You are on page 1of 40

Page | 3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ekonomi Industri
2.1.1. Konsep Dasar Ekonomi Industri
Secara mikro, industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang
menghasilkan barang-barang yang homogen, atau barang-barang yang mempunyai
sifat saling mengganti yang sangat erat. Secara makro, industri adalah kegiatan
ekonomi yang menciptakan nilai tambah (Hasibuan, 1994).
Ekonomi Industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi.
Ekonomi Industri menelaah struktur pasar dan perusahaan yang secara relatif lebih
menekankna pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur
pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar. Dalam ekonomi industri terdapat dua sisi
yang menarik, di satu sisi ekonomi industri merupakan seperangkat konsep dan
analisa mengenai persaingan dan monopolo dengan berbagai macam pasar yang
berada di antara keduanya. Di sisi lain, ekonomi industri juga berkaitan dengan
pasar riil yang sangat diramaikan oleh adanya persaingan antar perusahaan (Jaya,
2001).
Beberapa alasan Ekonomi Industri menjadi semakin penting untuk
dipelajari, baik di negara-negara maju maupun di negara yang sedang
berkembang. Pertama, praktek-praktek struktur pasar yang semakin terkonsentrasi
dalam kegiatan bisnis dan praktek-praktek perilakunya menimbulkan kerugian
bagi konsumen. Kedua, semakin tinggi konsentrasi industri cenderung
mengurangi persaingan antar perusahaan sehingga menciptakan perilaku yang
kurang efisien. Ketiga, konsentrasi industri yang tinggi membawa konsentrasi

kekayaan yang melemahkan usaha-usaha pemerataan, baik dilihat dari pemerataan


pendapatan, kesempatan kerja, maupun kesempatan berusaha. Keempat, kaitan
struktur industri dengan penyelesaian masalah-masalah ekonomi membawa lebih
jauh intervensi pemerintah. Kelima, kajian-kajian tentang struktur-perilaku dan
kinerja industri tidak terlepas dari masalah-masalah produksi dan distribusi
(Hasibuan, 1994).
2.1.2

Structure Conduct Perfomance (SCP )


Pendekatan SCP
Mason dan Bain dalam L ipzynski (2005) menjelaskn struktur pasar
mempengaruhi perilaku perusahaan, dari perilaku ini akan menimbulkan strategi
untuk mencapai kinerja perusahaan yang lebih baik. Dengan melihat struktur,
perusahaan akan mengetahui kekuatan dari sautu perusahaan. Perusahaan akan
menetapkan strategi-strategi yang sesuai dengan kekuatan perusahaan pesaing.
Strategi-strategi ini yang akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Sederhananya,
pendekatan SCP ini digunkan untuk mengetahui kondisi struktur dan persaingan
usaha dalam suatu industri dilihat dari struktur industri, perilaku perusahaan, dan
kinerja perusahaan.
Pendekatan ini awalnya digunakan pemerintah untuk menganlisis keadaan
suatu industri sehingga dapat melakukan pengawasan terhadap perusahaan yang
akan merugikan konsumen. Dalam perkembangannya, pendekatan ini digunakan
untuk

Menjalankan perusahaan sesuai dengan kondisi pasar. Hubungan variabel ini


adalah linier yaitu struktur mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi
kinerja. Pada perkembangannya, hubungan ini bisa dibalik dan saling
mempengaruhi. Beberapa aspek yang dipelajari dalam kaitannya dengan strukturperilaku-kinerja industri.

1. Aspek kebebasan memilnih dan berusaha walaupun masih ada intervensi


pemerintah yang pada akhirnya akan berubah menjadi suatu bentuk
persaingan,
2. Aspek peluang yang sama, baik dalam pengertian sebagai pembeli dan
penjual, maupun dalam kesempatan, dan pemerataan pendapatan,
3. Aspek keadilan dan kewajaran terhadap praktek-praktek bisnis yaitu
melalui pelarangan praktek-praktek bisnis yang tidak wajar dan adanya
kepastian hukum,
4. Aspek kesejahteraan masyarakat, yaitu efisiensi alokasi sumber-sumber
ekonomi, kesempatan kerja, kestabilan harga, kesehatan, dan lingkungan
yang bersih,
5. Aspek kemajuan, yaitu adanya kebebasan, keadilan dan kesejahteraan

Struktur (Structure)
Defenisi dasar adalah sebagai su atu kelompok penjual dan pembeli yang

mmpertukarkan barang yang dapat disubstitusikan. Kemampuan substitusi barang


merupakan kunci pokok sehingga ekonomi muncul sebagai daya tarik bagi pasarpasar individu. Tiap pasar dibatasi oleh dua dimensi yaitu jenis produk dan daerah
geografis (Jaya, 2010). Struktur pasar merupakan suatu variabel yang digunakan
untuk menentukan perilaku perusahaan dan interaksi antara perilaku dan struktur
pasar menentukan kinerja. Selanjutnya kinerja mempunyai pengaruh terhadap
pembentukan struktur. Dalam struktur pasar selain memperhatikan jumlah
perusahaan juga harus memperhatikan ukuran atau besaran distribusi dari
perusahaan tersebut.

Secara teoritis struktur pasar dapat dibedakan menjadi dua yaitu pasar
persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Pasar persaingan tidak
sempurna dibedakan menjadi tiga yaitu pasar persaingan monopoli, oligopoli dan
monopolistik. Struktur pasar dapat dilihat dari tiga

hal yaitu jumlah perusahaan, tipe produksi dan hambatan masuk


(Hasibuan, 1994). Ringkasan tipe-tipe struktur pasar dapat dilihat pada
Tabel 2.1
Tipe-Tipe Struktur Pasar
Tipe Pasar

Jumlah

Tipe

Hambatan

Perusahaan

Produksi

Masuk

Banyak

Homogen

Banyak

Diferensiasi

Bebas

b. Oligopoli

Sedikit

Diferensiasi

Terbatas

c. Monopoli

Satu atau

Diferensiasi

Sangat

1. Persaingan

Bebas

Sempurna
2. Persaingan Tidak
Sempurna
a. Persaingan
Monopolistik

Kolusi

terbatas

Sumber: Hasibuan, 1994

Dalam struktur pasar terd apat beberapa elemen-elemen yang termasuk


didalamnya yaitu pangsa pasar, konsentrasi pasar dan hambatan-hambatan untuk
masuk. Ketiga elemen tersebut akan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini.
a. Pangsa Pasar (Market Share)
Pangsa pasar adalah perbandingan antara hasil penjualan suatu perusahaan
dengan total penjualan industri. Setiap perusahaan memiliki pangsa pasarnya
sendiri, dan besarnya berkisar antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan

seluruh pasar. Pangsa pasar dapat dihitung dengan beberapa cara yaitu
berdasarkan nilai penjualan, unit penjualan, unit produksi dan kapasitas produksi.
Pada produk yang bersifat homogen biasanya pangsa pasar diukur dengan
menggunakan unit atau volume penjualan sedangkan pada pasar yang produknya
heterogen, pangsa pasar dihitung terhadap total penjualan.
Pangsa pasar merupakan salah satu aspek yang penting untuk diperhatikan
oleh suatu perusahaan karena secara umum terdapat korelasi yang postif antara
pangsa pasar dengan profitabilitas atau keuntungan (Yunianti, 2001). Perusahaan
dengan pangsa pasar le bih baik akan mendapatkan keuntungan dari penjuakan
produk atau kenaikan harga sahamnya sehingga dapat dikatakan bahwa pangsa
pasar merupakan tujuan atau motivasi suatu perusahaan.

Tabel 2.2
Tipe-tipe Pasar
Tipe Pasar
Monopoli murni

Kondisi Utama

Contoh

Suatu perusahaan yang memiliki 100

PLN, TELKOM, PAM

persen dari pangsa pasar


Perusahaan yang

Suatu perusahaan yang memiliki 50-100

Surat

Dominan

persen dari pangsa pasar dan tanpa

nasional, film

(Dominant firm)

pesaing yang kuat

batu baterai.

Oligopoli ketat

Penggabungan empat perusahaan terbesar

Bank-bank lokal, siaran

yang memiliki pangsa pasar 60-100

tv, bola

persen. Kesepakata diantara mereka untuk

toko

menetapkan harga relatif mudah

kretek dan semen

Penggabungan empat perusahaan terbesar

Kayu, perkakas

yang memiliki pangsa pasar 40-60 persen.

tangga,

Oligopoli loggar

Kesepakata

diantara

menetapkan

harga

mereka
sebenarnya

kabar lokal atau


kodak,

lampu, sabun,
buku,

rokok,

rumah

mesin-mesin

untuk kecil, perangkat

keras,

tidak majalah, obat-obatan.

mungkin.
Persaingan

Banyak pesaing yang efektif, tidak

Pedagang

monopolistik

satupun yang memiliki lebih dari 10

penjual pakaian

persen pangsa pasar.


Persaingan murni

Lebih dari 50 persen pesaing yang mana


tidak satupun yang memiliki pangsa pasar
yang berarti

Sumber: Jaya, 2001

Sapi dan unggas

eceran,

Semakin besar pangsa pasar maka semakin besar pula hak monopoli bagi perusahaan
yang bersangkutan. Derajat kekuatan pasar pada umunya akan muncul ketika pangsa pasar
mencapai 15 persen, pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu 25-30 persen derajat monopoli
akan menjadi signifikan, dan pada tingkat 50-60 persen biasanya perusahaan mempunyai
kekuatan pasar yang sangat besar. Kesukesan perusahaan biasanya selain digambarkan oleh
profit tetapi juga oleh besarnya pangsa pasar.
b. Konsentrasi Pasar (Concentrate)
Konsentrasi (pemusatan) merupakan tingkat oligopoli dimana kombinasi pangsa pasar
dari perusahaan-perusahaan oligopoli tersebut membentuk suatu tingkatan pemusatan dalam
pasar. Penerimaan rata-rata industri yang telah terkonsentrasi akan lebih tinggi daripada
penghasilan dari jenis industri yang kurang terkonsentrasi.
Pengertian konsentrasi sangat erat hubungannya dengan pangsa pasar dari perusahaanperusahaan yang ada dalam suatu industri. Hal ini dapat dimaklumi karena konsentrasi adalah
besarnya pangsa pasar yang dikuasai oleh perusahaan relatif terhadap pangsa pasar total yang
biasanya diambil dari pangsa pasar perusahaan terbesar dalam industri dimana perusahaanperusahaan tersebut berada. Semakin besar pangsa pasar yang

dikuasai oleh perusahaan-perusahaan tesebut rel atif terhadap pasar total, maka dapat
dikatakan bahwa industri tersebut mempunyai tingkat konsentrasi yang tinggi.
c. Hambatan Untuk Masuk (Barrier To Entry)

Menurut Asian Development Bank (2001) barrier to entry dapat didefenisikan


sebagai setiap bentuk karakteristik pasar yang menghambat pendatang (entrant) baru untuk
bersaing atas dasar yang sama dengan perusahaan yang sudah ada. Dalam defenisi ini,
kombinasi biaya yang hilang (sunk cost) dan skala ekonomi dapat menjadi barrier to entry.
Menurut Bain (1956) penentu utama kondisi entry adalah skala ekonomi yang
besar, diferensiasi produk dan keuntungan biaya absolut anatara perusahaan yang ada
dengan yang baru. Kondisi entry sangat menentukan degree of competition (tingkat
kompetisi) baik yang aktual maupun yang potensial sehingga dapat diduga mempengaruhi
kinerja dan struktur. Pesaing potemsial adalah perusahaan-perusahaan di luar pasar yang
mempunyai kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing yang sebenarnya (Jaya,
2001).
Menurut Geroski dalam Satriawan dan Wigati, (2002) enntry dapat didefenisikan
sebagai :

(1) Masuknya perusahaan baru kedalam suatu industri;

(2) Entry ditandai dengan didirikannya perusahaan baru dalam industri yang serupa
oleh perusahaan yang masih beroperasi dalam industri tersebut;
(3) Pengambilalihan (akuisisi) suatu perusahaan oleh perusahaan lain satu lingkup
industri;
(4) Penggabungan beberapa macam produk oleh perusahaan yang masih beroperasi
dalam industri tersebut sehingga menciptakan pangsa pasar baru;
(5) Masuknya perusahaan yang dimiliki oleh pemodal asing ke industri dalam
negeri.
Weiss (1965) mendefenisikan entry mencakup dua hal yaitu nama perusahaan
baru dan terdapat bangunan baru dalam suatu industri. Sedangkan Besanko, Dranove,
dan Shanley, (1996) menyatakan bahwa entry dapat didefenisikan sebagai masuknya
suatu produk baru/jasa baru yang ditawarkan oleh perusahaan yang telah atau baru
beroperasi ke dalam suatu pasar atau industri.
Ada beberapa hal umum mengenai hambatan masuk pasar yang harus diketahui.
Pertama, hambatan-hambatan yang timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak
hanya dalam bentuk perangkat legal maupun kondisi yang dapat berubah dengan cepat.
Kedua, hambatan dibagi mulai dari tingkatan tanpa hambatan sama sekali seperti pasar
persaingan sempurna, hambatan rendah, hambatan sedang, sampai
hambatan tingkat tinggi dimana tidak ada lagi jalan untuk masuk pasar, seperti
pada pasar dimana terdapat perusahaan yang menjadi monopolis. Ketiga,

hambatan merupakan sesuatu yang kompleks. Petanan hambatan untuk masuk


pasar masih diperdebatkan. Beberapa ahli ekonomi memandangnya sebagai suatu
yang penting. Tetapi pandagan utama saat ini menyatakan rintangan-rintangan dan
pesaing-pesaing baru merupakan hal kedua yang mungkin memodifikasi pengaruh
pangsa pasar dan pemusatan. Hanya dalam kasus tertentu pesaing yang potensial
menguasai pasar.

Shepherd dalam Juwita (2004) membagi hambatan utnuk masuk menjadi dua
jenis, yaitu hambatan eksogen dan hambatan endogen.

Perilaku (Conduct)
Perilaku pasar yang dimaksud adalah pola tanggapan dan penyesuaian

yang dilakukan suatu perusahaan di dalam pasar untuk mencapai tujuannya.


Perilaku pasar terkait dengan tindakan apa yang harus dilakukan suatu perusahaan
dalam menghadapi pesaingnya terhadap harga, tingkat produksi, kualtas produk,
tindakan promosi, dan hal lainnya yang bekaian dengan kegiatan operasional
perusahaan (Greer, 1992). Scherer (1990) menyatakan

terdapat tiga kriteria untuk melihat peilaku industri yaitu strategi harga, kondisi entry
dan tipe produk. Martin dalam Yunianti (2001) menyatakan bahwa perilaku strategis
perusahaan hanya ada pasar oligopoli. Perilaku industri dapat dilihat pada strategi
perusahaan dalam menentukan jumlah dominasi output, penentuan harga, advertensi,
pemilihan teknologi, kegiatan dalam pasar dan juga dalam kebijakan produk.
Sedangkan menurut Jaya (2001) pada perusahaan ada beberapa perilaku yang terjadi
antara lain penetapan harga, strategi produksi, kolusi dan penawaran vertikal.
Lipczynski (2005), mengemukakan 6 variabel utama perilku pelaku pasar
(conduct)

yaitu

tujuan

perusahaan,

kebijakan

harga,

karakteristik

produk,

pengembangan produk, kolusi, dan merger. Disamping itu, perilaku perusahaan juga
dapat diterangkan melalui strategi produk, strategi harga dan strategi promosi.

1. Strategi Produk
Strategi produk harus mengikuti perkembangan produk itu

sendiri. Dikatakan pula bahwa suatu produk memiliki daur hidup tersendiri yang terdiri
dari fase pengembangan perkenalan, pertumbuhan, kedewasaan, dan penurunan. Siklus
hidup produk merupakan jalur yang akan ditempuh oleh penjualan dan keuntungan
produk selama hidupnya (Kotler dan Armstrong, 2006). Strategi produk dapat
dilakukan dengan cara differensiasi produk dan strategi pengiklanan. Hal ini dilakukan
selain untuk membuat produk lebih dikenal karena memiliki cirri khas, juga agar
produk dapat laku di pasaran.

2. Strategi Harga
Dalam pasar persaingan sempurna, harga ditentukan oleh pasar.
Perusahaan tidak dapat mempengaruhi harga atau disebut pula price takers. Dalam pasar
persaingan tidak sempurna (monopoli, monopsoni, ologopoli, dan oligopsoni) perusahaan
dapat menentukan harga. Dalam pasar monopoli dan oligopoli dikenal adanya istilah
diskriminasi harga dengan memaksimumkan keuntungan dan menciptakan suatu
penghalang bagi perusahaan baru yang akan masuk ke pasar monopsoni maupun
oligopsoni.
3. Strategi Promosi
Promosi merupakan salah satu perilaku perusahaan yang
memaksimalkan keuntungan. Strategi promosi yang dijalankan
perusahaan dalam industrinya adalah melalui promosi dalam bentuk
iklan, distribusi produk, diskon atau potongan harga, product
display di tempat penjualan, serta kegiatan-kegiatan lainnya.

Promosi dapat dikatakan efektif jika dapat membuat konsumen mengetahui kelebihan
dari suatu produk dibandingkan produk lain sehingga dapat mendorong mereka untuk
membeli produk.

Kinerja (Performance)
Setiap perusahaan pasti akan mempunyai tujuan untuk menguasai pasar,
tujuan itu yang disebut dengan kinerja. Kinerja pasar dapat diartikan sebagai
sebuah usaha yang disesuaikan dengan struktur dan perilaku pasar dengan tujuan
akhir memperoleh keuntungan. Secara lebih rinci kinerja dapat dilihat dari laba,
efisiensi, pertumbuhan (termasuk peluasan pasar), kesempatan kerja, prestise
profesional, kesejahteraan personalia, dan juga kebanggaan kelompok. Kinerja
tergabung antara kinerja ekonomi dan non ekonomi (Hasibuan, 1994). Kinerja
dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek, namun biasanya
dipusatkan pada tiga aspek pokok yaitu, efisiensi, kemajuan teknologi, dan
keseimbangan dalam distribusi (Jaya, 2001).
Menurut Jaya (2001) ada 4 tujuan kinerja, yaitu :
1. Efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya
2. Kemajuan teknologi dan penggunaannya
3. Keseimbangan dan distribusi
4. Dimensi lain berupa kebebasan individu dalam memilih, keamanan dari
bahaya yang mengancam dan keanekaragaman budaya yang ada

Daryanto (2004) mengungkapkan yang dimaksud dengan kinerja


adalah :
1. Apakah perusahaan-perusahaan meningkatkan kesejahteraan ekonomi ?
2. Apakah mereka bekerja secara efisien, menghindari pemborosan faktorfaktor produksi yang langka sifatnya ?
3. Apakah alokasi faktor-faktor produksi telah efisien secara ekonomis?
4. Apakah perusahaan-perusahaan secara efektif meningkatkan kesempatan
kerja dan pertumbuhan ekonomi ?
Menurut Jaya (2001) dalam kinerja pasar terdapat konsekuensi
dan

kekuatan

pasar

yaitu

kemampuan

perusahaan-perusahaan

untuk

mempengaruhi harga produk-produk yang mereka jual kepada konsumen. Pada


kenyataannya kekuatan pasar dapat mempengaruhi secara mencolok terhadap
harga, keuntungan, inovasi, keadilan dan nilai-nilai lainnya. Dalam kinerja juga
memperhatikan pertumbuhan dan kelayakan, hal ini dikarenakan pertumbuhan
dan kelayakan membutuhkan usaha yang cermat, menunjukkan bagian-bagiannya
dan kemungkinan pengaruh-pengaruh monopoli yang ditimbulkannya.
2.1.3

Hubungan antara Structure Conduct - Performance

Strcture Conduct

Hubungan antara struktur dan perilaku adalah hubungan


linier. Market share perusahaan akan menimbulkan hambatan

masuk bagi perusahaan lainnya sehingga perusahaan-perusahaan

akan melakukan kerjasama baik dalam bentuk kartel, kolusi maupun merger. Jika
beberapa perusahaan itu melakukan kerjasama maka akan menimbulkan kekuatan
gabungan antar perusahaan sehingga membuat perusahaan lain tidak dapat masuk
ke dalam pasar.

Conduct Performance
Hubungan antara perilaku dan kinerja adalah hubungan linier. Perilaku perusahaan
seperti kebijakan harga, kerjasama, dan pengembangan produk adalah perilaku
perusahaan untuk memenuhi tujuan perusahaan yang biasanya bertujuan untuk
memak simumkan keuntungan dan efisiensi. Sehingga jika tujuan perusahaan
adalah keuntungan maksimum, maka perusahaa akan melakukan kebijakan harga.
Jika tujuan perusahaan adalah efisiensi, maka perusahaan akan melakukan strategi
kerjasama dan pengembangan produk.

Structure Performance
Hubungan antara struktur dan kinerja adalah hubungan linier. Semakin

besar kekuatan perusahaan atau sekelompok perusahaan yang melakukan kartel,


semakin besar tingkat efisiensi biaya. Semakin efisien itulah yang menyebabkan
banyak

perusahaan yang bersaing, maka keuntungan perusahaan akan semakin


meningkat.
2.2

PENETAPAN HARGA ENERGI

2.2.1 Konsep Penetapan Harga Energi


Tingkat harga energi secara ekonomi pada intinya harus memenuhi dua kriteria
utama dari sisi produsen dan konsumen. Harga bagi produseen harus memenuhi total
biaya produksi sumber daya energi. Kriteria produsen secara sederhana diwakili oleh
kurva penawaran sumber energi yang terdiri dari komponen long run marginal cost
(LRMC), premi pengurasan dan biaya eksternalitas. Jumlah ketiga komponen tersebut
merupakan harga minimal yang harus dipenuhi produsen. Komponen paling penting
adalah LRMC, karena kurva penawaran idealnya hanya mencerminkan biaya untuk
memproduksi suatu barang. Karena berkait dengan barang energi, terutama energi primer
yang tidak dapat diperbaharui, harga minimal perlu menambahkan premi pengurasan.
Sementara biaya eksternalitas merupakan komponen yang muncul belakangan
karena berkaitan dengan semakin maraknya isu lingkungan tentang energi.
Harga yang terbentuk harus dapat diterima konsumen. Harga ini dapat memberikan
alternatif bagi penggunaan energi yang paling baik diantara berbagai jenis energi yang
ada. Artinya, konsumen suatu jenis energi bersedia membayar harga minimal paling
tinggi sampai dengan harga energi alternatif terbaik berikutnya. Kriteria itu
diterjemahkan dalam bentuk kurva permintaan dan menunjukkan harga maksimal yang
dapat diterima konsumen yang biasa disebut nilai netback. Dan interaksi antara produsen
dan konsumen dengan asumsi pasar persaingan sempurna dinyatakan dalam

penggabungan kurva penawaran dan permintaan seperti tampak dalam grafik 2.1 dibawah
ini.

Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa :


1. terdapat suatu titik dimana menunjukkan posisi keseimbangan antara produsen
dan konsumen, titik Pe.
2. Bagaimanapun bentuk pergerakan harga energi, pergerakan ini akan berhenti pada
posisi harga yang sama dengan Pe.
3. Jika pergerakan sampai pada kurva penawaran yang lebih besar daripada kurva
permintaan, atau biaya penawaran yang lebih besar daripada kurva permintaan,
atau biaya penawaran lebih besar daripada nilai netback, konsumen akan beralih
pada sumber energi alternatif lain yang biaya produksinya lebih rendah.
Dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit mencapai harga pada kondisi keseimbangan.
Selain data statistik yang menggambarkan perubahan permintaan maupun penawaran
tidak memadai, berbagai distorsi seperti pajak, subsidi, monopolli, dan politik
menyulitkan penentuan kondisi keseimbangan sebenarnya.
2.2.2

Metodologi Penetapan Harga Energi

2.2.2.1. Biaya Dasar atau Harga Minimum


Biaya dasar atau harga minimum, merupakan kriteria yang berasal dari sisi
penawaran. Biaya ini dapat pula dikatakan sebagai biaya minimum yang diperlukan
produsen untuk memproduksi satu jenis sumber energi. Biaya ini dapat dibagi menjadi
tiga yaitu biaya penawaran (cost of supply), premi pengurasan (depelation allowance),
biaya eksternal (external cost) dan biaya transpor (transport cost).

1. Biaya Penawaran
Dalam menentukan biaya penawaran dilakukan pendekatan dengan menggunakan
metode AIC (Average Incremental Cost). Perhitungan AIC hanya memperhitungkan
tambahan biaya yang diperlukan untuk mempertahankan kemantapan produksi dalam
kurun waktu tertentu. Pada kasus Indonesia BUMN berperan sebagai pemasok tunggal
sumber energi tertentu. Untuk itu Bank Dunia memberi saran agar digunakan konsep
perhitungan biaya rata-rata penuh (Average Full Cost). AFC adalah Aic dengan
penambahan kompensasi untuk produsen.
2. Premi Pengurasan
Premi pengurasan adalah komponen biaya untuk mengukur pertambahan biaya
produksi sumber daya energiyang tidak terbarukan. Selain itu juga menggambarkan satu
unit sumber energi yang digunakan saat ini tidak akan tersedis lagi dimasa akan datang.

Untuk kasus Indonesia diperlukan kebijakan khusus untuk mengatur premi pengurasan
karena pemilik energi bukan produsen energi.

3.

Biaya Eksternal
Pada dasarnya, biaya eksternal adalah besarnya biaya sosial yang dibebankan

kepada masyarakat sebagai akibat tidak langsung kegiatan produksi dan konsumsi

sumber energi. Seberapa besar biaya sosial yang dibebankan tergantung batasan ambang
batas yang tertuang dalam kebijakan masing-masing negara. Indonesia mamberikan
ambang batas pencemaran yang ketat jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Usaha mencari formulasi penentuan ambang batas yang lebih pasti memang terus
dilakukan. Di sisi lain tampak proses yang secara bertahap berusaha memasukkan
komponen biaya eksternal sebagai biaya internal. Usaha tersebut dilakukan lewat
perencanaan yang lebih baik, penambahan peralatan atau iuran yang ditarik pemerintah
sebagai kompensasi atas kerusakan lingkungan yang terjadi. Untuk hal terakhir tercermin
lewat biaya restribusi, pajak atau biaya izin pembuangan limbah.
.4 Biaya Transportasi
Biaya transportasi atau sering disebut biaya distribusi terjadi karena terdapat
masalah jarak antara sumber dan pemakai energi. Energi harus diangkut dari sumbernya
supaya dapat dikonsumsi. Biaya transportasi harus dihitung dan dibebankan dalam harga
pada titik konsumen.

Biaya transportasi dapat mempengaruhi skala ekonomi produksi suatu sumber energi.
Biaya transportasi dapat dipengarui oleh beberapa faktor berikut:
1. Biaya transportasi oleh jarak/keadaan geografi titik permintaan. Jarak semakin
jauh akan meningkatkan biaya transportasi pada volume penjualan tertentu.
2. Biaya transportasi akan sensitif terhadap banyaknya konsumen. Semakin banyak
konsumen, semakin besar pula volume yang harus disediakan.
3. Biaya transportasi dipengaruhi oleh proporsi cadangan yang diolah pada titik
permintaan tertentu. Apabila pangsa pasar yang terpenuhi pada titik permintaan
relatif kecil dibandingkan dengan besarnya potensi cadangan, sementara potensi

permintaan sangat besar, produksi energi dapat ditingkatkan tanpa perlu


mengandalkan pasar yang lebih jauh dengan biaya transportasi lebih besar.
4. Biaya transportasi dipengaruhi oleh cara penentuan harga. Jika harga pada titik
permintaan yang saling berbeda tempat, maka semakin jauh jarak titik tersebut
semakin besar pula beban biaya yang harus ditanggung produsen
5. Biaya transportasi sangat dipengaruhi oleh modus transportasi yang digunakan.
2.2.2.2.

Nilai Netback
Nilai netback pada dasarnya membahas kemungkinan harga tertinggi yang

bersedia dibayar konsumen untuk mendapatkan energi tertentu. Penghitungan


mengansumsikan seorang konsumen akan memilih alternatif harga paling murah dan
membandingkan secara relatif nilai suatu jenis energi terhadap jenis energi alternatif
lainnya.
Dengan asumsi pasar persaingan sempurna, seorang konsumen bersedia membeli
energi jika harganya lebih kecil atau setidaknya sama dengan biaya produksi. Dalam hal
ini Netback harus lebih besar atau sama dengan biaya dasar atau harga minimum.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai netback adalah nilai maksimum yang sedia
dibayar konsumen dihadapkan dengan harga barang produksi atau biaya dari alternatif
terbaik penggunaan energi lainnya.
2.2.2.3

Harga Efisien
Harga efisien sebenarnya merupakan tingkat harga yang terbentuk saat

permintaan sama dengan penawaran, atau saat keseimbangan. Dalam kenyataannya harga
efisien sangat sulit ditemui. Meskipun begitu, tingkat harga efisien penting untuk
diketahui terutama oleh para pembuat kebijakan. Dengan mengetahui secara pasti harga

efisien, pemerintah dapat menetapkan sekaligus menentukan lebih jauh besar surplus
ekonomi yang dapat diterima lewat keijakan fiskal tanpa harus merugikan produsen
energi.
Dalam praktiknya harga efisien dihitung dengan menggunakan metode
optimalisasi, yaitu mendefinisikan tujuan dan kendala yang timbul dari usaha menuju
optimalisasi. Contohnya adalah sebagai berikut :

Meminimalkan biaya, atau

Memaksimalkan keuntungan

2.2.4

Harga Finansial

Harga finansial adalah harga patokan atau harga minimal yang muncul di sisi produsen.
Mekanismenya adalah proses negosiasi dengan pihak konsumen. Harga maksimum yang
dapat diperoleh konsumen merupakan harga finansial tadi. Jika konsumen bersedia
membayar pada tingkat harga tersebut berarti konsumen akan membeli. Jika tidak
bersedia, maka konsumen akan mencari energi alternatif lain yang dapat mensubstitusi
energi tersebut.
Harga finansial berhubungan erat dengan sistem perjanjian kerja yang berlaku
antara produsen dan pemerintah. Sebagai contoh harga finansial minyak, gas bumi,
batubara dan panas bumi di Indonesia. Pengembangan energi primer tersebut dapat
diusahakan sendiri oleh BUMN yang bersangkutan atau berdasarkan kontrak bagi hasil,
kontrak operasi bersama dan kontrak kerja sama. Perhitungan harga finansial akan
berbeda bila semua diusahakan sendiri oleh BUMN yang bersangkutan. Hal ini

disebabkan perbedaan formula yang diterapkan pemerintah untuk menghitung bagian


BUMN dan pihak investor.

2.2.3 Beberapa Masalah dalam Penetapan Harga Energi di Indonesia


2.2.3.1 Alokasi Sumber Energi
Seperti telah di jelaskan sebelumnya, penetapan harga harus dapat memenuhi
kriteria

produsen

dan

konsumen

yaitu long

run

marginal

cost (LRMC)

dan

nilai netback. Penetapan harga di bawah nilai LRMC mengakibatkan kerugian di pihak
produsen dalam jangka panjang. Sementara penetapan harga yang melebihi
nilai netback akan merugikan konsumen.
Pada kenyataannya penetapan harga di indonesia sangat di pengaruhi berberapa hal
yaitu :
1. variabel ekonomi (efisiensi),
2. distribusi energi
3. finansial (inefisiensi)
Harga yang di tetapkan sampai saat ini tidak berada pada tingkat efisien maupun
inefesiensi. Subsidipun masih tetap diberlakukan. Dengan kata lain penetapan harga
energi di indonesia belum mengarah pada penetapan harga yang efisien. Penetapan harga
masih dihubungkan dengan distribusi pendapatan melalui struktur harga energi.
Seperti dalam penjelasan harga finansial, inefesiensi alokasi sumber energi terjadi
karena distorsi pasar. Kasus distorsi pada umumnya bersumber dari intervensi pemerintah
melalui pajak dan subsidi. Namun di sini perlu ditekankan bahwa intervensi tersebut di
selenggarakan berkaitan dengan obyektif sosial. Terlepas dari maksud dan tujuan

pemerintah, penetapan pajak dan subsidi yang tidak tepat akan menimbulkan inefesiensi
bagi perekonomian.
Dari kerangka ekonomi mikro, dengan menganggap elastisitas permintaan dan
penawaran sama dan moderat, penetapan pajak membuat harga menjadi lebih tinggi dari
pada harga keseimbangan. Dampak selanjutnya penetapan pajak tersebut adalah
penurunan surplus produsen dan surplus konsumen.
Pembahasan subsidi sebenarnya identik dengan pajak. Namun subsidi di sini
dianggap negative tax.Output yang dihasilkan saat ini lebih banyak dari pada yang
seharusnya terjadi pada posisi keseimbangan. Dalam sejarah penetapan harga di
Indonesia, subsidi selalu mendapat perhatian khususnya dalam distribusi kesejahteraan
bagi masyarakat yang kurang mampu dan untuk mendorong industrialisasi.
2.2.3.2

Obyektif Sosial
Obyektif sosial merupakan kaidah keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh

masyarakat. Fungsi atau obyektif sosial terutama masalah subsidi seperti telah di jelaskan
sebelumnya, subsidi memang tidak akan mencerminkan tingkat harga energi yang
sebenarnya. Namun dalam kebijakan harga, subsidi merupakan salah satu instrumen
untuk meratakan penggunaan energi di masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan
rendah. Selain itu subsidi juga dapat dijadikan alat untuk mendukung sektor industri.
Kebijakan subsidi diberlakukan ketika harga suatu produk energi dinilai tidak
sebanding dengan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah indonesia
sendiri menerapkan dengan subsidi silang. Suatu produk energi dijual dengan harga
tinggi, diatas tingkat harga sebenarnya dan selisih harga digunakan untuk menutup

kerugian produk energi yang lain. Contoh klasik di indonesia adalah subsidi produk
energi minyak tanah.
Minyak tanah merupakan jenis energi yang paling banyak di gunakan, terutama
untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Subsidi silang terhadap minyak tanah
diberikan premium, bahan bakar yang sering digunakan masyarakat untuk kendaraan
bermotor. Subsidi untuk sektor industri diberikan pada bahan bakar solar, jenis energi
yang sering di gunakan sektor industri.

Namun tampaknya perlu di cermati apakah subsidi solar dan minyak tanah sudah
tepat diterima oleh pengguna akhir yang memang betul-betul memerlukan. Data terbaru
biro pusat statistik menunjukan bahwa masyarakat berpendapatan menengahpun masih
banyak yang mengkonsumsi minyak tanah. Di samping itu, menurut hasil studi yang di
lakukan Mark Pitt. Tidak terdapat hubungan yang segnifikan antara harga dengan
konsumsi kayu bakar masyarakat yang berpenghasilan rendah. Penggunaan kayu bakar
oleh masyarakat berpenghasilan rendah l;ebih disebabkan tingkat pendapatan mereka
yang rendah. Bila konsumsi masyarakat lapisan tersebut ingin di ubah ke BBM, maka
pendapatan mereka harus ditingkatkan terlebih dahulu.
Contoh lain adalah penerapan subsidi tarif listrik. Penerapan tarif listrik di
indonesia di bedakan menurut pengguna akhir. Tarif untuk kalangan industri berbeda
dengan tarif untuk perkantoran dan rumah tangga. Salah satu fungsi pembedaan tarif ini
adalah untuk memberikan subsidi silang di antara berbagai pengguna tersebut. Penetapan
tarif untuk golongan industri dan perkantoran tertentu umumnya lebih besar dari pada
penetapan tarif untuk golongan rumah tangga tertentu. Tarif untuk berbagi golongan
masih di pilah lagi berdasarkan batas daya.

Dalam praktik, subsidi dapat dibedakan antara subsidi secara finansial atau secara
ekonomi.

Secara finansial subsidi hanya merupakan selisih antara biaya produksi dan biaya

distribusi dengan harga produk energi tersebut yang sebenarnya terjadi di pasar.

Sedangkan subsidi secara ekonomi merupakan perbedaan antara harga yang

sebenarnya terjadi dari proses produksi dengan harga efisien. Jika selisihnya tidak
dijadikan subsidi, dalam subsidi secara ekonomi ini. Seluruh selisih tersebut akan di
tanggung oleh masyarakat dan perekonomian sebagai beban inefisiensi.

2.2.3.3

Masalah Lingkungan
Indonesia memasukkan isu lingkungan dalam penetapan harga lewat biaya

eksternal dalam struktur biaya produksi. Konsep ini dijalankan untuk mendukung
terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan. Berbagai komponen biaya yang
berhubungan dengan isu lingkungan dalam praktik digunakan untuk kegiatan
penanggulangan dampak negatif terhadap lingkungan. Di samping itu juga untuk tujuan
konservasi sumber daya energi, sehingga keberadaanya dapat terus terjamin untuk masa
akan datang. Biaya ekstenal yang dikeluarkan produsen energi terkait erat dengan
ambang batas pencemaran yang ditentukan oleh otoritas lingkungan. Di indonesia,
pelaksanaanya harus memenuhi persyaratan analisa mengenai dampak lingkungan dan
pencegahannya memerlukan biaya yang sudah termasuk dalam struktur biaya energi.

2.2.4

Harga Energi di Indonesia

2.3.4.1

Tujuan Penentuan Harga

Tujuan penentuan harga adalah sebagai berikut :


1. untuk memperoleh keuntungan setelah dihitung biaya produksinya,
2. untuk memperoleh kembali nilai investasi pada peralatan yang telah dibeli, atau
peralatan yang telah ditetapkan cukup rendah di bawah biaya produksi hingga
diderita kerugian.
3. untuk mencapai tujuan pemerataan agar mereka yang berpendapatan rendah dapat
membelinya.
Namun penetapan harga terialu rendah akan menyebabkan banyaknya permintaan hingga
melebihi biaya produksinya. Sebagai contoh adalah penetapan harga minyak tanah
(kerosin) yang terialu rendah. Di zaman Orde Lama, BBM yang dianggap sebagai
komoditi yang strategis dan vital merupakan bahan kebutuhan pokok dan harganya
ditetapkan sangat rendah, hingga permintaan jauh melebihi penawarannya. Antrian dan
penjatahan harus dilakukan, hingga muncul pasar gelap dengan harga transaksi yang
sangat tinggi dibandingkan dengan harga resminya yang ditetapkan terialu rendah.
Kebijakan ini akan memacu pengurasan sumber alam energi terialu cepat. Hal inipun
seharusnya tidak terjadi pada sumber energi utama lainnya, misalnya batu bara.
Perlu dipertimbangkan bahwa, manakah yang lebih tinggi antara manfaat yang
diperoleh dari konsumsi di dalam negeri denngan manfaat atau hasil yang bisa diperoleh
dengan meng-ekspornya. Atau secara ekonomika populer dikatakan bahwa biaya
oportunitas konsumsi dalam negeri adalah penggunaannya untuk ekspor. Harga suatu
komoditi ditentukan bersama oleh unsur kekuatan pasar yaitu permintaan dan penawaran,
serta oleh intervensi atau penentuan harga oleh pemerintah.

2.2.4.2 Penetapan Harga Energi Primer


1. Minyak Bumi
Sejak tahun1970-an hingga saat ini Indonesia mengenal dan menerapkan dua model
penetapan harga minyak mentah di pasar internasional. Kedua model penetapan harga
tersebut adalah :

GSP (Government Sale Price)

Harga GSP diterapkan sejak tahun 1968 1986 saat harga minyak mentah di pasar dunia
menunjukkan perkembangan menggembirakan. Harga GSP berpedoman pada harga yang
telah ditetapkan OPEC.

ICP (Indonesia Crude Price)

Karena harga minyak dunia terus berfluktuasi maka Indonesia menetapkan patokan harga
baru, yaituIndonesia Crude Price. Perhitungan ICP dibuat berdasarkan harga basket
minyak mentah dunia yang dikeluarkan oleh Asian Petroleum Price Index (APPI).
2. Gas Bumi
Harga gas bumi diusahakan memenuhi kriteria produsen dan konsumen. Namun
dalam penetapan harga gas bumi terdapat beberapa kendala, diantaranya adalah teknis
pemurnian gas bumi dan pencairan dalam bentuk LNG ekspor sehingga membuat biaya
teknologi gas bumi masih sangat mahal.
Pada prinsipnnya harga gas bumi Indonesia ditentukan berdasarkan hasil
negosiasi antara produsen dan konsumen. Namun harga pemakaian gas bumi untuk
konsumen tertentu, seperti rumah tangga yang disalurkan oleh Perusahaan Gas Negara
(PGN), ditetapkan oleh pemerintah setelah dibandingkan dengan harga BBM tertentu

yang menjadi saingan gas bumi. Langkah ini untuk mendorong pemakaian gas bumi lebih
banyak di tingkat konsumen.
3. Batubara
Harga yang berlaku untuk batubara sesuai dengan harga yang terjadi di pasar
internasional. Pemerintah sendiri pernah menetapkan harga energi batubara konsumsi
domestik tidak melebihi harga CIF batubara impor Asia Pasifik dan 65 persen harga
minyak bakar domestik. Untuk ekspor, batubara Indonesia tetap mengacu pada harga
pasar dengan memperhatikan pesaing yang ada terutama Australia dan Kanada. Harga
untuk dalam negeri terutama ditetapkan melalui negosiasi antara produsen dan konsumen
dengan memperhatikan ROR yang wajar untuk produsen batubara.
4. Panas Bumi
Harga jual panas bumi sebagai energi primer di Indonesia terbagi menjadi dua
sistem, yakni berdasarkan pola pengusahaan industri panas bumi nasional lewat harga
jual uap hasil produksi Pertamina dan harga jual uap hasil produksi Kontrak Operasi
Bersama pengembangan swasta dengan Pertamina. Pada saat ini keekonomian panas
bumi memang hanya untuk pembangkit listrik. Harga jual uap Pertamina ditetapkan
sebesar 80 persen dari harga eceran minyak bakar dalam negeri (Rp/liter) dan dengan
faktor konversi 0,28 untuk mengubah menjadi Rp/kWh. Sedangkan besarnya harga jual
dari Kontrak Operasi Bersama (KOB) ditetapkan dan dieskalasi dalam suatu indeks.
Penetapan harga dibuat dalam serangkaian formula yang diatur dalam kontrak
berdasarkan hasil negosiasi antara konsumen PLN dan KOB. Penetapan harga seperti itu
dilakukan untuk panas bumi dari Salak dan Darajat.
5. Air

Energi air adalah bentuk energi primer yang dapat diperbarui. Peranannya sangat besar
terutama dalam pengadaan listrik untuk masyarakat. Penggunaannya sebagai sumber
pembangkit listrik merupakan usaha untuk mendukung diversifikasi energi. Diharapkan
penggunaan energi air dapat mengurangi tingkat konsumsi BBM.

2.2.4.3 Penetapan Harga Energi Sekunder


1. Bahan Bakar Minyak
Konsep penetapan harga BBM di Indonesia secara umum terdiri dari tiga metode, yaitu
border price, Harga Pokok Penjualan (HPP) BBM, dan harga pemerintah. Hal lain yang
berkaitan erat dengan penetapan harga BBM adalah masalah subsidi.
Penetapan harga metode border pricemengacu padapenetapan harga eks kilang
Singapura. Penetapan harga ini diasumsikan berlaku pada harga yang kompetitif. Dengan
asumsi tersebut harga BBM dari kilang singapura menggunakan posted price yang
dipublikasikan secara rutin. Harga ini kemudian ditambah komponen biaya seperti
transportasi, pajak, subsidi dan sebagainya. Semua itu menjadi harga jual di Indonesia
(landed price). Tabel 2.3 merupakan contoh Posted Price Singapura pada awal 1998.

Tabel 2.3 .Harga BBM impor (singapore posting) Januari 1998

Produk

Harga (Ekivalen RP/Liter)

Avgas

1.152.20

Avtur

1.004.25

Premium

1.124.09

minyak tanah

1.004.25

minyak solar

1.102.95

minyak diesel

931.10

minyak bakar

750.15

Sumber: Laporan Rutin Pasar Minyak Singapura. PLATTS, 1998

Tabel 2.4 Harga Jual Eceran Dalam Negeri Bahan Bakar Minyak Bumi dan Perhitungan
Besarnya Subsidi Ekonomi

Produk

Harga

Besarnya Subsidi Ekonomi

Avgas

420

420-1.152.20=(732.2)

Avtur

420

420-1.004.25=(584.25)

Premium

700

700-1.124.09=(424.09)

minyak tanah

280

280-1.004.25=(724.25)

minyak solar

380

380-1.102.95=(722.95)

minyak diesel

360

360-931.10=(571.1)

minyak bakar

240

240-750.15=(510)

Sumber: Departemen Pertambangan dan Energi. Keppres No. 1/1993

Sistematika perhitungan harga BBM di Indonesia pertama kali dimulai dengan


mencari harga pokok penjualan produksi BBM dalam satuan rupiah per liter. Dalam
konsep ekonmi mikro perhitungan itu merupakan nilai biaya rata-rata (average cost)

produksi BBM. HPP dihitung dengan mengurangi pendapatan penjualanb BBM dalam
negeri setelah itu dikurangi biaya-biaya kemudian dibagi dengan besarnya volume BBM.
Sisi biaya dikelompokan dalam biaya pengadaan minyak mentah dan produk serta
biaya operasi. Biaya pengadaan minyak mentah dan produk merupakan biaya yang
dominan dalam struktur biaya bbm yang terdiri atas pembelian minyak mentah, impor
BBM, perubahan persediaan, dan nilai non-BBM. Sedangkan biaya operasi terdiri dari
atas biaya pengolahyan, biaya distribusi, biaya angkutan laut, biaya umum dan
aministrasi, biaya bunga dan biaya penyusun.
Harga BBM berdasarkan ketetapan pemerintah adalah harga yang ditetapkan dan
diberlakukan untuk konsumsi nasional. Tabel 2 merupakan contoh harga yang ditetapkan
pemerintah, dan tetap dipakai sampai dengan februari 1998, seperti tertera dalam Keppres
No. 1/1993 tentang Harga jual eceran dalam negeri Bahan bakar minyak bumi.

Nilai HPP yang diperoleh setelah dikurangi harga rata-rata Pertamina disebut laba
bersih minyak (LBM). Nilai LBM negatif mencermikan besarnya subsidi yang harus
dikeluarkan. Bila positifberrarti mencerminkan laba bersih. Terlihat diatas untuk
mempertaankan supaya hargadengan seperti tertera dalam Keppres no.1/1993, LBM
merupakan besarnya subsidi yang harus dikeluarkan agar harga tidak berubah. Total
subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah agar harga tidak berubah. Total subsidi yang
harus dikeluarkan kemudian dibagi menurut proporsi dalam struktur BBM.
Tabel

2.5

merupakan

contoh

penetapan

HPP BBM

yang

kemudian

mnenghasilkan besarnya subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah. Prinsip subsidi yang
seharusnyya dilakukan sekarang untuk avtur, avgas, dan minyak bakar mengacu pada
harga pasar, sementara premium diatas harga pasar karena jenis BBM ini dipakai oleh

masyarakat berpenghasilan menengah keatas. Subsidi ekonomi adalah perbedaan antara


harga efisien BBM yang dicerminkan oleh border price eks kilang singapurayang
dianggap efisien dikurangi harga BBM yang ditetapkan pemerintah.

Harga BBM dilihat dari alur produksi konsumsi terbentuk setelah melalui tiga proses.
Pertama, kegiatan eksplorasi dan produksi. Kedua, kegiatan operasi kilang. Ketiga,
kegiatan operasi distribusi.
Kegiatan pertama masuk dalam kegiatan industri hulu, sedangka kegiatan kedua
da ketiga masuk dalam kegiatanindustri hilir. Harga yang dihadapi kegiatan eksplorasiproduksi adalah harga pasar, walaupun sebagian kecil terdiri atas DMO (Domestic
Market Obligation) yang merupakan bagian dari produksi minyak Indonesia yang harus
disetor untuk memenuhi kebutuhan domestik dengan harga tertentu. Sedangkan kegiatan
operasi kilang dan distribusi menghadapi harga yang telah disubsidi, bukan harga pasar
sebenarnya.
Tabel 2.5 memperlihatkan sekali lagi komponen biaya terbesar dalam penetapan
harga pokok ppenjualan BBM adalah biaya pembelian minyak mentah dari pasar
internasional. Proporsinya sekitar 75% dari total biaya. Untu menghindari gejolak harga
minyak domestik, perlu dipertimbangkan alternatif penetapan harga BBM dengan
menggunakan ceiling price dan floor price. Cara ini dilakukan beberapa negara
berkembang pada tahapan awal atau masa transisimenuju harga pasar. Ceiling price
adalah batasan harga tertinggi dan floor price adalah batasan harga terendah yang dapat
ditetapkan pemerintah.

Tabel 2.5 Penetapan HPP BBMTahun Anggaran 1998/1999

Rupiah/Ekivalen

Rupiah

Dolar AS

Rupiah/Liter

(juta)

(juta)

(ribu)

1. Penjualan BBM Domestik

19.066.913

19.066.913

366.561

Jumlah Penapatan

19.066.913

19.066.913

366.561

I Pendapatan

A. Biaya Pengadaan Minyak Mentah dan Produk


1. Pembelian Minyak Mentah

19.946.336

57.908

3.975.651

383.901

2. Impor Minyak Mentah

7.807.906

1.567.212

150.688

3. Impor BBM

7.366.815

1.473.651

141.780

4. Pembelian BBM

3.590.253

751.051

69.456

5. Perubahan Persediaan

-1.519.826

-1.565.769

-29.908

6. Nilai non BBM

-8.672.429

-1.754.234

-165.890

Jumlah

28.519.056

1.454.713

5.994.781

548.764

1. Biaya Pengolahan

2.350.749

901.245

289.632

45.193

2. Biaya Distribusi

1.460.748

1.020.760

88.908

28.904

3. Biaya Angkutan Laut

2.129.647

321.876

40.942

4. Biaya umum dan Adm.

90.312

90.780

1.738

5. Biaya Bunga

195.642

59.242

27.212

B. Biaya Operasi

3.751

6. Biaya Penyusutan

363.670

363.254

6.992

Jumlah

6.590.768

2.959.790

726.300

125.057

Jumlah Biaya

35.`09.524

1.507.812

6.720.890

647.908

(Subsidi)/LBM

-16.267.098

17.587.568

6.720.347

-308.901

Sumber: Seminar Indonesian Institute For Energy Economics

2. Energi Listrik
Konsep perhitungan utama menggunakan metode biaya pembangkitan terendah. Secara
umum, harga energi listrik yang sampai ke pemakai akhir terdiri atas komponen biaya
pembangkitan, biaya transmisi, dan biaya distribusi. Variabel yang paling menentukan
harga listrik dari ketiga komponen tersebut adalah biaya pembangkitan listrik.
Selama ini dipakai metode biaya pembangkitan terendah untuk menentukan
besarnya harga listrik di lokasi pembangkitan. Secara umum metode ini terdiri dari tiga
variabel utama, yaitu biaya modal, biaya operasi dan perawatan, serta biaya bahan bakar.
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan basarnya komponen biaya dalam penentuan
biaya beberapa jenis pembangkit listrik.

Tabel 2.6 Biaya Pembangkitan Listrik Tahun 1989-1990

Jenis Pembangkit

Listrik

Biaya

Biaya

Modal

O&M

(mills/kWh)

Biaya

Total

Bahan Bakar

(mills/kWh) (mills/kWh) (mills/kWh)

PLTD MFO

12.3

2.6

31.2

46.1

PLTU Batubara

12.8

2.7

19.8

35.3

PLTU MFO

10.0

2.1

29.9

42.0

PLTG Combined Cylce

7.8

1.7

23.9

33.4

PLTU Gas Bumi

12.6

2.7

26.3

41.6

PLTG HSD

21.4

4.6

101.3

127.3

PLTG Gas Bumi

21.4

11.4

52.4

85.2

8.0

1.7

33.4

43.1

PLTP

Sumber : Energy Pricing Policy Study (EPPS),1990

Penentuan tarif dasar listrik (TDL) sebenarnya merupakan upaya yang sangat
penting dilakukan, bila dikaitkan dengan struktur dan tingkat harga. Pada prinsipnya
penentuan TDL berdasarkan diskriminasi harga dan harga mark-up dari biaya finansial.
Kriteria penetapan TDL bertujuan untuk :
1. Memenuhi sebagian kebutuhan pendanaan untuk investasi yang menjamin
tersedianya tenaga listrik secara efisien dan berkelanjutan
2. Menjamin keadaan keuangan pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan agar sehat
dan wajar

3. Menyempurnakan penggolongan dan struktur tarif listrik, sehingga tenaga listrik


untuk masing-masing golongan tarif semakin mendekati nilai keekonomian

You might also like