Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan masyarakat merupakan persoalan signifikan yang harus
menjadi perhatian pemerintah dan tenaga kesehatan. Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan
masyarakat merupakan salah satu tataran pelaksanaan pendidikan dan
pemantauan kesehatan masyarakat. Salah satu bagian dari program kesehatan
masyarakat di Puskesmas adalah program pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan.1
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang
sering terjadi pada anak. Insidens menurut kelompok umur Balita
diperkirakan 0,29 episode per anak/ tahun di negara berkembang dan 0,05
episode per anak/ tahun di negara maju. ISPA merupakan salah satu penyebab
utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%30%). Hingga saat ini ISPA masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia. Kematian pada Balita (berdasarkan Survei Kematian Balita
tahun 2005) sebagian besar disebabkan karena pneumonia (23,6%).2,3
Grafik 1.1 Penyebab Kematian Balita (Survei Mortalitas 2005)3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia pada Balita
2.1.1 Definisi ISPA
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang
nama istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute
Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,
saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut:6
a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
b. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA
secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran
pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa
saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam
saluran pernafasan.
c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14
hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari.
Secara anatomis ISPA digolongkan kedalam dua golongan yaitu
Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) dan Infeksi Saluran Pernafasan
bawah Akut (ISPbA). Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut adalah infeksi
akut yang menyerang saluran pernafasan atas yaitu batuk, pilek, sinusitis,
otitis media (infeksi pada telinga tengah), dan faringitis (infeksi pada
tenggorokan). Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut biasa disebut ISPA ringan
atau bukan pneumonia. Sedangkan Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut
adalah infeksi yang menyerang saluran pernafasan bawah yang biasa dalam
bentuk pneumonia.6
usia balita yang sedang menderita pneumonia maka akan semakin kecil
risiko meninggal akibat pneumonia dibandingkan balita yang berusia
muda.3,6,7
Jenis Kelamin
Menurut Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA (2011),
anak laki-laki memiliki risiko lebih besar untuk terkena ISPA
dibandingkan dengan anak perempuan.2
Status Gizi
Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan
gizi adalah kelompok bayi dan balita. Penyebab langsung timbulnya
gizi kurang pada balita adalah makanan tidak seimbang dan penyakit
infeksi. Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh. Timbulnya
Kekurangan Energi Protein (KEP) tidak hanya karena kurang makan
tetapi juga karena penyakit, terutama diare dan ISPA. Anak yang tidak
memperoleh makanan cukup dan seimbang, daya tahan tubuhnya
(imunitas) dapat melemah. Dalam keadaan demikian, anak mudah
diserang penyakit infeksi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
timbulnya penyakit pneumonia pada balita antara lain adanya
kekurangan energi protein. Anak dengan daya tahan tubuh yang
terganggu akan menderita pneumonia berulang-ulang atau tidak
mampu mengatasi penyakit pneumonia dengan sempurna.3,8
Status Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan
angka kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita,
sekitar 38% dapat dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif.
Imunisasi yang tidak lengkap merupakan faktor risiko yang dapat
meningkatkan insidens ISPA terutama pneumonia. Penyakit pneumonia
lebih mudah menyerang balita yang belum mendapat imunisasi
campak dan DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus). Oleh karena itu untuk
menekan tingginya angka kematian karena pneumonia, dapat
umumnya
disebabkan
oleh
bakteri
seperti
Penyebab
pneumonia
lainnya
adalah
virus
golongan
maupun
tambahan.
Tingkat
penghasilan
yang
rendah
bahan bakar maupun dari asap kendaraan bermotor, dan tidak memiliki
sirkulasi udara yang memadai akan mendukung penyebaran virus atau
bakteri yang mengakibatkan penyakit infeksi saluran pernafasan yang
berat. Insiden pneumonia pada anak kelompok umur kurang dari lima
tahun mempunyai hubungan bermakna dengan kedua orang tuanya
yang mempunyai kebiasaan merokok. Anak dari perokok aktif yang
merokok dalam rumah akan menderita sakit infeksi pernafasan lebih
sering dibandingkan dengan anak dari keluarga bukan perokok.9
Kepadatan Hunian
Di daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu masalah yang
dialami penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan
penduduk kota dan mahalnya harga tanah di perkotaan. Salah satu
kaitan kepadatan hunian dan kesehatan adalah karena rumah yang
sempit dan banyak penghuninya, maka penghuni mudah terserang
penyakit dan orang yang sakit dapat menularkan penyakit pada
anggota keluarga lainnya. Perumahan yang sempit dan padat akan
menyebabkan anak sering terinfeksi oleh kuman yang berasal dari
tempat kotor dan akhirnya terkena berbagai penyakit menular.9
2.1.5 Diagnosa Pneumonia
Dalam pelaksanaan program P2 ISPA, penentuan klasifikasi
pneumonia berat dan pneumonia adalah sekaligus merupakan penegakan
diagnosis, sedangkan penentuan klasifikasi bukan pneumonia tidak dianggap
sebagai penegakan diagnosis. Jika keadaan penyakit seorang balita termasuk
dalam
klasifikasi
bukan
pneumonia
maka
diagnosis
penyakitnya
nafas (nafas cepat) sesuai umur. Adanya nafas cepat ini ditentukan dengan
cara menghitung frekuensi pernafasan. Batas nafas cepat adalah frekuensi
pernafasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan <1 tahun dan 40 kali per menit atau lebih pada anak usia 1- <5 tahun.
Diagnosis pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran
bernafas disertai nafas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah
ke dalam pada anak usia 2 bulan - <5 tahun. Untuk kelompok umur < 2
bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat,
yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit, atau adanya
penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.2,3
b. Laboratorium
Pemeriksaan kultur darah seringkali positif terutama pada
pneumonia pneumococcus dan merupakan cara yang lebih pasti untuk
mengidentifikasi organisme dibandingkan dengan kultur yang potensial
terkontaminasi. 2,3
b. Radiologis
Gambaran radiologis pada foto toraks PA yang khas ialah terdapat
konsolidasi pada lobus, lobulus atau segmen dari satu atau lebih lobus
paru. Terlihat patchy infiltrate para parenkim paru dengan gambaran
infiltrasi kasar pada beberapa tempat di paru sehingga menyerupai
bronchopneumonia. Pada foto toraks mungkin disertai gambaran yang
menunjukkan ada cairan di pleura atau fisura interlober. Pneumonia
biasanya menyebabkan suatu daerah persebulungan yang berbatas tegas
yang di dalamnya terdapat daerah yang masih terisi udara dan/atau
bronkhi yang berisi udara (air bronchogram). Biasanya pneumonia
menyebabkan adanya opasitas yang tidak jelas dan tersebar pada beberapa
bagian paru.2,3
10
11
dapat
dilakukan
melalui
pertemuan
dalam
rangka
12
13
dihitung 10% dari total populasi balita. Jumlah Balita di suatu daerah
diperkirakan sebesar 10% dari jumlah total penduduk.
Namun jika provinsi, kabupaten/kota memiliki data jumlah Balita
yang resmi/ riil dari pencatatan petugas di wilayahnya, maka dapat
menggunakan data tersebut sebagai dasar untuk menghitung jumlah
penderita pneumonia Balita.
Rumus perkiraan jumlah penderita pneumonia Balita di suatu
wilayah kerja per tahun adalah sebagai berikut :
a. Bila jumlah Balita sudah diketahui
Insidens pneumonia Balita = 10% jumlah balita
b. Bila jumlah Balita belum diketahui
Perkiraan jumlah Balita = 10% jumlah penduduk
Perhitungan per bulan bermanfaat untuk pemantauan dalam
pencapaian target penderita pneumonia Balita.
3. Target
Target penemuan penderita pneumonia Balita adalah jumlah
penderita pneumonia Balita yang harus ditemukan/ dicapai di suatu
wilayah dalam 1 tahun sesuai dengan kebijakan yang berlaku setiap tahun
secara nasional.
4. Tatalaksana pneumonia Balita
Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam pelaksanaan
pengendalian pneumonia pada Balita didasarkan pada pola tatalaksana
penderita ISPA yang diterbitkan WHO tahun 1988 yang telah mengalami
adaptasi sesuai kondisi Indonesia.
Tabel 2.2 Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur
< 2 Bulan2
14
Setelah
penderita
pneumonia
Balita
ditemukan
dilakukan
dengan
menggunakan
antibiotik:
kotrimoksazol,
Tabel 2.3 Tatalaksana Anak Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur 2
Bulan - < 5 Tahun2
15
16
Jika
memungkinkan
dapat
disediakan
antibiotik
bagi
fasilitas
pelayanan
kesehatan
yang
fasilitas
pelayanan
kesehatan
yang
memiliki
oksigen
konsentrator.
c. Pedoman
Sebagai pedoman dalam melaksanakan pengendalian ISPA. Dinas
Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Puskesmas
masing-masing minimal memiliki 1 set buku pedoman Pengendalian
ISPA, yang terdiri dari:
Pedoman Pengendalian ISPA
Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita
Pedoman Autopsi Verbal
17
18
19
20
Buku/modul
Tatalaksana
Pneumonia
Balita,
Bagan
latih
memahami
21
22
dan
meningkatkan
peranan
masyarakat
dalam
23
24
25
BAB III
METODE
3.1 Metode Pengumpulan Data
Untuk mengetahui masalah yang ada di Puskesmas Arut Selatan penulis
mencari dan mengumpulkan data dari pencapaian program puskesmas. Dari
data yang diperoleh, didapatkan bahwa program penemuan dan penanganan
kasus pneumonia pada balita masih belum tercapai (< 100%) pada tahun 2013
dan 2014. Penulis kemudian melakukan wawancara dengan pemegang
program. Dari hasil wawancara tersebut, penulis mendapatkan beberapa
masalah yang berkaitan dengan tidak tercapainya program penemuan dan
penanganan kasus pneumonia pada balita di Puskesmas Arut Selatan.
3.2 Identifikasi Masalah
Masalah tidak tercapainya program penemuan dan penanganan kasus
pneumonia pada balita di Puskesmas Arut Selatan dapat diakibatkan oleh
berbagai sebab yaitu antara lain:
1. Petugas Puskesmas tidak pernah mendapatkan pelatihan mengenai
pneumonia
Petugas Puskesmas Arut Selatan tidak pernah mendapatkan pelatihan
mengenai pneumonia, khususnya bagi pemegang program P2 ISPA di
Puskesmas Arut Selatan. Pengetahuan mengenai pneumonia hanya
didapatkan secara mandiri.
2. Program penemuan kasus pneumonia pada balita hanya dilakukan
secara pasif
Selama ini Puskesmas Arut Selatan menemukan kasus pneumonia pada
balita hanya dilakukan secara pasif. Penemuan kasus pneumonia hanya
didapatkan dari pasien-pasien rawat jalan yang berobat ke poliklinik
26
balita di Puskesmas Arut Selatan. Kunjungan secara aktif ke rumahrumah masyarakat wilayah kerja Puskesmas Arut Selatan masih belum
pernah dilakukan. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya dana dan
kurangnya informasi dari kader atau masyarakat yang tinggal di sekitar
tempat tinggal penderita.
3. Kurangnya sosialisasi mengenai kasus pneumonia pada balita
Puskesmas Arut Selatan belum pernah memberikan penyuluhan
mengenai pneumonia kepada kader maupun masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Arut Selatan. Hal inilah yang mengakibatkan kurangnya
kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kasus pneumonia pada
balita. Selama ini, kebanyakan masyarakat akan datang membawa
anaknya berobat bila kondisi anak semakin berat. Sosialisasi mengenai
pneumonia penting agar masyarakat memiliki pengetahuan tentang
pneumonia dan orang tua dapat lebih waspada terhadap kondisi anaknya
sehingga pengobatan pun dapat diberikan sedini mungkin.
4. Perlengkapan logistik kurang lengkap
Puskesmas Arut Selatan masih belum memiliki perlengkapan logistik
yang lengkap, misalnya seperti 1 set buku pedoman pengendalian ISPA,
alat-alat kesehatan seperti Acute Respiratory Infection Soundtimer (ARI
Soundtimer), oksigen konsentrator, oksimeter denyut (Pulseoxymetry),
serta tidak adanya media untuk KIE (elektronik dan cetak). Selama ini
puskesmas hanya menggunakan Formulir 2D bila menemukan penderita
pneumonia (lampiran 3).
3.3 Prioritas Pemecahan Masalah
Kriteria pemecahan masalah menurut metode Bryant yaitu:
a. Magnitude (M)
1. Sangat tidak menyelesaikan masalah
2. Tidak menyelesaikan masalah
3. Cukup menyelesaikan masalah
4. Menyelesaikan masalah
27
Vunerability (V)
1. Alternatif pemecahan masalah tidak efektif digunakan
2. Alternatif pemecahan masalah efektif digunakan
c.
Importancy (I)
1. Tidak ada kepentingan untuk pemecahan masalah
2. Kepentingannya sangat rendah untuk pemecahan masalah
3. Kepentingannya cukup rendah untuk pemecahan masalah
4. Kepentingannya cukup tinggi untuk pemecahan masalah
5. Kepentingannya sangat tinggi untuk pemecahan masalah
d.
Cost (C)
1.
2.
Tidak murah
3.
Cukup murah
4.
Murah
5.
Sangat murah
Alternatif
pemecahan
masalah
tersebut
kemudian
diberi
Kriteria
No
Pemecahan Masalah
Mengadakan
pelatihan
pneumonia kepada petugas
kesehatan Puskesmas Arut
Selatan
Melakukan
active
case
finding pneumonia pada
balita di wilayah kerja
Puskesmas Arut Selatan
MxIxV
C
12
16,6
Ranking
prioritas
3
28
Melakukan
sosialisasi
mengenai pneumonia kepada
masyarakat melalui media
pamflet dan penyuluhan di
Posyandu balita
Melengkapi
logistik
pneumonia di Puskesmas
Arut Selatan
13,3
Kerangka
konsep
perlu
dibuat
untuk
mengetahui
dan
29
Kurangnya sosialisasi
mengenai pada
pneumonia
Kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang pneumonia
balita kepada masyarakat wilayah ker
PEMEC
Ket:
: diakibatkan oleh
: mengakibatkan
: masalah
30
Pelaksana
Sasaran
Metode
Tempat
Waktu
Fasilitas
31
Tujuan
Pelaksana
Sasaran
dan
pasien
balita
yang
menderita
Tempat
Waktu
Fasilitas
Pelaksana
Sasaran
Metode
32
Waktu
Fasilitas
:-
33
BAB IV
HASIL
4.1 Profil Komunitas Umum
Kecamatan Arut Selatan beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata
2.300 mm/thn, dengan suhu udara maksimum berkisar antara 31,9 33
celcius dan suhu minimum berkisar 21,9 Celcius dengan kelembaban udara
sekitar 84,92%.5
Kecamatan Arut Selatan memiliki 6 (enam) buah puskesmas, yaitu:5
1. Puskesmas Arut Selatan
2. Puskesmas Mendawai
3. Puskesmas Madurejo
4. Puskesmas Natai palingkau
5. Puskesmas Kumpai Batu Atas
6. Puskesmas Runtu
4.2 Data Geografis
Luas wilayah Kerja Puskesmas Arut Selatan 116,5 Km yang terdiri
dari 2 (dua) Kelurahan terdiri dari Kelurahan Raja dengan luas 1,50 Km dan
Kelurahan Raja Seberang 115 Km.5
Wilayah kerja Puskesmas Arut Selatan memiliki batas-batas:5
Utara
Timur
Barat
Selatan
34
Raja; 6532
A. Kepadatan Penduduk
35
sebesar 4355
kelurahan Raja Seberang 17 jiwa, kemudian saat itu desa Rangda 15 jiwa,
desa Kenambui 4 jiwa dan desa Sulung 7 jiwa.5
Grafik 4.2 Kepadatan Penduduk per KM Menurut Desa/Kelurahan di
Wilayah Puskesmas Arut Selatan Akhir Tahun 20135
4317
17
15
Raja
Raja Sebr.
Rangda
Kenambui
Sulung
C. Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk disebabkan oleh adanya kelahiran,
kematian dan imigrasi. Pada akhir tahun 2012
Puskesmas Arut Selatan 10.885
penduduk di wilayah
KELOMPOK
UMUR
JUMLAH PENDUDUK
36
(TAHUN)
2
<1
14
59
10 14
15 19
20 24
25 29
30 34
35 39
40 44
45 49
50 54
55 59
60 64
65 69
70 74
75+
LAKI-LAKI
3
119
371
357
1323
482
454
432
421
411
298
257
249
235
116
111
39
38
PEREMPUAN
4
105
324
314
1202
436
412
422
381
372
259
232
223
217
106
99
35
33
LAKI-LAKI+PEREMPUAN
5
224
695
671
2525
918
866
854
802
783
557
489
472
452
222
210
74
71
PUSKESMAS
5713
5172
10885
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
E. Sosial Ekonomi
Mata pencaharian penduduk diperhitungkan dengan prosentase:5
Petani/nelayan
: 50%
Pedagang
: 40%
Pegawai/buruh
: 10%
10%
40%
Petani/Nelayan
Pedagang
50%
Pegawai/Buruh
G
rafik 4.3 Persentase Mata Pencaharian Penduduk di
Wilayah Puskesmas Arut Selatan Tahun 20135
37
Sarana Kesehatan
: 18 buah
Sarana Pendidikan
: 28 buah
Sarana Ibadah
: 23 buah
Perkantoran
: 15 buah
TK dan PAUD
SD/MI
: 15 buah
SLTP
4 buah
SLTA
2 buah
8 buah
38
39
Puskesmas; 30
Gra
fik 4.4 Persebaran Tenaga Kesehatan Menurut Institusi Tempat
Tugas di Puskesmas Arut Selatan Tahun 2013
4.5
Puskesmas Induk
1 buah
1 buah
Posyandu
10 buah
4 buah
Poliklinik TNI-AD
1 buah
Rumah Bersalin/Bidan
1 buah
1 buah
40
1 buah
1 buah
Apotek
4 buah
Toko Obat
4 buah
1 buah
Optikal
2 buah
Mobil (Pusling)
1 buah
Sepeda Motor
8 buah
PLN
2400 watt
Telephon
1 buah
PDAM
1 buah
Komputer
5 unit
Laptop
Genset / generator
1 buah
LCD
Jumlah
Jumlah
Target
Jumlah
Persentase
Penduduk
Balita (10%
Penemuan
Penemuan
(%)
Jumlah
Penderita
Penderita
Penduduk)
Pneumonia
Pneumoni
(10% Jumlah
Balita)
41
2013
2014
10.885
8.386
1.089
838,6
108,85
83,86
36
59
33,07
70,4
JANUARI
FEBRUARI
MARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER
OKTOBER
NOVEMBER
DESEMBER
Jumlah Penderita
Pneumonia
< 1 tahun
1 4 tahun
L
P
L
P
1
0
0
0
2
0
1
0
2
0
1
1
4
4
1
1
2
3
1
2
0
1
2
2
1
1
2
0
0
1
2
0
1
1
2
3
3
2
3
2
1
2
0
2
0
1
0
0
TOTAL
1
3
4
10
8
5
4
3
8
10
3
1
42
TOTAL
16
15
15
13
59
Jumlah Pasien
755 orang
509 orang
1.264 orang
43
JANUARI
FEBRUARI
MARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER
OKTOBER
NOVEMBER
DESEMBER
TOTAL
Jumlah Penderita
Pneumonia
< 1 tahun
1 4 tahun
L
P
L
P
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
1
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
1
2
2
TOTAL
0
1
0
0
2
3
1
0
1
0
0
0
8
44
JANUARI
Jumlah Penderita
Pneumonia
< 1 tahun
1 4 tahun
L
P
L
P
0
0
3
1
TOTAL
45
Menurut data yang didapat dari Puskesmas Arut Selatan, capaian program
penemuan dan penanganan kasus pneumonia di wilayah ini masih di bawah
100%, yaitu 33,07% pada tahun 2013 dan 70,4% pada tahun 2014. Oleh karena
itu saya sebagai dokter internsip ingin menggali penyebab dari kurangnya
persentase capaian program penemuan dan penanganan kasus pneumonia tersebut.
Berbagai penyebab yang menyebabkan kurangnya capaian program
penemuan dan penanganan kasus pneumonia pada balita ini antara lain tidak
adanya pelatihan pneumonia pada petugas puskesmas, kurangnya sosialisasi
mengenai pneumonia, penemuan kasus yang hanya dilakukan secara pasif serta
kurangnya logistik yang berhubungan dengan program P2 ISPA, termasuk
pneumonia.
Dari hasil analisis, pemecahan masalah yang bisa dilakukan antara lain
adalah melakukan active case finding kasus pneumonia di wilayah kerja
Puskesmas Arut Selatan, melakukan sosialisasi pada kader maupun masyarakat,
serta mengumpulkan data pasien pneumonia balita dari fasilitas kesehatan lain.
Selama bulan Januari hingga Februari 2015, dokter internsip memberikan
sosialisasi mengenai pneumonia pada orang tua pasien yang membawa anaknya
berobat ke poliklinik balita dan posyandu balita Puskesmas Arut Selatan.
Diharapkan setelah mengetahui tentang pneumonia, orang tua akan lebih waspada
dan dapat mengenali tanda awal pneumonia sehingga tidak terlambat dalam
penanganannya.
Dari hasil intervensi, didapatkan pada bulan Januari 2015, didapatkan 4
penderita pneumonia balita yang berobat ke poliklinik balita. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah penderita pneumonia balita pada bulan itu masih
kurang dari target yang telah ditentukan, bahkan pada tahun 2014 pada bulan
April dan Oktober jumlah penderita pneumonia balita sudah melebihi target per
bulan. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi yang telah dilakukan masih harus
ditingkatkan agar dapat mencapai target yang telah ditentukan.
Selanjutnya, dokter internsip membuat perencanaan dengan dokter
pendamping, kepala puskesmas dan tenaga kesehatan mengenai program
kunjungan rumah sebagai salah satu cara penemuan kasus pneumonia secara aktif.
46
Penemuan secara aktif ini juga dilakukan bersama kader maupun masyarakat yang
ada di wilayah kerja Puskesmas Arut Selatan agar dapat melaporkan tempat
tinggal pasien yang dicurigai menderita pneumonia. Pada saat ini, program ini
masih belum dilakukan karena terkendala masalah dana dan masih kurangnya
koordinasi dengan petugas puskesmas dan kader beserta masyarakat.
Cara lain yang penulis lakukan adalah mengumpulkan data dari Rumah
Sakit dan Klinik Kesehatan lain dimana ada penderita pneumonia yang
berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Arut Selatan. Data-data ini dapat
dimasukkan ke dalam data Puskesmas Arut Selatan sehingga jumlah penderita
pneumonia pada balita di Puskesmas Arut Selatan dapat meningkat. Peningkatan
jumlah ini dapat membantu pencapaian program penemuan dan penanganan kasus
pneumonia pada balita di Puskesmas Arut Selatan.
Fasilitas kesehatan yang dikunjungi penulis adalah poliklinik anak Rumah
Sakit Sultan Imanuddin Pangkalan Bun. Dari data di poliklinik anak, didapatkan
jumlah penderita pneumonia balita yang berobat dan tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Arut Selatan sebanyak 8 balita. Apabila data ini ditambahkan pada
jumlah penderita pneumonia balita yang didapatkan di Puskesmas Arut Selatan,
maka jumlah penderita pneumonia pada tahun 2014 adalah 67 balita dan
persentase yang didapatkan menjadi 79,8%.
Melihat dari hasil intervensi yang telah dilakukan, maka penulis
mengharapkan adanya upaya sosialisasi yang lebih optimal mengenai pneumonia
kepada kader maupun masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Arut Selatan.
Penulis juga berharap petugas puskesmas dapat melakukan active case finding
secara rutin tiap bulannya agar tidak ada penderita pneumonia balita yang tidak
tertangani. Pengumpulan data dari fasilitas kesehatan lain juga dapat dilakukan
karena cara ini cukup membantu dalam meningkatkan capaian program penemuan
dan penanganan kasus pneumonia pada balita di Puskesmas Arut Selatan.
47
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai ujung tombak
pelayanan kesehatan masyarakat merupakan salah satu tataran pelaksanaan
pendidikan dan pemantauan kesehatan masyarakat. Dimana penemuan dan
penanganan kasus pneumonia merupakan bagian dari tugas tenaga
kesehatan puskesmas di wilayah kerjanya masing-masing.
2. Capaian program penemuan dan penanganan kasus pneumonia di wilayah
Puskesmas Arut Selatan masih di bawah 100%.
48
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Direktorat
Jenderal
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Direktorat
Jenderal
49
50
LAMPIRAN
51