You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang
sangat pesat. Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat
perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap kekurangan
gizi.1
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan
nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk masih menjadi masalah
yang belum terselesaikan sampai saat ini. Gizi buruk banyak dialami oleh
bayi dibawah lima tahun (balita). Masalah gizi buruk dan kekurangan gizi
telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk umumnya
adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi generus
bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat
karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman. Dengan alasan tersebut,
masalah ini selalu menjadi program penanganan khusus oleh pemerintah.2
Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum
menggembirakan. Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk,
kurang vitamin A, anemia defisiensi besi, gangguan akibat kurang Yodium
dan gizi lebih (obesitas) masih banyak tersebar di kota dan desa di seluruh
tanah air. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut antara lain
adalah tingkat kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan sesuai
dengan kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan dan perilaku keluarga
dalam meilih, mengolah, dan membagi makanan di tingkat rumah tangga,
ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan dan
aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat yang
berkualitas.3
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development
Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator,
menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan

kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua dari lima indikator
sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi
gizi kurang pada anak balita (indikator keempat) dan menurunnya jumlah
penduduk dengan defisit energi (indikator kelima).4
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan.
Hal ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada
anak balita dari 5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010.
Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih
relatif besar.1
B. Permasalahan
Berdasarkan
latar
belakang
maka
dapat
dirumuskan
permasalahan adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya status gizi anak demi kepentingan pertumbuhan dan
perkembangan anak
B.1.Tujuan Umum
Meningkatkan kesadaran masyarakan akan pentingnya gizi anak
B.2.Tujuan Khusus
Untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat desa
Kasang Pudak mengenai gangguan tumbuh kembang yang
dapat terjadi pada anak yang kurang gizi.
Meningkatkan kewaspadaan pada masyarakat mengenai
kemungkinan kurang gizi pada anak-anak mereka.
C. Manfaat
C.1.Bagi Puskesmas
Dengan adanya penyuluhan mengenai bahaya gizi buruk dan
pengenalan gejala gizi buruk pada masyarakat diharapkan terjadi
peningkatan kesadaran akan pentingnya gizi dan membantu
untuk mencegah berulangnya kejadian bayi gizi buruk di masa
mendatang.
C.2.Bagi Dokter Internsip
Memberikan pengalaman untuk terjun langsung di lapangan
dan berkoordinasi dengan masyarakat di desa.
Sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kemampuan
untuk memahami permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat.
C.3.Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat dapat mengetahui mengenai pentingnya
memperhatikan gizi anak-anak terutama saat usia balita karena
pada tahap tersebut merupakan tahap penting dalam

perkembangan dan pertumbuhan.Yang akan mempengaruhi tidak


hanya kondisi fisik, tetapi juga psiki dan intelegensi seorang
anak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan
menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight
(Kemenkes RI, 2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang
gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus,
kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.1,4
B. Epidemiologi
Gizi

buruk

masih

merupakan

masalah

di

Indonesia,

walaupun

Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data


Susenas menunjukkan bahwa jumlah balita yang BB/U <-3SD Z-score WHONCHS sejak tahun 1989 meningkat dari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan
mencapai puncaknya 11,6 % pada tahun 1995. Upaya pemerintahan tara
lain melalui Pemberian Makanan Tambahan dalam Jaring Pengaman Sosial
(JPS) dan peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana
Gizi Buruk kepada tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi buruk
menjadi 10,1 % pada tahun 1998; 8,1% tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001.
Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali menjadi 8% dan pada
tahun 2003 menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
anak gizi buruk dengan gejala klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmuskwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi
lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan pada
balita disebabkan karena gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18% perinatal,
7% campak, 5% malaria dan 32 % penyebab lain.5
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan.
Hal ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada
anak balita dari 5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010.

Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih
relatif besar.

C. Klasifikasi Gizi Buruk


Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan
marasmus-kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri
atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.
C.1. Marasmus
Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak
cukup karena diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak
tepat seperti mereka yang hubungan orangtua-anak terganggu, atau karena
kelainan metabolic atau malformasi congenital. Gangguan berat setiap
system tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi.6
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat.
Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak
terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit),
rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan
(sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel
dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar.
Berikut adalah gejala pada marasmus adalah :

a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan
otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
C.2.Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby),
bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein,

walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya


atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki
sampai seluruh tubuh.
Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran
klinik dan kimia, gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan
protein tidak cukup bernilai biologis baik. Dapat juga karena penyerapan
protein terganggu, seperti pada keadaan diare kronik, kehilangan protein
abnormal pda proteinuria (nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka bakar, dan
gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati kronik .6
Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein
berat dan masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari
kehilangan yang berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan
oleh infeksi kronik, akibat defisiensi vitamin dan mineral dapat turut
menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk malnutrisi
yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini terutama berada di
daerah industri belum berkembang.6
Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi,
apatis atau iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan
tidak cukup, kurang stamuna, kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya
kerentanan

terhadap

infeksi,

dan

udem.

Imunodefisiensi

sekunder

merupakan salah satu dari manifestasi yang paling serius dan konstan. Pada
anak dapat terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan
tonus otot. Hati membesar dapat terjadi awal atau lambat, sering terdapat
infiltrasi lemak. Udem biasanya terjadi awal, penurunan berat badan
mungkin ditutupi oleh udem, yang sering ada dalam organ dalam sebelum
dapat dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal, laju filtrasi
glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung

mungkin kecil pada

awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini
sering terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang
teriritasi tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari.
Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini sesudah deskuamasi atau dapat

generalisata. Rambut sering jarang dan tipis dan kehilangan sifat elastisnya.
Pada anak yang berambut hitam, dispigmentasi menghasilkan corak merah
atau abu-abu pada warna rambut (hipokromotrichia) .6
Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia,
mual, muntah, dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan
atrofi, tetapi kadang-kadang mungkin ada kelebihan lemak subkutan.
Perubahan mental, terutama iritabilitas dan apati sering ada. Stupor, koma
dan meninggal dapat menyertai.6
Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah
dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut
kepala kusam.
c. Wajah membulat dan sembab
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba
dan terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir
yang tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
C.3.Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung
protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita
demikian

disamping

menurunnya

berat

badan

<

60%

dari

normal

memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,


kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.4
D. Etiologi
Menurut Hasaroh, (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi oleh
berbagai faktor, baik faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab
tidak langsung. Menurut Depkes RI (1997) dalam Mastari (2009), faktor

penyebab langsung timbulnya masalah gizi pada balita adalah penyakit


infeksi serta kesesuaian pola konsumsi makanan dengan kebutuhan anak,
sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan faktor seperti tingkat
sosial ekonomi, pengetahuan ibu tentang kesehatan, ketersediaan pangan
ditingkat keluarga, pola konsumsi, serta akses ke fasilitas pelayanan. Selain
itu,pemeliharaan kesehatan juga memegang peranan penting. Di bawah ini
dijelaskan beberapa faktor penyebab tidak langsung masalah gizibalita,
yaitu:
D.1.
Tingkat

Tingkat Pendapatan Keluarga.


penghasilan

ikut

menentukan

jenis

pangan

apa

yang

disediakan untuk konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya. Pengaruh


peningkatan penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga
lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi yang berlawanan hampir
universal.
Selain itu diupayakan menanamkan pengertian kepada para orang tua
dalam hal memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam
kondisi yang higienis.
D.2.

Tingkatan Pengetahuan Ibu tentang Gizi.

Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi


didasarkan

pada tiga kenyataan yaitu:

Status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.

Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya
mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan
tubuh yang optimal.

Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat


belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.
Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu
menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan
gizi seseorang,maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah
makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi.

Pengetahuan gizi yang dimaksud disini termasuk pengetahuan tentang


penilaian status gizi balita. Dengan demikian ibu bias lebih bijak menanggapi
tentang masalah yang berkaitan dengan gangguan status gizi balita.
D.3.

Tingkatan Pendidikan Ibu.

Pendidikan
rendahnya

ibu

tingkat

merupakan
pendidikan

faktor
ibu

yang

erat

sangat

kaitannya

penting.
dengan

Tinggi
tingkat

pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, kebersihan pemeriksaan


kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan
gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula
pada factor social ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan
hidup, makanan, perumahan dan tempat tinggal.
Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini
bias dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat.
Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih
tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan bias
mengambil tindakan secepatnya.
Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk
menghadapi

berbagai

masalah,

missal

memintakan

vaksinasi

untuk

anaknya, memberikan oralit waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta


KB. Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan
mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka
untuk menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan
anak maupun salah satu penjelasannya.
D.4.

Akses Pelayanan Kesehatan.

Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical


service)dan pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara
umum akses kesehatan masyarakat adalah merupakan subsistem akses
kesehatan, yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan)
dan

promotif

(peningkatan

kesehatan)

dengan

sasaran

masyarakat.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa akses kesehatan masyarakat tidak


melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).
Upaya

akses

kesehatan

dasar

diarahkan

kepada

peningkatan

kesehatan danstatus gizi pada golongan rawan gizi seperti pada wanita
hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak kecil, sehingga dapat menurunkan
angka kematian. Pusat kesehatan yang paling sering melayani masyarakat,
membantu mengatasi dan mencegah gizi kurang melalui program-program
pendidikan gizi dalam masyarakat. Akses kesehatan yang selalu siap dan
dekat dengan masyarakat akan sangat membantu meningkatkan derajat
kesehatan. Dengan akses kesehatan masyarakat yang optimal kebutuhan
kesehatan dan pengetahuan gizi masyarakat akan terpenuhi.
E. Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri
dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda
tergantung dari derajat dan lamanya deplesi protein dan energi, umur
penderita, modifikasi disebabkan oleh karena adanya kekurangan vitamin
dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang
tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti
berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat.2
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta
pengukuran antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :

BB/TB kurang dari -3SD (marasmus)

Edema

pada

kedua

punggung

kaki

sampai

seluruh

tubuh(kwashiorkor : BB/TB > -3SD atau marasmik-kwashiorkor :


BB/TB < -3SD.
Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis
berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak
mempunyai jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu lengan
pantat dan pah; tulang iga terlihat jelas dengan atau tanpa adanya edema.7

Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Anamnesis terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan) :

Kejadian mata cekung yang baru saja muncul

Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan
muntah dan diare (encer/darah/lender)

Kapan terakhir berkemih

Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin

Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami


dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana
selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan tertangani)

Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit

Riwayat pemberian ASI

Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari


terakhir

Hilangnya nafsu makan

Kontak dengan campak atau tuberculosis paru

Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir

Batuk kronik

Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung

Berat badan lahir

Riwayat tumbuh kembang

Riwayat imunisasi

Apakah ditimbang setiap bulan

Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak)

Diketahui atau tersangka infeksi HIV .7

Pemeriksaan Fisik

Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua


punggung kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB

Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk

Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat),
kesadaran menurun

Demam (suhu aksilar 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar <35,5 C)

Frekuensi dan tipe pernafasan : pneumonia atau gagal jantung

Sangat pucat

Pembesaran hati dan ikterus

Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda


asites

Tanda defisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia)

Ulkus pada mulut

Fokus infeksi : THT, paru, kulit

Lesi kulit pada kwashiorkor

Tampilan tinja

Tanda dan gejala infeksi HIV

F. Alur dan Penatalaksanaan Gizi Buruk


Berikutdisertakan alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk

Bagan 1. Alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk

Berikut juga disertakan salah satu tatalaksana anak dengan gizi buruk
tanpa tada bahaya atau tanda penting tertentu.

Bagan 2. Pemberian Cairan dan Makanan Untuk Stabilisasi


Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase
stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus
trampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini
digunakan baik pada penderita kwashiorkor, marasmus maupun marasmikkwarshiorkor.
F.1. Tahap Penyesuaian
Tujuannya

adalah

menyesuaikan

kemampuan

pasien

menerima

makanan hingga ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein
(TETP). Tahap penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2
minggu atau lebih lama, bergantung pada kemampuan pasien untuk

menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien kurang dari 7 kg,
makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama adalah
formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa
+2% tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan
lembek. Bila ada, berikan ASI.
Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti
makanan untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan
makanan cair, kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap
dengan keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3
hari. Untuk meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari
tiap 2-3 jam.
Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan
makanan lewat pipa (per-sonde)
F.2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik,
secara berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga
konsumsi mencapai 150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram
protein/kg berat badan sehari.
F.3. Tahap Lanjutan
Sebelum

pasien

dipulangkan,

hendaknya

ia

sudah

dibiasakan

memperoleh makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang
tua hendaknya diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang
mengatur makanan, memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai
dengan kemampuan daya belinya.

Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :


a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tandatanda hipoglikemia.
b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
c. Mg,

berupa

MgSO4

50%,

diberikansecara

intra

muskulerbilaterdapathipomagnesimia.
d. Vitamin

diberikansebagaipencegahansebanyak

peroralatau

100.000

SI

secara

200.000

intra

SI

muskuler.

Bilaterdapatxeroftalmia, vitamin A diberikandengandosis total 50.000


SI/kg beratbadandandosismaksimal 400.000 SI.
e. Vitamin B dan vitamin C dapatdiberikansecarasuntikan per-oral.
Zatbesi

(Fe)

danasamfolatdiberikanbilaterdapat

biasanyamenyertai KKP berat.

Tabel 1.Jadwal PengobatandanPerawatanAnakGiziBuruk


G. Dampak Gizi Buruk

anemia

yang

Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja
terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di
samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi
buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi
buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan
mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan
memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme
maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi.
Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa
karena berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara
lain

hipotermi

(mudah

kedinginan)

karena

jaringan

lemaknya

tipis,

hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan
kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun
tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat catch up dan
mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak
buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya.
Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance
anak,

akibat

kondisi

stunting

(postur

tubuh

kecil

pendek)

yang

diakibatkannya dan perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi


terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat
beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak
terhadap pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah salah satu
aset yang vital bagi anak.
Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk
terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami
gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan
dampak

jangka

panjang

adalah

penurunan

skor

tes

IQ,

penurunan

perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan

perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya
prestasi anak

BAB III
GAMBARAN UMUM

A. Profil Komunitas Umum


Luas wilayah UPT Puskemas Tanjung Selor 2.821,04 KM2 yang
meliputi 3 Kelurahan dan 3 Desa, yaitu seperti pada tabel di bawah ini.
Luas Wilayah Kecamatan Tanjung Selor Menurut Data
Desa/Kelurahan Tahun 2014
N
o
1
2
3
4
5
6

Desa
Tanjung Selor Ulu
Tanjung Selor Hilir
Tanjung Selor Timur
Jelarai
Tengkapak
Gunung Seriang/Baratan

Luas Wilayah
(KM2)
118,9
348,86
1715,24
199,35
127
226,26

Jumlah RT
18
50
18
25
7
4

Jumlah penduduk di wilayah kerja UPT Puskemas Tanjung Selor pada


tahun 2014 sebanyak 38.160 jiwa dengan jumlah laki laki sebanyak
20.219 jiwa dan
perempuan 17.941 jiwa. Mata pencaharian pokok
penduduk adalah wiraswasta sebanyak 5.969 jiwa, diikuti oleh petani
sebanyak 3.776 jiwa dan Pegawai Negeri Sipil sebanyajk 1.916 jiwa.
B. Data Geografis
B.1.
Luas Wilayah
Wilayah kerja Puskesmas seluas 2.821,04 KM2 terbentang dari
batas utara UPT I Tanjung Buka sampai batas selatan Desa Gunung
Seriang, sedangkan dari batas barat kelurahan Tanjung Selor Hulu
sampai batas timur Desa Jelarai Selor
B.2.
Batas Wilayah
Sebelah Utara : Wilayah Puskesmas Salimbatu

Sebelah Selatan
: Wilayah Puskesmas Long Beluah
Sebelah Barat : Wilayah UPT Puskesmas Tanjung Palas
Sebelah Timur : Wilayah UPT Puskesmas Bumi Rahayu

Kondisi geografis wilayah kerja UPT Puskesmas Tanjung Selor berupa


daratan berbukit dan sungai. Wilayah kerja terjauh adalah Gunung
Seriang/Baratan yang berjarak 15 KM dengan jarak tempuh 45
menit dari UPT Puskemas Tanjung Selor dengan menggunakan mobil
dan daerah SP 9 yang ditempuh melalui jalur darat dan air dengan
jarak tempuh 20 menit.

C. Data Demografik
Jumlah penduduk di wilayah kerja UPT Puskemas Tanjung Selor pada
tahun 2014 sebanyak 38.160 jiwa dengan jumlah laki laki sebanyak
20.219 jiwa dan perempuan 17.941 jiwa.
Mata pencaharian pokok penduduk adalah wiraswasta sebanyak
5.969 jiwa, diikuti oleh petani sebanyak 3.776 jiwa dan Pegawai Negeri
Sipil sebanyajk 1.916 jiwa.
D. Sarana Pelayanan Kesehatan
UPT Puskesmas Tanjung Selor dalam rangka pemerataan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat adalah dengan penyediaan fasilitas
kesehatan terutama Puskesmas, IGD 24 jam, Puskesmas Pembantu dan
Poskesdes/Polindes selain Rumah Sakit dan Therapeutic Feeding Centre,
semua fasilitas tersebut diharapkan dapat menjangkau segala lapisan
masyarakat.

N
o
1
2
3
4

Jumlah Penduduk, Pustu, Poskesdes dan Polindes Wilayah Kerja UPT


Puskesmas Tanjung Selor Tahun 2014
Kelurahan/Des
Jumlah
Pustu Polinde Poskest Poskes
a
Pendud
s
ren
des
uk
Tanjung Selor Ulu
23.088
1
1
1
Tanjung
Selor
5.516
2
Hilir
Tanjung
Selor
3.507
3
3
1
Timur
Jelarai
4.407
1
1
1
1

5
6

Tengkapak
Gg
Seriang/Baratan
JUMLAH

940
702

1
-

38.160

E. Data kesehatan masyarakat


Berdasarkan data rekapan kunjungan UPT Puskesmas Tanjung Selor
dari bulan Januari sampai dengan Desember 2014 sebanyak 70.730
kunjungan, yang terdiri dari 23.494 kunjungan baru dan 47.263 kunjungan
lama. Jadi dapat dihitung untuk visiting rate UPT Puskesmas Tanjung Selor
adalah 1,8 yang berarti satu orang penduduk Kecamatan Tanjung Selor
pernah berobat atau berkunjung ke Puskesmas Tanjung Selor 2 kali
selama tahun 2014.
Kunjungan 10 Penyakit Terbesar UPT Puskesmas Tanjung Selor Tahun
2014
8865

2782

2574

2485

2297

2148

1448

1445

1314

990

Penyakit Tidak Menukar (PTM) merupakan penyakit yang bukan disebabkan


oleh proses infeksi (tidak infeksius). Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pada umumnya, keberadaan faktor risiko PTM pada seseorang tidak
memberikan gejala sehingga mereka tidak merasa perlu mengatasi faktor
risiko dan mengubah hidupnya.
Indikator keberhasilan program PTM secara umum adalah menurunnya
angka mortalitas, morbiditas, disabilitas serta faktor risiko bersama PTM

utama. Berikut adalah gambaran kunjungan kasus pasien dengan PTM di


wilayah kerja UPT Puskesmas Tanjung Selor tahun 2014.
Grafik Kasus Penyakit Tidak Menular UPT Puskesmas Tanjung Selor Tahun
2014
Pasien Baru

Pasien Lama

918
723
477
343
23 14

42 56

377
274
33 29

39 41

26

86

BAB IV
METODE

Mempelajari program yang ada di Puskesmas Tanjung Selor dan


menganalisa pencapaian masing-masing program

Melihat dan mempelajari target dan prioritas angka


kejadian dari program yang ada.

Memilih salah satu program yang belum mencapai target


dan mempunyai angka kejadian luar biasa.

Merumuskan masalah dari timbulnya angka kejadian


melalui diskusi dengan pemegang program dan
kunjungan ke desa yang bersangkutan.

Menentukan tujuan dan sasaran intervensi yang akan


dilakukan

Menghubungi perangkat desa yang bersangkutan dan


menentukan pelaksanaan intervensi

BAB V
HASIL
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen
Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
2. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume
4, Nomor 1
3. Depkes RI. 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi.
Jakarta : Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.
4. Depkes RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Jakarta :
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.
5. Depkes RI. 2007. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Dirjen
Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
6. Berhman dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1. Jakarta :
EGC.
7. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta
: Tim Adaptasi Indonesia-WHO Indonesia.
8. Astya Palupi, dkk. 2009. Status Gizi dan Hubungannya dengan Kejadian
Diare pada Anak Diare Akut di Ruang Rawat Inap RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta dalam Jurnal Gizi Klinik Indonesia Volume 6, No.1 (hal 1-7).
9. Syaiful, muthowif. 2009. Hubungan Antara Kejadian Diare dengan Status
Gizi Anak Balita di Kelurahan Bekonang Kecamatan mojolaban Kabupaten
Sukoharjo. Surakarta.
10. Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta :
Pengurus Pusat IDAI.

11. Ngurah Suwarba dkk. Profil Klinis dan Etiologi Pasien Keterlambatan
Perkembangan Global di Rumah Sakit Cipto mangunkusumo Jakarta dalam
Sari Pediatri Volume 10. No.4. Denpasar : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Universitas Udayana.
12. Zuhriyah H. 2009. Faktor Risiko Disfasia Perkembangan pada Anak.
Semarang : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro.
13. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC

LAMPIRAN

You might also like