You are on page 1of 3

THE OK TEDI COPPER MINE

Case Study
BHP (berubah nama menjadi BHP Billiton sejak 2001 setelah merger dengan BillIton
PLC) didirikan di Australia pada tahun 1885 sebagai perusahaan yang bergerak dalam
penemuan, pengembangan, produksi sumber daya, pemasaran biji besi, baja, batu bara,
tembaga, gas dan minyak, berlian, perak, emas, timah, seng, dan beberapa sumber daya alam
lainnya. Pada abad 20, perusahaan menjadi pemimpin pasar global dalam tiga bidang operasi
bisnis: mineral, minyak, dan baja. Pada 1967, Papua Nugini menunjuk BHP untuk
mengembangkan tambang guna mengeksplotasi simpanan tembaga terbesar yang ditemukan
pada tahun 1963 di dataran tinggi bagian barat Papua Nugini. Pemerintah kemudian secara
resmi memberikan izin untuk pembentukan kelompok Ok Tedi Mining Company Limited
(OTML), sebuah perusahaan patungan yang didirikan untuk mengembangkan tambang Ok
Tedi. Tambang ini dimiliki oleh BHP sebanyak 52 persen, pemerintah Papua Nugini memiliki
30 persen, dan Inmet Mining Corporation, perusahaan Kanada, memiliki 18 persen.
Tambang ini akan menggunakan teknik tambang terbuka konvensional untuk
mengekstrak sekitar 30 juta ton bijih tembaga dan 55 juta ton limbah batuan setiap tahun. UU
Pertambangan tahun 1976 mengharuskan kontrol lingkungan konvensional digunakan oleh
OTML untuk meminimalkan kerusakan lingkungan, termasuk fasilitas penyimpanan besar di
belakang bendungan yang akan digunakan untuk menyimpan sekitar 80 persen tailing dan
limbah yang dihasilkan oleh tambang. Pembangunan fasilitas penampungan limbah tailing
dimulai pada 1983, setahun sebelum tambang dijadwalkan beroperasi. Namun pada tahun
1984 tanah longsor menghancurkan fondasi bendungan penampungan limbah tersebut.
OTML meminta kepada pemerintah untuk mengijinkan tambang dibangun tanpa fasilitas
pembuangan limbah, atau pembukaan tambang tidak sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.
Pemerintah Papua Nugini kemudian mengijinkan tambang beroperasi tanpa fasilitas
penampungan limbah. Efek dari pembuangan limbah ini mulai terlihat pada hutan hujan
sekitar sungai Ok Tedi dan Fly pada 1980-an ketika tingkat sedimen dari sungai meningkat
lebih dari empat kali lipat, dari level alami sebelumnya 100 bagian per juta menjadi 450-500
bagian per juta. Di banyak tempat, sedimen dan batu menaikkan tingkat dasar sungai sampai
dengan 5-6 meter, meningkatkan frekuensi banjir dan luapan air. Sedimen di hutan yang
terendam air mengurangi tingkat oksigen dalam tanah, akar pohon dan vegetasi mengalami
kekurangan oksigen, dan secara bertahap membunuh mereka (efek yang disebut dieback).
Wilayah hutan yang mati terus bertambah dari 18 km 2 di tahun 1992 menjadi 480 km2 pada

tahun 2000 dan diperkirakan pada akhirnya meningkat menjadi antara 1.278 km2 dan 2,725
km2. Limbah juga mengakibatkan menurunnya jumlah ikan disungai hingga 90%.
Kejadian-kejadian ini tidak serta merta membuat pemerintah Papua Nugini menutup
tambang OTML. Hal ini dikarenakan Pemerintah Papua Nugini dan sebagian masyarakat
Papua Nugini telah bergantung secara ekonomi pada tambang ini. Keberadaan tambang ini
telah membawa perubahan, sejak mulai beroperasi tambang telah menyumbang sekitar $
155.000.000 per tahun berupa royalti dan pajak kepada pemerintah.Selain itu, tambang
mempekerjakan sekitar 2.000 pekerja langsung dan 1.000 lain yang bekerja untuk kontraktor
yang disewa untuk menyediakan layanan dukungan ke tambang, ditambah beberapa ribu
orang yang memberikan barang dan jasa untuk para penambang dan keluarga
mereka.Tambang ini juga telah mendirikan Fly River Development Trust untuk memastikan
bahwa warga hilir di sepanjang Sungai Fly menerima beberapa manfaat ekonomi dari
tambang perusahaan.Kontribusi sekitar $ 3.000.000 pertahun diberikan kepada yayasan, yang
digunakan untuk mengembangkan daerah dengan membangun 133 balai desa, 40 kelas, 2
perpustakaan sekolah, 400 lampu dan pompa tenaga matahari, 600 tangki air, 23 klub
perempuan, dan 15 klinik. Karena ketergantungan inilah mereka tidak ingin tambang tutup
meskipun tambang tetap melanjutkan membuang 200.000 limbah setiap harinya ke sungai Ok
Tedi dan malapetaka lingkungan tetap berlanjut.. Pada September 1999 BHP telah
mendiskusikan beberapa pilihan bersama pemerintah Papua Nugini, tetapi pada Januari 2000
perusahaan belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap bencana yang terus
bertambah.
Case Analysis
Etika ekologi adalah sebuah etika yang mengklaim bahwa kesejahteraan dari bagianbagian non-manusia di bumi ini secara intrinsik memiliki nilai tersendiri dan bahwa, karena
adanya nilai intrinsik ini, kita manusia memiliki tugas untuk menghargai dan
mempertahankannya. Dalam kasus ini perusahaan tambang OTML serta Pemerintah Papua
Nugini jelas telah mengabaikan etika ekologi. Lingkungan merupakan bagian dari sistem
ekologi yang harus dihargai dan dipertahankan. Selama hampir dua dekade terakhir, setiap
harinya tambang telah membuang limbah tambang sebesar 80.000 ton dan 120.000 ton
limbah bebatuan ke sungai Ok Tedi, yang mana mengalir ke sungai Fly, kemudian mengalir
ke bagian timur Papua Nugini dan kemudian berakhir di lautan. Penumpukan limbah yang
berkelanjutan telah merusak ekologi hutan hujan tropis dan rawa yang dialiri oleh sungai dan
telah menghancurkan desa yang berada di tepi sungai, dimana 50.000 penduduk

memanfaatkan sungai untuk bercocok tanam dan memancing ikan Perusahaan tidak
memikirkan bahwa jika ada biaya eksternal yang harus dibayar, berapa biaya yang harus
dibayar untuk memperbaiki kerusakan hutan di sekitar sungai selama 40 tahun. Perusahaan
lebih memilih tidak membangun tempat membuangan limbah, dengan alasan lokasi tempat
pembuangan limbah rawan longsor, sehingga akan membuat perusahaan mengeluarkan
banyak biaya jika harus membangun kembali penampungan limbah setiap kali terjadi longsor.
Analisa juga kami lakukan berdasar pada teori etika dan lingkungan yang sebagai
dampak dari bisnis Ok Tedi Copper Mine di Papua Nugini. Akibat dari usaha ini kami
melihat adanya pencemaran pada berbagai sisi, yaitu:
Pencemaran Air
Dampak negatif dari OTML yang melakukan penambangan pada air di wilayah
tersebut terutama sungai Fly. Terjadi sedimentasi di dasar sungai dan adanya kandungan dari
sisa tembaga mengakibatkan menurunnya jumlah ikan di sungai sebanyak 90%, sehingga
mempengaruhi pasokan makanan bagi masyarakat disekitar sungai. Adanya sedimentasi akan
meningkatkan permukaan dasar sungai sehingga mengganggu jalannya alat transportasi yang
digunakan oleh masyarakat yaitu kano. Tembaga (Cu) merupakan logam berat yang apabila
larut dalam air akan mengganggu kesehatan, bila minum air dengan kadar tembaga melebihi
batas normal akan mengakibatkan muntah, diare, kram perut, mual, dan bahkan jika
berlangsung dalam waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan kerusakan liver, ginjal, dan
penyakir kanker. Pencemaran terhadap air bukan hanya berakibat pada manusia, namun juga
pada hewan yang hidup disekitar wilayah industri.
Pencemaran Tanah
Kandungan bahan kimia yang terus meningkat pada tanah dapat merusak tanaman dan
pohon di wilayah sekitar. Akibatnya apabila pohon banyak yang mati, dan terjadi saat musim
hujan maka akan mengakibatkan banjir karena kemampuan penyerapan air akan berkurang.
Selain itu juga akan membuat kadar oksigen dalam tanah berkurang akibat dari penumpukan
logam, akan berakibat kerusakan total pada hutan.

You might also like