You are on page 1of 13

Miopia

Definisi
Miopia disebut dengan rabun jauh akibat berkurangnya kemampuan untuk melihat jauh akan
tetapi dapat melihat dekat dengan lebih baik. Apabila bayangan dari benda yang terletak jauh
berfokus di depan retina pada mata yang tidak berakomodasi, maka mata tersebut mengalami
miopia, atau penglihatan dekat (nearsight).
Etiologi
Faktor genetik dapat menurunkan sifat miopia ke keturunannya, baik secara autosomal
dominan maupun autosomal resesif.
Hilangnya bentuk mata (hilangnya pola mata), terjadi ketika kualitas gambar dalam retina
berkurang.
Berkurangnya titik fokus mata maka akan terjadi ketika titik fokus cahaya berada di depan
atau di belakang retina. Miopia akan terjadi karena bola mata tumbuh terlalu panjang pada
saat masih bayi. Dikatakan bahwa semakin dini mata seseorang terkena sinar terang secara
langsung, maka semakin besar kemungkinan mengalami miopia. Ini karena organ mata
sedang berkembang dengan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan. Akibatnya, para
penderita miopia umumnya merasa bayangan benda yang dilihatnya jatuh tidak tepat pada
retina matanya, melainkan didepannya.
Klasifikasi
a) Miopia aksial, yaitu terjadinya miopia akibat panjangnya sumbu bola mata (diameter
antero-posterior), dengan kelengkungan kornea dan lensa normal
b) Miopia kurvatura, yaitu terjadinya miopia diakibatkan oleh perubahan dari kelengkungan
kornea atau perubahan kelengkungan dari pada lensa seperti yang terjadi pada katarak
intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat, dimana
ukuran bola mata normal

c) Perubahan indeks refraksi atau miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media
penglihatan seperti yang terjadi pada penderita diabetes melitus sehingga pembiasan lebih
kuat.
Menurut derajat beratnya miopia dibagi menjadi miopia ringan, miopia sedang, dan miopia
berat atau tinggi. (a) Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri; (b) Miopia
sedang dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri; dan (c) Miopia berat atau tinggi, dimana
miopia lebih besar dari 6 dioptri.
Menurut Ilyas (2008), perjalanan miopia dikenal dalam bentuk miopia stasioner, miopia
progresif, dan miopia maligna. (a) Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa; (b)
Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah
panjangnya bola mata; dan (c) Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa = miopia
maligna = miopia degeneratif.
2.1.4. Patofisiologi

Pada saat baru lahir, kebanyakan bayi memiliki mata hiperopia, namun saat pertumbuhan,
mata menjadi kurang hiperopia dan pada usia 5-8 tahun menjadi emetropia. Proses untuk
mencapai ukuran emetrop ini disebut emetropisasi. Pada anak dengan predisposisi berlanjut,
namun mereka menderita miopa derajat rendah pada awal kehidupan. Saat mereka terpajan
pada faktor miopigenik seperti kerja jarak dekat secara berlebihan yang menyebabkan
bayangan buram dan tidak terfokus pada retina. Miopisasi berlanjut untuk mencapai titik
fokus yang menyebabkan elongasi aksial dan menimbulkan miopia derajat sedang pada late
adolescence (Fredrick, 2002).
Dua mekanisme patogenesis terhadap elongasi pada miopia yaitu:
1. Menurut tahanan sklera
a. Mesodermal Abnormalitas

Mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat mengakibatkan elongasi sumbu
mata. Percobaan Columbre dapat membuktikan hal ini, dimana pembuangan sebagian
mesenkim sklera dapat menyebabkan terjadi ektasia pada daerah ini karena adanya perubahan
tekanan dinding okular (Sativa, 2003).
Universitas Sumatera Utara

b. Ektodermal-Mesodermal

Vogt awalnya memperluasnya konsep bahwa miopia adalah hasil ketidakharmonisan


pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina yang berlebihan dengan bersamaan
ketinggian perkembangan baik koroid maupun sklera menghasilkan peregangan pasif
jaringan. Meski alasan Vogt pada umumnya tidak dapat diterima, telah diteliti ulang dalam
hubungannya dengan miopia bahwa pertumbuhan koroid dan pembentukan sklera dibawah
pengaruh epitel pigmen retina (Sativa, 2003).
2. Meningkatnya suatu kekuatan yang luas
a. Tekanan intraokular basal
Contoh klasik miopia sekunder terhadap peningkatan tekanan basal terlihat pada glaukoma
juvenil dimana bahwa peningkatan tekanan berperan besar pada peningkatan pemanjangan
sumbu bola mata (Sativa, 2003).
b. Susunan peningkatan tekanan
Secara anatomis dan fisiologis sklera memberikan berbagai respon terhadap induksi
deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan pada stress. Kedipan kelopak mata
yang sederhana dapat meningkatkan tekanan intraokular 10 mmHg, sama juga seperti
konvergensi kuat dan pandangan ke lateral. Pada valsava manuver dapat meningkatkan
tekanan intraokular 60 mmHg (Sativa, 2003).
2.1.5. Faktor Risiko
Terdapat dua pendapat yang menerangkan faktor risiko terjadinya miopia, yaitu berhubungan
dengan faktor herediter atau keturunan, faktor lingkungan, dan gizi (Ilyas, 2008).
2.1.5.1. Faktor Herediter atau Keturunan
Faktor risiko terpenting pada pengembangan miopia sederhana adalah riwayat keluarga
miopia. Beberapa penelitian menunjukan 33-60% prevalensi

Universitas Sumatera Utara

miopia pada anak-anak yang kedua orang tuanya memiliki miopia, sedangkan pada anakanak yang salah satu orang tuanya memiliki miopia, prevalensinya adalah 23-40%.
Kebanyakan penelitian menemukan bahwa ketika orang tua tidak memiliki miopia, hanya 615% anak-anak yang memiliki miopia (White, 2005). Penelitian yang dilakukan Gwiazda dan
kawan-kawan melaporkan anak yang mempunyai orang tua miopia cenderung mempunyai
panjang aksial bola mata lebih panjang dibanding anak dengan orang tua tanpa miopia.
Sehingga anak dengan orang tua yang menderita miopia cenderung menjadi miopia
dikemudian hari (Jurnal Oftalmologi Indonesia, 2008). Indeks heritabilitas yang tinggi
ditemukan dalam studi terhadap anak kembar yaitu dari 75% sampai 94%. Studi dengan
jumlah sampel yang besar pada kembar yang monozigot dan dizigot indeks heritabilitasnya
diestimasikan sekitar 77% (Myrowitz, 2012).
Penyakit yang terutama disebabkan oleh keturunan ditemukan cenderung memiliki onset
yang lebih cepat, terutama pada anggota keluarga, dan banyak gejala klinis yang berat
dibandingkan dengan kondisi yang sama tetapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hal ini
telah digambarkan dengan jelas oleh Liang et al. Peneliti-peneliti ini mempelajari tentang
miopia, terutama mengenai dampak dari tingginya miopia akibat keturunan dan hubungannya
dengan tingkat keparahan serta awal mula timbulnya miopia (White, 2005).
2.1.5.2. Faktor Lingkungan
Tingginya angka kejadian miopia pada beberapa pekerjaan telah banyak dibuktikan sebagai
akibat dari pengaruh lingkungan terhadap terjadinya miopia. Hal ini telah ditemukan,
misalnya terdapat tingginya angka kejadian serta angka perkembangan miopia pada
sekelompok orang yang menghabiskan banyak waktu untuk bekerja terutama pada pekerjaan
dengan jarak pandang yang dekat secara intensive. Beberapa pekerjaan telah dibuktikan dapat
mempengaruhi terjadinya miopia termasuk diantaranya peneliti, pembuat karpet, penjahit,
mekanik, pengacara, guru, manager, dan pekerjaan-pekerjaan lain (White, 2005).
Selain itu, faktor yang diketahui dapat mempengaruhi miopia adalah pendidikan. Beberapa
penelitian secara konsisten menyatakan bahwa terdapat
Universitas Sumatera Utara

hubungan yang kuat antara tingkat pendidikan dan kejadian miopia. Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, semakin tinggi risiko untuk terjadinya miopia. Goldschmidt
melaporkan bahwa angka kejadian miopia pada mahasiswa di Hong Kong dan Taiwan lebih
dari 90% dengan derajat miopia rata-rata 4-5 D (White, 2005).
Identifikasi hubungan antara miopia dengan near-working, dengan cara menghubungkan
miopia dengan intelektualitas sangatlah rumit. Penelitian oleh Saw et als di Singapore
menyebutkan bahwa mereka yang memiliki derajat miopia yang tinggi dan rendah banyak
terjadi selama masa sekolah. Sebuah pola umum telah dilaporkan pada beberapa peneliti di
literatur bahwa anak dengan miopia cenderung memiliki intelektualitas yang lebih tinggi dan
hasil belajar yang lebih baik. Kegiatan ektrakulikuler telah teridentifikasi sebagai faktor
penyebab yang memungkinkan berkembangnya miopia pada pelajar berdasarkan fakta
terdapatnya perbedaan ektrakulikuler yang diikuti oleh siswa di sekolah, yaitu bimbingan
belajar atau kelompok belajar yang kegiatannya yaitu membaca (White, 2005). Seiring
dengan kemajuan teknologi dan telekomunikasi seperti televisi, komputer, video game dan
lain-lain, secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan aktivitas melihat dekat
(Tiharyo, Gunawan, dan Suhardjo, 2008).
Konsumsi sayuran dan buah juga dapat mempengaruhi terjadinya miopia. Adapun sayuran
dan buah yang diketahui mempengaruhi, yaitu wortel, pisang, pepaya, jeruk, buah merica dan
cabai. Hal ini dikarenakan pada sayuran dan buah tersebut memiliki kandungan beta karoten
yang tinggi, yang nantinya akan dikonversikan menjadi vitamin A (retinol) untuk tubuh
(Lubis, Siti Mahreni Insani, 2010).
2.1.6. Gambaran Klinis

Gejala utama adalah gangguan penglihatan jarak jauh (buram). Tanda-tanda mata miopik
antara lain adalah bola mata memanjang, kamera okuli anterior dalam, dan pupil melebar.
Pada pemeriksaan dengan funduskopi, pembuluh darah koroid terlihat jelas, atrofi sebagian
koroid sehingga sklera tampak terbayang
Universitas Sumatera Utara

putih, cakram optik lebar dan pucat, pada sisi temporal terdapat tanda myopic crescent,
sedangkan pada sisi nasal terdapat supertraction crescent. Perubahan degeneratif pada retina
biasanya terjadi pada miopia progresif yang sebanding dengan derajat miopia, bercak atrofi
putih biasanya timbul di makula, namun perdarahan koroid tiba-tiba dapat menimbulkan
bercak bulat merah gelap berbentuk kasar dibagian luar makula (Abrams, 1993).
2.1.7. Diagnosis

Untuk mendiagnosis miopia dapat dilakukan pengukuran status refraksi. Pengukuran status
refraksi terlebih dahulu ditentukan dengan penentuan tajam penglihatan. Tajam penglihatan
dinilai melalui bayangan terkecil yang terbentuk di retina, dan diukur melalui obyek terkecil
yang dapat dilihat jelas pada jarak tertentu. Makin jauh obyek dari mata, maka makin kecil
bayangan yang terbentuk pada retina sehingga ukuran bayangan tidak hanya merupakan
fungsi ukuran obyek namun juga jarak obyek dari mata (Abrams, 1993). Pemeriksaan
kelainan refraksi secara obyektif dilakukan dengan menggunakan retinoskopi untuk melihat
refleks fundus dan ultrasonografi (USG) untuk mengukur panjang aksis bola mata sehingga
dapat dipastikan bahwa miopia yang terjadi bersifat aksial, namun pemeriksaan dengan USG
memerlukan biaya yang relatif mahal (Muhdadani, 1994)
Titik fokal terjauh mata tanpa bantuan berbeda pada individu yang berbeda bergantung pada
bentuk kornea. Mata ametropik mempunyai fokus optimal pada penglihatan jauh. Mata
ametropik (miopia, hyperopia atau astigmatisma) memerlukan lensa korektif untuk memiliki
fokus yang layak untuk melihat kejauhan (Chang, 2004).
Visual acuity sentral diukur dengan pemberian target dengan ukuran yang berbeda yang
diperlihatkan pada jarak standar dari mata. Sebagai contoh, Snellen Chart terdiri dari
rangkaian huruf acak yang makin lama makin kecil pada tiap barisnya. Tiap baris dirancang
dengan jarak yang berkorespondensi, dalam ukuran kaki atau meter, dimana mata normal
dapat melihat semua huruf tersebut. Penglihatan dapat diukur pada jarak 20 kaki atau 6 meter,
atau pada jarak yang
Universitas Sumatera Utara

dekat, yaitu 14 inci. Untuk tujuan diagnosa, jarak tersebut merupakan perbandingan standart
dan selalu dites berbeda pada tiap mata. Angka pertama mewakili jarak tes dalam kaki antara
chart dan pasien, dan angka kedua mewakili baris terkecil dari huruf dimana mata pasien
dapat melihat dari jarak tes. Penglihatan normal adalah 20/20; 20/60 menandai mata pasien
hanya mampu membaca huruf-huruf 20 kaki dan cukup besar untuk mata normal melihat dari
jarak 60 kaki. Chart yang berisi numeral dapat digunakan apabila pasien tidak mengerti
alphabet latin. Chart E buta huruf digunakan untuk anak-anak atau terdapat gangguan bahasa.
Figur E secara acak diputar pada keempat orientasi yang berbeda. Kebanyakan anak dapat
dites pada usia 3 setengah tahun (Chang, 2004).
Apabila pasien tidak mampu untuk membaca huruf terbesar pada chart, maka pasien tersebut
harus dipindahkan mendekati chart hingga huruf bisa dibaca. Jarak dari chart lalu dicatat
pada angka pertama. Visual acuity 5/200 berarti pasien hanya dapat melihat angka terbesar
dari 5 kaki. Sebuah mata yang tidak mampu untuk membaca semua huruf lalu dites dengan
kemampuan menghitung jari. Pencatatan pada chart yang disebut counting fingers pada 2
kaki mengindikasikan mata hanya mampu menghitung jari yang terletak 2 kaki dari pasien.
Apabila menghitung jari tidak memungkinkan, mata masih dapat melihat pergerakan vertikal
ke horizontal yang disebut hand motion. Tingkat penglihatan yang lebih rendah berikutnya
disebut LP atau light perception. Mata yang tidak mampu mengenali cahaya disebut buta total
(Chang, 2004).
2.1.8. Komplikasi

Komplikasi yang disebabkan miopia antara lain: (1) Ablasio retina, resiko untuk terjadinya
ablasio retina pada 0 D (-4,75) D sekitar 1/6662. Sedangkan pada (-5) D (-9,75) D resiko
meningkat menjadi 1/1335. Lebih dari (-10) D resiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain
penambahan faktor resiko pada miopia rendah tiga kali sedangkan miopia tinggi meningkat
menjadi 300 kali (Sativa, 2003); (2) Vitreal Liquefaction dan Detachment, badan vitreus yang
berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air dan 2% serat kolagen yang seiring
Universitas Sumatera Utara

pertumbuhan usia akan mencair secara perlahan-lahan, namun proses ini akan meningkat
pada penderita miopia tinggi. Hal ini berhubungan dengan hilangnya struktur normal
kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada
keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps badan viterus sehingga kehilangan kontak dengan retina.
Keadaan ini nantinya akan beresiko untuk terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan
retina (Sativa, 2003); (3) Miopic maculopaty, dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta
hilangnya pembuluh darah kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga
lapangan pandang berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang bisa
menyebabkan kurangnya lapangan pandang (Sativa, 2003); (4) Glaukoma, resiko terjadinya
glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi
4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta
kelainan struktur jaringan ikat penyambung pada trabekula (Sativa, 2003); (5) Katarak, lensa
pada miopia kehilangan transparansi. Bahwa pada orang dengan miopia onset katarak muncul
lebih cepat (Sativa, 2003); (6) Skotomata, komplikasi timbul pada miopia derajat tinggi. Jika
terjadi bercak atrofi retina maka akan timbul skotomata (sering timbul jika daerah makula
terkena dan daerah penglihatan sentral menghilang). Vitreus yang telah mengalami
degenerasi dan mencair berkumpul di muscae volicantes sehingga menimbulkan bayangan
lebar di retina yang sangat mengganggu pasien dan menimbulkan kegelisahan. Bayangan
tersebut cenderung berkembang secara perlahan dan selama itu pasien tidak pernah
menggunakan indera penglihatannya dengan nyaman sampai akhirnya tidak ada fungsi
penglihatan yang tersisa atau sampai terjadi lesi makula berat atau ablasio retina (Abrams,
1993).
2.1.9. Prognosis

Miopia sangat dipengaruhi oleh usia. Setiap derajat miopia pada usia kurang dari 4 tahun
harus dianggap serius. Pada usia lebih dari 4 tahun dan terutama 8-10 tahun, miopia sampai
dengan -6 D harus diawasi dengan hati-hati. Jika telah melewati usia 21 tahun tanpa
progresivitas serius maka kondisi miopia dapat diharapkan telah menetap dan prognosis
dianggap baik. Pada derajat lebih
Universitas Sumatera Utara

tinggi, prognosis harus dipertimbangkan dengan hati-hati berdasarkan gambaran fundus dan
tajam penglihatan setelah koreksi. Pada semua kasus harus diperhatikan kemungkinan
perdarahan tiba-tiba atau ablasio retina (Abrams, 1993).
2.1.10. Penatalaksanaan

Pengobatan terhadap miopia dapat dilakukan diantaranya dengan : (1) Kacamata, terapi yang
diberikan pada pasien yang menderita miopia adalah dengan pemakaian kacamata negatif
untuk memperbaiki penglihatan jarak jauh. Perubahan refraksi terkecil dimana kebanyakan
klinik merekomendasi perubahan kacamata adalah sekitar -0,5 D (Goss, 2000); (2) Lensa
kontak, lensa kontak yang biasanya digunakan ada 2 jenis yaitu, lensa kontak keras yang
terbuat dari bahan plastik polimetilmetacrilat (PMMA) dan lensa kontak lunak terbuat dari
bermacam-macam plastik hidrogen. Lensa kontak keras secara spesifik diindikasikan untuk
koreksi astigmatisma ireguler, sedangkan lensa kontak lunak digunakan untuk mengobati
gangguan permukaan kornea. Salah satu indikasi penggunaan lensa kontak adalah untuk
koreksi miopia tinggi, dimana lensa ini menghasilkan kualitas bayangan lebih baik dari
kacamata. Namun komplikasi dari penggunaan lensa kontak dapat mengakibatkan iritasi
kornea, pembentukan pembuluh darah kornea atau melengkungkan permukaan kornea. Oleh
karena itu, harus dilakukan pemeriksaan berkala pada pemakai lensa kontak; (3) Bedah
keratoretraktif, mencakup serangkaian metode untuk mengubah kelengkungan permukaan
anterior bola mata diantaranya adalah keratotomi radial, keratomileusis, keratofakia, dan
epikeratofakia; (4) Lensa intraokuler, penanaman lensa intraokuler merupakan metode pilihan
untuk koreksi kesalahan refraksi pada afakia; (5) Operasi laser refraktif, dapat mengurangi
kondisi refraksi miopia, namun tidak menurunkan laju kondisi kebutaan karena ablasio retina,
degenerasi makula, dan glaukoma akibat miopia derajat tinggi (Fredrick, 2002); (6)
Farmakologi, antikolinergik seperti atropin telah digunakan dengan kombinasi kacamata
bifokus untuk menghambat progresivitas miopia. Walaupun progresivitas miopia terhambat
selama terapi namun efek jangka pendek
Universitas Sumatera Utara

nampaknya dengan perbedaan ukuran tidak lebih dari 1-2 D dan tidak ada kasus miopia
patologis yang telah dicegah dengan terapi ini (Seet, 2001); (7) Non-farmakologi, menjaga
higiene visual dengan iluminasi yang adekuat, postur tubuh yang nyaman dan alami saat
melakukan kerja, dan menghindari kelelahan mata (Abrams, 1993).
2.1.11. Pencegahan

Menurut Curtin (2002) ada cara untuk mencegah terjadinya miopia, yaitu dengan: (1)
Mencegah kebiasaan buruk seperti, biasakan anak duduk dengan posisi tegak sejak kecil,
memegang alat tulis dengan benar, lakukan istirahat setiap 30 menit setelah melakukan
kegiatan membaca atau menonton televisi, batasi jam untuk membaca, dan atur jarak
membaca buku dengan tepat (kurang lebih 30 sentimeter dari buku) dan gunakan penerangan
yang cukup, membaca dengan posisi tidur atau tengkurap bukanlah kebiasaan yang baik; (2)
Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk melatih jauh atau melihat jauh dan dekat
secara bergantian dapat mencegah terjadinya miopia; (3) Jika ada kelainan pada mata, kenali
dan perbaiki sejak awal. Jangan menunggu sampai ada gangguan mata. Jika tidak diperbaiki
sejak awal, maka kelainan yang ada bisa menjadi permanen. Contohnya bila ada bayi
prematur harus terus dipantau selama 4-6 minggu pertama di ruang inkubator supaya dapat
mencegah tanda-tanda retinopati; (4) Untuk anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri
tinggi, segera lakukan konsultasi dengan dokter spesialis mata anak supaya tidak terjadi
juling. Dan selama mengikuti rehabilitasi tersebut, patuhilah setiap perintah dokter dalam
mengikuti program tersebut; (5) Walaupun sekarang ini sudah jarang terjadi defisiensi
vitamin A, ibu hamil tetap perlu memperhatikan nutrisi, termasuk pasokan vitamin A selama
hamil; (6) Periksalah mata anak sedini mungkin jika dalam keluarga ada yang memakai
kacamata; (7) Dengan mengenali keanehan, misalnya kemampuan melihat yang kurang,
maka segeralah melakukan pemeriksaan.
Selain Curtin (2002), menurut Wardani (2009) ada cara lain untuk mencegah terjadinya
miopia, yaitu dengan: (1) Melakukan pemeriksaan mata secara berkala
Universitas Sumatera Utara

setiap 1 tahun sekali atau sebelum 1 tahun bila ada keluhan (terutama yang telah memakai
kacamata); (2) Istirahat yang cukup supaya mata tidak cepat lelah; (3) Kurangi kebiasaan
yang kurang baik untuk mata, misalnya membaca sambil tiduran dengan cahaya yang redup.
Jarak aman untuk membaca adalah sekitar 30 cm dari mata dengan posisi duduk dengan
penerangan yang cukup baik (tidak boleh terlalu silau atau redup). Lampu harus difokuskan
pada buku yang dibaca; (4) Jaga jarak aman saat menonton televisi. Jarak yang ideal adalah 2
meter dari layar televisi dan usahakan posisi layar sejajar dengan mata dan pencahayaan
ruangan yang memadai; (5) Bila bekerja di depan komputer, usahakan setiap 1-1,5 jam sekali
selama 5-10 menit untuk memandang ke arah lain yang jauh, dengan maksud untuk
mengistirahatkan otot-otot bola mata. Dan jangan lupa untuk sering berkedip supaya
permukaan bola mata selalu basah; (6) Perbanyak konsumsi makanan, baik sayuran maupun
buah-buahan yang banyak mengandung vitamin A, C, E dan lutein yang berfungsi sebagai
anti-oksidan karotenoid pemberi warna kuning jingga pada sayuran dan buah-buahan; (7)
Tidak merokok dan hindari asap rokok, karena rokok dapat mempercepat terjadinya katarak
dan asap rokok dapat membuat mata menjadi cepat kering; (8) Gunakanlah sunglasses yang
dilapisi dengan anti UV bila beraktifitas di luar ruangan pada siang hari. Hal ini untuk
mencegah paparan sinar matahari yang berlebihan oleh karena sinar matahari mengandung
sinar ultraviolet (UV) yang tidak baik untuk sel-sel saraf di retina; (9) Aturlah suhu ruangan
bila menggunakan pendingin ruangan. Kelembaban yang baik untuk permukaan mata
berkisar antara 22-25 C. Jadi bila menggunakan AC jangan terlalu dingin karena penguapan
mata menjadi lebih cepat sehingga mata menjadi cepat kering.
Universitas Sumatera Utara

You might also like