You are on page 1of 17

PENGARUH FREKUENSI TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE

STIMULATION TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN OTOT


EKSTENSOR WRIST PADA PENDERITA STROKE
NASKAH PUBLIKASI

Disusun oleh :
TRI PUJI LESTARI
J120100038

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014

PENGARUH FREKUENSI TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE


STIMULATION TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN OTOT
EKSTENSOR WRIST PADA PENDERITA STROKE
Tri Puji Lestari
Program studi S1 Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A Yani Tromol Pos 1 Pabelan, Kartasura Surakarta
ABSTRAK
Latar Belakang: Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu bagi orang
yang selamat dari serangan stroke. Problematika pasca stroke gangguan
sensomotorik yang paling mendasar yaitu meliputi gangguan motorik yang
mengakibatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh abnormal tonus otot dan
gangguan sensori yang mengakibatkan kelainan sensibilitas, perasaan gerak dan
gangguan koordinasi. Kelemahan tangan maupun kaki akan mempengaruhi
kontraksi otot sedangkan salah satu modalitas yang menimbulkan kontraksi otot
kemudian menghasilkan peningkatan otot adalah NMES. Salah satu metode arus
listrik dalam NMES menggunakan TENS. Sedangkan faktor yang mempengaruhi
respon jaringan yaitu durasi dan ampitudo selain itu juga ada frekuensi dimana
stimulus menimbulkan rangsang motorik menentukan bentuk kontraksi otot.
Tujuan: Untuk mengetahui keefektifan frekuensi TENS 10Hz, 30Hz dan 50Hz
tehadap peningkatan otot ekstensor wrist pada penderita stroke.
Subjek: Sebanyak 3 responden yang mengambil dari komunitas di daerah Sragen
dengan kondisi hemiparese pasca stroke pasien mendapatkan treatment TENS
dengan frekuensi 10Hz satu pasien berumur 46 tahun, frekuensi 30Hz satu pasien
berumur 58 tahun dan frekuensi 50Hz satu pasien berumur 72 tahun.
Metodologi Penelitian: Penelitian metode eksperimen dengan subjek singel-case
research menggunakan desain A-B-A dan dianalisis menggunakan statistik
deskriptif hasil penelitian disajikan dalam bentuk grafik.
Hasil: Frekuensi 10Hz pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist hari 1-18
hasilnya 15-23Kg dengan presentase 34%, pasien frekuensi 30Hz pengukuran
kekuatan otot ekstensor wrist hari 1-18 hasilnya 15,5-21,9Kg dengan presentase
29% dan pasien dengan frekuensi 50Hz pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist
hari 1-18 hasilnya 14-21Kg dengan presentase 33%.
Kesimpulan: Dengan demikian frekuensi 10Hz nilai presentase 34% memberikan
hasil yang maksimal
Kata kunci: Stroke, TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation),
ekstensor wrist.

Pendahuluan
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu bagi orang yang
selamat dari serangan stroke. WSO (Word Stroke Organisation, 2009)
menyatakan bahwa stroke adalah penyebab utama kualitas hidup yang buruk.
Stroke adalah salah satu penyakit kardiovaskuler yang mempengaruhi arteri
penting yang menuju ke otak, terjadi ketika pembuluh darah yang mengangkut
oksigen dan nutrisi menuju ke otak terblokir oleh bekuan maupun pecahan
sehingga otak tidak mendapat darah yang dibutuhkan, sehingga sel-sel otak
mengalami kematian. Akibat lanjut dari kematian jaringan otak ini dapat
menyebabkan hilangnya fungsi kendali sebuah jaringan.
Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan
kelemahan otot dan spastisitas kontralaterla, serta defisit sensorik(hemianestesia)
akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis. Kelemahan tangan
maupun kaki pada pasien stroke akan mempengaruhi kontraksi otot.
Berkurangnya kontraksi otot disebabkan karena berkurangnya suplai darah ke
otak belakang dan otak tengah, sehingga dapat menghambat hantaran jaras-jaras
utama antara otak dan medula spinalis. Kekuatan otot adalah kemampuan otot
atau group otot menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik
secara dinamis maupun statis. Pemulihan kekuatan otot masih menjadi masalah
utama yang dihadapi oleh pasien stroke yang mengalami hemiparesis. Pemulihan
fungsi ekstremitas atas lebih lambat dibandingkan dengan ekstremitas bawah
(Jyh-Geng, et al., 2005) sedangkan fungsi paling utama lengan dan tangan adalah
untuk berinteraksi dengan lingkungan (Krakauer, 2005).
Salah satu metode arus listrik yang digunakan dalam NMES dengan
menggunakan Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS). Tanggap
rangsan jaringan tubuh lebih ditentukan oleh durasi dan ampitudo stimulasi listrik
dan bukannya nama arus listrik yang digunakan. Faktor lain yang juga ikut
mempengaruhi respon jaringan ialah frekuensi, dimana pada stimulus yang
menimbulkan tanggap rangsang motorik frekuensi menentukan bentuk kontraksi

otot yaitu single brisk, parsial tetanik ataupun tetanik penuh. Frekuensi stimulus
yang diperlukan untuk menghasilkan kontraksi tetanik pada suatu kelompok otot
dikenal sebagai Critical Fusion Frequency (CFF).
Besarnya tergantung dari lokasi atau regio kelompok otot dan atau jenis
otot yang bersangkutan yaitu fasik atau tonik. Untuk otot fasik rentang CFF antara
30pps-100pps dan secara umum frekuensi pada tanggap rangsang motorik 1050Hz. Frekuensi dibagi menjadi tiga yaitu 10Hz, 30Hz dan 50Hz untuk
membandingkan pengaruh yang dihasilkan. Oleh karena itu peneliti tertarik
dengan NMES menggunakan arus TENS dengan frekuensi diatas diharapkan
mengetahui kefektifan dari tiga frekuensi tersebut dalam meningkatkan kekuatan
otot ekstensor wrist pada penderita stroke.
Landasan Teori
Stroke adalah penyakit kardiovaskuler yang mempengaruhi arteri penting
yang menuju ke otak, terjadi ketika pembuluh darah yang mengangkut oksigen
dan nutrisi menuju ke otak terblokir oleh bekuan atau pecahan sehingga otak tidak
mendapatkan darah yang dibutuhkan kemudian sel-sel otak mengalami kematian
(Rahayu, 2013). Akibat lanjut dari kematian sel otak ini dapat menyebabkan
hilangnya fungsi kendali sebuah jaringan yang di inervasi. Stroke terdiri dari tiga
stadium yaitu stadium akut, stadium recovery dan stadium residual (Kuntono,
2012). Stadium akut ditandai dengan abnormalitas tonus otot yaitu flaccid,
berlangsung antara 1 minggu sampai 3 minggu setelah serangan stroke. Kemudian
di ikuti stadium recovery berlangsung 3-6 bulan setelah serangan stroke dan
merupakan fase emas dimana perbaikan akan cepat sekali namun pada fase ini
akan muncul pola sinergi (spastik). Setelah stadium recovery di ikuti fase residual
yaitu diatas 8 bulan dan 1 tahun pasca serangan stroke. Fase residual terjadi

perubahan tonus yang abnormal yang ditandai dengan peningkatan tonus. Berupa
hypotonus dan hypertonus. Hypotonus (flaccid) : Tidak ada tahanan pada gerakan
pasif, Terasa berat bila ekstremitas diangkat, Tidak dapat mempertahankan posisi.
Hypertonus (spastik) : Terdapat tahanan terhadap gerakan pasif, besarnya tahanan
sebanding dengan kecepatan gerakan pasif yang diberikan. Otak bisa dianalogikan
dengan otot, dimana semakin diaktifkan semakin baik hasil yang diperoleh.
Neural plastisitas dapat terjadi tidak hanya pada pemulihan kemampuan motorik
melainkan juga pada kemampuan memori, penglihatan dan bicara. Neural
plastisitas dapat

terus terjadi pada beberapa tahun setelah stroke (Setiawan,

2012).
Otot dalam berkontraksi untuk menghasilkan tegangan memerlukan suatu
kekuatan. Kekuatan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia dan
jenis kelamin, selain faktor tersebut masih ada faktor lain yaitu faktor biomekanik,
faktor neuromuscular, faktor metabolisme dan faktor psikologis. Kekuatan otot
adalah kemampuan otot atau group otot menghasilkan tegangan dan tenaga
selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun secara statis (Kisner, 2007).
NMES sudah lama digunakan oleh kalangan fisioterapi sebagai salah satu
cara untuk menghasilkan kontraksi otot secara buatan yang disebabkan otot atau
syaraf mengalami kelainan, gangguan, ataupun cidera. Dalam pelayanan
rehabilitasi dan fisioterapi, NMES digunakan untuk mendidik kembali fungsi otot,
membantu kontraksi otot, menguatkan otot, memelihara massa dan daya ledak
otot selama immobilisasi yang lama dan untuk mencegah terjadinya athropy dan
kelemahan otot pada pasien dengan penyakit kronis (Lake, 1992; Mackler et al,

1995; Piva et al, 2007). NMES yang diberikan selama 4 minggu dengan 3 kali
dalam satu minggu dapat meningkatkan pergerakan dan aktifasi dari otot
bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot (Seyri et al, 2011).
Salah satu arus listrik yang digunakan dalam NMES adalah TENS
(Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation). TENS adalah merupakan suatu
cara penggunaan energi listrik guna merangsang sistem saraf melalui permukaan
kulit (Parjoto, 2006). Jenis arus TENS untuk menghasilkan kontraksi otot
dibutuhkan fase durasi dan frekuensi yang tepat. Tanggap rangsang jaringan tubuh
lebih ditentukan oleh durasi dan ampitudo stimulasi listrik dan bukannya nama
arus listrik yang digunakan. Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi respon
jaringan ialah frekuensi, dimana pada stimulus yang menimbulkan tanggap
rangsang motorik frekuensi menentukan bentuk kontraksi otot yaitu single brisk,
parsial tetanik ataupun tetanik penuh. Frekuensi stimulus yang diperlukan untuk
menghasilkan kontraksi tetanik pada suatu kelompok otot dikenal sebagai Critical
Fusion Frequency (CFF). Frekuensi yang menghasilkan kontraksi otot adalah 3080Hz sementara tanggap rangsang jaringan frekeunsi untuk motorik adalah 1050Hz sehingga peneliti menggunakan frekeunsi 10Hz, 30Hz, dan 50Hz. Pengaruh
fisiologis stimulasi listrik terhadap jaringan tubuh sebagai berikut: (Alon G,
1987)Tingkat jaringan : 1) Kontraksi otot rangka dan efeknya terhadap kekuatan
otot, kecepatan kontraksi serta daya tahan terhadap kelelahan, 2) Kontraksi otototot polos dan rileksasi yang berdampak pada aliran di arteri maupun vena, 3)
Regenerasi jaringan, termasuk tulang, ligamen, jaringan ikat dan kulit, 4)
Remodeling jaringan termasuk pelunakan, penguluran penurunan viskositas serta

penyerapan cairan dari rongga sendi dan rongga interstisial, 5) Perubahan suhu
jaringan dan keseimbangan kimiawi.
Adanya impuls pada motor neuron yang menyebabkan aksi potensial dapat
menimbulkan kontraksi otot disarafinya. Karena setiap otot memiliki beberapa
motor unit, dimana mengikuti hukum lengkap atau tidak sama sekali (All or none)
yang berarti hasilnya sama. Kemudian jumlah motor unit yang aktif menentukan
kekuatan kontraksi otot yang terjadi yaitu : 1) Kontraksi otot skelet terjadi oleh
karena adanya depolarisasi sel motoris yang mencapai aksi potensial sehingga
terjadi perjalanan impuls pada serabut syaraf motoris yang menimbulkan
kontraksi otot. Kontraksi otat terjadi oleh karena adanya aktifasi alpha motor
neuron pada ekstrafusal. Kontraksi ekstrafusal akan memfasilitasi gamma motor
neuron untuk mempertahankan tonus otot, sehingga selama berkontraksi tonus
otot dalam keadaan meningkat. 2) Meningkatkan kekuatan otot bahwa kontraksi
otot akibat stimulasi listrik ditentukan oleh jumlah motor unit yang terangsang
stimulasi tersebut. 3) Kemudian untuk relaksasi otot , kontraksi otot menghasilkan
metabolik dan meningkatkan enzym oksidasi dimana akam memacu vasodilatasi
pada otot yang bersangkutan, sehingga pertukaran metabolisme menjadi lancar
dan otot menjadi rileks. Adanya kontraksi yang berulang-ulang maka akan terjadi
aktifasi alpha motor neuron dan akan menghambat gamma motor neuron sehingga
otot menjadi rileks dan tonus otot menjadi terkontrol.

Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan pendekatan metode
penelitian single-case research menggunakan desain A-B-A dan dianalisis
menggunakan statistik deskriptif hasil penelitian disajikan dalam bentuk grafik.
Hasil Penelitian
a. Pasien dengan frekuensi 10Hz atas nama Tn.G
Tabel 4.2 pengukuran dengan handgrip dinamometers satuan Kg
Tn.G

pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist dengan handgrip dinamometers


1

15

15

15

17,8

17,8

18

18

18

19,2

10

11

12

13

14

15

16

17

18

21,3

22,5

22,5

22,8

22,8

23

23

23

23

Ket:

Warna biru

: fase baseline A1

Warna merah : fase treatment B


Warna hijau : fase baseline A2

A1BA2
25
20
15
10hz

10
5
hari1
hari2
hari3
hari4
hari5
hari6
hari7
hari8
hari9
hari10
hari11
hari12
hari13
hari14
hari15
hari16
hari17
hari18

Grafik 4.1 hasil pengukuran ekstensor wrist dengan handgrip


dinamometers pada frekuensi 10Hz

Dari data pasien Tn.G fase baseline A1 dalam pengukuran ke- 1-3
nilai kekuatan otot 15Kg, fase treatment mengalami peningkatan pada
pengukuran ke- 4-15 nilai kekuatan otot 17,8-23Kg dan fase baseline
A2 pada pengukuran ke 16-18 nilai kekuatan otot 23Kg.
b. Pasien dengan frekuensi 30Hz atas nama Tn.W
Tabel 4.3 pengukuran dengan handgrip dinamometers satuan Kg
Tn.W pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist dengan handgrip dinamometers
1

15,5

15,5

15,5

15,5

15,5

15,7

15,7

16

16,5

10

11

12

13

14

15

16

17

18

17,1

17,7

18

20,5

21

21,9

21,9

21,9

21,9

Ket:

Warna biru : fase baseline A1


Warna merah : fase treatment B
Warna hijau : fase baseline A2

A1

A2

25
20
15
30hz
10
5

hari1
hari2
hari3
hari4
hari5
hari6
hari7
hari8
hari9
hari10
hari11
hari12
hari13
hari14
hari15
hari16
hari17
hari18

Grafik4.2 hasil pengukuran ekstensor wrist dengan handgrip


dinamometers pada frekuensi 30Hz

Dari data pasien Tn.W fase baseline A1 pada pengukuran ke-1-3


nilai kekuatan otot 15,5Kg, fase treatment mengalami peningkatan
pada pengukuran ke- 4-15 nilai kekuatan otot 15,5-21,9Kg dan fase
baseline A2 pada pengukuran ke- 16-18 nilai kekuatan otot 21,9Kg.
c. Pasien dengan frekuensi 50Hz atas nama Tn.S
Tabel 4.4 pengukuran dengan handgrip dinamometers satuan Kg
Tn.S

pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist dengan handgrip dinamometers


1

14

14

14

14

14

14,5

15

16

16,8

10

11

12

13

14

15

16

17

18

17,7

18,6

20,5

20,5

20,5

21

21

21

21

Ket:

Warna biru : fase baseline A1


Warna merah : fase treatment B
Warna hijau : fase baseline A2

A1

A2

25
20
15

50hz

10
5
hari1
hari2
hari3
hari4
hari5
hari6
hari7
hari8
hari9
hari10
hari11
hari12
hari13
hari14
hari15
hari16
hari17
hari18

Grafik 4.3 hasil pengukuran ekstensor wrist dengan handgrip


dinamometers pada frekuensi 50Hz

Dari data pasien Tn.S fase baseline A1 pada pengukuran ke- 1-3
nilai kekuatan otot 14Kg, fase treatment mengalami peningkatan pada
pengukuran ke- 4-15 nilai kekuatan otot 14-21Kg dan fase baseline A2
pada pengukuran ke- 16-18 nilai kekuatan otot 21Kg.
Berikut pembahasan untuk mengetahui pengaruh frekuensi TENS
terhadap peningkatan kekuatan otot ekstensor wrist pada penderita stroke.
A1

A2

25
20
10hz

15

30hz

10

50hz

5
hari1
hari2
hari3
hari4
hari5
hari6
hari7
hari8
hari9
hari10
hari11
hari12
hari13
hari14
hari15
hari16
hari17
hari18

Berdasarkan grafik 4.4 pada responden diberikan TENS dengan


frekuensi 10Hz, 30Hz, dan 50Hz mengalami perbedaan peningkatan
kekuatan otot ekstensor wrist pada pasien pasca stroke. Dari hasil baseline
A1 pada Tn.G nilai kekuatannya 15Kg pengukuran ke- 1-3, dari hasil
treatment nilai kekuatan 17,8-23Kg pengukuran ke- 4-15 dan pada A2
nilai kekuatan 23Kg pengukuran ke- 16-18. Jadi pengukuran dari 1-18
nilainya 15-23Kg dengan presentase 34%. Kemudian Tn.W nilai
kekuatannya 15,5Kg pengukuran ke- 1-3, dari hasil treatment nilai
kekuatan 15,5-21,9Kg pengukuran ke- 4-15 dan pada A2 nilai kekuatan
21,9Kg pengukuran ke- 16-18. Jadi pengukuran dari 1-18 nilainya 15,521,9Kg dengan presentase 29%. Sedangkan Tn.Snilai kekuatannya 14Kg

pengukuran ke- 1-3, dari hasil treatment nilai kekuatan 14-21Kg


pengukuran ke- 4-15 dan pada A2 nilai kekuatan 21Kg pengukuran ke16-18. Jadi pengukuran dari 1-18 nilainya 14-21Kg dengan presentase
33%.
Hasil dari penelitian menunjukan perubahan peningkatan kekuatan
paling cepat yaitu pada frekuensi 10Hz pengukuran hari ke- 1-18 yaitu
15-23Kg dengan presentase 34%, dimana pada frekuensi 10Hz tejadi 10
gelombang perdetiknya terjadi fase istirahat yang banyak untuk
memulihkan energi dalam berkontraksi lagi. Frekuensi 30Hz pengukuran
hari ke- 1-18 yaitu 15,5-21,9Kg dengan presentase 29%, dimana pada
frekuensi 30Hz terjadi 30 gelombang perdetiknya terjadi fase istirahat
sedikit untuk pemulihan energi kurang sementara banyak kontraksi pada
spastik akan terjadi cepat lelah. Spastik adalah suatu keadaan dimana
tonus otot lebih tinggi dari normal akibat hilangnya kontrol supra spinal
terhadap aktifitas stretch reflek. Sehingga menimbulkan nyeri oleh adanya
rangsangan nosireseptor karena beban mekanik otot. Dari stimulasi
elektris akan menghambat aktivitas nociceptor pada tingkat spinal,
mengaktivasi kontrol gerbang terjadilah pengurangan nyeri. Kondisi
spastik stimulus elektris menurunkan spastisitas melalui mekanisme
resiprocal inhibition. Pada saat stimulasi diberikan susunan saraf tepi
kepada antagonis, jumlah besar berdiameter muscle spindel afferen fiber
akan terbangkitkan. Potensial aksi yang dibangkitkan afferen fiber ini akan
ditransmisikan ke spinal cord dan membangkitkan spinal interneurons

yang selanjutnya akan menghambat aktivitas motor neuron terhadap yang


spastik. Sedangkan frekuensi 50Hz pengukuran hari ke- 1-18 yaitu 1421Kg dengan presentase 33%, dimana pada frekuensi 50Hz terjadi
gelombang 50 perdetiknya terjadi fase istirahat yang sedikit dalam
berkontraksi sehingga cepat lelah otot yang distimulasi.
Muscle re-education and fascilitation pada stimulasi elektris prisipnya
menimbulkan kontraksi otot, pemasangan satu elektrode pada origo di tonjolan
suprakondilar lateral pada humerus distal dan satu lagi insersio di bagian posterior
pada dasar metacarpal kedua sisi radial sehingga akan merangsang golgi tendon
dan muscle spindle. Rangsangan pada muscle spindle dan golgi tendon akan
diinformasikan melalui afferent ke susunan saraf pusat sehingga akan
mengkontribusikan fasilitasi dan inhibisi. Rangsangan elektris yang diulang-ulang
akan memberikan informasi ke supra spinal mechanism sehingga terjadi pola
gerak terintegrasi dan menjadi gerakan gerakan pola fungsional. Stimulasi
elektris melalui saraf motorik perifir melatih fungsi tangan graps dan release serta
dapat memberikan fasilitasi pada otot yang lemah dalam melakukan gerakan.
TENS pada kutub positif akan merangsang alpha motorneuron untuk aktif dan
mengaktifasi serabut otot berdiameter besar, terjadi potensial aksi pada kutub
negatif memberikan rangsangan pada motor unit. Terjadi kontraksi otot berulangulang atau statik kontraksi, menghasilkan ketegangan otot berulang-ulang
sehingga dapat meningkatkan kekuatan otot (currier, 1998).

Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil analisa single-case reseacrh dengan desain A-BA dapat diambil kesimpulan :
1. Terdapat perbedaan hasil antara frekuensi 10Hz, 30Hz dan 50 Hz.
2. Frekuensi 10Hz pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist hari 1-18
hasilnya 15-23Kg dengan presentase 34%, pasien frekuensi 30Hz
pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist hari 1-18 hasilnya 15,521,9Kg dengan presentase 29% dan pasien dengan frekuensi 50Hz
pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist hari 1-18 hasilnya 14-21Kg
dengan presentase 33%.
3. Dengan demikian frekuensi 10Hz nilai presentase 34% memberikan
hasil yang maksimal.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik lagi perlu
memperbanyak responden.
2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan berbagai model dan
metode dalam aplikasi stimulasi listrik dalam meningkatkan kekuatan otot
pasien pasca stroke.
3. Perlu memperhatikan umur, jenis kelamin, masa stroke dan jenis stroke
untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih akurat dan baik.
4. Pada penelitian selanjutnya menggunakan frekuensi 50Hz untuk pasien
yang berumur muda, 30Hz untuk pasien berumur 50th sedangkan
frekuensi 10Hz untuk pasien berumur tua supaya dapat melihat perbedaan
hasil.

Daftar Pustaka

Alon G, Principles of Electrical Stimulation, In: Nelson, MR Currier PD Clinical


Electrotherapy, Appleton & Lange, California, 1987.
Currier, D.P. 1998. Clinical Electrotherapy: Neuromuscular Stimulation for
Improving Muscular Strength and Blood Flow, and Influencing Changes.
USA. Pratice Hall.
Jyh-Geng, Yen1, Ray-Yau Wang, Hsin-Hung, Chen, Chi-Tzong Hong. 2005.
Effectiveness of Modified Constraint-Induced Movement Therapy on
Upper Limb Function in Stroke Subjects. Acta Neurologica Taiwanica.
Vol 14 (No1): 16-20.
Kisner, Carolin. 2007. Buku therapeutic exercise. Printed in the united States of
American.
Krakauer J W. 2005. Arm Function after Stroke: From Physiology to Recovery.
Seminar in neurology. Vol. 25(4): 384-95.
Kuntono H P. 2012. FES pasca stroke, Dalam Handout kuliah FT C pusat jurusan
S1 fisioterapi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, surakarta.
Lake, DA. 1992. Neuromuscular Electrical Stimulation, An overview and its
application in the treatment of sport Injuri. Sport Med 13: 320. 1992.
Parjoto S. 2006. Terapi Listrik untuk Modulasi Nyeri. Semarang. Ikatan
Fisioterapi Indonesia Cabang Semarang.
Rahayu, U.B. 2013. Dalam Seminar Meningkatkan Kualitas Hiidup Pasca Stroke.
Auditorium M. Djasman Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Setiawan. 2012. Teori Plastisitas. Dalam Hand-Out Kuliah jurusan S1 fisioterapi
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Seyri, K.M. & Maffiuletti, N. 2011. Effect of electromyostimulation training on
muscle strength and sports performance. Strength and Conditioning
Journal: Feb 2011;33,1;ProQuest Research Library pg.70.

You might also like