You are on page 1of 4

Minyak dan Gas Bumi, merupakan sumber pendapatan utama di beberapa Propinsi pesisir timur Pulau

Sumatera, sebutlah seperti Aceh dengan Lapangan Gas Arun yang melegenda, Lapangan Minyak dan Gas
Rantau-Pangkalan Susu di Sumatera Utara, di Riau antara lain Lapangan Minyak Minas, juga LapanganLapangan Migas di daerah Jambi dan Sumatera Selatan. Hampir semua Propinsi tersebut telah menjadikan
sektor migas sebagai tulang punggung perekonomian daerah. Namun bagaimana dengan daerah pesisir barat
Sumatera seperti Sumatera Barat, Bengkulu dan terus ke selatan Pantai Barat Lampung. Berdasarkan keilmuan
geologi perminyakan, wilayah pantai barat Sumatera belum merupakan wilayah dengan potensi ekonomis untuk
terperangkapnya minyak dan gas bumi.
Namun demikian di wilayah Sumatera Barat terdapat dua cekungan migas yang berpotensi, yaitu Cekungan
Ombilin dan Cekungan Mentawai. Cekungan Ombilin terdapat di wilayah Administrasi Kabupaten
Sawahlunto/Sijunjung sekarang. Blok Singkarak berada pada Cekungan Ombilin, dari studi diketahui memiliki
potensi minyak mentah 725 ribu barel dan 43 miliar kubik kaki gas. Pada 1983, Caltex sudah melakukan
pengeboran sedalam 9.902 feet di Blok Singkarak, namun kegiatan ini tidak dilanjutkan karena tidak ekonomis
untuk dikembangkan (www.kini.com). Sampai saat ini sudah dilakukan pengeboran 8 (delapan) sumur
Ekslporasi dari Tahun 1972 s.d tahun 2001 . Pada tahun 2008, PT. Radiant mendapatkan hak pengelolaan Blok
Migas yang merupakan hasil penawaran langsung Blok South West Bukit Barisan (Blok Singkarak) oleh
Pemerintah dengan komitmen investasi untuk 3 tahun adalah sepu;uh juta dolar AS dan signature bonus
kepada pemerintah RI sebesar satu juta dolar AS. Blok ini adalah Blok yang sama yang juga telah dikerjakan
Caltex sebelumnya. Sampai saat ini status blok ini masih tahap eksplorasi yang artinya belum menjadi lapangan
migas komersial.
Area cadangan migas lainnya yang belum proven (terbukti) terletak di Cekungan Mentawai terletak di Daerah
Laut (Offshore)
pantai barat Padang sekitar Kepulauan Mentawai sebagai busur depan (for-arch) yang berjejer dari Barat Ujung
Sumatra
sampai Selatan Jawa. Di busur ini, tepatnya di daerah Nias dan Bengkulu pernah diadakan pemboran Ekplorasi
namun
belum ditemukan Potensi Migas yang ekonomisSelain itu terdapat pula potensi Gas yang lain, yaitu Gas
Metana
Batubara atau Coal Bed Methane (CBM), merupakan Potensi Gas yang terdapat pada lapisan Batubara.
Potensi
Batubara di Sumatera Barat terutama terdapat di daerah Ombilin yang juga termasuk dalam wilayah Administrasi
Sawahlunto/Sijunjung dan sekitarnya. Potensi Gas CBM tergantung dari Potensi Batubara yang terdapat pada
area
tersebut. Kedalaman tambang CBM ini berada pada wilayah potensi Batubara dengan kedalaman rata-rata 400
meter
kebawah. Daerah Cekungan Ombilin mempunyai Potensi CBM ini sebesar 0.5 triliun kubik kaki gas (TCF)
(Ditjen Migas, 2008). Bandingkan dengan Cekungan Sumatera Selatan dengan potensi CBM sebesar 180 TCF.
Potensi CBM di Cekungan Ombilin ini tidak terlalu ekonomis untuk dikembangkan. CBM di negara lain
umumnya
digunakan untuk kebutuhan energi listrik domestik terutama di Australia dan Amerika Serikat sebagai penghasil
utama
CBM dunia.
Bila ditilik dari Potensi Migas Sumatera Barat sangat jelas bahwa, untuk saat ini tidak mungkin Sumbar dapat
menggenjot
pendapatan dari Sektor Migas. Pertanyaannya, kalau demikian bagaimana mungkin Sumatera Barat
mendapat pemasukan dari Sektor Migas?.
Ada tiga hal utama dalam mengukur Kinerja pendapatan sektor Migas yaitu dari sisi: peningkatan Produksi
Migas,
pendapatan (revenue) dan biaya (cost). Revenue yang besar dengan biaya yang rendah menjadi ukuran utama
tapi harus diikuiti pula dengan Produksi Migas yang tinggi sebagai salah satu patokan utama dalam mengukur
kinerja

sektor migas. Dari sisi revenue ini, maka Sumatera Barat dapat memposisikan diri sebagai penampung untuk
kegiatan-kegiatan sektor migas, yaitu revenue yang didapat bukan dari hasil produksi migas tapi dari hasil
kegiatan
pendukung.
Melihat dari kalender kegiatan sektor Migas tahunan, banyak sekali kegiatan yang sifatnya rutin seperti
pertemuan-pertemuan, kursus bidang migas hulu dan hilir, begitu juga kegiatan profesi terkait dengan Profesi
Ahli
sektor Migas seperti kegiatan organisasi Indonesia Petroleum Association (IPA), Indonesia Gas Association
(IGA),
Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Himpunan Ahli
Geofisika
Indonesia (HAGI) dan Forum antar kawasan lainnya terkait bidang Migas. Kursus keprofesian diadakan secara
berkala 3-4 kali setahun oleh organisasi profesi dan juga hampir setiap bulan dilakukan oleh Event Organizer
(EO)
Swasta sektor Migas, Perguruan Tinggi dsbnya. Rapat Kerja/Workshop hampir setiap hari, Pertemuan Ilmiah
Asosiasi Profesi dilakukan setiap tahun.
Hampir semua aktivitas tersebut lebih sering diadakan di Kota-Kota Besar Pulau Jawa seperti Jakarta,
Bandung,
Bogor, Semarang, Jogja dan Surabaya. Di luar Jawa, Bali dan Lombok menjadi daerah tujuan utama yang lain.
Untuk wilayah Sumatera saat ini baru Palembang, Batam dan Bintan yang sering dijadikan sebagai salah satu
Kota
untuk pertemuan Migas tersebut. Pemilihan Batam karena banyak industri penyangga bidang Migas yang
berdomisili
di Batam, dan Pulau Bintan karena daerahnya yang nyaman untuk menyelenggarakan pertemuan. Hampir
semua
daerah tersebut mempunyai fasilitas penunjang yang lengkap yang didukung penuh oleh Pemerintahan Daerah
dan Masyarakat setempat.
Bagaimana dengan Sumatera Barat, mungkin dan siapkah?
Dengan studi sederhana yang pernah penulis lakukan berdasarkan pengalaman untuk 25 orang dalam 3 hari
pertemuan peserta mengeluarkan minimal 150 juta, maka bayangkan apabila pemerintahan daerah dapat
menarik 20
event saja setahun, maka potensi 3 milyar dapat menjadi penggeliat pembangunan pariwisata daerah, tentu
belum
termasuk keluarga peserta, belum dihitung kalau event yang diadakan dalam skala besar seperti Konvensi atau
pertemuan tahunan, belum dihitung efek berantai apabila peserta puas dan berniat melaukan kunjungan ulang
ke
Sumatera Barat.
Menilik dari besarannya potensi tersebut, maka pantas apabila Pemda Sumatera Barat dapat melakukan usaha
terus menerus untuk dapat menjadikan sektor pendukung Migas sebagai salah satu sumber pendapatannya.
Dengan syarat utama tentunya dengan memenuhi kebutuhan untuk kegiatan ini terkait dengan sarana dan
prasarana yang diperlukan seperti ruang konvensi, transportasi, hotel dan penginapan, serta tempat-tempat
hiburan pelepas penat yang tentu tidak selalu berkonotasi negatif yang jamak dikhawatirkan oleh stakehoder
pariwisata di ranah minang. Optimasl sumber daya wisata yang ada di Sumatera Barat sangatlah penting untuk
pemanfaatan kedepan seperti aset seni budaya, aset alam, kerajinan rakyat, dan makanan apabila dapat
dikemas bersama secara baik tentulah menjadi daya tarik bagi para pengunjung. Sambil berapat, berkonvensi
pengunjung sekaligus dapat berlibur tanpa masyarakat ranah merasa kehilangan jati diri budaya. Langkah yang
progressif dapat juga dilakukan melalui penjajakan Kerjasama dengan Pegiat-Pegiat Bidang Migas, seperti
Departemen ESDM, BP Migas, Aosisasi Profesi Sektor Migas dalam penyelenggaraan kegiatan pendukung
Migas di Sumatera Barat.

Kota-Kota Utama di Jawa, Bali-Lombok, Batam dan Bintan telah dapat menjadi magnit bagi kegiatan MICE
(Meeting, Incentive, Conferences & Exhitibition), bagaimana dengan Sumatera Barat, maka Pemerintah Daerah
dan
semua lapisan masyarakat di Sumatera Barat yang berhak menjawabnya. Semoga.

Dedi Yusmen
Sekjen Pengurus Pusat Masyarakat Peduli Pariwisata Sumbar (MAPPAS) 2011-2014

Di pulau Sumatera, pergerakan lempeng India dan Australia yang mengakibatkan kedua
lempeng tersebut bertabrakan dan menghasilkan penunjaman menghasilkan rangkaian busur
pulau depan (forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P.
Batu, P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur
vulkanik di tengahnya, serta sesar aktif The Great Sumatera Fault yang membelah Pulau
Sumatera mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke
Laut Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar
sebelas sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu: Sesar Aneuk
Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar Blangkejeren. Khusus
untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit oleh dua patahan aktif, yaitu
Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini terbentuk sebagai akibat dari adanya pengaruh
tekanan tektonik secara global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau
Sumatera serta pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada di
sepanjang patahan tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah longsor,
disebabkan oleh adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang tinggi. Banda Aceh
sendiri merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk sebuah
graben. Dataran yang terbentuk tersusun oleh batuan sedimen, yang berpengaruh besar jika
terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau Sumatera.
Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat, sedangkan bagian
timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai dataran pantai yang sempit
dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang dibandingkan
berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian
barat (yang bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di
bagian timur, gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa
pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun lalu,
yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempenglempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan
ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai
kecepatan 86 milimeter / tahun menurun secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena

terjadi proses tumbukan tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30
milimeter/tahun pada awal proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983
dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai
sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini,
menurut teori indentasi pada akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar
geser di bagian sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara
tektonik (Tapponier dkk, 1982).
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan busur
muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi. Kenyataan
menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik Sumatera
menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000).
Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu
dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan
dan bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.

You might also like