You are on page 1of 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan


Menurut Green dalam Notoatmodjo (2003), perilaku masyarakat dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor utama yakni
predisposing (meliputi : pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai) ; faktor enabling
(mencakup ketersediaan sarana dan prasarana); faktor reinforcing (meliputi : sikap
dan perilaku petugas kesehatan dan tokoh masyarakat).
Anderson dalam Notoatmodjo (2003), mengungkapkan bahwa faktor
predisposing dan faktor enabling dapat terwujud dalam tindakan apabila itu dirasakan
sebagai kebutuhan. Kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk
menggunakan pelayanan kesehatan, bila mana tingkat predisposisi dan enabling itu
ada. Kebutuhan (need) dibagi menjadi dua kategori yaitu dirasa atau perceived
(subject assessment) dan evaluated (clinical diagnosis).
Alan Dever (1984) menyebutkan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
1.

Faktor sosiokultural yang terdiri dari faktor teknologi pengobatan dan norma atau
nilai yang berlaku dimasyarakat.

2.

Faktor organisasi yang terdiri dari ketersediaan sumber daya, akses geografis,
akses sosial, karakteristik proses dan struktur organisasi pelayanan kesehatan.

3.

Faktor yang berhubungan dengan konsumen yang terdiri dari faktor


sosiodemografis yaitu umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa, status
perkawinan,dan status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan dan penghasilan)

dan faktor sosial psikologis yaitu persepsi terhadap penyakit serta sikap dan
keyakinan terhadap pelayanan kesehatan.
4.

Faktor yang berhubungan dengan producen yang terdiri dari faktor ekonomi dan
karakteristik provider.

2.2. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu setelah terjadinya penginderaan terhadap
objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, seperti
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting untuk terjadinya tindakan. Penelitian Rogers (1974),
bahwa proses diadopsinya suatu perilaku adalah sebagai berikut:
1.

Awareness (kesadaran) yaitu menyadari/mengetahui stimulus/objek.

2.

Interest (merasa tertarik) yaitu timbulnya ketertarikan terhadap objek tersebut.

3.

Evaluation (evaluasi) yaitu mempertimbangkan baik burunya stimulus tersebut


bagi dirinya.

4.

Trial (mencoba) yaitu mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.

5.

Adoption (Adopsi) yaitu berperilaku sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan


sikap terhadap stimulus.
Perilaku baru atau adopsi perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran

dan sikap yang positif maka perilaku itu akan langgeng atau bertahan lama.
Pengetahuan memiliki 6 tingkatan yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis
dan evaluasi (Notoatmodjo, 2003).

2.3. Persepsi
2.3.1. Pengertian persepsi
Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap
orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan,
pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman (Thoha, 1999). Secara
etimologis, persepsi bersal dari bahasa Latin perceptio; dari percipere, yang artinya
menerima atau mengambil. Persepsi (perception) dalam arti sempit adalah
penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu; sedang dalam arti luas ialah
pandangan atau pengertian yaitu bagaimana seseorang mengartikan sesuatu (Leavit,
1978). Menurut De Vito (1997), persepsi adalah proses ketika kita menjadi sadar
akan banyaknya stimulus yang memengaruhi indera kita (Sobur, 2003)
Menurut Rakhmat dalam Sobur (2003), persepsi adalah pengalaman tentang
objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Menurut Hidayat (2009), persepsi adalah proses
kognitif untuk menginterpretasi objek, simbol dan orang dengan pengalaman yang
relevan. Proses ekstraksi informasi untuk berespon.
Persepsi dapat terjadi saat rangsang mengaktifkan indera atau pada situasi
ketika terjadi ketidakseimbangan pengetahuan tentang objek, simbol atau orang akan
membuat kesalahan persepsi (Hidayat, 2009). Persepsi disebut inti komunikasi karena
keakuratan persepsi memengaruhi keefektifan komunikasi (Sobur, 2003). Persepsi
akan memengaruhi pembentukan sikap dan perilaku seseorang (Hidayat, 2009).

2.3.2. Faktor-Faktor yang memengaruhi persepsi


Robbins (2002) menyatakan ada tiga faktor yang memengaruhi terjadinya
suatu persepsi, yaitu :
1. Pelaku persepsi
Jika seorang individu melihat suatu target dan mencoba menafsirkan apa yang
dilihatnya, penafsiran itu dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi dari
pelaku persepsi individu tersebut. Adapun karakteristik pribadi yang lebih relevan
memengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman
masa lalu dan pengharapan.
2. Target
Karakteristik-karakteristik

dalam

target

yang

akan

diamati

dapat

memengaruhi apa yang dipersepsikan. Apa yang kita lihat bergantung bagaimana
kita memisahkan suatu bentuk dalam latar belakangnya yang umum. Objek-objek
yang berdekatan satu sama lain akan cenderung dipersepsikan bersama-sama,
bukan secara terpisah.
3. Situasi
Dalam melihat objek atau peristiwa, unsur-unsur lingkungan sekitar juga
memengaruhi persepsi. Selain itu, waktu dan keadaan objek yang dilihat dapat
memengaruhi persepsi.
Rivai (2008) menyatakan ada dua faktor yang memengaruhi proses seleksi
yaitu faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor dari dalam yang memengaruhi
proses seleksi adalah belajar, motivasi dan kepribadian. Adapun faktor dari luar
adalah intensitas, ukuran, berlawanan atau kontras, pengulangan dan gerakan.

Rakhmat (1995) menyatakan ada dua faktor yang memengaruhi persepsi :


1. Faktor Fungsional
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan lain-lain
yang termasuk dengan apa yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Yang
menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk rangsangan, tetapi karakteristik
orang yang memberikan respon terhadap rangsangan tersebut.
2. Faktor Struktural
Faktor struktural berasal semata-mata dari sifat rangsangan fisik dan efek-efek
saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Jika kita mempersepsikan
sesuatu, kita mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan, ketikapun kita tidak
melihatnya tidak secara keseluruhan maka kita yang akan mengisinya dengan
interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsi.
Dalam Thoha (1999), faktor-faktor yang memengaruhi pengembangan persepsi
seseorang antara lain : psikologi, yaitu bagaimana keadaan psikis seseorang; famili
yaitu keluarga yang merupakan pengaruh paling besar bagi seseorang;kebudayaan
yaitu lingkungan masyarakat yang kuat dalam memengaruhi sikap, nilai dan cara
seseorang memandang dan memahami keadaan.

2.4. Persepsi masyarakat tentang kesehatan dan sarana kesehatan


Persepsi adalah pengamatan yang merupakan kombinasi dari penglihatan,
pendengaran, penciuman, serta pengalaman masa lalu. Hal ini sangat berpengaruh
dalam pembentukan dan perubahan perilaku. Suatu objek yang sama dapat
dipersepsikan secara berbeda oleh beberapa orang. Menurut Jordan dan Sudarti yang

dikutip oleh sarwono dalam Bangun (2008) persepsi masyarakat tentang sehat dan
sakit dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu, disamping unsur sosial budaya.
Sebaliknya petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kriteria medis
yang objektif berdasarkan gejala yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik
seseorang.
Perbedaan persepsi masyarakat dan petugas kesehatan inilah yang sering
menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan. Kadang-kadang
orang tidak pergi berobat atau menggunakan sarana kesehatan yang tersedia sebab ia
merasa tidak mengidap penyakit. Masyarakat mulai menghubungi sarana kesehatan
sesuai dengan pengalaman masa atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang
tersedianya jenis-jenis layanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana kesehatan itu
dengan sendirinya didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemajuan sarana
tersebut.

2.5. HIV/AIDS
2.5.1. Definisi HIV
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS (Zein, 2006). Ketika
virus ini masuk ke dalam tubuh, tidak timbul gejala apa-apa sehingga orang yang
terinfeksi tampak sehat dan segar, walaupun virus tersebut telah berpotensi menular
kepada orang lain. Virus ini membutuhkan waktu 5-10 tahun untuk menunjukkan
gejala-gejalanya seperti batuk, flu dan diare yang sulit untuk disembuhkan, selain itu
tubuh akan mudah terserang penyakit lainnya (Lasmadiwati, 2005).

HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas
menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut TLimfosit atau sel T-4 atau disebut juga sel CD-4 (Zein, 2006). Adapun yang
menjadi fungsi sel ini adalah seperti saklar yang menghidupkan dan menghentikan
kegiatan sistem kekebalan tubuh (Lasmadiwati, 2005). Akibatnya sel darah putih
akan semakin berkurang dan lama-kelamaan sistem kekebalan tubuh melemah
(Yatim, 2006)

2.5.2. Definisi AIDS


AIDS merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome.
Syndrome berarti kumpulan gejala-gejala atau tanda-tanda penyakit, Deficiency
berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, dan Aquired berarti diperoleh atau
didapat. AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang merusak sistem
kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh mudah terserang penyakit-penyakit lain
yang berakibat fatal.
AIDS adalah sindroma penyakit yang pertama kali dikenal pada Tahun 1981.
Sindrom ini menggambarkan tahap klinis akhir dari infeksi HIV. Beberapa minggu
hingga beberapa bulan sesudah terinfeksi, sebagian orang akan mengalami penyakit
self-limited mononucleosis-like akut yang akan berlangsung selama 1 atau 2 minggu.
Orang yang terinfeksi mungkin tidak menunjukkan tanda atau simptom selama
beberapa bulan atau tahun sebelum manifestasi klinis lain muncul. Berat ringannya
infeksi opportunistic atau munculnya kanker setelah terinfeksi HIV, secara umum

terkait langsung dengan derajat kerusakan sistem kekebalan yang diakibatkannya


(Chin, 2000).
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen
Kesehatan Tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya
sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis
sangat sesuai dengan diagnosis AIDS di mana berdasarkan hasil tes Elisa yang tiga
kali diulang menyatakan positif, namun hasil tes Western Blot yang dilakukan di
Amerika Serikat menyatakan hasilnya negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai
kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS
Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia dan termasuk jenis non-progessor,
artinya kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama 17 tahun tanpa
pengobatan dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat jalan di
RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002 (Djoerban, 2010).
Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia secara umum masih rendah, tetapi
Indonesia sudah digolongkan sebagai Negara dengan tingkat epidemik yang
terkonsentrasi (concentrated level epidemic) yaitu adanya lebih dari 5% pada sub
populasi tertentu misalnya penjaja seks dan penyalahgunaan NAPZA (Narkotika,
Psikotropika dan Zat Aditif lainnya). Tingkat epidemik ini menunjukkan tingkat
perilaku berisiko yang cukup aktif menularkan penyakit di dalam suatu sub populasi
tertentu. Selanjutnya perjalanan epidemik akan ditentukan oleh jumlah dan sifat
hubungan antara kelompok berisiko dengan populasi umum (Depkes RI, 2006).

Menurut Yatim (2006), pada orang dewasa AIDS dapat diduga apabila
terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan paling sedikit satu gejala minor tanpa
sebab imunosupresi lain yang diketahui seperti kanker, malnutrisi atau penyebab lain.
Gejala mayor, antara lain :
a. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam waktu singkat
b. Demam lebih dari satu bulan (intenmiten atau kontinu)
c. Diare kronik lebih dari satu bulan.
Gejala minor, antara lain :
a. Batuk lebih dari satu bulan
b. Kelainan kulit dan iritasi (gatal)
c. Herpes simplecs (kulit melepuh dan terasa nyeri) yang menyebar dan bertambah
parah
d. Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan
e. Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, yang teraba di bawah
telinga, leher, ketiak dan lipat paha.
f. Limfadenopati generalisasi

2.5.3. Stadium HIV/AIDS


Stadium HIV/AIDS di kategorikan oleh Djoerban, dkk (2010) menjadi :
1. Fase Pertama
Beberapa hari atau beberapa minggu sesudah terjadi infeksi HIV untuk pertama
kali, seseorang mungkin akan menjadi sakit dengan keluhan dan gejala-gejala mirip
seperti flu, yaitu :

a. Demam.
b. Rasa lemah dan lesu.
c. Sendi-sendi terasa nyeri.
d. Batuk.
e. Nyeri tenggorokan.
2. Fase Kedua
Fase kedua ini disebut window period yang berlangsung antara 3-6 bulan.
Pada fase ini hasil tes untuk mendeteksi antibodi HIV masih menunjukkan hasil
negatif ( HIV- ). Orang yang sudah memasuki tahap ini sudah dapat menularkan
kepada orang lain.
3. Fase Ketiga
Hasil tes laboratorium pada tahap ini sudah menunjukkan hasil positif ( HIV+ ).
Tahap ini belum dapat disebut dengan gejala AIDS. Fase ini berlangsung selama 2-10
tahun. Mulai timbul gejala-gejala yang mirip dengan penyakit lain, yaitu :
a. Demam berkepanjangan.
b. Penurunan berat badan ( lebih dari 10% dalam waktu 3 bulan ).
c. Kelemahan tubuh yang menggangu/menurunkan aktivitas fisik sehari-hari.
d. Pembengkakan kelenjar di leher, lipatan paha dan ketiak.
e. Diare atau mencret terus menerus tanpa sebab yang jelas.
f. Batuk dan sesak nafas lebih dari satu bulan secara terus menerus, kulit gatal
dan bercak-bercak merah kebiruan.

3. Fase Keempat
Pada tahap ini penderita mudah diserang penyakit lain, dan disebut infeksi
oportunistik. Maksudnya adalah penyakit yang disebabkan baik oleh virus lain,
seperti bakteri, jamur atau parasit ( yang bisa hidup dalam tubuh kita ) yang bila
sistem kekebalan tubuh baik, kuman ini dapat dikendalikan oleh tubuh. Pada tahap ini
pengidap HIV+ telah berkembang menjadi penderita AIDS. Infeksi opportunistik
yang biasa diderita, yaitu :
a. Radang paru : TBC.
b. Radang saluran pencernaan.
c. Radang karena jamur di mulut dan kerongkongan.
d. Kulit : Herpes Simplecs, kanker kulit yang biasa terjadi yaitu Sarkoma caposii.
e. Gangguan susunan saraf : Toxoplasmosis.
f. Alat kelamin : Herpes genitalis.

2.5.4. Penularan HIV / AIDS


HIV hanya ditularkan dari satu orang kepada yang lainnya melalui pertukaran
cairan tubuh seperti darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu. HIV/AIDS
ditularkan melalui :
1.

Hubungan seks.

2.

Penggunaan jarum suntik yang pernah dipakai orang lain yang terular HIV.

3.

Transfusi darah yang mengandung HIV.

4.

Transplantasi organ pengidap HIV.

5.

Hubungan perinatal, yakni dari ibu hamil kepada janin atau bayi yang disusuinya
(Zein, 2006).
Penularan HIV melalui hubungan seks mencapai lebih dari 90%. Penularan

melalui hubungan seks heteroseksual yang paling dominan. Tingkatan risiko


tergantung pada jumlah virus yang keluar dan masuk ke dalam tubuh seseorang dapat
meningkat jika ada luka pada alat kelamin. Masyarakat dianjurkan untuk berperilaku
seksual yang lebih bertanggung jawab (lebih berhati-hati) agar jangan tertular HIV.
Apalagi karena hubungan seks adalah perilaku sehari-hari dalan kehidupan manusia
(Zein, 2006).
HIV tidak menular lewat pergaulan sehari-hari, karena HIV bukan virus yang
menular seperti virus flu atau kuman penyakit kulit. HIV tidak menular karena kita
berjabatan tangan, bersentuhan atau merangkul orang lain. HIV tidak menular karena
makan bersama, minum bersama atau berenang di kolam yang sama. HIV juga tidak
menular melalui gagang telepon atau lewat WC yang habis dipakai penderita AIDS
(Yatim, 2006). Keterbatasan informasi yang didapat masyarakat Indonesia tentang
penyakit ini, mengakibatkan banyak penderita HIV/AIDS yang dikucilkan dari
lingkungannya (Djoerban, 2010).
Adapun kelompok yang mempunyai risiko untuk tertular HIV menurut Zein
(2006) adalah pasangan seksual pengidap HIV, pecandu narkoba suntik dan pasangan
seksualnya, wanita pekerja seks dan pelanggannya, serta pasangan pelanggannya,
waria sebagai pekerja seks dan pelanggannya dan pasangan pelanggannya, petugas
kesehatan yang berhubungan dengan darah dan sekret penderita HIV, janin yang
dikandung oleh penderita HIV.

2.5.5. Pencegahan dan Pengobatan HIV/AIDS


Dewasa ini pencegahan merupakan satu satunya upaya penanggulangan
AIDS. 5 langkah untuk mencegah tertular HIV/AIDS dalam Noe (2010), yaitu :
A = Abstinence of Sex (jauhi seks bebas)
B = Be Faithful (setia pada pasangan)
C = use Condom (gunakan kondom)
D = Dont share a needle (jangan berbagi jarum suntik)
E = Education (pendidikan)
Pencegahan dan penanggulangan AIDS mempunyai tiga tujuan antara lain :
mencegah infeksi HIV, mengurangi dampak perorangan dan sosial dari infeksi HIV
serta menggerakan dan menyatukan upaya nasional dan internasional melawan AIDS.
1.

Secara seksual.
Saling setia dengan mitra seksual merupakan sesuatu yang penting. Tapi jika

bermaksud saling setia, hal yang harus diperhatikan adalah :


a.

Pemilihan mitra seksual anda berkaitan dengan risiko terinfeksi karena hal ini
tergantung dari besarnya kemungkinan bahwa mitra anda adalah termasuk
kelompok risiko tinggi.

b.

Jumlah mitra seksual yang makin besar akan memperbesar kemungkinan


mendapatkan mitra yang terinfeksi.

c.

Penggunaan kondom yang tepat dan konsisten mulai dari awal hingga akhir untuk
semua penetrasi seksual (vagina, oral dan anal)

d.

Jenis kebiasaan perilaku seksual.

2.

Pencegahan Penularan melalui Darah


Untuk pencegahan penularan HIV melalui darah dan produk darah yang

terinfeksi, pendekatan yang telah terbukti efektif adalah mengambil donor sukarela,
melakukan skrining darah donor terhadap HIV dan mendidik petugas kesehatan untuk
mengurangi transfusi yang tidak perlu. Pencegahan penularan di antara pengguna
narkoba suntik haruslah sejalan dengan usaha pencegahan secara seksual di antara
mereka, termasuk menurunkan permintaan akan obat, menurunkan penggunaan obat
suntik dan mensterilkan alat suntik dan jarum dengan memasaknya atau
menggunakan pemutih.
4.

Pencegahan Penularan dari Ibu kepada Anaknya


Strategi terbaik dalam pencegahan dari ibu kepada anaknya tentu saja dengan

mencegah penularan HIV secara seksual kepada wanita usia subur. Pencegahan
sekunder tergantung pada upaya menghindari kehamilan dari wanita usia subur yang
diketahui atau dicurigai terinfeksi HIV. Pelayanan konseling dan kontrasepsi harus
tersedia untuk wanita (Djoerban, 2010)
Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif
sehingga muncul berbagai infeksi opurtunistik yang dapat berakhir pada kematian.
Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif,
sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok (Depkes RI,
2006) sebagai berikut :
a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum
penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik
dan pemberian vitamin.

b. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai


penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS. Jenis-jenis
mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis
carinii, Toxoplasma dan Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus (Herpes,
cytomegalovirus/CMV,

Papovirus)

dan

bakteri

(Mycobacterium

TBC,

Mycobacterium ovium intra cellular, Streptococcus, dll). Penanganan terhadap


infeksi opurtunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya
dan diberikan terus-menerus.
c. Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja langsung menghambat enzim
reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV
terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik
menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan
mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS
ataupun membunuh HIV.

2.6. Konseling Dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT)


Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan
dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan
HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV
dan memastikan pemecahaman berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS (Depkes
RI, 2006). Adapun prinsip pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS Sukarela
(VCT) :
1. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV.

Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan,dan
tanpa tekanan.
2. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas.
Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien.
Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh
konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks
kunjungan klien.
3. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif.
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti
pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku berisiko.
4. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT.
WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat
digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa
diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya
yang disetujui oleh klien.
Berdasarkan pedoman pelayanan VCT (Depkes RI, 2006), layanan VCT harus
mempunyai sumber daya manusia yang sudah terlatih dan kompeten. Petugas
pelayanan VCT terdiri dari:
1. Kepala klinik VCT .
2. Dua orang konselor VCT terlatih sesuai dengan standar WHO atau lebih sesuai
dengan kebutuhan.
3. Petugas manajemen kasus.

4. Seorang petugas laboratorium dan atau seorang petugas pengambil darah yang
berlatar belakang perawat.
5. Seorang dokter yang bertanggungjawab secara medis dalam penyelenggaraan
layanan VCT.
6. Petugas administrasi untuk data entry yang sudah mengenal ruang lingkup
pelayanan VCT.
7. Petugas jasa kantor atau pekarya kantor.
8. Petugas keamanan yang sudah mengenal ruang lingkup pelayanan VCT.
9. Tenaga lain sesuai kebutuhan, misalnya relawan.
Semua petugas layanan VCT bertanggung jawab atas konfidensialitas klien.
klien akan menandatangani dokumen konfidensialitas terlebih dahulu yang memuat
perlindungan dan kerahasiaan klien. Pendokumentasian data harus dipersiapkan
secara tepat dan cepat agar memudahkan dalam pelayanan dan rujukan.

2.6.1. Tahapan dalam layanan VCT


1. Konseling Pra Testing
Dalam konseling ini didiskusikan hal-hal yang terkait dengan informasi akurat
dan lengkap tentang HIV/AIDS, perilaku beresiko, testing HIV dan pertimbangan
yang terkait dengan hasil negatif atau positif. Sesudah melakukan konseling lanjutan,
diharapkan dapat melindungi dirinya sendiri dan keluarganya dari penyebaran infeksi,
dengan cara menggunakan berbagai informasi dan alat prevensi yang tersedia bagi
mereka. Di dalam Konseling pra testing seorang konselor VCT harus dapat membuat

keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian risiko dan merespons kebutuhan


emosi klien (Depkes RI, 2006).
2. Testing HIV dalam VCT
Prinsip Testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaanya. Testing
dimaksud untuk menegakkan diagnosis. Terdapat serangkaian testing yang berbedabeda karena perbedaan prinsip metoda yang digunakan. Testing yang digunakan
adalah testing serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau plasma.
Spesimen adalah darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau serumnya.
Penggunaan metode testing cepat (rapid testing) memungkinkan klien mendapatkan
hasil testing pada hari yang sama. Tujuan testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu
menegakkan diagnosis, pengamanan darah donor (skrining), untuk surveilans, dan
untuk penelitian. Hasil testing yang disampaikan kepada klien adalah benar milik
klien.
3. Konseling Pasca Testing
Konseling pasca testing membantu klien memahami dan menyesuaikan diri
dengan hasil testing. Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil testing,
memberikan hasil testing, dan menyediakan informasi selanjutnya. Konselor
mengajak klien mendiskusikan strategi untuk menurunkan penularan HIV. Kunci
utama dalam menyampaikan hasil testing (Depkes RI, 2006).
- Periksa ulang seluruh hasil klien dalam catatan medik. Lakukan hal ini sebelum
bertemu klien, untuk memastikan kebenarannya.

- Sampaikan hasil hanya kepada klien secara tatap muka.


- Berhati-hatilah dalam memanggil klien dari ruang tunggu.
- Seorang konselor tak diperkenankan memberikan hasil pada klien atau lainnya
secara verbal dan non verbal selagi berada di ruang tunggu.
- Hasil testing tertulis

2.6.2. Model Tahapan VCT


Kerangka model dibawah ini adalah prosedur kunci penyediaan layanan VCT :
Model Standar Emas (Pra Test-Test-Pasca Test)
Gejala atau kecemasan yang membawa seseorang memutuskan untuk tes status
HIV
Konseling pra-test mencakup penilaian kondisi perilaku berisiko dan
kondisi psikososial dan penyediaan informasi faktual tertulis maupun
Beri waktu berpikir

Penundaan pengambilan darah

HIV negatif
Mendorong mengubah perilaku ke arah
positif, hilangkan yang negatif.
Katakan meski situasinya masih
berisiko rendah tetap harus merawat
diri untuk menghindari infeksi dan
kemungkinan penularan

Lakukan periksa ulang adalah


pajanan selama 12 bulan setelah tes
atau pajanan sesudah tes. Sarankan
tes ulang dan melakukan tes ulang

Pengambilan darah

HIV Positif
Sampaikan beri hati, menilai
kemampuan mengelola berita
hasil, sediakan waktu untuk
diskusi, bantu agar adaptasi
dengan situasi dan buat rencana
tepat dan rasional

Berikan konseling berkelanjutan yang


melibat Sertakan keluarga dan teman;
gerakkan dukungan keluarga dan
masyarakat; cari dukungan lainnya;
tumbuhkan perilaku bertanggung
jawab

Berikan konseling berkelanjuta dengan hati hati termasuk


untuk mengurangi penularan; motivasi untuk menurunkan
risiko penularan;jika dibutuhkan kenali sumber dukungan
lain, termasuk layanan medik RS,Perawatan rumah

2.7. Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi
kerangka konsep adalah :
Variabel bebas
-

Variabel terikat

Pengetahuan tentang penyakit


AIDS
Persepsi tentang penyakit AIDS
Persepsi tentang klinik VCT

Tingkat
pemanfaatan
klinik VCT

Gambar 2.1. Kerangka Konsep


Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas dapat dijelaskan defenisis dari
konsep yaitu :
1.

Pengetahuan tentang penyakit AIDS sebagai variabel bebas (independent) adalah


hasil tahu penderita HIV/AIDS tentang penyakit AIDS.

2.

Persepsi tentang Penyakit AIDS sebagai variabel bebas (independent) adalah


pandangan atau penilaian penderita HIV/AIDS tentang penyakit AIDS.

3.

Persepsi tentang klinik VCT sebagai variabel bebas (independent) adalah


pandangan atau penilaian penderita HIV/AIDS tentang klinik VCT.

4.

Tingkat pemanfaatan klinik VCT sebagai variabel terikat (dependent) adalah


jumlah kunjungan penderita HIV/AIDS ke klinik VCT dalam satu tahun terakhir.

2.8. Hipotesis Penelitian


Berdasarkan permasalahan, tujuan penelitian dan kerangka konsep, maka
dapat dirumuskan hipotesis pada penelitian ini yaitu ada pengaruh pengetahuan dan
persepsi penderita HIV/AIDS di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Morawa
Kabupaten Deli Serdang tentang penyakit AIDS dan klinik VCT terhadap tingkat
pemanfaatan klinik VCT Tahun 2010.

You might also like