You are on page 1of 10

LAPORAN HASIL DISKUSI

Focus Group Discussion


SKENARIO 3
Leleran Berbau Busuk dari Vulva

Disusun oleh:
Tessa Wemona Giandra
13/349653/KH/7812

Fakultas Kedokteran Hewan


Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2016

I.

Judul / Topik Diskusi


Leleran Berbau Busuk dari Vulva

II.

Tujuan Pembelajaran:
A. Tujuan Instruksional umum
Mahasiswa mampu memahami MK yang dipelajari melalui implementasi integrasi
dan sinergi antar MK untuk saling melengkapi / meningkatkan / mempertajam dan
berbagi konsep keilmuan, keterampilan dan perilaku
B. Tujuan Instruksional khusus
Mahasiswa mampu memahami secara lebih bermakna MK Obstetri dan
Ginekologi Veteriner, Ilmu Reseptir dan Farmasi Veteriner, Legislasi Veteriner,
Higiene Makanan, Ilmu Bedah Dasar Veteriner, dan Ilmu Penyakit Organik
Hewan Besar

III.

Skema Pembelajaran
FGD
Semester VII

Kesehatan
Masyarakat
Veteriner

Ilmu Bedah
Ilmu
Legislasi
Higiene
Dasar
Reseptir dan
Veteriner
Makanan
Veteriner
Farmasi
Veteriner
Sinergi dan integrasi antar mata kuliah untuk membangun pemahaman secara lebih dalam dan
komprehensif untuk mencapai kompetensi
Obstetri dan
Ginekologi
Veteriner

Scenario 3:
Memahami macam-macam penyakit pada pasca partus mencakup pengertian,
gejala klinis, diagnosa, dan terapinya dengan penulisan rese yang benar.

IV.

Pembahasan
A. Endometritis
1.
Definisi dan Gejala Klinis
Endometritis didefinisikan sebagai peradangan yang terjadi hanya pada
bagian endometrium. Secara histologi, endometritis dianggap jika peradangan

tidak sampai melebihi stratum spongiosum. Endometritis mencakup terjadinya


disupsi dari epitelium, peningkatan aliran darah, edema, dan influks sel-sel
peradangan yang kebanyakan merupakan neutrofil dan limfosit (Hopper, 2014).
Endometritis dikategorikan menjadi dua macam yaitu endometritis klinis dan
subklinis. Gejala klinis yang berhubungan dengan endometritis klinis merupakan
gejala yang nampak dilihat mata dan termasuk adanya leleran purulen atau
mukopurulen (50% pus, 50% mukus) dari vulva atau di dalam vagina bagian
cranial. Pada endometritis subklinis, tidak ada tanda leleran purulen/mukopurulen,
tetapi infeksi dan peradangan tetap terjadi (Hopper, 2014).
Adanya leleran mukopurulen dalam 21 hari setelah partus biasanya
diasosiasikan dengan involusi uterus yang tertunda. Endometritis dapat
menyebabkan terjadinya subfertilitas dan infertilitas. Keberadaan kontaminasi
bakteri pada uterus mengganggu lingkungan hormonal pada poros hipothalamus
pituitari ke ovarium serta mengganggu pertumbuhan dan perkembangan sel
folikel. Infeksi pada uterus dilaporkan berhubungan dengan meningkatnya
insidensi penyakit sista ovarium. Selanjutnya, keadaan dan persistensi organisme
patogen penyebab endometritis dikatakan dapat menghalangi terjadinya
kebuntingan. Sehingga endometritis memiliki efek merugikan pada fertilititas,
memperpanjang interval partus ke konsepsi berikutnya dan meningkatkan angka
servis per konsepsi (Hopper, 2014)..
2.

Etiologi dan Patogenesis


Keadaan uterus dan strukturnya dalam kebuntingan dan sebelum partus

kebanyakan steril. Namun, pada saat parturisi atau setelahnya lumen uterus
menjadi terkontaminasi oleh mikroorganisme dari lingkungan sekitar hewan, kulit
dan feses, melewati perineum yang berelaksasi dan vulva serta serviks yang
berdilatasi. Ada beberapa faktor predisposisi berkaitan dengan endometritis. Sapi
dengan infeksi uterus post-partum yang disebabkan A. pyogenes dengan rentang
waktu lebih dari 21 hari dapat menimbulkan terjadinya endometritis dan hampir
selalu subfertil pada servis pertama.
(Scott et al, 2011; Green, 2012)
Faktor-faktor predisposisi lainnya:
a. Retensi Plasenta

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Distokia
Sectio caesaria
Fetus kembar
Stillbirth
Kelahiran paksa
Lingkungan kotor
Inaktivitas ovarium pada post-partum
Diet; kemungkinan defisiensi vitamin E/selenium

Distokia, fetus kembar atau kematian pedet meningkatkan kemungkinan adanya


kontaminasi feses pada saluran genital. Retensi plasenta dianggap sebagai faktor
predisposisi dan dikaitkan dengan meningginya tingkat keparahan endometritis.
(Scott et al, 2011; Green, 2012)
3.

Diagnosa dan Terapi


Secara klinis, endometritis dikategorikan oleh adanya leleran mukopurulen

pada vagina, dan berkaitan dengan involusi uterus yang tertunda. Diagnosa
definitif endometritis dibuat berdasarkan pemeriksaan histologi dari biopsi
endometrium. Namun, pada kondisi lapangan, pemeriksaan vaginal dan palpasi
per rektal merupakan teknik yang paling berguna dalam mendiagnosa
endometritis (Scott et al, 2011; Green, 2012).
Visual atau pemeriksaan manual vagina merupakan hal yang penting dalam
mendiagnosa

endometritis,

walaupun

isi

dari

vagina

tidak

selalu

menggambarkan isi dari uterus. Leleran pus dari vagina dapat bersumber dari
uterus, serviks, atau vagina dan mukus yang sedikit keruh sering dianggap
normal. Sistem penilaian skor endometritis dipakai untuk melihat tingkat
involusi uterus dan serviks dan asal dari leleran vaginal (Scott et al, 2011;
Green, 2012).
Dengan palpasi rektal, dapat diketahui kondisi uterus mengalami
peningkatan ukuran sebab tertimbun cairan ditemukan adanya involusi uterus
yang terasa seperti adonan (doughy feel). Pada lumen ditemukan cairan
anechoic dengan jumlah sedang hingga besar bersama dengan partikel
echogenic yang tampak seperti "bersalju". Dinding uterus menebal (Pangestu,
2014).
Terapi yang sering digunakan adalah PGF2 parenteral, estrogen, dan
antibiotik intrauterin. Pemberian antibiotik untuk membunuh mikroorganisme

dan dengan pemberian hormon prostaglandin F2 (PGF2) untuk mendorong


terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan serviks (Pangestu, 2014).
B. Metritis
1.
Definisi dan Etiologi
Metritis didefinisikan sebagai peradangan pada dinding uterus mencakup
endometritis, lapisan otot, dan serosa. Metritis puerperal didefinisikan sebagai
pembesaran uterus yang abnormal dan adanya leleran merah-kecoklatan berair
dan berbau busuk. Metritis puerperal umumnya menginfeksi sapi yang
penanganan distokianya dalam keadaan tidak higienis. Dalam banyak kasus juga
terdapat retensi plasenta. Sapi yang menderita hipokalsemia pada stadium ke-2
partus memiliki peningkatan insidensi terhadap metritis. Karena keadaan yang
buruk ini, bakteri dapat masuk dan bermultiplikasi di dalam uterus, dengan
memproduksi toksin yang diserap oleh endometritis. Faktor predisposisi pada
metritis hampir sama seperti pada endometritis (Scott et al, 2011; Green, 2012).
Faktor-faktor predisposisi:
a. Retensi Plasenta
b. Distokia
c. Sectio caesaria
d. Fetus kembar
e. Stillbirth
f. Kelahiran paksa
g. Lingkungan kotor
h. Inaktivitas ovarium pada post-partum
i. Diet; kemungkinan defisiensi vitamin E/selenium
(Scott et al, 2011; Green, 2012)

2.

Gejala Klinis dan Diagnosa


Metritis puerperal akut sering terjadi pada 2-4 hari setelah partus. Sapi

terlihat lesu dan depresi, demam dengan suhu >40C, sering terdapat diare berbau
busuk tanpa adanya darah atau mukus. Diagnosa dapat disimpulkan berdasarkan
riwayat hewan dan gejala klinis. Dapat melalui pemeriksaan vagina dan per rektal
(Scott et al, 2011; Green, 2012).
Perbedaan metritis dengan endometritis adalah bahwa endometritis hanya
melibatkan endometrium, namun seringkali penamaan metritis merujuk pada

kedua kondisi tersebut (metritis dan endometritis). Metritis klinis dapat dideteksi
dengan palpasi rektal, yakni terjadinya peningkatan ukuran dan ketebalan dinding
uterus, sedangkan melalui ultrasonografi akan ditemukan dinding uterus menebal
dan badan uterus membuncit serta sejumlah sejumlah besar cairan anechoic hadir
dalam lumen bersama dengan partikel echogenic (Pangestu, 2014).

3.

Terapi
Terapi pada metritis mencakup oxytetracycline dan NSAID, diikuti

oxytetracycline secara IM setelah 3-4 hari. Ceftiofur juga sering digunakan


sebagai antibiotik. Pada sapi yang keracunan/dehidrasi, dapat diinfus 3 liter saline
hipertonis secara intravena. Kalsium boroglukonat dapat diberikan untuk
menyembuhkan hipokalsemia. Pesaria intrauterina berisi antibiotik umum
digunakan.

C. Pyometra
1.
Definisi dan Etiologi
Pyometra merupakan bentuk khusus dari endometritis kronis, ditandai
dengan pengumpulan eksudat purulen (nanah) dalam lumen uterus, serviks tidak
berdilatasi sehingga leleran nanah tidak keluar. Menurut Sayuti dkk (2012) uterus
berada di bawah pengaruh hormon progesteron yang menekan aktivitas
fagositosis oleh sel-sel leukosit, sehingga serviks tertutup dan membuat nanah
berakumulasi dan terhambat pengeluarannya.
Pyometra (endometritis kronik purulen) secara umum merupakan penyakit
metoestral yang sebagian besar menyerang betina yang lebih tua, dapat
disebabkan karena kontaminasi uterus, retensio sekundinarium, atau kontaminasi
selama proses kelahiran. Penyakit kelamin menular seperti brucellosis,
trichomoniasis dan vibriosis atau kuman non spesifik seperti golongan kokus,
coli, dan piogenes dapat menyebabkan terjadinya piometra. Pada beberapa kasus,
sapi dapat bunting dan kemudian fetus mati, terjadi proses maserasi, uterus
mengalami kegagalan dalam proses involusi uteri, dan pada ovarium akan
terbentuk korpus luteum (CL) persisten. Sapi piometra akan mengalami

infeksi/peradangan uterus. Uterus berada di bawah pengaruh hormon progesteron


yang menekan aktivitas fagositosis oleh sel-sel leukosit, sehingga serviks tertutup
dan membuat nanah berakumulasi dan terhambat pengeluarannya (Sayuti et al,
2012).
2.

Gejala Klinis dan Diagnosa


Gejala pada hewan betina penderita piometra adalah tidak munculnya berahi

dalam waktu yang lama atau anestrus, siklus berahi hilang karena adanya CL
persisten, cairan nanah mengisi penuh uterus dapat ditemukan dengan palpasi
rektal, dan adanya leleran (discharge) yang bisa dilihat di sekitar ekor dan vulva.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui
gambaran klinis sapi piometra dengan bantuan ultrasonografi (USG) karena
keakuratan suatu diagnosis merupakan kunci sukses keberhasilan terapi yang
diberikan (Sayuti et al, 2012).
Cairan nanah yang mengisi penuh uterus dapat ditemukan dengan palpasi
rektal, namun seringkali membingungkan palpator untuk dibedakan dengan
kebuntingan (diagnosa positif palsu). Perbedaan pyometra dengan kebuntingan
normal adalah bahwa pada pyometra dinding uterus lebih tebal, kenyal dan tidak
memiliki tonisitas. Selain itu, nanah biasanya lebih kental dibandingkan vesikel
amnion dan sering dapat dipindahkan dari satu tanduk yang lain, tidak ada fetus
teraba, fremitus tidak teraba serta ukuran kornua uteri tidak meningkat seiring
waktu seperti yang terjadi pada kebuntingan. Temuan pyometra dengan
ultrasonografi ditandai oleh citra uterus membuncit dengan dinding menebal.
Cairan kental yang terkandung dalam lumen menyebar, partikel echogenic
mengambang di dalamnya (Pangestu, 2014).
3.

Terapi
Pada kasus pyometra dapat dilakukan terapi menggunakan kombinasi

antibiotik dan PGF2, selain dapat membunuh kuman juga dapat menyebabkan
terjadinya pembukaan serviks uterus karena penambahan pemberian PGF2.
Penggunaan prostaglandin terutama PGF2 sebagai terapi pyometra didasarkan
pada efek luteolisis. Lebih dari itu pemakaian PGF2 menyebabkan relaksasi
serviks dan pengeluaran leleran dari uterus. Uterus yang berada di bawah

pengaruh kerja hormon estrogen, lebih peka terhadap infeksi. Oleh karena itu,
penggunaan PGF2 dapat menyediakan lingkungan uterus yang resisten terhadap
kuman (mikrobial) dan meningkatkan aktivitas pertahanan tubuh pada mekanisme
fagositosis (Sayuti et al, 2012).

V.

Kesimpulan
1.
Tiga kasus utama yang sering terjadi pada saat pasca-partus adalah
endometritis, metritis, dan pyometra.
Perbedaan antara endometritis, metritis, dan pyometra

2.

No.
1.

Endometritis

Metritis

Pyometra

VI.

Daftar Pustaka
Green, M. J. 2012. Dairy Herd Health. Oxford: CAB International.
Hopper, R. M. 2014. Bovine Reproduction. London: Wiley-Blackwell.
Pangestu, D. P. 2014. Status Kebuntingan dan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi Bali
Betina di Mini Ranch Maiwa Kabupaten Enrekang. Jurnal Universitas
Hasanuddin tahun 2014.
Sayuti, A., Melia, J., Amrozi., Syafruddin., Roslizawaty., Fahrimal, Y. 2012.
Gambaran Klinis Sapi Piometra Sebelum dan Setelah Terapi dengan Antibiotik
dan Prostaglandin Secara Intra Uteri. Jurnal Kedokteran Hewan tahun 2012.
Scott, P. R., Penny, C. D., Macrae, A. I. 2011. Cattle Medicine. London: Manson
Publishing.

You might also like