You are on page 1of 11

Isi Pengetahuan Suatu Ilmu dan Kajian Tentang Kebenaran yang dimunculkan

Ilmu
pengetahuan merupakan suatu sistem gagasan yang bersesuaian dengan sistem
benda-benda dan dihubungkan oleh keyakinan. Dari definisi ini, dapat disimpulkan
bahwa setidaknya ada tiga hal yang mesti dipenuhi dalam pengetahuan, yaitu: Satu,
adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran. Dua, gagasan tersebut sesuai dengan
benda-benda yang sebenarnya ada. Tiga, adanya suatu keyakinan tentang adanya
persesuaian tersebut . Jika salah satu dari tiga unsur tersebut tidak ada, maka
pengetahuan tidak mungkin mewujud.
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris. Pernyataan
ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat itu ialah logis tidaknya pengetahuan
itu. Bila logis berarti benar dan bila tidak logis berarti salah. Ada hal yang patut
diingat. Kita tidak boleh menuntut bukti empiris untuk membuktukan kebenaran
filsafat. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis dan tidak empiris. Bila
logis dan tidak empiris itu adalah pengetahuan sains. Kebenaran teori filsafat
ditentukan oleh logis dan tidaknya teori itu. Ukuran logis dan tidaknya tersebut akan
terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan teori itu. Fungsi argumen dalam
filsafat sangatlah penting, sama dengan fungsi data pada pengetahuan sains. Bobot
teori filsafat justru terletak pada kekuatan argumen bukan pada kekuatan konklusi.
Karena argumen itu menjadi kesatuan dengan konklusi, maka boleh juga diterima
pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu argumen. Kebenaran konklusi
ditentukan oleh argumennya.
Isi pengetahuan tentang ilmu memiliki arti Ilmu adalah bagian dari pengetauan.
Sedangkan pengetauan adalah ketidaktauan menjadi tau karena beberapa pendekatan
seperti : akal sehat, intuisi, prasangka, penemuan dan coba-coba dan pikiran kritis.
Jenis-Jenis Isi dari Pengetahuan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Pengetahuan tentang
Pengetahuan yang mengidentifikasi semua hal yang kita
ketahui.Secara sederhana, kita mengetahui keberadaannya dan kita mengetahui
sesuatu tentang hal tersebut.
2. Pengetahuan bagaimana
Pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Ini yang kita
maksud ketika kita mengatakan bahwa seseorang memiliki cara mengetahui
sesuatu. Sebagai contoh, seorang diplomat dapat berbicara dengan beberapa
bahasa yang berbeda, atau seorang perawat dapat memasang slang nasogastrik,
ia mengetahui bagaimana cara melakukan hal tersebut.
3. Pengetahuan bahwa

Pengetahuan dalam memahami sesuatu, tentang apa arti dari sesuatu,


sifat dan cara kerjanya, dan bagaimana hubungannya dengan hal-hal lain.
Pengetahuan bahwa dapat dibagi menjadi:
4. Pengetahuan apriori
Pengetahuan
yang
diambil
dari
dasar
aksiomatiknya
sendiri.Pengetahuan yang dihasilkan dari proses pemikiran dan dedukasi tanpa
ada stimulus eksternal atau bukti yang berperan pada kesimpulan. Hal ini
dikatakan sebagai suatu yang benar karena adanya suatu alasan atau buktibukti tertentu.
5. Pengetahuan empiris
Pengetahuan ini diambil dari persepsi, misal, observasi yang
dilakukan di lingkuang. Dari hal-hal yang diobservasi didapatkan pengetahuan
dengan proses induksi. Hal tersebut tidak mengubah kondisi yang ada, dan
secara aktual mengobservasi dan mengetahui bahwa hal-hal tersebut ada.

Pengetahuan selama ini diperoleh dari proses bertanya dan selalu di tujukan
untuk menemukan kebenaran. Didalam filsafat ilmu, pengetahuan itu disebut
pengetahuan yang benar jika telah memenuhi beberapa kriteria kebenaran. Kriteria
kebenaran tersebut didasarkan pada beberapa teori antara lain :
1.

Teori Koherensi (Theory of Coherence)


Berdasarkan teori ini, suatu pengetahuan dianggap benar apabila
pengetahuan tersebut kohoren dengan pengetahuan yang ada sebelumnya dan
sudah dibuktikan kebenarannya. Didalam pembelajaran matematika hal ini
biasanya disebut dengan sifat deduktif.

2.

Teori Korespondensi (Theory of Corespondence)


Berdasarkan teori ini, suatu pengetahuan dianggap benar jika
pengetahuan tersebut mempunyai hubungan dengan suatu kenyataan yang
memang benar. Teori ini didasarkan pada fakta empiris sehingga pengetahuan
tersebut benar apabila ada fakta-fakta yang mendukung bahwa pengetahuan
tersebut benar. Dengan demikian kebenaran disini didasarkan pada kesimpulan
induktif.

3.

Teori Pragmatis (Theory of Pragmatism)


Menurut teori ini, pengetahuan dikatakan benar apabila pengetahuan
tersebut terlihat secara praktis benar atau memiliki sifat kepraktisan yang
benar. Pengikut teori ini berpendapat bahwa pengetahuan itu benar apabila
mempunyai kegunaan yang praktis.

4.

Teori Performatif

Teori performatif akan muncul apabila pernyataan-pernyataan


(statement) dapat menciptakan realitas. Artinya, yang dianggap benar dalam
teori performatif ini adalah apabila pernyataan itu menciptakan suatu realitas
sebagaimana pernyataan yang dimunculkan. Teori kebenaran performatif ini
dipelopori oleh Frank Ramsey, John Austin, dan banyak dianut oleh kelompok
ahli bahasa. Secara umum, mereka ingin menunjukkan bahwa kebenaran harus
dilandasi oleh kenyataan bahasa yang benar, bukan hanya sekedar deskripsi
tentang sesuatu.
5.

Teori Konsensus
Teori kebenaran konsensus didasarkan pada komunikasi secara
dialogis atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, tetapi bukan
diorientasikan pada kekuasaan. Jurgen Habermas (Lahir 1929) mendasarkan
teori kebenaran konsensus pada kepentingan ilmu pengetahuan sosial (secara
praksis) yang mengutamakan logika dalam berinteraksi. Model kebenaran
konsensus sering juga disebut sebagai model logika interaksi atau logika
hermeneutik. Teori kebenaran konsensus dielaborasi lebih lanjut oleh
Habermas sehingga memilki sifat praksis yang kritis emansipatoris yang
tujuannya mengembangkan dan menyusun struktur-struktur masyarakat secara
baru atas dasar kepentingan tertentu dan untuk mewujudkan kemajuan
(emansiapasi) dan pembebasan manusia.

6.

Teori Semantik
Teori kebenaran bahasa atau semantik merujuk pada arti kata yang
ada pada suatu bahasa. Beberapa tokoh filsafat bahasa, seperti Ayer,
Wittgenstein, bahkan tokoh hermeneutika seperti Gadamer dan Ricoeur
menekankan pentingnya pemahaman tentang arti suatu kata. Secara logis,
orang tidak dapat memahami sesuatu terutama persoalan ilmiah, tanpa
memiliki unsur "mengerti". "Mengerti" itu sendiri mesti sejalan dengan
bahasa, karena "mengerti" diaktualisasikan dengan cara berinteraksi dengan
orang lain. Membaca suatu teks tidak hanya teks-teks masa lalu, tetapi teksteks (wacana) baru yang menyangkut kehidupan manusia. Selanjutnya,
pemahaman terhadap "mengerti" apa yang ditulis orang mengarah pada
pemahaman baik secara ontologis (keberadaan manusia) maupun secara
epistemologis (kebenaran pengetahuan). Bahasa tidak hanya mengungkapkan
perasaan subjek, tetapi mengungkapkan juga realitas kebenaran objek.

Aliran/tokoh filsafat dan hubungannya dengan epistimologi ilmu

Rasionalisme
Aliran ini berpendapat semua pengetahuan bersumber dari akal
pikiran atau ratio. Tokohnya antara lain: Rene Descrates (1596 1650), yang
membedakan adanya tiga idea, yaitu: innate ideas (idea bawaan), yaitu sejak
manusia lahir,adventitinous ideas, yaitu idea yang berasal dari luar manusia,
dan faktitinousideas, yaitu idea yang dihasilkan oleh pikiran itu sendiri. Tokoh
lain yaitu: Spinoza(1632-1677), Leibniz (1666-1716).

Empirisme
Aliran ini berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh
melalui pengalaman indera. Indera memperoleh pengalaman (kesan-kesan)
dari alamempiris, selanjutnya kesan-kesan tersebut terkumpul dalam diri
manusia menjadi pengalaman. Tokohnya antara lain:

John Locke (1632-1704), berpendapat bahwa pengalaman dapat

dibedakanmenjadi dua macam yaitu: (a) pengalaman luar (sensation), yaitu


pengalaman yang diperoleh dari luar, dan (b) pengalaman dalam,
batin(reflexion). Kedua pengalaman tersebut merupakan idea yang
sederhana yang kemudian dengan proses asosiasi membentuk idea yang
lebihkompleks.

David Hume (1711-1776), yang meneruskan tradisi empirisme.

Humeberpendapat bahw ide yang sederhana adalah salinan (copy) dari


sensasi-sensasi sederhana atau ide ide yang kompleks dibentuk dari
kombinasi ide-ide sederhana atau kesankesan yang kompleks. Aliran ini
kemudian berkembang dan mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama pada abad 19 dan 20.

Realisme
Realisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa
obyek-obyek yang kita serap lewat indera adalah nyata dalam diri obyek
tersebut. Obyek-obyek tersebut tidak tergantung pada subjek yang mengetahui
atau dengan kata lain tidak tergantung pada pikiran subjek. Pikiran dan dunia
luar saling berinteraksi, tetapi interaksi tersebut mempengaruhi sifat dasar
dunia tersebut. Dunia telah ada sebelum pikiran menyadari serta akan tetap ada
setelah pikiran berhenti menyadari. Tokoh aliran ini antara lain: Aristoteles

(384-322 SM), menurut Aristoteles, realitas berada dalam benda-benda


kongkrit atau dalam proses-proses perkembangannya. Dunia yang nyata adalah
dunia yang kita cerap. Bentuk (form) atau idea atau prinsip keteraturan dan
materi tidak dapat dipisahkan. Kemudian aliran ini terus berkembang menjadi
aliran realisme baru dengan tokoh George Edward Moore, Bertrand Russell,
sebagai reaksi terhadap aliran idealisme, subjektivisme dan absolutisme.
Menurut realisme baru : eksistensi obyek tidak tergantung pada diketahuinya
obyek tersebut.

Kritisisme
Kritisisme

menyatakan

bahwa

akal

menerima

bahan-bahan

pengetahuan dari empiri (yang meliputi indera dan pengalaman). Kemudian


akal akan menempatkan, mengatur, dan menertibkan dalam bentuk-bentuk
pengamatan yakni ruang dan waktu. Pengamatan merupakan permulaan
pengetahuan sedangkan pengolahan akal merupakan pembentukannya. Tokoh
aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804). Kant mensintesakan antara
rasionalisme dan empirisme.

Positivisme
Tokoh aliran ini diantaranya adalah August Comte, yang memiliki
pandangan

sejarah

perkembangan

pemikiran

umat

manusia

dapat

dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu:

Tahap Theologis, yaitu manusia masih percaya pengetahuan

ataupengenalan yang mutlak. Manusia pada tahap ini masih dikuasai oleh
tahyul-tahyul sehingga subjek dengan obyek tidak dibedakan.

Tahap Metafisis, yaitu pemikiran manusia berusaha memahami

danmemikirkan kenyataan akan tetapi belum mampu membuktikan


denganfakta.

Tahap Positif, yang ditandai dengan pemikiran manusia untuk

menemukanhukum-hukum dan saling hubungan lewat fakta. Maka pada


tahap inipengetahuan manusia dapat berkembang dan dibuktikan lewat
fakta (HarunH, 1983: 110 dibandingkan dgn Ali Mudhofir, 1985: 52, dlm
Kaelan, 1991: 30).

Skeptisisme
Menyatakan bahwa pencerapan indera adalah bersifat menipu atau
menyesatkan. Namun pada zaman modern berkembang menjadi skeptisisme
medotis (sistematis) yang mensyaratkan adanya bukti sebelum suatu
pengalamandiakui benar. Tokoh skeptisisme adalah Rene Descrates (15961650).

Pragmatisme
Aliran ini tidak mempersoalkan tentang hakikat pengetahuan namun
mempertanyakan tentang pengetahuan dengan manfaat atau guna dari
pengetahuan tersebut. Dengan kata lain kebenaran pengetahuan hendaklah
dikaitkan dengan manfaat dan sebagai sarana bagi suatu perbuatan. Tokoh
aliran ini, antara lain: C.S Pierce (1839- 1914), menyatakan bahwa yang
terpenting adalah manfaat apa (pengaruh apa) yang dapat dilakukan suatu
pengetahuan dalam suatu rencana. Pengetahuan kita mengenai sesuatu hal
tidak lain merupakan gambaranyang kita peroleh mengenai akibat yang dapat
kita saksikan. (Ali Mudhofir, 1985:53, dalam Kaelan 1991: 30). Tokoh lain
adalah William James (1824-1910, dalam Kaelan 1991: 30), menyatakan
bahwa ukuran kebenaran sesuatu hal adalah ditentukan oleh akibat praktisnya.

Fenomenalisme
Untuk memahami pikiran fenomenalisme, sedikitnya kita melihat

pendapat Kant dalam hal pengetahuan. Indra hanya dapat memberikan data
indra, dan data indra itu ialah warna, cita rasa, bau, rasa dan sebaliknya.
Memang benar, kita mempunyai pengalaman; tetapi sama benarnya juga
bahwa untuk mempunyai pengetahuan (artinya menghubungkan hal-hal),
maka kita harus keluar dari atau menembus pengalaman. (Kattsoff, 1987: 138)
Jika orang membayangkan berupa apakah suatu rasa bersahaja dengan suatu
bunyi yang kasar, maka jelaslah bahwa data indra yang murni tidaklah berupa
pengetahuan. Pengetahuan terjadi bila akal menghubungkan, misalnya, rasa
menekan yang bersahaja dengan bunyi yang kasar, untuk memperoleh fakta
bahwa tekanan terhadap sesuatu menyebabkan terjadinya bunyi tersebut.
Hubungan ialah suatu cara yang dipakai oleh akal untuk mengetahui suatu
kejadian. Hubungan ialah bentuk pemahaman kita, dan bukan isi pengetahuan.
(Kattsoff, 1987: 138) Dapat kita simpulkan bahwa fenomenalisme adalah

aliran atau paham yang menganggap bahwa Fenomenal (gejala) adalah sumber
pengetahuan dan kebenaran. Seorang Fenomenalisme suka melihat gejala, dia
berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari
korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme
bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan
tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Tokoh-tokohnya, Edmund
Husserl, Max Scheler, dan Maurice Merlean-Ponty.

Intuisionisme
Intusionalisme adalah suatu aliran atau paham yang menganggap
bahwa intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.
Intuisi termasuk salah satu kegiatan berpikir yang tidak didasarkan pada
penalaran. Jadi Intuisi adalah non-analitik dan tidak didasarkan atau suatu pola
berpikir tertentu dan sering bercampur aduk dengan perasaan. Tokoh aliran
intusionalisme, antara lain: Plotinos (205 -270) dan Henri Bergson (1859
-1994). Bergon menyatakan bahwa intuisi adalah suatu sarana untuk
mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang
diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil
pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif. (Kattsoff, 2004: 141)

Agnotisisme
Mudhofir (1996:4) dengan singkat menjelaskan bahwa agnostisisme
dalam epistemologi adalah aliran yang mengatakan bahwa manusia tidak
mungkin memperoleh pengetahuan tentang suatu pokok permasalahan. Pokok
permasalahan yang seperti apa? Tidak dijelaskan dalam bukunya. Sedangkan
Hartoko (1986:3) menjelaskan dengan menambahkan apa yang tidak dapat
diketahui itu. Menurutnya agnostisisme sama dengan skeptisisme, yang
menyangkal bahwa hakekat sesuatu dapat diketahui (melawan pengetahuan
metafisik). Apalagi pengetahuan menganai adanya tuhan dan sifat-sifatnya.
Merekea (para agnotis) hanya menerima pengetahuan inderawi dan empirik.
Tiada menerima adanya analogi. Jika kembali melihat arti katanya tentu akan
mendapatkan pengertian yang lebih luas lagi. Lorens (2005:22-23)
mengatakan bahwa asal istilah ini ialah kata yunani, yang berarti bukan atau
tidak, dan gnostikos yang berarti orang yang mengetahui atau mempunyai

pengetahuan tentang. Agnostis berarti tidak diketahui.


Objektivisme

Dalam Mudhofir (1996:167) objektivisme diartikan sebagai


pandangan yang menganggap bahwa segala sesuatu yang dipahami adalah
tidak tergantung pada orang yang memahami. Dapat dikatakan, ada kebenaran
sejati terlepas dari pemikiran manusia. Ini mengingatkan kita kepada paradoks
antara kaum Sofis dan Sokrates pada zaman Yunani kuno. Basman (2009:34)
juga menguraikan argumen objektivisme. Menurutnya Argumen objektivisme
mencakup penolakan terhadap metode pemikiran subyektivisme dan
penggunaan kata ide secara lebih positif. Asumsi bahwa terdapat alam realitas
adalah lebih baik dan lebih memadai dari asumsi lain. Asumsi tersebut sesuai
dengan pengalaman hidup kita sekarang, dan pemahaman kita terhadap proses
pemikiran. Karl R. Popper, dalam Chalmers (1982:128) Karl R. Popper
mengemukakan pendapatnya tentang objektivisme yang disadur dari buku
Objective Knowledge. Popper mengatakan bahwa : Pengetahuan atau fikiran
dalam pengertian objektif, terdiri dari problema-problema, teori-teori, dan
argumen-argumen itu sendiri. Pengetahuan dalam pengertian objektif ini
sepenuhnya independen dari klaim seseorang untuk mengetahuinya ; ia pun
terlepas dari keyakinan seseorang atau kecenderungan untuk menyetujuinya,
atau untuk berlakukannya atau untuk bertindak. Pengetahuan dalam pengertian
objektif ini adalah pengetahuan tanpa orang: ia adalah pengetahuan tanpa
diketahui subjek.

Subjektivisme
Subjektivisme adalah pandangan bahwa objek dan kualitas yang kita
ketahui dengan perantaraan indera kita adalah tidak berdiri sendiri, lepas dari
kesadaran kita terhadapnya. Realitas terdiri atas kesadaran serta keadaan
kesadaran tersebut, walaupun tidak harus kesadaran kita dan keadaan akal kita
(Titus, 1984: 218).

Scientisme
Scientisme adalah suatu paham bahwa pernyataan ilmu saja yang
benar, yang selain ilmu tidak memiliki arti. Kadang kata ini digunakan oleh
sosiolog seperti Friedrich Hayek atau filsuf seperti Karl Popper, kadang
digunakan untuk merujuk pada perkembangan ilmu alam yang condong
menjadi ideologi. Scientisme bisa mengacu pada penggunaan yang salah dari
ilmu pengetahuan atau pemikiran bahwa metode atau kategorisasi dari filsafat
alam membentuk satu-satunya metode yang sah dalam filsafat atau bidang

pengetahuan yang lain, dan scientisme bisa memiliki jangkauan makna yang
banyak. Dalam scientisme kebenaran yang dianut adalah kebenaran ilmiah.
Kebenaran ilmiah ini mengalahkan kebenaran lainnya, bahkan (dalam versi
yang kuat) kebenaran lain dianggap tidak bermakna. Sayangnya Scientisme
ini sendiri memiliki kelemahan yang fatal. Kelemahan itu adalah bahwa
Scientisme sendiri menghancurkan dirinya sendiri. Pernyataan mengenai
kebenaran scientisme sendiri tidak berasal dari suatu pengetahuan ilmiah. Ini
menyebabkan andai saja Scientisme benar maka dia bisa jadi dengan
sendirinya membatalkan dirinya, karena pernyataan dasar kebenaran
Scientisme tidak didukung kebenaran ilmiah. Menurut scientisme, Ilmu
empiris hanyalah satu-satunya sumber pengetahuan (scientisme kuat) atau
lebih moderat (scientisme lemah) sumber terbaik dari kepercayaan rasional
tentang sesuatu adalah ilmu empiris. Kadang tuduhan scientisme dikaitakan
dengan New Atheist seperti Richard Dawkins dan Sam Harris. Sam harris
berpendapat untuk mendekati pertanyaan-pertanyaan etis dan spiritual dengan
pendekatan ilmiah. Dawkin bersikeras bahwa keberadaan kecerdasan-kreatif
super adalah pertanyaan ilmiah

Anti-Intelektualisme
Yang dimaksud dengan anti-intelektualisme sebagai gerakan reaksi
terhadap suasana yang terlalu intelektualistik, akan pikiran yang abstrak dan
essensialistik yang mewarnai seluruh perkembangan hingga saat ini. secara
ringkas kiranya dapat dikatakan bahwa gerakan ini mengajukan suatu slogan
pemikiran: bukan manusia untuk pengetahuan tetapi pengetahuan untuk
manusia. Suasana yang terjadi sebelumnya dipandang sebagai jalan yang telah
menyimpang karena telah membuat pengetahuan keluar dari konteks dasarnya
yaitu manusia. (Pranarka, 1987: 101) Anti-intelektualisme kontemporer ini
merupakan suatu reaksi terhadap arusnya aliran-aliran yang partial sifatnya
namun mengajukan claim yang sifatnya mutlak dan sebagai sistem yang
sifatnya final dan total secara deterministik. Maka itu gerakan antiintelektualisme juga merupakan suatu gerakan yang sifatnya anti-absolutisasi,
anti-determinisme, dan kadang-kadang juga menjadi gerakan yang anti-sistem.
(Pranarka, 1987: 101)

Fallibilisme

Istilah ini diambil dari kata latin abad tengah Fallibilis dan pertama
kali digunakan filsuf CS Pierce. Fallibilisme adalah prinsip filosofis bahwa
manusia bisa salah.. Konsep ini sangat penting bagi ilmu pengetahuan, karena
ilmu pengetahuan mencari validitas kebenaran. Karena itu mereka
mengharapkan suatu pengetahuan menjadi seakurat mungkin. Fallibilisme
menunjukkan bahwa sebuah pengetahuan tidak bisa dipastikan dengan sepastipastinya. Selalu terdapat keraguan dalam sebuah pengetahuan. Misalnya saja
kepercayaan ilmiah, kita tidak bisa pasti bahwa suatu saat sebuah teori baru
akan muncul untuk mengganti teori yang lama. Berbeda dengan skeptisisme,
dalam prinsip ini tidak dianjurkan untuk tidak mempercayai sesuatu hanya
karena dia tidak meyakinkan atau masih bisa diragukan. Suatu kepercayaan
mendasar misalnya seperti matahari terbit dari timur tidak bisa dikatakan
seratus persen meyakinkan karena siapa tahu esok matahari terbit dari barat.
Walau demikian kita masih bisa mempercayai bahwa matahari esok pagi terbit
dari timur karena biasanya selalu demikian. Sebagai doktrin formal falibilisme
dikaitkan dengan kaum filsuf pragmatis dan serangan mereka terhadap
foundasionalisme. Namun ide-ide ini terdapat dalam filsuf-filsuf kuno.
Seorang yang akrab dengan prinsip ini adalah Karl R Popper yang membangun
teori pengetahuannya yaitu rasionalisme kritis dari presupposisi falibilisme.
Dalam fallibilisme sesuatu dianggap tidak mutlak benar dan bisa salah.
Karenannya suatu pengetahuan itu meragukan Terutama pada ilmu empiris.
Dalam ilmu empiris sesuatu fakta baru bisa membatalkan sebuah teori lama.
Dan karena fakta baru itu belum muncul maka bisa jadi pengetahuan sekarang
salah. Dari contoh tersebut maka seharusnya bidang yang tidak memerlukan
penelitian empiris seperti matematika dan logika lebih pasti karena tidak harus
melakukan pengamatan empiris. Namun ada juga yang meragukan matematika
dan logika, ini disebabkan walaupun mereka tidak melakukan pengamatan
empiris namun kesalahan manusia masih bisa terjadi.

Daftar Pustaka
Harold H , Titus.1984 . Persoalan-persoalan Filsafat . Jakarta : , Bulan Bintang
Listiyono Santoso dkk. 2003 . Epistemologi Kiri. Yogyakarta : Ar-Ruzz Press

Suriasumantri, Jujun. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Muhammad Surip, Spd.M.Si.,Dra, Mursini, M.Pd. 2010. Filsafat Ilmu. Bandung: Cita
Pustaka Media Perintis
Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gazalba, Sidi. 1992 . Sistematika Filsafat I, Jakarta: Bulan Bintang.
Gazalba, Sidi. 1991 . Sistematika Filsafat II, Jakarta: Bulan Bintang
Kattsoff, O. Louis. 1992 . Pengantar Filsafat, (diterjemahkan oleh Soejono Soemargono),
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Lechte, John. 2001 . 50 Filsuf Kontemporer, Jakarta: Kanisius.
Mehra, S. Parta & Jazir Burhan. 1988 . Pengantar Logika Tradisional, Bandung: Binacipta.
Sudarminta, J., Dr., 2001 . Epistemologi; Pengantar ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat
Pengetahuan, Jakarta: t.p.
Tafsir, Ahmad. 2004 . Filsafat Ilmu . Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Watloly, Aholiab. 2001 . Tanggung Jawab Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius.
Sudarsono, 1993. Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar. Edisi Pertama . Jakarta : Penerbit PT.
Rineka Cipta.

You might also like