu atau kelompok
guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan
kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huruhara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan
pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah
menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak
membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk
partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman,
pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke
dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson relatif lengkap.
Hampir setiap fenomena bentuk partisipasi politik kontemporer dapat
dimasukkan ke dalam klasifikasi mereka. Namun, Huntington dan Nelson
tidak memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi
politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam
skala subyektif individu.

Budaya Politik Partisipan

Budaya politik yang partisipasif adalah budaya politik yang demokratik, dalam hal ini, akan
mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratik dan stabil. Budaya politik yang
demokratik ini menyangkut suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi, dan
sejenisnya, yang menopang terwujudnya partisipasi, kata Almond dan Verba.
Masayarakat dalam budaya politik ini mamahami bahwa mereka berstatus warga negara dan
memberikan perhatian terhadap sistem politik. Masyarakat memiliki kebangsaan dan kemaua
untuk berperam dalam sistem politik. Selain itu, masyarakat dalam budaya politik imi memiliki
keyakinan dapat memengaruhi pengambilan kebijakan publik dan membentuk kelompok untuk
melakukan protes jika pelaksamaa pemerintah tidak transparan.
Dalam budaya politik partisipan ini, demokrasi dapat berkembang dengan baik. Hal ini
dikarenakan terjadinya hubungan yang harmonis antara warga negara dan pemerintah yang
ditunjuk oleh tingkat kompetensi politik (penyelesaian sesuatu secara politik), dan tingkat
efficacy (keberdayaan). Dapat dikatakan bahwa tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi
secara politik.
Dalam budaya politik partisipan, orientasi politik warga terhadap kesulurahan objek, baik umum,
input, maupun output secara pribadinya mendekati satu atau dapat dikatakan tinggi.
Menurut Bronson dan kawan-kawan dalam bukunya Belajar Civic Education dari
Amerika,beberapa karakter publik dan privat sebagai perwujudan budaya partisipan sebagai
berikut:
a. Menjadi anggota masyarakat yang independen. Karakter ini meliputi,
1. Kesadaran pribadi untuk bertanggung jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan
atau pengawasan dariluar;
2. Bertanggung jawab atas tindakan yang di perbuat;
3. Memenuhi kewajiban moral dan hukum sebagai anggota masyarakat demokrtis.
b. Memenuhi tanggung jawab personal kewargaan dibidang ekonomi dan politik. Tanggung jawab
ini antara lain meliputi:
1. Memelihara atau menjaga diri;
2. Memberi nafkah dan merawat keluarga;
3. Mengasuh dan mendidik anak.
Didalamnya termasuk pula mengikuti informasi tentang isu-isu publik, seperti:
1. Menentukan pilihan (voting);
2. Membayar pajak;
3. Menjadi juri di pengadilan;
4. Melayani masyarakat;
5. Melakukan tugas kepemimpinan sesuai bakat masing-masing.
c. Menghormati harkat dan marabat kemanusiaan setiap invidu.
1. Menghormati orang lain berarti mendengarkan pendapat mereka.
2. Bersifat sopan.
3. Menghargai hak-hak dan kepentingan-kepentingan sesama warga negara.
4. Meengikuti aturan prinsip mayoritas namun tetap menghargai hak-hak minoritas untuk
d.

berbeda pendapat.
Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana.
Karakterini merupakan sadar informasi sebelum :
1. Menentukan pilihan (voting) atau berpartisipasi dalam debat publik:

2. Terlibat dalam diskusi yang santun dan serius;


3. Memegang kendali dalam kepemimpinan bila di perlukan;
4. Membuat evaluasi tentang kapan saatnya kepentingan pribadi seseorang sebagai warga
negara harus di kesampingkan demi memenuhi kepentingan publik;
5. Mengavaluasi kapan seseorang karena kewajiban atau prinsip-prinsip konstitusional di
e.

haruskan menolak tuntutan-tuntutan kewarganegaraan tertentu.


Mengembangkan fungsi demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter ini meliputi:
1. Sadar informasi dan kepekaan terhadap unsur-unsur publik;
2. Melakukan penalahan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional;
3. Memonitor keputusan para pemimpin politik dan lembaga-lembaga publik agar sesuai
dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip tadi;
4. Mengambil langkah-langkah yang di perlukan bila ada kekurangannya.
Karakter ini mengarahkan warga negara agar bekerja dengan cara-cara yang damai dan
legal dalam rangka mengubah undang-undang yang dianggap tidak adil dan tidak
bijaksana.
Budaya politik partisipan adalah salah satu jenis budaya politik bangsa. Dalam budaya
politik partisipan, orientasi politik warga terhadapkesluruhan objek politik, baik umum,
input dan output, maupun pribadinya mendekati satu atau dapat dikatakan tinggi.
Berdasar hal ini maka ciri-ciri budaya politik partisipan adalah sebagai berikut:
a. Anggota masyarakat sangat partisipatif terhadap semua objek politik, baik menerima
maupun menolak suatu objek politik
b. Kesadaran bahwa ia adalah warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis
c. Warga menyadari akan hak dan tanggung jawabnya (kewajibannya) dan mampu
mempergunakan hak itu serta menanggung kewajibannya
d. Tidak menerima begitu saja keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin, tetapi dapat
menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input, output
ataupun posisi dirinya sendiri
e.

Kehidupan politik dianggap sebagai sarana trnsaksi seperti halnya penjual dan
pembeli. Warga dapat menerima berdasar kesadaran, tetapi juga mampu menolak
berdasarkan penilaiannya sendiri

Budaya Politik yang bertentangan dengan semangat pembangunan Politik Bangsa

Suatu pemerintahan dengan budaya politik yang bertentangan dengan semangat pembangunan
politik bangsa yang transparan (terbuka) apabila dalam penyelenggaraan sistem politik
pemerintahannya tidak terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan
sehigga tidak mudah di akses oleh masyarakat sebagai warga bangsa yang membutuhkan.
Budaya politik feodalisme yang terjadi adalah merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana
seorang pemimpin bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan
bangsawan,tetapi lebih rendah mereka biasa disebut vazal. Dalam penggunaan bahasa sekalipun,
sering kalli digunakan untuk menunjuk para perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan
perilaku para penguasa yang zalim,seperti kolot,selalu ingin di hormati atau bertahan pada nilai-

nilai lama yang sudah banyak di tinggalkan,artinya sudah banyak tidak sesuai lagi dengan
pengertian politik yang sesungguhnya.
Realitas budaya politik masih menjadi kendala bagi proses pendidikan politik karena masih di
warnai oleh kuatnya pengaruh nilai-nilai feodalisme,primordialisme,dan paternalisme berlebihan
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kondisi itu di perparah dengan makin sulitnya mencari
figur-figur yang dapat diteladani dalam kepemimpinan nasional. Keadaan ini di rasakan
mempersuli mahasiswa dan kaum yang terpelajar dalam mengoperasionalkan konsep dan nilainilai yang terkandung dalam khasanah budaya bangsa.
Banyak kalangan berpendapat, di era Orde Reformasi ini,korupsi,kolusi,dan nepotisme(KKN)
tetap hidup dan bahkan makin berkembang(wajah baru KKN). Pemilihan pejabat publik, baik di
pemerintahan maupun BUMN, masih menggunakan cara lama; siapa dekat dia dapat.
Pertimbangan profesional buakn acuan utama. Akibat KKN,harta republik telah menjadi barang
jarahan yang hanya menguntungkan sedikit orang.
Tindakan KKN memiliki kecendrungan terstruktur dalam kehidupan masyarakat politik.
Tentang

perubahan

struktur

ini,

para

ilmuan

sosial

memasuki

perdebatan

yang

melelahkan,bahkan hampir tidak dapat diselesaikan. Dari kacamata strukturalisme,perilaku


individu akan ditentukan oleh kondisi strukturalnya (structure conduct performance). Sebaliknya
dari kacamata individualisme, struktur adalah hasil perilaku para aktor politik. Titik tengahnya
adalah menganggap bahwa aksi para individu dan struktur adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan (dualitas). Aksi individu hanya bisa dipahami dari dan sebaliknya struktur hanya
biasa dijelaskan dari aksi para individunya (Giddens, 1984). Dalam kacamata strukturasi ini, tiap
individu memiliki kebebasan untuk melakukan aksi, tetapi dalam kerangka aturan main
tertentu yang memengaruhinya. Dalam pengertian neoinstitusionalisme, ada roh yang
memengaruhi cara pandang (sense making) para individu yang akan menghalangi (contraining)
atau mendorong (enabling) tindakan tertentu. Weick (1979) menyebut lingkungan sosial sebagai
sesuatu yang mendorong (enactment) aksi individu.
Suatu hal yang patut kita sayangkan adalah hingga saat ini belum pernah atau belum ada
contoh yang baik tentang penegakan perilaku KKN. Masih banyak birokrat dan pejabat tinggi
negara yang terang-terangan melakukan praktik ini. Dengan demikian, tidak mengherankan
apabila semua orang berlomba-lomba untuk melakukan hal yang tampaknya bersifat profesional.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi orang berperilaku tidak mau melibatkan diri dalam
politik (partisipan). Robert dahl menyebutkan alasan sebagai berikut.
1. Orang mungkin kurang tertarik dalam politik jika mereka memandang rendah terhadap segala
manfaat yang diharapkan dari keterlibatan politik, dibandingkan dengan manfaat yang akan
diperleh dari berbagai aktivitas lainnya.
2. Orang merasa tidak melihat adanya perbedaan yang tegas dengan keadaan sebelumnya,
sehingga apa yang dilakukan seorang tersebut tidaklah menjadi persoalan.
3. Seseorang cenderung kurang terlibat dalam politik jika merasa bahwa tidak ada masalah
terhadap hal yang dilakukan, karena ia tidak dapat mengubah dengan jelas hasilnya.

4. Seseorang cenderung kurang terlibat dalam politik jika merasa bahwa hasil-hasilnya relatif
akan memuaskan orang tersebut sekalipun ia tidak berperan di dalamnya.
5. Jika pengetahuan seseorang tentang politik tersebut terlalu terbatas untuk dapat menjadi
efektif.
6. Semakin besar kendala yang dihadapi dalam perjalanan hidup, semakin kecil kemungkinan
bagi seseorang untuk terlibat dalam politik.
-

Contoh Budaya Politik Partisipan Dalam Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan


Bernegara

1.

Kritis Memilih Partai Politik, Anggota Parlemen(DPR/DPRD dan DPD)


Sikap kritis dalam pemilu juga harus diarahkan pada partai politik, calon anggoya Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan anggoya legislatif, mulai dari tingkat pusat sampai dengan
kabupaten/kota. Sikap kritis ini sangat penting karena merekalah yang akan mewakili rakyat
Indonesia untuk memperjuangkan aspirasi politik rakyat. Kritisme pada partai politik siarahkan
pada platform partai politik untuk memperjuagkan aspirasi dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam sistem proporsional terbuka, rakyatlah yang berkuasa menentukan kelayakan calin
anggota legislatif. Untuk itu, masyarakat pemilih harus melakukan seleksi dan penyaringan
secara ketat terhadap para calin tersebut, baik dari segi moral maupun kapasitasnya. Jika terdapat
calon anggota legislatif tidak memenuhi persyaratan moral, kewibawaan dan kejujuran
(integritas), dapat dipercaya (kredibilitas), dan memiliki kemampuan/keahlian pada umumnya
(akuntabilitas publik) maka sikap terbaik masyarakat pemilih tentunya adalah tidak memilih
calon tersebut.
Di alam keterbukaan dan informasi ini, rakyat tentunya dapat mengakses informasi seluasluasnya tentang perilaku politik seorang calin anggota legislatif ataupun partai politik. Dengan
demikian, rakyat sebenarnya dapat menentukan secara objektif siapa dan partai apa yang benarbenar memperjuangkan kepentingan rakyat ataukah hanya sekadar menjual janji-janji muluk
belaka.
2. Kritis Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Kritisme pada pemilihan presiden dan wakil presiden lebih ditekankan pada kualitas diri
calon yang akan dipilih tersebut, baik dari segi visi kenegaraan, kredibilitas moral, amanah,
kapabilitas, maupun kebersihan dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Okeh karena itu,
masyarakat pemilih perlu mengetahui terlebih dahulu track record cali presiden dan wakil
presiden. Masyarakat pemilih perlu mengikuti perkembangan informasi melalui media massa
dan berbagai sumber informasi lain uang akurat untuk melakukan pemeriksaam kembali (cross
check) tentang kredibilitas moral dan kapabilitas calon presiden maupun wakil presiden.
3. Kritisme dalam Mewujudka Pemilu Luber dan Jurdil
Pemilu yang Luber dan Jurdil merupakan harapan dari segenap rakyat Indonesia, sekaligus
merupakan perwujudan dari pemilu yang demokratis. Oleh karena itu, sikapa kritis dari pemilih

dan warga Idonesia sengat diperlukan untuk mewujudkan pemilu yang Luber dan Jurdil. Untuk
itu diperlukan persyaratan minimal, di antaranya sebagai berikut.
a) Peraturan perundangan yang mengatur pemilu harus tidak tidak membuka peluang bagi
terjadinya tindak kecurangan ataupun menguntungkan satu atau beberapa pihak tertentu.
b) Peraturan pelaksanaan pemilu yang memuat petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan
pemilu harus tidak membuka peluang bagi terjadinya kecurangan ataupun menguntungkan
satu atau beberapa pihak tertentu.
c) Badan/lembaga penyelenggara maupun panitia pemilu baik di tingkat pusat maupun daerah
harus bersifat mandiri dan independen.
d) Partai politik peserta pemilu memiliki kesiapan yang memadai untuk terlibat dalam
penyelenggaraan pemili, khususnya yang berkaitan dengan kepanitiaan pemilu serta
kemampuan mempersiapkan saksi-saksi di tempat pemungutah suara,
e) Lembaga/organisasi/jaringan pemamtauan pemilu harus terlibat aktif dalam suatu proses dan
tahapan pemilu di semua tingkatan di seluruh wilayah pemilihan untuk memantau
perkembangan penyelenggaraan pemilu.
f) Anggota masyarakat luas, baik secara perorangan dan kelompok maupun yang terhimpun
dalam

organisasi-organisasi

kemasyarakatan

harus

aktif

dalam

memantau

setiap

perkembangan penyelenggaraan pemilu daerah masing-masing.


g) Insan pers dan media massa harus memberikan perhatian secara khusus pada setiap
penyelenggaraan pemilu.
h) Memupuk kesadaran politik setiap warga negara supaya semakin sadar akan hak politiknya
dalam pemilu.
E. Contoh Perilaku yang Berperan Aktif dalam Politik yang Berkembang di Masyarakat
Komunitas pelajar seharusnya memilliki peran besar untuk melakukan perubahan sosial
politik yang lebih baik. Melalui pemilu, pelajar bisa menjadikannya sebagai momentun untuk
mendorong perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain kearah yang lebih baik
dengan melalui pemerintahan yang dipilih melalui pemilu. Selain itu, pemilu harus juga
menjadikan momentum yang damai dan beradap. Semua ini dimaksudkan sebagai upaya
melakukan pendidikan politik rakyat yang lebih luas, karena dengan demikian pelajar sebagai
komunitas terpelajar dan terdidik bisa menjadi salah satu rujukan untuk menentukan pilihan
pemilu secara arif, bijaksan, krisis, dan rasional.
Berkaitan dengan kenyataan tersebut, maka keberadaan pelajar sebagai pemilih pemilu perlu
mengambil sikap dan langkah-langkah yang positif dan konstruktif dalam penyelenggaraan
pemilihan umum, antara lain sebagai berikut.
1. Aktif tanpa kekerasan dalam pemilihan umum
Pelajar hendaknya berpartisipasi secara aktif dalam pemilihan umum, tetapi hindarkan diri
dari kekerasan dan anarkisme massa, ciptakan pemilu yang demokratis, damai, dan beradap.
2. Pemilhan umum sebagai gerakan anti korupsi
Pelajar sebagai pemilih pemula aktif dan selektif dalam memilih calon pemimpin nasional
dan wakil-wakil yang bersih, agar kelak dalam melaksanakan pemerintahan tidak
melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
3. Anti terhadap Money PoliticsI
Money Politics merupakan salah satu bentuk kecurangan dalam pemilu. Pelajar sebagai
pemilih pemula hendaknya menggunakan hati nurani dan akal pikiran yang sehat ketika
menggunakan hak pilihnya di dalam memilih pemilu.
4. Tidak mudah dieksploitasi

Pemilu merupakan salah satu media pembelajaran politik bagi terbentuknya komunikasi
politik yang demokratis dimasa mendatang. Oleh karena itu, pelajar sebagai pemilih pemula
jangan mudah dieksploitasi dalam pemilu untuk kepentingan sesaat kelompok tertentu.
5. Tidak Apatis
Komunitas pelajar yang memiliki jumlah signifikan jangan bersikapa apatis dalam pemilu.
Gunakan hak pilih dengan menggunakan hati nurani dan akal pikiran yang sehat ketika
memilh wakil-wakil raktyat yang duduk di perlement, presiden dan wakil presiden, partai
politik sebagai kontestan dalam pemilu, dan sebagainya.

You might also like