You are on page 1of 13

Abstrak

Angka kematian meningitis tidak mengalami penurunan walaupun terdapat


penurunan angka kejadian meningitis dan berkembangnya penemuan antibiotik
baru. Tujuan penelitian ini adalah melaporkan pola kematian meningitis dan
mengetahui faktor yang berhubungan dengan kematian akibat meningitis pada
penderita yang dirawat. Penelitian potong lintang menggunakan data rekam medis
penderita meningitis yang dirawat di bangsal Neurologi RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta dari Januari 1997 Desember 2005. Data dilaporkan dalam bentuk tekstular
dan table, dan kemudian dilakukan analisis menggunakan Chi-kuadrat untuk data
kategorikal dan Students t test untuk data numerical. Analisis menggunakan
program SPSS v 13 for Windows. Penelitian ini mengikutsertakan 273 penderita,
yang terdiri dari 81 wanita dan 192 pria, dengan usia antara 12 sampai 78 tahun.
Seratus empat belas penderita meninggal dan 159 hidup. Penurunan kesadaran,
terutama sopor (OR 10.44, p 0.000) dan koma (OR 53.333, p 0.000), dan adanya
hemiparesis (OR 2.068, p 0.009) berhubungan dengan keluaran. Angka kematian
meningitis masih tinggi (41.8%). Dari penelitian ini didapatkan tingkat kesadaran
dan hemiparesis berhubungan dengan angka kematian. (Med J Indones 2006;
15:236-41)
Abstract
Mortality rate of meningitis is not decreased even though there is decreasing
meningitis rate and advanced development of antibiotics. The purpose of this study
is to find out meningitis mortality pattern and to evaluate factors related to
meningitis mortality in hospitalized patients. Study was done using retrospective
data from medical records of the patients administered in the Neurology ward of
Cipto Mangunkusumo hospital from January 1997 December 2005. Data were
reported descriptively in texts and tables, and analyzed with Chi-square for
categorical data and Students t test for numerical data, then for final model using
multinomial logistic regression analysis. Two hundred and seventy three patients
were included in this study, consisted of 81 female patients and 192 male patients
age between 12 to 78 years old. A hundred and fourteen patients died during and
159 patients lived. Decreased level of consciousness, especially stupor (OR 10.44, p
0.000) and coma (OR 53.333, p 0.000), and presence of motor weakness (OR 2.068,
p 0.009) had relationship with outcome. Mortality rate of meningitis is still high
(41.8%) because there are some fact ors that affect its prognosis. From this study,
onset, level of consciousness, and motor weakness are predictors for meningitis
death. (Med J Indones 2006; 15:236-41) Keywords: meningitis, acute meningitis,
chronic meningitis, death

ASKEP MENINGITIS
BAB I
PENDAHULUAN
I.

LATAR BELAKANG

Penyakit infeksi di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan yang utama. Salah satu penyakit tersebut
adalah infeksi susunan saraf pusat. Penyebab infeksi susunan saraf pusat adalah virus, bakteri atau
mikroorganisme lain. Meningitis merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian berkisar antara 18-40%
dan angka kecacatan 30-50%.
Bakteri penyebab meningitis ditemukan di seluruh dunia, dengan angka kejadian penyakit yang bervariasi. Di
Indonesia, dilaporkan bahwa Haemophilus influenzae tipe B ditemukan pada 33% diantara kasus meningitis.
Pada penelitian lanjutan, didapatkan 38% penyebab meningitis pada anak kurang dari 5 tahun. Di Australia
pada tahun 1995 meningitis yang disebabkan Neisseria meningitidis 2,1 kasus per 100.000 populasi, dengan
puncaknya pada usia 0 4 tahun dan 15 19 tahun . Sedangkan kasus meningitis yang
disebabkan Steptococcus pneumoniae angka kejadian pertahun 10 100 per 100.000 populasi pada anak
kurang dari 2 tahun dan diperkirakan ada 3000 kasus per tahun untuk seluruh kelompok usia, dengan angka
kematian pada anak sebesar 15%, retardasi mental 17%, kejang 14% dan gangguan pendengaran 28%.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.

DEFINISI

Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang
menyebabkan proses infeksi pada system saraf pusat. (Suriadi, dkk. Asuhan Keperawatan pada Anak, ed.2,
2006)
Meningitis adalah infeksi ruang subaraknoid dan leptomeningen yang disebabkan oleh berbagai organisme
pathogen. (Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 )
Meningitis merupakan infeksi parah pada selaput otak dan lebih sering ditemukan pada anak-anak. Infeksi ini
biasanya merupakan komplikasi dari penyakit lain, seperti campak, gondong, batuk rejan atau infeksi telinga.
(http://www.anneahira.com/pencegahan-penyakit/otak.htm)
Meningitis adalah infeksi yang menular. Sama seperti flu, pengantar virus meningitis berasal dari cairan yang
berasal dari tenggorokan atau hidung. Virus tersebut dapat berpindah melalui udara dan menularkan kepada
orang lain yang menghirup udara tersebut. (Anonim, 2007 dalam Juita, 2008).
B.

ETIOLOGI

1.
Bakteri:
a.
Neonatus sampai 2 bulan: GBS, basili gram negative, missal, Escherichia coli, Liateria monocytogenes,
S. agalactiae (streptokokus gram B)
b.
1 bulan sampai 6 tahun: Neisseria
meningitidis (meningokokus), Streptococcus pneumoniae, Hib
c.
> 6 tahun: Neisseria meningitides, Streptococcus pneumoniae, parotitis (pre-MMR)
d. Mycobacterium tuberculosis: dapat menyebabkan meningitis TB pada semua umur. Pling sering pada
anak umur 6 bulan sampai 6 tahun
2.
Virus: Enterovirus (80%), CMV, arbovirus, dan HSV
C.

FAKTOR RESIKO

1. Faktor predisposisi: laki-laki lebih sering disbanding dengan wanita


2. Faktor maternal: rupture membran fetal, infeksi metrnal pada minggu terakhir kehamilan.
3. Faktor imunologi: usia muda, defisiansi mekanisme imun, defek lien karena penyakit sel sabit atau
asplenia (rentan terhadap S. Pneumoniae dan Hib), anak-anak yang mendapat obat-obat imunosupresi
4. Anak dengan kelainan system saraf pusat, pembedahan atau injuri yang berhubungan dengan system
persarafan
5.
Faktor yang berkaitan dengan status sosial-ekonomi rendah: lingkungan padat, kemiskinan, kontak erat
dengan individu tang terkena (penularan melalui sekresi pernapasan).

D.

KLASIFIKASI

1. Meningitis Purulenta:
Radang selaput otak ( araknoidea dan piameter) yang menimbulkan eksudasi berupa pus, disebabkan oleh
kuman nonspesifik dan nonvirus.
2.
Meningitis Tuberkulosa:
Terjadi akibat komplikasi penyebaran tuberculosis primer, biasanya dari paru.
Meningitis terjadi bukan karena terimfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, tetapi
biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang atau
vertebra yang kemudian pecah ke rongga araknoid (Rich dan McCordeck). Anak-anak yang ibunya menderita
TBC kadang-kadang mendapatkan meningitis tuberkolusa pada bulan-bulan pertama setelah lahir.
(Ngastiyah,2005)

E.

PATOFISIOLOGI

Meningitis terjadi akibat masuknya bakteri ke ruang subaraknoid, baik melalui penyebaran secara hematogen,
perluasan langsung dari fokus yang berdekatan, atau sebagai akibat kerusakan sawar anatomik normal secara
konginetal, traumatik, atau pembedahan. Bahan-bahan toksik bakteri akan menimbulkan reaksi radang berupa
kemerahan berlebih (hiperemi) dari pembuluh darah selaput otak disertai infiltrasi sel-sel radang dan
pembentukan eksudat. Perubahan ini terutama terjadi pada infeksi bakteri streptococcus pneumoniae dan H.
Influenzae dapat terjadi pembengkakan jaringan otak, hidrosefalus dan infark dari jaringan otak.
Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis yang dapat menyebabkan obstruksi
dan selanjutnya terjadi hidrosefalus dan peningkatan TIK. Efek patologi dari peradangan tersebut adalah
hiperemi pada meningen. Edem dan eksudasi yang kesemuanya menyebabkan peningkatan intrakranial.
(Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit, ed.2, 2005)
Penyebaran hematogen merupakan penyebab tersering, dan biasa terjadi pada adanya fokus penyakit lain
(misalnya, pneumonia, otitis media, selulitis) atau akibat bakteremia spontan. Oleh karena patogen-lazim
menyebar melalui jalur pernapasan , peristiwa awalnya adalah kolonisasi traktus respiratorius bagian atas.
Meningitis yang disebabkan oleh penyebaran nonhematogen mencakup penyebaran infeksi dari daerah infeksi
yang berdekatan ( otitis media, mastoiditis, sinusitis, osteomielitis vertebralis atau tulang kranialis) serta
kerusakan anatomi (fraktur dasar tengkorak, pasca-prosedur bedah saraf, atau sinus dermal konginetal di
sepanjang aksis kraniospinalis). Gambaran lazim setiap penyebab infeksi adalah masuknya bakteri patogen ke
dalam ruang subaraknoid dan perbanyakan bakteri. (Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 )
Meningitis biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau terdapat kenaikan suhu yang ringan saja, jarang
terjadi akut dengan panas yang tinggi. Sering dijumpai anak mudah terangsang atau menjadi apatis dan
tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala. Anoreksia, obstipasi, dan muntah juga
sering dijumpai.
Stadium ini kemudian disusul dengan stadium transisi dengan kejang. Gejala di atas menjadi lebih berat dan
gejala rangsangan meningeal mulai nyata, kuduk kaku, seluruh tubuh menjadi kaku dan timbul opistotonus.
Refleks tendon menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf
mata sehingga timbul gejala strabismus dan nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi
lebih tinggi dan kesadaran lebih menurun hingga timbul stupor.
Stadium terminal berupa kelumpuhan-kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil melebar dan tidak
bereaksi sama sekali. Nadi dan pernapasan menjadi tidak teratur, sering terjadi pernafasan `Cheyne-Stokes`.
Hiperpireksia timbul dan anak meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali. Tiga stadium tersebut biasanya
tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung

3 minggu sebelum anak meninggal. (Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit, ed.2, 2005).

F.

KOMPLIKASI

1.
Hidrosefalus obstruktif
2.
Meningococcal septicemia (mengingocemia)
3.
Sindrom Water Friderichsen (septic syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)
4.
SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone)
5.
Efusi subdural
6.
Kejang
g.
Edema dan herniasi serebral
h.
Cerebral Palsy
i.
Gangguan mental
j.
Gangguan belajar
k.
Attention deficit disorder
G. MANIFESTASI KLINIS
Trias klasik gejala meningitis adalah demam, sakit kepala, dan kaku kuduk. Namun pada anak di bawah usia
dua tahun, kaku kuduk atau tanda iritasi meningen lain mungkin tidak ditemui. Peruban tingkat kesadaran lazim
terjadi dan ditemukan pada hingga 90% pasien. (Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 )
Pada bukunya, Wong menjabarkan manifestasi dari meningitis berdasarkan golongan usia sebagai berikut:
Anak dan Remaja
a.
Awitan biasanya tiba-tiba
b.
Demam
c.
Mengigil
d. Sakit kepala
e.
Muntah
f.
Perubahan pada sensorium
g.
Kejang (seringkali merupakan tanda-tanda awal )
h.
Peka rangsang
i.
Agitasi
j.
Dapat terjadi:
Fotofobia
Delirium
Halusinasi
Perilaku agresif atau maniak
Mengantuk
Stupor
Koma
k.
Kekakuan nukal
Dapat berlanjut menjadi opistotonus
l.
Tanda Kernig dan Brudzinski positif
m. Hiperaktif tetapi respons refleks bervariasi
n.
Tanda dan gejala bersifat khas untuk setiap organisme:
Ruam ptekial atau purpurik (infeksi meningokokal), terutama bila berhubungan dengan status seperti syok.
Keterlibatan sendi (infeksi meningokokal dan H. influenzae)

Drain telinga kronis (meningitis pneumokokal)


Bayi dan Anak Kecil
Gambaran klasik jarang terlihat pada anaka-anak antara usia 3 bulan dan 2 tahun
a.
Muntah
b.
Peka rangsangan yang nyata
c.
Sering kejang (seringkali disertai dengan menangis nada tinggi)
d. Fontanel menonjol
e.
Kaku kuduk dapat terjadi dapat juga tidak
f.
Tanda Brudzinski dan Kernig bersifat tidak membantu dalam diagnosa
g.
Sulit untuk dimunculkan dan dievaluasi dalam kelompok usia
h.
Empihema subdural (infeksi Haemophilus influenza)
Neonatus: Tanda-tanda Spesifik
a.
Secara khusus sulit untuk didiagnosa
b.
Manifestasi tidak jelas dan tidak spesifik
c.
Baik pada saat lahir tetapi mulai terlihatmenyedihkan dan berperilaku buruk dalam beberapa hari
d. Menolak untuk makan
e.
Kemampuan menghisap buruk
f.
Muntah atau diare
g.
Tonus buruk
h.
Kurang gerakan
i.
Menangis buruk
j.
Fontanel penuh, tegang, dan menonjol dapat terlihat pada akhir perjalanan penyakit
k.
Leher biasanya lemas
Tanda-tanda Nonspesifik yang Mungkin Terjadi pada Neonatus
a.
Hipotermia atau demam (tergantung pada maturitas bayi)
b.
Ikterik
c.
Peka rangsang
d. Mengantuk
e.
Kejang
f.
Ketidakteraturan pernapasan atau apnea
g.
Sianosis
h.
Penurunan berat badan
(Donna L. Wong. Pedoman Keperawatan Pediatrik,ed.4,2003 )
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSA
1.
Punksi Lumbal : tekanan cairan meningkat, jumlah sel darah putih meningkat, glukosa menurun, protein
meningkat.
Indikasi Punksi Lumbal:
a.
Setiap pasien dengan kejang atau twitching baik yang diketahui dari anamnesis atau yang dilihat sendiri.
b.
Adanya paresis atau paralysis. Dalam hal ini termasuk strabismus karena paresis N.VI.
c.
Koma.
d. Ubun-ubun besar menonjol.
e.
Kuduk kaku dengan kesadaran menurun.
f.
Tuberkulosis miliaris dan spondilitis tuberculosis.
g.
Leukemia.
2.
Kultur swab hidung dan tenggorokan (Suriadi, dkk. Asuhan Keperawatan pada Anak, ed.2, 2006)
3.
Darah: leukosit meningkat, CRP meningkat, U&E, glukosa, pemeriksaan factor pembekuan, golongan
darah dan penyimpanan.

4.
Mikroskopik, biakan dan sensitivitas: darah, tinja, usap tenggorok, urin, rapid antigen screen.
5.
CT scan: jika curiga TIK meningkat hindari pengambilan sample dengan LP.
6.
LP untuk CSS: merupakan kontra indikasi jika dicurigai tanda neurologist fokal atau TIK meningkat.
7.
CSS pada meningitis bakteri: netrofil, protein meningkat (1-5g/L), glukosa menurun (kadar serum <50%)
8.
CSS pada meningitis virus: limfosit (pada mulainya netrofil), protein normal/meningkat ringan, glukosa
normal, PCR untuk diagnosis.
9.
CSS: mikroskopik (pulasan Gram, misal, untuk basil tahan asam pada meningitis TB), biakan dan
sensitivitas.
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan efektif untuk meningitis bergantung pada terapi suportif agresif yang dini dan pemilihan
antimikroba empirik yang tepat untuk kemungkinan patogen. Tindakan suportif umum diindikasikan bagi setiap
pasien yang menderita patologi intrakranium berat.
Pasien dengan Meningitis purulenta pada umumnya dalam keadaan kesadaran yang menurun dan seringkali
disertai muntah-muntah atau diare. Untuk menghindari kekurangan cairan/elektrolit, pasien perlu langsung
dipasang cairan intavena. Jika terdapat gejala asidosis harus dilakukan koreksi. Pengelolaan cairan merupakan
hal yang sangat penting pada pasien meningitis. Sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat
(SIADH, syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion) terjadi pada sekitar 30% pasien meningitis,
dan jika ditemukan, harus dilakukan pembatasan cairan. Meskipun demikian, sebuah studi klinis telah
membuktikan pentingnya memelihara tekanan perfusi otak yang adekuat pada penyakit ini. Pembatasan cairan
secara tidak tepat dapat menimbulkan deplesi volume, yang jika ekstrim, dapat menuju pada ketidakadekuatan
volume sirkulasi. Sebaiknya cairan mula-mula dibatasi, sementara menunggu pemeriksaan elektrolit urin dan
serum. Bila terdapat SIADH, pembatasan cairan sampai dua pertiga cairan pemeliharaan merupakan tindakan
yang tepat, sampai kelebihan hormon antidiuretuk pulih; bila tidak terdapat SIADH, cairan harus diberikan
dalam jumlah yang sesuai dengan derajat kekurangan cairan, dan elektrolit diawasi secara seksama.
Terapi peningkatan tekanan intrakranium harus diarahkan pada pemeliharaan derajat tekanan perfusi otak
yang adekuat, seperti pada kondisi lain yang dipersulit oleh hipertensi intrakranium. Cara yang ada bisa
termasuk hiperventilasi, pengambilan CSS melalui kateter intraventrikel, atau mungkin pemakaian obat
diuretikosmotik secara hati-hati.
Pada kecurigaan meningitis, antibiotik intravena diberikan secara empiric sementara menunggu hasil biakan.
Pemilihan antibiotik awal didasarkan pada kemungkinan pathogen menurut kelompok usia, pajanan yang
diketahui, dan setiap faktor resiko yang tidak lazim bagi pasien. Prinsip terapi antimikroba meningitis mencakup
pemilihan antibiotik yang bersifat bakterisid terhadap pathogen yang dicurigai dan yang mampu mencapai
konsentrasi CSS setidaknya sepuluh konsentrasi bakterisid minimal untuk organisme tersebut, karena inilah
konsentrasi yang dalam penelitian hewan telah terbukti berkolerasi dengan sterilisasi CSS paling efektif. (Jay
Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 )
Bila pasien masuk dalam keadaan status konvulsivus, diberikan diazepam 0,5 mg/kg BB/kali IV, dan dapat
diulang dengan dosis yang sama 15 menit kemudian bila kejang belum berhenti. Ulangan pemberian diazepam
berikutnya (yang ketiga kali) dengan dosis sama tetapi diberikan secara IM. Setelah kejang dapat diatasi,
diberikan fenobarbital dosis awal untuk neonatus 30 mg; anak < 1 tahun 50 mg dan anak > 1 tahun 75 mg.
Selanjutnya untuk pengobatan rumat diberikan fenobarbital dengan dosis 8-10 mg/kg BB/hr dibagi dalam 2
dosis, diberikan selama 2 hari (dimulai 4 jam setelah pemberian dosis awal). Hari berikutnya dengan dosis 4-5
mg/kgBB/hr dibagi dalam 2 dosis. Bila tidak tersedia diazepam, fenobarbital dapat langsung diberikan dengan
dosis awal dan selanjutnya dosis rumat.
Penyebab utama meningitis purulenta pada bayi atau anak di Indonesia(Jakarta) ialah H.
influenzaedan pneumoccocus sedangkan meningococcus jarang sekali,maka diberikan ampisilin IV sebanyak
400mg/kg BB/hr dibagi 6 dosis ditambah kloramfenikol 100mg/kg BB/hr iv dibagi dalam 4 dosis. Pada hari ke

10 pengobatan dilakukan pungsi lumbal ulangan dan bila ternyata menunjukkan hasil yang normal pengobatan
tesebut dilanjutkan 2 hari lagi. Tetapi jika masih belum dan pengobatan dilanjutkan dengan obat dan cara yang
sama seperti di atas dan diganti dngan obat yang sesuai dengan hasil biakan dan uji resistensi kuman.
Meningitis paru pada neunatus berbeda,karena biasa dan disebabkan oleh baksil colifom danstaphylococcus,
maka pengobatan pada neonatus sebagai berikut:
Pilihan pertama: Sefalosporin 200mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 2 dosis, dikombinasi dengan amikasin dengan
dosis awal 10 mg/kg BB/hr IV,dilanjutkan dengan dosis 15 mg/kg BB/hr atau dengan gentamisin 6 mg/kg BB/hr
masing-masing dibagi dalam 2 dosis.
Pilihan kedua : Amphisilin 300-400 mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 6 dosis,dikombinasi dengan kloramfenikol 50
mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 4 dosis. Pada bayi kurang bulan dosis kloramfenikol tidak boleh melebihi 30
mg/kg Bb/hr (dapat terjadi grey baby).
Pilihan selanjutnya kotrimoksazol 10 mg TMP/kg BB/hr IV dibagi dalam 2 dosis selama 3 hari dilanjutkan
dengan dosis 6 mg TMP/kg BB/hr IV dibagi dalam 2 dosis. Lama pengobatan neonatus adalah 2 hr.
Sefalosporin dan kotrimaksozol tidak diberikan pada bayi yang berumur kurang 1 minggu.
Ulangan pungsi lumbal pada meningitis paru anak dilakukan pada hari ke 10 pengobatan sedang pada
neunatus pada hari ke 21. (Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit, ed.2, 2005)
Terapi pilihan pada bayi yang telah mengalami meningitis bakterial dengan komplikasi hidrocephalus adalah
dilakukan pembedahan dengan tujuan untuk pemasangan shunt guna mengalirkan cerebrospinal fluid yang
tersumbat di dalam otak. Ada beberapa jenis shunt antara lain (VP) ventrikulo peritoneal shunt dan (VA)
ventriculoatrial shunt.
Penatalaksanaan pada bayi dengan hidrocehalus adalah pemberian posisi head up dan pengawasan
pemberian cairan yang adekuat.
J. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1.
Riwayat keperawatan: riwayat kelahiran, penyakit kronis, neoplasma riwayat pembedahan pada otak,
cedera kepala
2.
Pada Neonatus: kaji adanya perilaku menolak untuk makan, reflek menghisap kurang, muntah atau diare,
tonus otot kurang, kurang gerak dan menangis lemah
3.
Pada anak-anak dan remaja: kaji adanya demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti dengan
perubahan sensori, kejang mudah terstimulasi dan teragitasi, fotofobia, delirium, halusinasi, perilaku agresif
atau maniak, penurunan kesadaran, kaku kuduk, opistotonus, tanda Kernig dan Brudzinsky positif, refleks
fisiologis hiperaktif, ptechiae atau pruritus
4.
Bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun): kaji adanya demam, malas makan, muntah, mudah
terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk, dan tanda Kernig dan
Brudzinsky positif
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
2.
Resiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan infeksi pada selaput otak
3.
Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kejang,reflek meningkat
4.
Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit serius
L. PERENCANAAN
1.
Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
a.
Tujuan 1 :
Pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima anak
b.
Intervensi keperawatan/Rasional:
1)
Biarkan anak mengambil posisi yang nyaman:
i)
Gunakan posisi miring, bila ditoleransi, karena kaku kuduk
ii) Tinggikan sedikit kepala tempat tidur tanpa menggunakan bantal karena hal ini seringkali menjadi posisi

yang paling tidak nyaman


2)
Berikan analgesik sesuai ketentuan, terutama asetaminofen dengan kodein
c.
Hasil yang diharapkan:
Anak tidak menunjukkan tanda-tanda nyeri atau tanda-tanda nyeri yang dialami anak minimum
2.
Resiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan infeksi pada selaput otak.
a. Tujuan:
Tekanan intra karanial (TIK) tetap atau berkurang menuju normal
b. Intervensi keperawatan/rasional:
1. Kaji tanda vital, GCS (jika dapat dilakukan) dan tanda-tanda dari terjadinya penurunan kesadaran
2. Ciptakan dan pertahankan lingkungan yang tenang dan nyaman
3. Beri posisi head up 3 cm
4. Ukur lingkar kepala setiap hari
5. Olaborasi dalam pemberian cairan adekuat
6. Berikan obat sesuai dengan program; antibiotic, antipiretik, dan antikonvulsan
7. Ikut sertakan keluarga dalam perawatan bayi secara aktif
c. Hasil yang diharapkan:
Tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial selama dalam masa perawatan, dengan kriteria; reaksi pupil
terhadap cahaya (+), refleks normal, gerak dan tangis yang kuat, respirasi spontan, suhu dalam batas normal.
3. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kejang,reflek meningkat
a.
Tujuan 1:
Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
b.
Intervensi keperawatan/Rasional:
1)
Bantu praktisi kesehatan mendapat kultur yang diperlukan untuk mengidentifikasikan organisme
penyebab
2)
Berikan antibiotic, sesuai resep, dan segera setelah diinstruksikan
3)
Pertahankan rute intravena untuk pemberian obat
c.
Hasil yang diharapkan:
Anak menunjukkan bukti-bukti penurunan gejala
d. Tujuan 2:
Pasien tidak menyebabkan infeksi ke orang lain
e.
Intervensi keperawatan/ Rasional:
1)
Implementasikan pengendalian infeksi yang tepat:
a)
Tempatkan anak di ruang isolasi selama sedikitnya 24 jam setelah awal terapi antibiotik
b) Pantau tanda-tanda vital untuk tanda awal proses infeksi
c)
Observasi adanya tanda-tanda infeksi khusus pada penyakit anak
2)
Instruksikan orang lain (keluarga, anggota staf) tentang kewaspadaan yang tepat
3)
Berikan vaksinasi yang tepat:
i)
Berikan vaksin rutin sesuai usia (mis., vaksin untuk mencegah H. influenzae tipe B [Hib])
ii)
Identifikasi kontak erat dan anak berisiko tinggi yang dapat memperoleh manfaat dari vaksinasi
(mis., vaksinasi meningokokus)
f.
Hasil yang diharapkan:
Orang lain tetp bebas dari infeksi
g.
Tujuan 3 :
Pasien tidak mengalami komplikasi
h.
Intervensi keperawatan/ Rasional:
1)
Observasi dengan ketat adanya tanda-tanda komplikasi, terutama peningkatan TIK, syok, dan distres
pernapasan, sehingga dapat dilakukan tindakan kedaruratan

2)
Pertahankan hirasi optimal sesuai ketentuan
3)
Pantau dan catat masukan dan keluaran untuk mengidentifikasi komplikasi seperti ancaman syok atau
peningkatan akumulasi cairan yang berhubungan dengan edema serebral atau efusi subdural
4)
Kurangi stimulus lingkungan, karena anak mungkin sensitif terhadap kebisingan, sinar terang, dan
stimulus eksternal lainnya
5)
Implementasikan kewaspadaan keamanan yang tepat karena anak sering gelisah dan kejang
6)
Jelaskan pentingnya perawatan tindak lanjut pada orang tua karena sekuel neurologis, termasuk
penurunan pendengaran mungkin tidak tampak selama penyakit akut
i.
Hasil yang diharapkan:
Anak tidak mengalami komplikasi
4.Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit serius
a.
Tujuan :
Pasien (keluarga) mendapatkan dukungan yang adekuat
b.
Intervensi keperawatan/Rasional:
1) Dorong keluarga untuk mendiskusikan perasaan untuk meminimalkan rasa bersalah dan saling
menyalahkan
2) Yakinkan keluarga bahwa awitan meningitis bersifat tiba-tiba dan bahwa mereka sudah bertindak dengan
penuh tanggung jawab dengan mencari bantuan medis untuk meminimalkan rasa bersalah dan saling
menyelahkan
3)
Pertahankan agar keluarga tetap mendapat informasi tentang kondisi anak, kemajuan, prosedur, dan
tindakan untuk mengurangi kecemasan
c.
Hasil yang diharapkan:
Anak (keluarga) mendapatkan dukungan yang cukup
M. EVALUASI
Angka motalitas meningitis sangat bervariasi, tergantung pada usia pasien dan patogen penyebab. Pasien
dengan meningitis meningokokus tanpa meningokoksemia berat mempunyai angka fatalitas sebesar hanya
20%, sedangkan neonatus dengan meningitis gram negative meninggal dalam 70 kasus. Angka kematian
akibat H. influenzae dan S. pneumoniae masing-masing adalah sekitar 3% dan 6%.
Gejala sisa penyakit terjadi pada kira-kira 30% penderita yang bertahan hidup, tetapi juga terdapat predileksi
usia serta petogen, dengan insidensi terbesar pada bayi yang sangat muda serta bayi yang terinfeksi bakteri
gram negative dan S. pneumoniea.
Gejala sisa neurologi tersering adalah tuli, yang terjadi pada 3-25% pasien; kelumpuhan saraf kranial pada 27% pasien; dan cidera berat seperti hemiparesis atau cidera otaku mum pada 1-2% pasien. Lebih dari 50%
pasien dengan gejala sisa neurologi pada saat pemulangan dari RS akan membaik seiring waktu, dan
keberhasilan dalam implant koklea belum lama ini memberi harapan pada anak dengan kehilangan
pendengaran.
Pencegahan meningitis saat ini terdiri atas dua bentuk: kemoprokfilaksis terhadap individu rentan yang
diketahui terpajan pada pasien yang mengidap penyakit (pasien indek) serta imunisasi aktiv. Sekarang,
kemoprokfilaksis diindikasikan untuk mencegah meningitis sekunder yang disebabkan oleh H.
influenzae dan N. meningitides.
Imunisasi aktiv terhadap H. influenzae telah menghasilkan penguangan dramatis pada penyakit invasive,
dengan pengurangan sebanyak 70-80% pada meningitis akibat organisme tersebut. Saat ini imunisasi
dianjurkan untuk bayi sebagai rangkain imunisasi tiga dosis pada usia 2,4,6 bulan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Otak dan sumsum otak belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur syaraf yang halus, membawa

pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan yaitu cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis,
yaitu:
a.
Pia meter, merupakan lapisan yang menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan sumsum
tulang belakang dan sebagai akibat dari kontak yang sangat erat akan menyediakan darah untuk strukturstruktur ini.
b.
Arachnoid, merupakan selaput halus yang memisahkan pia meter dan dura meter.
c.
Dura meter, merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan ikat tebal dan
kuat.
Komponen intrakaranial terdiri dari: parenkim otak, sistem pembuluh darah, dan CSF. Apabila salah satu
komponen terganggu, akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, yang akhirnya akan menurunkan
fungsi neurologis.
Meningitis merupakan salah satu jenis infeksi yang menyeranga susunan saraf pusat, dimana angka
kejadiannya masih tinggi di Indonesia. Pada banyak penyakit yang mempunyai mobiditas dan mortalitas yang
tinggi, prognosis penyakit sangat ditentukan pada permulaan pengobatan. Beberapa bakteri penyebab
meningitis ini tidak mudah menular seperti penyakit flu, pasien meningitis tidak menularkan penyakit melalui
saluran pernapasan. Resiko terjadinya penularan sangat tinggi pada anggota keluarga serumah, penitipan
anak, kontak langsung cairan ludah seperti berciuman. Perlu diketahui juga bahwa bayi dengan ibu yang
menderita TBC sangat rentan terhadap penyakit ini.
Meningitis adalah infeksi pada cairan otak dan selaput otak (meningen) yang melindungi otak dan medulla
spinalis. Meningitis bacterial merupakan penyakit yang sangat serius dan fatal.
Diagnose keperawatan yang muncul tergantung dengan kondisi saat pengkajian, tapi yang utama adalah Nyeri
berhubungan dengan proses inflamasi; resiko terjadi peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan
Infeksi pada selaput otak; resiko cedera berhubungan dengan kejang, reflek meningkat; perubahan proses
keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit serius.
B. SARAN
Mengerti dan memahami gejala meningitis sangat penting untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin.
Diagnosis dan pengobatan dini mencegah terjadinya komplikasi yang bersifat fatal. Mengetahui penyebab
meningitis sangat penting untuk menentukan jenis pengobatan yang diberikan. Vaksin untuk mencegah
terjadinya meningitis bakterial telah tersedia, dan sangat dianjurkan untuk diberikan jika berada atau akan
berkunjung ke daerah epidemik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alpers,Ann.2006.Buku Ajar Pediatri Rudolph. Ed.20.Jakarta:EGC.
2. Http://www.anneahira.com
3. Brough,Hellen,et al.2007.Rujukan Cepat Pediatri dan Kesehatan Anak.Jakarta:EGC.
4. Ngastiyah.2005.Perawatan Anak Sakit.Ed.2.Jakarta:EGC
Suriadi, Rita Yuliani.2006.Asuhan keperawatan pada Anak Ed.2.Jakarta:Percetakan Penebar S

2.1 MENINGITIS 2.1.1 DEFINISI Meningitis merupakan inflamasi pada selaput otak
yang mengenai lapisan piamater dan ruang subarakhnoid maupun arakhnoid, dan
termasuk cairan serebrospinal (CSS). Peradangan yang terjadi pada meningens,
yaitu membran atau selaput yang melapisi otak dan medulla spinalis, dapat
disebabkan berbagai organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur yang
menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak (Wordpress,
2009). Meningitis merupakan infeksi akut dari meningens, biasanya ditimbulkan
oleh salah satu dari mikroorganisme yaitu pneumococcus, Meningococcus,
Stafilococcus, Streptococcus, Haemophilus influenzae dan bahan aseptis (virus)
(Long Barbara C, 1996). Efek peradangan dapat mengenai jaringan otak yang
disebut dengan meningoensefalitis (Wordpress, 2009). 2.1.2 LAPISAN MENINGENS
Otak dan medulla spinalis dilapisi oleh meningens yang melindungi struktur saraf
yang halus, membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan yaitu
cairan serebrospinal (Wordpress, 2009). Selaput meningens terdiri dari 3 lapisan
yaitu : 1. Duramater Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal (Snell RS., 2006). Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak
antara duramater dan arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural
(Komisi trauma IKABI, 2004). Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat (Komisi trauma IKABI, 2004). Arteri-arteri meningea terletak antara
duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fossa temporalis (fossa media) (Komisi trauma IKABI,
2004). 2. Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan
tembus pandang (Komisi trauma IKABI, 2004). Selaput arakhnoid terletak antara
piamater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini
dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari
piamater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis (Snell
RS., 2006). Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala
(Komisi trauma IKABI, 2004). 3. Piamater Piamater melekat erat pada permukaan
korteks serebri (Komisi trauma IKABI, 2004). Piamater adalah membrana vaskular
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang
paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh
piamater (Snell RS., 2006). Gambar 2.1 Lapisan Meningens Sumber :
http://sitemaker.umich.edu/mc12/files/meningitis8.jpg Gambar 2.2 Serebri dan
lapisan Meningens Sumber:
http://nardinurses.files.wordpress.com/2008/10/meningitis.pdf 2.1.3 INSIDEN
Meningitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan. Insiden puncak
terdapat rentang usia 6 12 bulan. Rentang usia dengan angka mortalitas tinggi
adalah dari lahir sampai dengan 4 tahun (Wordpress, 2009). Penyebab meningitis

terbagi atas beberapa golongan umur : (Japardi Iskandar. 2002) 1. Neonatus :


Escherichia colli, Streptococcus beta haemolyticus, Listeria monositogens. 2. Anak
di bawah 4 tahun : Haemophilus influenzae, Meningococcus, Pneumococcus. 3.
Anak di atas 4 tahun dan orang dewasa : Meningococcus, Pneumococcus. 2.1.4
MANIFESTASI KLINIS Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa nyeri dapat
menjalar ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku (kaku kuduk) yang
disebabkan oleh otot-otot ekstensor tengkuk yang mengenjang. Bila hebat, terjadi
opistotonus yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung
dalam sikap hiperekstensi. Selain itu kesadaran dapat menurun. Tanda kernig dan
brudzinsky positif (Harsono, 2005). Gambar 2.3 Pemeriksaan Brudzinski dan Kernig
Sumber: http://graphics8.nytimes.com/images/2007/08/01/health/adam/19069.jpg
2.1.5 KLASIFIKASI Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan
yang terjadi pada cairan otak, yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa adalah radang selaput otak arakhnoid dan piamater yang disertai
cairan otak yang jernih. Penyebab tersering adalah Mycobacterium tuberculosa.
Penyebab lain seperti virus, Toxoplasma gondhii, dan Ricketsia (Harsono, 2005).
Meningitis purulenta adalah radang bernanah pada arakhnoid dan piamater yang
meliputi otak dan medulla spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus
pneumonia (pneumokok), Neisseria meningitides (meningokok), Streptococcus
haemolyticus group A, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia
colli, Klebsiella pneumonia, dan Pseudomonas aeruginosa (Harsono, 2005). Selain
itu terdapat pula infeksi jamur (Meningitis cryptococcal) yang mempengaruhi sistem
saraf pusat yang biasanya terdapat pada pasien dengan sistem imun rendah
(Wordpress, 2009). 2.2 MENINGITIS TUBERKULOSIS

You might also like