You are on page 1of 42

RSU.

SAWERIGA
DING PALOPO

STANDAR
ASUHAN
KEPERAWATAN

ASKEP DIARE DEHIDRASI


NO.DOKUMEN
SAK-RM.00

NO.REVISI
HK.00

TANGGAL TERBIT

DITETAPKAN
DIREKTUR UTAMA:

HALAMAN

Dr.H.Rusdi, SKM.M.Kes
Nip: 19641231 200003 1037
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih
banyak dari biasanya (normal 100 200 cc/jam tinja). Dengan tinja
berbentuk cair / setengah padat, dapat disertai frekuensi yang meningkat.
Diare adalah inflamasi lambung dan usu yang diswbabkab oleh berbagai
bakteri, virus, dan pathogen parasit.

1. Pengertian

Diare (gastroenteritis) menurut WHO adalah buang air besar encer atau cair
lebih dari tiga kali sehari.
Diare adlah kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi
karena frekuensi satu kali atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja
encer atau cair.

2. Etiologi
Penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor:
2.1 Factor Infeksi
2.1.1) Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan makanan yang
merupakan penyebab utama diare pada anak. Meliputi infeksi
enteral sebagai berikut:
Infeksi virus; rotavirus, adenovirus, Norwalk, enterovirus
(virus ECHO, Coxsackie, poliomyelitis).
Infeksi bakteri; shigella, salmonella, E.Coli, vibrio,
aeromonas.
Infeksi parasit; cacing (askaris, trikuris, strongiloideus),
protozoa (E.Histolytica, G.Lamblia, Balantidium Coli),
jamur (candida Albicans)
2.1.2) Infeksi parenteral ialah infeksi diluar alat pencernaan makanan
seperti; otitis media akut (OMA), tonsillitis/tonsilofaringitis,
bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya.keadaan ini
terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2
tahun.

2.2 Faktor malabsorbsi


2.2.1) Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltose
dan sukrosa); monosakarida ( intoleransi glukosa, fruktosa dan
galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan yang
tersering intoleransi laktosa.
2.2.2) Malabsorbsi lemak.
2.2.3) Malabsorbsi protein.
.
2.3 Faktor makanan
Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
2.4 Faktor psikologis
Rasa takut dan cemas ( jarang, tetapi dapat terjadi pada anak yang lebih
besar).
Berdasarkan patofisiologinya maka penyebab diare dibagi menjadi:
a) Diare sekresi, yang dapat disebabkan oleh infeksi virus, kuman
pathogen dan apatogen; hiperperistaltik usus halus akibat bahan kimia
atau makanan, gangguan psikis, gangguan saraf, hawa dingin, alergi;
dan defisiensi imun terutama IgA sekretorik.
b) Diare osmotic, yang dapat disebabkan oleh malabsorpsi makanan,
kekurangan kalori protein (KKP), atau bayi berat badan lahir rendah
dan bayi baru lahir.

3. Manisfestasi
klinik ( tanda
dan gejala)

4. Patofisiologi

Tanda dan gejala dari diare dehidrasi adalah:


3.1 Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer
3.2 Terdapat tanda dan gejala dehidrasi; turgor kulit jelek (elastisitas kulit
menurun), ubun-ubun dan mata cekung, membrane mukosa kering.
3.3 Sakit perut
3.4 Demam
3.5 Mual dan muntah
3.6 Anorexia
3.7 Lemah
3.8 Pucat
3.9 Perubahan tanda-tanda vital; nadi dan pernapasan cepat
3.10 Menurun atau tidak ada pengeluaran urin.
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah:
gangguan osmotic; akibatnya adanya makanan atau zat yang tidak dapat akan
menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meningkat sehingga
terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus
yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehinng

timbil diare.
Gangguan sekresi; akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada
dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit kedalam
rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi
rongga usus.
Gangguan motilitas usus; hiperperistaltik akan mengakibatkan
berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehinnga timbul
diare. Sebaliknya bila peristaltic usus menurun akan mengakibatkan bakteri
tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul diare pula.

5. Pemeriksaan
Penunjang

6. Ketetapan
Penukisan
Standar
7. Kebijakan

8. Asuhan
Keperawatan

9. Tujuan

Pemeriksaan penunjang pada diare dapat dilakukan dengan:


5.1 Pemeriksaan tinja; makroskopis dan mikroskopis, PH dan kadar gula
jika diduga ada intoleransi gula(sugar intolerance), biakan kuman
untuk mencari kuman penyebab dan uji resistensi terhadap berbagai
antibiotika (pada diare persisten).
5.2 Pemeriksaan darah: darah perifer lengkap, analisis gas darah dan
elektrolit (terutama Na, Ca, dan P serum pada diare yang disertai
kejang).
5.3 Pemeriksaaan kadar ureum dan kreatinin darah untuk mengetahui
faal ginjal.
5.4 Duodenal intubation, untuk mengetahui kuman penyabab secara
kuantitatif dan kualitatif terutama pada diare kronik.
Setiap klien baru masuk (KBM) atau pindah ruangan maka penulisan
standar asuhan keperawatan dimulai dari awal. (pengkajian catatan
perkembangan).
Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan secara berkesinambungan
selama 24 jam. Diberikan berdasarkan standard an etika profesi dengan
mengutamakan keselamatan dan kebutuhan klien dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan RS.
Diagnose keperawatan pada diare dehidrasi adalah:
8.1 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan GI yang
berlebihan melalui feses dan muntah.
8.2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kehilangan cairan melalui diare, masukan yang tidak adekuat.
8.3 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena diare
8.4 Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi, kurang
pengetahuan.
9.1 kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan GI yang
berlebihan melalui feses dan muntah
Tujuan : kebutuhan cairan akan terpenuhi dengan criteria tidak ada
tanda-tanda dehidrasi.
9.2 perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

kehilangan cairan melalui diare, masukan yang tidak adekuat


Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan criteria terjadi
peningkatan berat badan.
9.3 kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena diare
Tujuan : anak tidak mengalami bukti bukti kerusakan kulit.
9.4 Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi,
Tujuan : keluarga memahami tentang penyakit anak dan
pengobatannya serta mampu memberikan perawatan.
10. Intervensi
10.1 kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan GI
yang berlebihan melalui feses dan muntah
intervensi:
10.1.1) Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit.
10.1.2) Pantau intake dan output.
10.1.3) Kaji tanda-tanda vital, turgor kulit , membrane
mukosa,dan status mental setiap 4 jamn atau sesuai
indikasi.
10.1.4) Timbang berat badan setiap hari.
10.1.5) Anjurkan pada keluarga untuk memberi minum pada
klien / rehidrasi oral.
10.1.6) Kolaborasi :
Pemeriksaan Laboratorium serum elektrolit (Na, K,
Ca, BUN)
Cairan parenteral (IV line) sesuai dengan umur.
10.2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kehilangan cairan melalui diare, masukan yang tidak
adekuat
intervensi:
10.2.1) Kaji pola makan klien
10.2.2) Catat intake dan output makanan secara akurat.
10.2.3) Kaji adanya anoreksia dan diare.
10.2.4) Pastikan anak mendapat makanan dengan diet yang
cukup.
10.2.5) Kolaborasi dengan tim kesehjatan lain :
Terapi gizi : diet TKTP rendah serat, susu, Obatobatan atau vitamin A.

10.3 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena


diare
intervensi:
10.3.1) Ganti popok dengan sering.
10.3.2) Bersihkan bokong perlahan-lahan dengan sabun lunak,
non-alkalin dan air.
10.3.3) Beri salep seperti seng oksida / obat antijamur yang
tepat.
10.3.4) Hindari menggunakan tissue basah yang dijual bebas
yang emngandung alcohol.
10.3.5) Observasi bokong dan perineum akan adanya infeksi
10.4 Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi.
Intervensi:
10.4.1) Beri informasi pada keluarga tentang penyakit anak dan
tindakan terapeutik
10.4.2) Bantu keluarga dalam memberikan rasa nyaman dan
dukungan pada anak.
10.4.3) Izinkan anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam
perawatan anak
10.4.4) Beri penjelasan kepada keluarga tetntang pencegahan
penyakit.
11. Catatan
Perkembangan
12. Referensi

ASKEP PNEUMONIA

RSU.SAWERIGADING
PALOPO

STANDAR ASUHAN
KEPERAWATAN

1. Pengertian

2. Etiologi

3. Manisfestasi klinik
(tanda dan gejala)

NO.DOKUMEN
SAK-RM.00

NO.REVISI
HK.00

TANGGAL TERBIT

DITETAPKAN
DIREKTUR UTAMA:

HALAMA
N

Dr.H.Rusdi, SKM.M.Kes
Nip: 19641231 20000 1 037
Pneumonia adalah peradangan pada alveoli dan parenkim paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme pathogen yaitu virus staphylococcus
auereus, H.influensa dan bakteri streptococcus pneumonia. (Price dan
Wilson, 2005).
Pneumonia adalah infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak dibagi
3 yaitu: pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronchopneumonia),
pneumonia interstisialis.
Penyebab pneumonia berdasarkan umur.
2.1 Pada neonates dan bayi kecil (> 20 hari)
Streptococcus grup B dan bakteri gram negative seperti
E.Coli
Pseudomonas Sp dan klebstella Sp
2.2 Pada bayi yang lebih besar (3 minggu 3 bulan) dan Pada anak
balita (4 bulan 5 tahun)
Streptococcus pneumonia, Haemopillusi influenza type B
dan staphylococcus aureus
Secara umum manifestasi klinik pada pneumonia adalah:
3.1 Gejala infeksi umum yaitu; demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastro intestinal traktus (GIT)
seperti mual, muntah, diare, kdang-kadang ditemukan gejala
infeksi ekstrapulmoner.
3.2 Gejala gangguan respiratori, yaitu: batuk, sesak napas, retraksi
dada, takipnea, napas cuping hidung, merintih dan sianosis. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekk
perkusi, suara napas lemah, dan ronkhi.

4. Patofisiologi

5. Pemeriksaan
Penunjang

Sebagian besar pneumonia didapat melalui aspirasi partikel


infektif. Ada beberapa mekanisma yang pada keadaan normal
melindungi paru dari infeksi. Partikel infeksius difiltrasi di hidung,
atau terperangkap dan dibersihkan oleh mukus dan epitel bersilia di
saluran napas. Bila suatu partikel dapat mencapai paru-paru, partikel
tersebut akan berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga dengan
mekanisme imun sistemik, dan humoral. Bayi pada bulan-bulan
pertama kehidupan juga memiliki antibodi maternal yang didapat
secara pasif yang dapat melindunginya dari pneumokokus dan
organisme-organisme infeksius lainnya. Perubahan pada mekanisme
protektif ini dapat menyebabkan anak mudah mengalami pneumonia
misalnya pada kelainan anatomis kongenital, defisiensi imun didapat
atau kongenital, atau kelainan neurologis yang memudahkan anak
mengalami aspirasi dan perubahan kualitas sekresi mukus atau epitel
saluran napas. Pada anak tanpa faktor-faktor predisposisi tersebut,
partikel infeksius dapat mencapai paru melalui perubahan pada
pertahanan anatomis dan fisiologis yang normal. Ini paling sering
terjadi akibat virus pada saluran napas bagian atas. Virus tersebut dapat
menyebar ke saluran napas bagian bawah dan menyebabkan
pneumonia virus.2
Kemungkinan lain, kerusakan yang disebabkan virus terhadap
mekanisme pertahan yang normal dapat menyebabkan bakteri patogen
menginfeksi saluran napas bagian bawah. Bakteri ini dapat merupakan
organisme yang pada keadaan normal berkolonisasi di saluran napas
atas atau bakteri yang ditransmisikan dari satu orang ke orang lain
melalui penyebaran droplet di udara. Kadang-kadang pneumonia
bakterialis dan virus ( contoh: varisella, campak, rubella, CMV, virus
Epstein-Barr, virus herpes simpleks ) dapat terjadi melalui penyebaran
hematogen baik dari sumber terlokalisir atau bakteremia/ viremia
generalisata.2
Setelah mencapai parenkim paru, bakteri menyebabkan respons
inflamasi akut yang meliputi eksudasi cairan, deposit fibrin, dan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear di alveoli yang diikuti infitrasi
makrofag. Cairan eksudatif di alveoli menyebabkan konsolidasi lobaris
yang khas pada foto toraks. Virus, mikoplasma, dan klamidia
menyebabkan inflamasi dengan dominasi infiltrat mononuklear pada
struktur submukosa dan interstisial. Hal ini menyebabkan lepasnya selsel epitel ke dalam saluran napas, seperti yang terjadi pada
bronkiolitis.

Pemeriksaan penunjang pada pneumonia meliputi:


5.1 Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan predominan

PMN atau dapat ditemukan leucopenia yang menandakan


prognosis buruk. Dapat ditemukan anemia ringan atau sedang.
5.2 Pemeriksaan radiologis memberi gambaran bervariasi:
Bercak konsolidasi merata pada bronkopneumonia
Bercak konsolidasi satu lobus pada pneumonia lobaris
Gambaran bronkopneumonia difus atau infiltrate
interstisialis pada pneumonia stafilokok.
5.3 Pemeriksaan cairan pleura
5.4 Pemeriksaan mikrobiologik, specimen usap tenggorok, sekresi
nasofaring, bilasan bronkus atau sputum, darah, aspirasi trakea,
pungsi pleura atau aspirasi paru.
5.5 Sinar X: mengidentifikasikan distribusi struktural (misal:
lobar,bronchial); dapat juga menyatakan abses
5.6 Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi

6. Ketetapan Penukisan
Standar
7. Kebijakan

8. Asuhan
Keperawatan

9. Tujuan

Setiap klien baru masuk (KBM) atau pindah ruangan maka penulisan
standar asuhan keperawatan dimulai dari awal. (pengkajian catatan
perkembangan).
Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan secara berkesinambungan
selama 24 jam. Diberikan berdasarkan standard an etika profesi
dengan mengutamakan keselamatan dan kebutuhan klien dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan RS.
Diagnose keperawatan pneumonia
8.1 kerusakan pertukaran gas b/d gangguan pengiriman oksigen
8.2 resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran b/d ketidakadekuatan
pertahanan utama
8.3 ketidakefektifan jalan napas b/d pembentukan edema /
penumpukan secret.
8.4 Hipertermi b/d inflamsi pada jaringan parenkim paru.
9.1 kerusakan pertukaran gas b/d gangguan pengiriman oksigen
Tujuan; tidak terjadi kerusakan pertukaran gas dengan criteria
hasil menunjukkan perbaiakn ventilasi dan oksigenasi jaringan
dengan GDA dalam batas normal dan tidak ada gangguan distress
pernapasan, berpatisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan
oksigenasi.
9.2 resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran b/d ketidakadekuatan
pertahanan utama
Tujuan; penyebaran infeksi tidak terjadi dengan criteria hasil
mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi,
mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/ menurunkan resiko

infeksi.
9.3 ketidakefektifan jalan napas b/d pembentukan edema /
penumpukan secret.
Tujuan; bersihan jalan napas kembali efektif dengan criteria hasil
tidak mengalami aspirasi, menunjukkan batuk yang efektif dan
peningkatan pertukaran udara dalam paru.

10. Intervensi

9.4 Hipertermi b/d inflamsi pada jaringan parenkim paru.


Tujuan; suhu tubuh kembali normal.
10.1 kerusakan pertukaran gas b/d gangguan pengiriman
oksigen
intervensi:
10.1.1) kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan bernapas
10.1.2) tinggikan kepala dan dorong sering mengubah
posisi, napas dalam dan batuk efektif.
10.1.3) pertahankan istirahat dan tidur. Anjurkan
menggunakan teknik relaksasi dan aktivitas
senggang.
10.1.4) observasi penyimpangan kondisi, catac hipotensi,
banyaknya jumlah sputum merah muda/berdarah,
pucat, sianosis, perubahan tingkat kesadaran,
dyspneu berat dan gelisah.
10.2 resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran b/d
ketidakadekuatan pertahanan utama
intervensi;
10.2.1) pantau tanda vital dengan ketat khususnya selama
awal terapi
10.2.2) penularan secret (mis; meningkatkan pengeluaran
daipada menelannya) dan melaporkan perubahan
warna, jumlah dan bau secret.
10.2..3) tnjukkan dan dorong teknik mencuci tangan dengan
baik
10.2.5) batasi pengunjung pasien.
10.3 ketidakefektifan jalan napas b/d pembentukan edema /
penumpukan secret.
Intervensi;
10.3.1) kaji frekuensi / kedalaman pernapasan dan gerakan
dada
10.3.2) auskultasi area paru, catat area penurunan / tidak ada
krekel dan mengi.
10.3.3) bantu pasien napas sering, tunjukkan / bantu pasien

mempelajari melakukan batuk mis; menekan dada


dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi.
10.3.4) lakukan section sesuai indikasi.
10.4 Hipertermi b/d inflamsi pada jaringan parenkim paru.
Intervensi;
10.4.1) observasi vital sign; temperature
10.4.2) beri kompres hangat
10.4.3) anjurkan pada keluarga untuk memberi banyak
minum pada anak.
10.4.4) beri penjelasan pada keluarga tentang penyebab
demam
10.4.5) kolaborasi pemberian antipiretik sesuai anjuran
medis.
11. Catatan
Perkembangan
12. Referensi

ASKEP BRONCHOPNEUMONIA
RSU.SAWERIGADING
PALOPO
NO.DOKUMEN
SAK-RM.00
TANGGAL TERBIT
STANDAR ASUHAN
KEPERAWATAN
1. Pengertian

2. Etiologi

3. Manisfestasi
klinik ( tanda
dan gejala)

NO.REVISI
Hk.00
DITETAPKAN
DIREKTUR UTAMA:

HALAMA
N

Dr.H.Rusdi, SKM.M.Kes
Nip: 19641231 20000 1 037
Bronchopneumonia adalah jenis infeksi paru yang disebabkan oleh agen
infeksius dan terdapat didaerah bronchus dan sekitar alveoli.
Bronchopneumonia adalah peradangan alveoli / parenchym paru yang
terjadi pada anak.
Bronchopneumonia dalah suatu peradangan pada paru yang disebabkan
oleh bermacam-macam seperti virus, jamur dan benda asing lainnya yang
terjadi pada anak.
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau
beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak
infiltrate yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Penyebab dari penyakit bronchopneumonia ialah
2.1 bakteri; diplococcus pneumonia,pneumocoocus, streptococcus
Hemoliticus Aureus, Haemopilus Influenza, Basilus
Friendlander (klebsial pneumoni), mycobacterium tuberculosis.
2.2 Virus; Respiratiry sintycal Virus, virus influenza, virus
sitomagalok.
2.3 Jamur; citoplasma capsulatum, criptococcus nepromas,
blastomices dermatidis, cocedirides immitis, arpergillus sp,
candinda albicans,
2.4 Aspirasi benda asing
2.5 Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya penyakit
bronkopneumonia adalah daya tahan tubuh yang menurun
misalnya akibat malnutrisi energy protein (MEP), penyakit
menahun, pengobatan antibiotic yang tidak sempurna.
Manifestasi klinik dari bronchopneumonia adalah:
Sianosis pada mulut dan hidung
Gelisah
Cepat lelah
Sesak napas
Pernapasan cepat dan dangkal
mula-mula batuk kering menjadi batuk produktif
kadang-kadang muntah
diare dan anoreksi

4. Patofisiologi

5. Pemeriksaan
Penunjang

6. Ketetapan
Penukisan
Standar
7. Kebijakan

8. Asuhan
Keperawatan

9. Tujuan

demam.
Pada photo torakx terdapat bercak pada satu lobus atau beberapa
lobus.
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya
disebabkan oleh virus penyeban bronkopnemonia yang masuk
kesaluran pernapasan sehingga terjadi peradangan bronkus dan
alveolus. Inflamasi bronkus ditandai dengan penumpukan secret,
sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual. Bila
penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka komplikasi yang
terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisiema dan atelektasis.
Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas,
sesak napas dan napas ronchi. Fibrosis bias menyebabkan penurunan
fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan sebagai pelumas yang
berfungsi untuk melembabkan rongga pleura. Atelektasis
mengakibatkan peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis
respiratori, pada klien terjadi sianosis, dispnea dan keklelahan yang
akan mengakibatkan terjadinya gagal napas.
Pemeriksaan penunjang pada bronkopneumonia adalah;
5.1 Pengambilan secret secara bronkoscopy dan fungsi paru untuk
preparasi langsung, biakan dan test resistensi dapat
menemukan atau mencari etiologinya, tetapi cara ini jarang
dilakukan karena sukar.
5.2 Secara laboratorik ditemukan leukositosis biasa 15.00040.000/m dengan pergeseran LED meninggi.
5.3 Foto thorax terdapat bercak-bercak infiltrate pada satu atau
beberapa lobus, jika pada pneumonia lobaris terlihat adanya
konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.
Setiap klien baru masuk (KBM) atau pindah ruangan maka penulisan
standar asuhan keperawatan dimulai dari awal. (pengkajian catatan
perkembangan).
Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan secara berkesinambungan
selama 24 jam. Diberikan berdasarkan standard an etika profesi
dengan mengutamakan keselamatan dan kebutuhan klien dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan RS
Diagnose keperawatan:
8.1 Bersihan jalan napas tidak efektif b/d penumpukan secret
8.2 Gangguan pertukaran gas b/d perubahan kapiler alveoli
8.3 Resti pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d intake
nutrisi yang tidak adekuat
8.4 Peningkatan suhu tubuh b/d proses infeksi
8.5 Kurang pengetahuan orang tua tentang perawatan klien b/d
kurang informasi.
9.1 Bersihan jalan napas tidak efektif b/d penumpukan secret
Tujuan; bersihan jalan napas kembali efektif dengan criteria

hasil secret dapat keluar.


9.2 Gangguan pertukaran gas b/d perubahan kapiler alveoli
Tujuan; pertukaran gas kembali normal dengan criteria hasil
klien memperlihatkan perbaikan ventilasi, pertukaran gas
secara optimal oksigenasi jaringan secara adekuat.
9.3 Resti pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d intake nutrisi
yang tidak adekuat
Tujuan; kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan criteria hasil klien
dapat mempertahankan dan meningkatkan pemasukan nutrisi.
9.4 Peningkatan suhu tubuh b/d proses infeksi
Tujuan; tidak terjadi peningkatan suhu tubuh, proses infeksi
tidak tejadi.
9.5 Kurang pengetahuan orang tua tentang perawatan klien b/d
kurang informasi.
Tujuan; pengetahuan orang tua klien tentang proses penyakit
anaknya meningkat setelah dilakukan tindakan keperawatan.
10. Intervensi

10.1

Bersihan jalan napas tidak efektif b/d penumpukan secret


Intervensi;
10.1.1) Monitor status respirasi setiap 2 jam, kaji adanya
peningkatan pernapasan dan bunyi napas bnormal.
10.1.2) Lakukan section sesuai indikasi
10.1.3) Beri terapi oksigen setiap 6 jam.
10.1.4) Ciptakan lingkungan nyaman sehinnga pasien dapat tidur
dengan tenag.
10.1.5) Beri posisi yang nyaman bagi pasien.
10.1.6) Monitor analisa gas darah untuk mengkaji status
pernapasan
10.1.7) Lakukan perkusi dada.
10.1.8) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
terapicairan dan obat-obatan.

10.2

Gangguan pertukaran gas b/d perubahan kapiler alveoli


Intervensi;
10.2.1) Observasi tingkat kesadaran, status pernapasan, tandatanda sianosis
10.2.2) Beri posisi semi fowler
10.2.3) Beri oksigen sesuai program
10.2.4) Monitor AGD
10.2.5) Ciptakan lingkungan yang nyaman
10.2.6) Cegah terjadinya kelelahan.

11. Catatan
Perkembangan
12. Referensi

10.3

Resti pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d intake nutrisi


yang tidak adekuat
10.3.1) Kaji status nutrisi klien
10.3.2) Lakukan pemeriksaan fisik abdomen klien
10.3.3) Timbang BB klien setiap hari
10.3.4) Kaji adanya mual dan muntah
10.3.5) Berikan diet sedikit tapi sering
10.3.6) Berikan makanan dalam keadaan hangat
10.3.7) Kolaborasi dengan tim gizi

10.4

Peningkatan suhu tubuh b/d proses infeksi


Intervensi;
10.4.1) Observasi tanda-tanda vital
10.4.2) Berikan dan libatkan keluarga keluarga untuk
memberikan kompres dengan air pada daerah dahi dan
ketiak.
10.4.3) Libatkan keluarga dalam setiap tindakan
10.4.4) Berikan minum peroral
10.4.5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik

10.5

Kurang pengetahuan orang tua tentang perawatan klien b/d


kurang informasi
Intervensi;
10.5.1) Kaji tingkat pengetahuan klien tentang proses penyakit
anaknya
10.5.2)
Kaji tingkat pendidikan orang tua klien
10.5.3) Bantu orangtua klien untuk mengembangkan rencana
asuhan keperawatan di rumah sakit seperti; diet,
istirahat dan aktivitas yang sesuai.
10.5.4)
Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit klien.

ASKEP DEMAM BERDARAH

RSU.SAWERIGADING
PALOPO
NO.DOKUMEN
SAK-RM.00
TANGGAL TERBIT
STANDAR ASUHAN
KEPERAWATAN
1. Pengertian

NO.REVISI
HK.00
DITETAPKAN
DIREKTUR UTAMA:

HALAMA
N

Dr.H.Rusdi, SKM.M.Kes
Nip: 19641231 20000 1 037
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit infeksi akut yang

disebabkan oleh virus dengue yang masuk kedalam tubuh melalui


gigitan nyamuk.

2. Etiologi
3. Manisfestasi
klinik ( tanda
dan gejala)

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut dengan


cirri-ciri demam manifestasi perdarahan, dan bertendensi
mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian.
Penyebab penyakit demam berdarah dengue adalah melalui vector
nyamuk Aedes Aegypti.
Manifestasi klinik DBD
3.1 demam tinggi 5-7 hari
3.2 perdarahan, terutama perdarahan baewah kulit, ptekie, ekhimosis,
hematoma.
3.3 Epistaksis, hematemesis, melena, hematuria.
3.4 Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.
3.5 Nyeri otot, tulang dan sendi, abdomen dan ulu hati.
3.6 Sakit kepala
3.7 Pembengkakan sekitar mata.
3.8 Pembesaran hati, limfa dan kelenjar getah bening.
3.9 Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, TD
menurun, gelisah, kapilary refile time > 2 dtk, nadi cepat dan
lemah).
WHO,1986 mengidentifikasi DHF menurut derajat penyakitnya
menjadi 4 golongan yaitu:
1. Derajat I; demam disertai gangguan klinis lain tanpa perdarahan
spontan. Panas 2-7 hari, uji tourniquet positif, trombositopenia dan
hemokonsentrasi.
2. Derajat II; sama dengan derajat I ditambah gejala-gejala
perdarahan spontan seperti; ptekie, ekimosis, hematemesis, melena
dan perdarahan gusi.
3. Derajat III; ditandai oleh gangguan kegagalan peredaran darah
seperti; nadi lemah dan cepat (>120x/mnt), TD menurun disertai
kulit yang dingin dan berkeringat.
4. Derajat IV; nadi tidak teraba, TD tidak teratur (denyut jantung
140x/mnt), anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit
tampak biru.

4. Patofisiologi

Virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes


aegypti dan kemudian bereaksi dengan antibody dan terbentuklah
kompleks virus antibody, dalam sirkulasi akan mengaktivasi system
komplemen.(Suriadi dan Yuliani,2001)
Virus dengue masuk kedalanm tubuh melalui gigitan nyamuk dan
infeksi pertama kali menyebabkan demam dengue. Reaksi tubuh

merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi virus. Reaksi yang
amat berbeda akan tampak bila seseorang mendapat infeksi berulang
dengan dengan tipe virus dengue yang berlainan. Dan DHF dapat
terjadi
5. Pemeriksaan
Penunjang
6. Ketetapan
Penukisan
Standar
7. Kebijakan

8. Asuhan
Keperawatan

9. Tujuan

Setiap klien baru masuk (KBM) atau pindah ruangan maka penulisan
standar asuhan keperawatan dimulai dari awal. (pengkajian catatan
perkembangan).
Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan secara berkesinambungan
selama 24 jam. Diberikan berdasarkan standard an etika profesi
dengan mengutamakan keselamatan dan kebutuhan klien dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan RS
Diagnose keperawatan DBD;
8.1 hipertermi b/d proses infeksi virus dengue
8.2 resiko deficit volume cairan b/d pindahnya cairan intravascular ke
ekstravaskular.
8.3 Resiko syok hipovolemik b/d perdarahan yang berlebihan,
pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
8.4 Resiko gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b/d intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan
yang menurun.
9.1 Hipertermi b/d proses infeksi virus dengue
Tujuan; suhu tubuh dalam batas normal dengan criteria hasil
suhu 36-37 C
9.2 resiko deficit volume cairan b/d pindahnya cairan intravascular
ke ekstravaskular.
Tujuan; tidak terjadi deficit volume cairan tubuh dengan criteria
hasil; input dan output seimbang, vital sign dalam batas normal,
tidak ada presyok, akral hangat, capillary refill time < 2 dtk.
9.3 Resiko syok hipovolemik b/d perdarahan yang berlebihan,
pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Tujuan; tidak terjadi syok hipovolemik dengan kreiteria hasil;
tanda vital dalam batas normal.
9.4 Resiko gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b/d intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu
makan yang menurun
Tujuan; tidak terjadi gangguan kebutuhan nutrisi dengan criteria
hasil; nafsu makan baik, tidak ada tanda-tanda malnutrisi,
menunjukkan BB yang seimbang.

10. Intervensi

10.1

Hipertermi b/d proses infeksi virus dengue

Intervensi;
10.1.1) kaji TTV (temperature)
10.1.2) beri kompres air hangat
10.1.3) anjurkan pasien untuk banyak minum
10.1.4) anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang
tipis dan mudah menyerap keringat
10.1.5) observasi intake dan output, TTv tiap 3 jam
10.1.6) kolaborasi pemberian cairan IV dan pemberian obat
sesuai indikasi.
10.2 Resiko deficit volume cairan b/d pindahnya cairan
intravascular ke ekstravaskular.
Intervensi;
10.2.1) awasi vital sign tiap 3 jam sesuai indikasi
10.2.2) observasi capillary refill
10.2.3) observasi intake dan output, catat warna urine,
konsentrasi dan BJ
10.2.4) anjurkan untuk minum banyak sesuai toleransi
10.2.5) kolaborasi pemberian cairan IV.
10.3 Resiko syok hipovolemik b/d perdarahan yang berlebihan,
pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Intervensi;
10.3.1) monitor KU pasien
10.3.2) observasi vital sign tiap 3 jam
10.3.3) jelaskan pada pasien dan keluarga tanda perdarahan,
dan segera laporkan bila terjadi perdarahan
10.3.4) kolaborasi pemberian cairan IV dan pemeriksaan
Laboratorium.

10.4 Resiko gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi yang tidak adekuat akibat
mual dan nafsu makan yang menurun.
Intervensi;
10.4.1) kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai
10.4.2) observasi dan catat masukan makanan.
10.4.3) timbang BB tiap hari
10.4.4) berikan makanan sedikit namun sering
10.4.5) berikan dan bantu oral hygiene
10.4.6) hindari makanan yang merangsang / mengandung gas.
11. Catatan
Perkembangan
12. Referensi

RSU.SAWERIGADING
PALOPO
LOGO
STANDAR ASUHAN
KEPERAWATAN
1. Pengertian

ASKEP KEJANG DEMAM


NO.DOKUMEN

NO.REVISI

TANGGAL TERBIT

DITETAPKAN
DIREKTUR UTAMA:

HALAMA
N

Dr.H.Rusdi, SKM.M.Kes
Nip: 19641231 200003 1
037
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena
peningkatan suhu tubuh yaitu 38C yang sering dijumpai pada anak
dibawah lima tahun.
Kejang demam atau febrile convultion ialah bangkitan yang terjadi
pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38 C) yang disebabkan
oleh proses ekstrakranium (Ngastiyah,1997).

Kejang demam adalah gangguan sementara yang terjadi pada anakanak yang ditandai dengan demam.(Wong,1999)
Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya
terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan
demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau
penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi
berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus
dapat dibedakan dengan epilepsi, yaitu ditandai dengan kejang
berulang tanpa demam (Mansjoer, 2000).
2. Etiologi

3. Manisfestasi
klinik ( tanda
dan gejala)

Menurut Mansjoer,dkk (2000:434), Lumban Tobing (1995:18-19) dan


Whaley dan Wong ( 1995), kejang demam disebabkan oleh;
2.1 Demam itu sendiri
2.2 Efek produk toksik daripada mikroorganisme
2.3 Respon alergik atau keadaan umum yang disebabkan oleh
infeksi.
2.4 Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
2.5 Ensefalitis virat (radang otak akibat virus) yang ringan yanmg
tidak diketahui ensefalopati toksik sepintas.
Kebanyakan kejang demam berlangsung singkat, bilateral, serangan
berupa klonik atau tonik-klonik. Umumnya kejang berhenti sendiri.
Begitu kejang berhunti anak tidak memberi respon apapun untuk
sejenak, tetapi setelah beberapa detik/menit anak terbangun dan sadar
kembali tanpa adanya kelaianan saraf. Kejang demam dapat
betlansung lama dan atau partial. Pada kejang yang unilateral kadangkadang diikuti ileh hemiplegic sementara yang berlangsung beberapa
jam atau beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh
hemiplegic yang menetap. Kejang demam terkait dengan kenaiakn
suhu yang tinggi dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai
39 C atau lebih ditandai dengan adanya kejang khas menyeluruh tonikklonik lama beberapa detik sampai 10 menit. Kejang demam yang
menetap > 25 menit menunjukkan perubahan organic seperti proses
infeksi atau toksik. Selain itu juga dapat terjadi mata terbalik keatas
dengan disertai kekakuan dan kelemahan serta gerakan sentakan
berulang.

4. Patofisiologi
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran. Dalam keadaan
normal membran sel neuron dapat dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion lain, kecuali
ion clorida. Akibatnya konsentrasi natrium menurun sedangkan di luar

sel neuron terjadi keadaan sebaliknya.

Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel


maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran
dan ini dapat dirubah dengan adanya :
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit
atau keturunan.

Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan


keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi,
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel tetangganya sehingga terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung
dari tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Pada anak dengan
ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38 C, sedang
pada ambang kejang tinggi baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih
5. Pemeriksaan
Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan


kejang demam yaitu;
5.1 EEG
Pemeriksaan EEG dibuat setelah 10-14 hari bebas panas dan
tidak menunjukkan kelainan likour. Gelombang EEG lambat
didaerah belakang dan unilateral menunjukkan kejang demam
kompleks.
5.2 Lumbal Pungsi
Tes ini untuk memperoleh cairan cerebrospinal dan untuk
mengetahui keadaan lintas likour. Tes dapat mendeteksi
penyebab kejang demam atau kejang karena infeksi pada otak.
5.3 Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan DR, kadar
elektrolit, kalsium, fosfor, magnesium atau gula darah. Tidak
rutin dilakukan pada kejang pertama.

6. Ketetapan
Penukisan
Standar
7. Kebijakan

8. Asuhan
Keperawatan

9. Tujuan

5.4 Neuroimaging, yang termasuk dalam neuroimaging adalah CTScan dan MRI kepala.
Setiap klien baru masuk (KBM) atau pindah ruangan maka penulisan
standar asuhan keperawatan dimulai dari awal. (pengkajian catatan
perkembangan).
Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan secara berkesinambungan
selama 24 jam. Diberikan berdasarkan standard an etika profesi
dengan mengutamakan keselamatan dan kebutuhan klien dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan RS
Diagnose keperawatan
8.1 Resiko tinggi trauma / cedera b/d kelemahan, perubahan
kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
8.2 Resiko tinggi terhadap inefektifnya jalan napas b/d kerusakan
neuromuscular
8.3 Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
8.4 Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi
9.1 resiko tinggi trauma / cedera b/d kelemahan, perubahan
kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
Tujuan; cedera atau trauma tidak terjadi dengan criteria factor
penyebab diketahui, mempertahankan aturan pengobatan,
meningkatkan keamanan lingkungan.
9.2 Resiko tinggi terhadap inefektifnya jalan napas b/d kerusakan
neuromuscular
Tujuan; inefektifnya jalan napas tidak terjadi dengan criteria
jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler, sekresi
mukosa tidak ada, RR dalam batas normal.
9.3 Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
Tujuan; aktivitas kejang tidak berulang dengan criteria kejang
dapat dikontrol dan suhu tubuh kembali normal.

10. Intervensi

9.4 Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi


Tujuan; pengetahuan keluarga meningkat dengan criteria
keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam,
keluarga tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan
kondisi klien.
10.1 Resiko tinggi trauma / cedera b/d kelemahan, perubahan
kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
Intervensi;
10.1.1) Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus
kejang.
10.1.2) Observasi keadaan umum sebelum, selam, daN
sesudah kejang
10.1.3) Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali
terjadi.

10.1.4)
10.1.5)
10.1.6)
10.1.7)

Lakukan penilaian neurologi, tanda-tanda vital


sesudah kejang.
Lindungi klien dari trauma / kejang.
Berikan kenyaman bagi klien
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
anti convulsan.

10.2 Resiko tinggi terhadap inefektifnya jalan napas b/d


kerusakan neuromuscular
Intervensi;
10.2.1) Observasi TTV
10.2.2) Atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler
10.2.3) Lakukan penghisapan lender / section
10.2.4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
10.3 Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
Intervensi;
10.3.1) Kaji factor penyebab kejang
10.3.2) Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada
klien
10.3.4) Observasi TTV
10.3.5) Lindungi anak dari trauma
10.3.6) Berikan kompres dingin pada daerah dahi dan ketiak
bila demam.
10.4 Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi
Intervensi;
10.4.1) Kaji tingkat pendidikan keluarga klien
10.4.2) Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien
10.4.3) Jelaskan pada keluarga tetntang penyebab kejang
demam melalui penkes
10.4.4) Beri kesempatan pada keluarga klien untuk bertaya
apa yang belum dimengerti.
11. Catatan
Perkembangan
12. Referensi

RSU.SAWERIGADING
PALOPO
LOGO

ASKEP SINDROM NEFROTIK


NO.DOKUMEN

NO.REVISI

TANGGAL TERBIT

DITETAPKAN
DIREKTUR UTAMA:

STANDAR ASUHAN
KEPERAWATAN
1. Pengertian

HALAMA
N

Dr.H.Rusdi, SKM.M.Kes
Nip: 19641231 200003 1
037
Sindrom nefrotik merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan
proteinuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan adanya
edema. Kadang kadang disertai hematuri, hipertensi dan
menurunnya kecepatan filtrasi glomerulus. Sebab pasti belum
jelas, dianggap sebagai suatu penyakit autoimun.
Sindrom Nefrotik adalah kelainan pada sistem perkemihan/urinary
yang ditandai dengan adanya peningkatan protein dalam urine
(proteinuria), penurunan albumin dalam darah, dan adanya
edema.

2. Etiologi
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhirakhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi Sindrom
Nefrotik adalah kelainan pada sistem perkemihan/urinary yang
ditandai dengan adanya peningkatan protein dalam urine
(proteinuria), penurunan albumin dalam darah, dan adanya
edema.
merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli
membagi etiologinya menjadi:
a.

Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.


Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis
ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa
dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun
tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal
dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
b. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh:

1) Malaria kuartana atau parasit lain.


2) Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura
anafilaktoid.
3) Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena
renalis.
4) Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam
emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.
5) Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membran oproliferatif hipokomplementemik.
c.

Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )

Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan


pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk
membagi dalam 4 golongan yaitu: kelainan minimal,nefropati
membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan
glomerulosklerosis fokal segmental.
3. Manisfestasi
klinik ( tanda
dan gejala)

Manifestasi klinis yang menyertai sindrom nefrotik menurut


Ngastiyah, 2005 antara lain;
3.1 proteinuria
3.2 edema
biasanya edema bervariasi dari bentuk ringan sampai berat
( anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan
(pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata
(periorbital)dan berlanjut ke abdomen daerah genetalia dan
ektremitas bawah.
3.3 Hematuria
3.4 Penurunan jumlah urine, urine gelap dan berbusa.
3.5 anoreksia
3.6 diare
3.7 pucat
3.8 gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang).

4. Patofisiologi
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan
berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan
terjadi proteinuria. Lanjutan dari proteinuria menyebabkan
hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, tekanan osmotik
plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke

dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume


cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah
aliran darah ke renal karena hypovolemi.
Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan
kompensasi dengan merangsang produksi renin angiotensin dan
peningkatan sekresi anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi
aldosteron yang kemudian terjadi retensi kalium dan air. Dengan
retensi natrium dan air akan menyebabkan edema.
Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum
akibat dari peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena
penurunan plasma albumin dan penurunan onkotik plasma
Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya
produksi lipopprtein dalam hati yang timbul oleh karena
kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak dalam urin
(lipiduria)
Menurunya respon imun karena sel imun tertekan,
kemungkinan disebabkan oleh karena hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, atau defesiensi seng. (Suriadi dan Rita yuliani,
2001 :217)

5. Pemeriksaan
Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada sindrom nefrotik menurut Betz, Cecily


L, 2002:
5.1 uji urine
5.1.1) protein urin: > 3,5 g/dl m2 luas permukaan tubuh /hari
5.1.2) urinalisa : cast hialin dan granular, hematuria.
5.1.3) dipstick urin : positif untuk protein dan darah
5.1.4) berat jenis urin meningkat (normal:285mOsmol).
5.2 uji darah
5.2.1) albumin serum ; <3 gr/dl
5.2.2) kolesterol serum ; meningkat
5.2.3) hemoglobin dan hematokrit : meningkat
(hemokonsentrasi)
5.2.4) laju endapan darah (LED) : meningkat
5.2.5) elektrolit serum : bervariasi dengan keadaan perorangan
5.3 uji diagnostic

6. Ketetapan
Penukisan
Standar
7. Kebijakan

8. Asuhan
Keperawatan

9. Tujuan

5.3.1) rontgen dada bias menunjukkan adanya cairan yang


berlebihan
5.3.2) USG ginjal dan CT Scan ginjal atau IVP menunjukkan
pengkisutan ginjal
5.3.3) biopsy ginjal bias menunjukkan salah satu bentuk
glomerulonefritis kronis atau pembentukan jaringan parut
yang tidak spesifik pada glomeruli.
Setiap klien baru masuk (KBM) atau pindah ruangan maka penulisan
standar asuhan keperawatan dimulai dari awal. (pengkajian
catatan perkembangan).
Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan secara berkesinambungan
selama 24 jam. Diberikan berdasarkan standard an etika profesi
dengan mengutamakan keselamatan dan kebutuhan klien dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan RS
Daignosa keperawatan
8.1 resiko kelebihan volume cairan b/d retensi air dan natrium
8.2 resiko tinggi kekurangan volume cairan (intravaskuler) b/d
kehilangan protein.
8.3 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia
8.4 Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b/d edema dan
menurunnya sirkulasi
9.1 resiko kelebihan volume cairan b/d retensi air dan natrium
tujuan; resiko kelebihan volume cairan tidak terjadi dengan
kriteri anak mendapatkan cairan yang tidak lebih dari yang
ditentukan.
9.2 resiko tinggi kekurangan volume cairan (intravaskuler) b/d
kehilangan protein.
Tujuan; bukti kehilangan volume cairan intravaskuler atau syok
hipovolemik yang ditunjukkan pasien minimum atau tidak ada.
9.3 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia
Tujuan; klien mendapatkan nutrisi optimal dengan criteria anak
mengkonsumsi makanan bernutrisi dan adekuat.
9.4 Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b/d edema dan
menurunnya sirkulasi
Tujuan; klien bias mempertahankan integritas kulit dengan
criteria kulit anak tisdak menunjukkan kemerahan dan iritasi.

10. Intervensi
10.1

resiko kelebihan volume cairan b/d retensi air dan natrium


intervensi;
10.1.1) catat masukan dan pengeluaran cairan (intake dan
output cairan dan elektrolit) setiap pergantian.

10.1.2)
10.1.3)
10.1.4)
10.1.5)

timbang BB setiap hari


ukur dan catat ukuran lilitan abdomen
monitor TD
kolaborasi pemberian antidiuretik

10.2

resiko tinggi kekurangan volume cairan (intravaskuler)


b/d kehilangan protein.
10.2.1) pantau TTV
10.2.2) monitor intake dan output
10.2.3) kaji membrane mukosa mulut dan elastisitas turgor
kulit
10.2.4) kaji pengisian kembali kapiler (capillary refill time).

10.3

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia


Intervensi;
10.3.1) beri makanan sedikit tapi sering
10.3.2) beri makanan yang disukai anak dan dengan cara
yang menarik merangsang nafsu makan anak
sehingga anak mau makan sesuai dengan diit yang
ditentukan.
10.3.3) beri perawatan mulut atau gliserida
10.3.4) puji anak atas apa yang mereka makan
10.3.5) libatkan keluarga dalam pemenuhan nutrisi klien.

10.4

Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b/d edema dan


menurunnya sirkulasi
Intervensi;
10.4.1) atur d rubah posisi setiap 2 ajm atau sesuai kondisi
10.4.2) pertahankan kebersihan tubuh anak setiap hari dan
pengalas tempat tidur
10.4.3) gunakan lotion bila kulit kering
10.4.4) kaji area kulit; kemerahan, tenderness, lecet.
10.4.5) hindari pakaian yang ketat
10.4.6) lakukan aktivitas fisik sesuai kondisi dari anak.

11. Catatan
Perkembangan
12. Referensi

RSU.SAWERIGADING
PALOPO
LOGO
STANDAR ASUHAN
KEPERAWATAN
1. Pengertian
2. Etiologi

ASKEP TUBERCULOSIS
NO.DOKUMEN

NO.REVISI

TANGGAL TERBIT

DITETAPKAN
DIREKTUR UTAMA:

HALAMA
N

Dr.H.Rusdi, SKM.M.Kes
Nip: 19641231 200003 1
037
Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan
oleh mycobacterium tuberculosis, yaitu suatu bakteri tahan
bakteri tahan asam (Suriadi dan Rita Yuliani,2001)
Penyebab dari Tuberculosis adalah;
2.1 mycobacterium tuberculosis
2.2 mycobacterium bovis
factor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi
mycobacterium tuberculosis adalah:
a
herediter; resistensi seseorang terhadap infeksi
kemungkinan ditemukan secara genetic
b
jenis kelamin; pada akhir masa kanak-kanak dan remaja
angka kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada
anak perempuan
c
usia; usia bayi kemungkinan terinfeksi lebih tinggi
d
pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan
yang cepat, kemungkinan infeksi cukup tinggi karena diit
yang tidak adekuat.
e
Keadaan stress, situasi yang penuh stress ( injuri / penyakit,
kurang nutrisi, stress emosional, kelelahan yang kronik).
f
Anak yang mendapatkan terapi kortikosteroid
kemungkinan terinfeksi lebih mudah
g
Nutrisi yang kurang
h
Infeksi berulang; HIV, measles, pertusis
i
Tidak mematuhi aturan pengobatan.

3. Manisfestasi
klinik ( tanda
dan gejala)

Tanda dan gejala tuberculosis:


3.1 dema, malaise, anoreksia, BB menurun, kadang-kadang batuk
(batuk selalu ada, menurun sejalan lamanya penyakit), nyeri dada
dan hemoptisis.
3.2 Gejala lanjut ( jaringan paru sudah banyak yang rusak), pucat,
anemia, lemah, BB menurun.

3.3 Permulaan tuberculosis primer biasanya sukar diketahui secara


klinis karena mulainya penyakit secara perlahan. Kadang
tuberculosis ditemukan pada anak tanpa gejala atau keluhan,
tetapin secara rutin dengan uji tuberculin dapat ditemukan
penyakit tersebut. Gejala tuberculosis primer dapat berupa demam
yang naik turun selama 1-2 minggu dengan batuk, anoreksia dan
BB menurun.
4. Patofisiologi
5. Pemeriksaan
Penunjang

6. Ketetapan
Penukisan
Standar
7. Kebijakan

8. Asuhan
Keperawatan

9. Tujuan

Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan TB adalah;


5.1 pemeriksaan fisik
5.2 riwayat penyakit; riwayat kontak dengan individu yang terinfeksi
penyakit
5.3 reaksi terhadap test tuberculin; reaksi test positif (diameter 5mm)
mennjukkan adanya infeksi primer.
5.4 Radiologi; terdapat kompleks primer dengan atau tanpa
perkapuran, pembesaran kelenjar paratrakeal, penyebaran milier,
atelektasis, pleuritis dengan efusi cairan asites).
5.5 Kultur sputum; kultur bilasan lambung atau sputum, cairan
pleura, urine, cairan cerebrospinal, cairan nodus limfe ditemukan
basil tuberculosis.
5.6 Patologi anatomi; dilakukan pada kelenjar getah bening, hepar,
pleura, peritoneum, kulit ditemukan tuberkel dan basil tahan basa.
5.7 Uji BCG; reksi positif jika setelah m,endapatkan suntukan BCG
langsung terdapat reaksi local yang besar dalam waktu kurang
dari 7 hari setelah penyuntikan.
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b/d edema dan menurunnya
sirkulasi
Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan secara berkesinambungan
selama 24 jam. Diberikan berdasarkan standard an etika profesi
dengan mengutamakan keselamatan dan kebutuhan klien dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan RS
Diagnose keperawatan
8.1 gangguan pertukaran gas b/d kerusakan jaringan paru.
8.2 Tidak efektifnya jalan napas b/d adanya secret
8.3 Perubahan nutrisi kurang dari tubuh b/d anoreksia
8.4 Resiko tinggi penularan infeksi b/d
9.1 gangguan pertukaran gas b/d kerusakan jaringan paru.
Tujuan; pertukaran gas menjadi adekuat dengan criteria anak akan
mengalami pengurangan batuk
9.2 Tidak efektifnya jalan napas b/d adanya secret
Tujuan; pola napas menjadi efektif dengan criteria anak
menunjukkan fungsi pernapasan normal dan pernapasan tidak
sulit.

10. Intervensi

9.3 Perubahan nutrisi kurang dari tubuh b/d anoreksia


Tujuan; klien menunjukkan peningkatan status gizi dan BB
meningkat.
9.4 Resiko tinggi penularan infeksi b/d
Tujuan; tidak terjadi penularan infeksi
10.1 gangguan pertukaran gas b/d kerusakan jaringan paru.
Intervensi;
10.1.1) Monitor TTV
10.1.2) Observasi adanya sianosis pada mulut
10.1.3) Kaji irama, kedalaman dan ekspansi pernapasan.
10.1.4) Lakukan auskultasi jalan napas dan catat adanya
suara abnormal (ronchi, weezing).
10.1.5) Ajarkan cara napas efektif
10.1.6) Berikan O2 sesuai indikasi
10.2 Tidak efektifnya jalan napas b/d adanya secret
Intervensi;
10.2.1) Kaji ulang status irama, kedalaman, suara napas
dan pengguanaan otot bantu pernapasan (bernapas
melalui mulut)
10.2.2) Obsevasi TTv
10.2.3) Berikan posisi tidur semifowler / fowler
10.2.4) Anjurkan anak untuk minum air hangat yang
banyak
10.2.5) Kolaborasi pemberian obat bronchodilator,
antikolinergik dan anti peradangan.
10.3 Perubahan nutrisi kurang dari tubuh b/d anoreksia
Intervensi;
10.3.1) kaji ketidakmampuan anak untuk makan
10.3.2) Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.
10.3.3) Sajikan makanan yang dapat menimbulkan selera
makan.
10.3.4) Beri makanan TKTP
10.3.4) Kolaborasi untuk pemberian nutrisi parenteral jika
kebutuhan nutrisi melalui oral tidak mencukupi
kebutuhan gizi anak.
10.4 Resiko tinggi penularan infeksi b/d kontak yang berulang
kali.
Intervensi;
10.4.1) Identifikasi orang-orang yang beresiko untuk
terjadinya infeksi seperti anggota keluarga.
10.4.2) Anjurkan klien menutup mulut setiap kali bicara
atau batuk
10.4.3 ) Gunakan masker setiap melakukan tindakan.

10.4.5)
10.4.6)

Monitor temperature suhu


Monitor sputum BTA klien dengan 3x
pemeriksaan BTA negative, terapi diteruskan
sampai batas yang ditentukan.
10.4.7) Kolaborasi dalam pemberian terapi obat untuk
anak.
11. Catatan
Perkembangan
12. Referensi

RSU.SAWERIGADING
PALOPO
LOGO
STANDAR ASUHAN
KEPERAWATAN
1. Pengertian

2. Etiologi

3. Manisfestasi
klinik ( tanda
dan gejala)

ASKEP DEMAM THYPOID


NO.DOKUMEN

NO.REVISI

TANGGAL TERBIT

DITETAPKAN
DIREKTUR UTAMA:

HALAMA
N

Dr.H.Rusdi, SKM.M.Kes
Nip: 19641231 200003 1
037
Typoid fever / demam typoid atau thypus abdominalis merupakan
penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu
minggu atau lebih disaertai gangguan pada saluran pencernaan
dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.Penularan penyakit ini
hamper selalu terjadi dari makanan dan minuman yang
terkontaminasi.
Demam typoid adlah penyaki tmenular yang bersifat akut yang
ditandai dengan bakteremia atau perubahan pada system
retikuloendoterial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses
dan ulserasi nodu peyer distal ileum.
Penyebab penyakit ini adalah Salmonella Typhosa, basil gram
negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora.
Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu: antigen
O (somatic, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida), antigen H
(flagella), antigen Vi, protein membrane hialin.
Gambaran klinik yang biasa yang biasa ditemukan adalah:
1. Demam
Demam berlangsung 3 minggu, bersifat febris remiten dan
suhu tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh

4. Patofisiologi

5. Pemeriksaan
Penunjang

berangsur-angsur setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari


dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu
kedua pasien terus berada dalam keadaan demam; pada
minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali pada
akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat napas berbau tidak sedap, bibir kering
dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor
(coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai
tremor. Pada abdomen dapst ditemukan perut kembung
(meteorismus). Hati dan limfa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga dapat
diare atau normal.
3. Gangguan kesadaran
Gangguan kesadaran seperti apatis sampai somnolen. Jarang
terjadi spoor, koma atau gelisah (kecuali penyakitnya berat
dan terlambatnya mendapatkan pengobatan). Terdapat juga
gejala lain seperti pada punggung dan dan anggota gerak
dapat ditemukan roseola, yaitu bintik-bintik kemerahan
karena emboli basil dalam kapiler kulit, yang dapat ditemukan
pada minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan
bradikardi dan epistaksis pada anak besar.
Infeksi terjadi pada saluran pencernaaan. Basil diserap di usus halus.
Melalui pembuluh limfe halus masuk ke dalam peredaran darah
sampai diorgan-organ terutama hati dan limfa. Basil yang tidak
dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limfa sehingga
organ-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan.
Kemudian basil masuk kembali kedalam darah (bakteremia) dan
menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam kedalam kelenjar
limfoid usus halus; menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada
mukosa diatas plak peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan
perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh
endotoksin, sedangkan gejala pada saluran pencernaan
disebabkan oleh kelainan pada usus.
Pemeriksaan laboratorium:
a

Darah tepi
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan leucopenia,
limfositosis negative, aneosinofilia. Mungkin terdapat anemia
dan trombositopenia ringan.
Darah untuk kultur (biakan empedu) dan Widal
Biakan empedu untuk menemukan salmonella typhosa.
Pemeriksaan widal untuk menentukan diagnose tifus
abdominalis secara pasti. Dari pemeriksaan widal, titer
antibody terhadap antigen O yang bernilai 1/200 atau

6. Ketetapan
Penukisan
Standar
7. Kebijakan

8. Asuhan
Keperawatan

9. Tujuan

peningkatan 4 kali antara masa akut dan konvalesens


mengarah pada demam tifoid.
Setiap klien baru masuk (KBM) atau pindah ruangan maka penulisan
standar asuhan keperawatan dimulai dari awal. (pengkajian
catatan perkembangan).
Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan secara berkesinambungan
selama 24 jam. Diberikan berdasarkan standard an etika profesi
dengan mengutamakan keselamatan dan kebutuhan klien dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan RS
Diagnose Keperawatan
8.1 Hipertermi b/d proses infeksi
8.2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d tidak
ada nafsu makan, mual, dan kembung.
8.3 Resiko tinggi kurang cairan b/d pemasukan cairan kurang,
kehilangan cairan berlebihan melalui muntah dan diare.
8.4 Konstipasi b/d invasi salmonella pada mukosa intestinal.
8.5 Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) b/d adanya
salmonella pada tinja dan urine.
9.1 Hipertermi b/d proses infeksi
Tujuan : mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal.
9.2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d tidak
ada nafsu makan, mual, dan kembung.
Tujuan : kebutuhan nutrisi kembali terpenuhi dengan
criteria, nafsu makan baik, tidak mual dan tidak kembung.
9.3 Resiko tinggi kurang cairan b/d pemasukan cairan kurang,
kehilangan cairan berlebihan melalui muntah dan diare.
Tujuan : tidak terjadi kekurangan cairan / kebutuhan
cairan terpenuhi dengan criteria tidak muntah dan diare.
9.4 Konstipasi b/d invasi salmonella pada mukosa intestinal.
Tujuan : tidak terjadi konstipasi.
9.5 Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) b/d adanya
salmonella pada tinja dan urine.
Tujuan: resiko infeksi tidak terjadi dengan criteria tidak
ada kontak pada urin dan tinja pasien.

10. Intervensi
10.1
Hipertermi b/d proses infeksi
Intervensi :
10.1.1 monitor TTV
10.1.2 monitor tanda-tanda infeksi
10.1.3 monitor komplikasi neurologis akibat demam
10.1.4 kompres air biasa
10.1.5 berikan air minum yang cukup
10.1.6 lakukan tepid sponge (seka)
10.1.7 berikan suhu lingkungan yang nyaman bagi

pasien. Kenakan pakaian yang tipis dan


menyerap kringat.
10.1.8 Atur cairan IV sesuai order atau anjurkan
intake cairan yang adekuat.
10.1.9 Kolaborasi pemberian antipiretik.
10.2
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
tidak ada nafsu makan, mual, dan kembung.
Intervensi:
10.2.1 kaji status nutrisi anak
10.2.2 monitor intake dan output
10.2.3 timbang BB setiap hari pada waktu yang sama
dan skala yang sama.
10.2.4 Berikan makanan yang disertai dengan
suplemem nutrisi untuk meningkatkan kualitas
intake nutrisi
10.2.5 Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan
makanan dengan teknik porsi kecil tapi sering
10.2.6 Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui
parenteral jika pemberian makanan melalui
oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak.
10.3
Resiko tinggi kurang cairan b/d pemasukan cairan
kurang, kehilangan cairan berlebihan melalui muntah
dan diare.
Intervensi:
10.3.1 observasi TTV (suhu tubuh) tiap 4 jam
10.3.2 monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan
cairan: turgor tidak elastic, ubun-ubun cekung,
produksi urin menurun, membrane mukosa
kering, bibir pecah-pecah.
10.3.3 Timbang BB setiap hari pada waktu yang sama
dan skala yang sama.
10.3.4 Monitor pemberian cairan melalui intavena
setiap jam.
10.4
Konstipasi b/d invasi salmonella pada mukosa
intestinal.
Intervensi:
10.4.1 observasi faeces
10.4.2 monitor tanda-tanda perforasi dan perdarahan.
10.4.3 Cek dan cegah terjadinya distensi abdominal
10.4.4 Anjurkan pasien banyak minum air putih
10.4.5 Atur pemberian enema rendah atau gliserin
sesuai order, jangan beri laksatif.
10.5
Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) b/d adanya
salmonella pada tinja dan urine.
Intervensi:

10.5.1 kumpulkan darah, urin dan faeces untuk


pemeriksaan sesuai turan.
10.5.2 Pertahankan enteric precaution sampai 3 kali
pemeriksaan faeces negative terhadap s.thypi
10.5.3 Anjurkan pasien dan kelurga mencuci tangan,
menjaga kebersihan diri, dan kebutuhan
makanan dan minuman.
10.5.4 Cegah pasien terpapar dengan pengunjung
terinfeksi atau petugas, batasi pengunjung.
11. Catatan
Perkembangan

S:
O:
A:
P:

12. Referensi

RSU.SAWERIGADING
PALOPO

STANDAR ASUHAN
KEPERAWATAN

ASKEP GASTRITIS
NO.DOKUMEN

NO.REVISI

TANGGAL TERBIT

DITETAPKAN
DIREKTUR UTAMA:

HALAMA
N

Dr.H.Rusdi, SKM.M.Kes
Nip: 19641231 200003 1
037

1. Pengertian
Gastritis adalah inflamasi dari dinding lambung terutama pada mukosa
gaster.
Gastritis suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang akut
dengan kerusakan kerusakan erosi.
Gastritis adalah Suatu peradangan pada mucosa lambung yang dpt
bersifat akut, kronik atau lokal.
2. Etiologi
3. Manisfestasi

Tanda dan gejala dari penyakit gastritis adalah:

klinik ( tanda
dan gejala)
1. Mual
2. Sebagian penderita bisa muntah darah
3. Nyeri epigastrium
4. Nausea
5. Muntah dan cegukan
6. Sakit kepala
Gastritis akut

Nyeri epigastrium, mual, kembung muntah

Dpt ditemukan hematemesis dan melena.

Gastritis kronis
Kebanyakan tdk mempunyai keluhan, hanya sebagian mengeluh nyeri
ulu hati, anoreksia, nausea
4. Patofisiologi

4.1 Gastritis Akut


Gastritis akut dapat disebabkan oleh karena stres, zat kimia
misalnya obat-obatan dan alkohol, makanan yang pedas, panas
maupun asam. Pada para yang mengalami stres akan terjadi
perangsangan saraf simpatis NV (Nervus vagus) yang akan
meningkatkan produksi asam klorida (HCl) di dalam lambung.
Adanya HCl yang berada di dalam lambung akan menimbulkan
rasa mual, muntah dan anoreksia.
Zat kimia maupun makanan yang merangsang akan menyebabkan
sel epitel kolumner, yang berfungsi untuk menghasilkan mukus,
mengurangi produksinya. Sedangkan mukus itu fungsinya untuk
memproteksi mukosa lambung agar tidak ikut tercerna. Respon
mukosa lambung karena penurunan sekresi mukus bervariasi
diantaranya vasodilatasi sel mukosa gaster. Lapisan mukosa
gaster terdapat sel yang memproduksi HCl (terutama daerah
fundus) dan pembuluh darah. Vasodilatasi mukosa gaster akan
menyebabkan produksi HCl meningkat. Anoreksia juga dapat
menyebabkan rasa nyeri. Rasa nyeri ini ditimbulkan oleh karena

kontak HCl dengan mukosa gaster. Respon mukosa lambung


akibat penurunan sekresi mukus dapat berupa eksfeliasi
(pengelupasan). Eksfeliasi sel mukosa gaster akan mengakibatkan
erosi pada sel mukosa. Hilangnya sel mukosa akibat erosi memicu
timbulnya perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat mengancam
hidup penderita, namun dapat juga berhenti sendiri karena proses
regenerasi, sehingga erosi menghilang dalam waktu 24-48 jam
setelah perdarahan.
4.2 Gastritis Kronis
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif. Organisme
ini menyerang sel permukaan gaster, memperberat timbulnya
desquamasi sel dan muncullah respon radang kronis pada gaster
yaitu: destruksi kelenjar dan metaplasia. Metaplasia adalah salah
satu mekanisme pertahanan tubuh terhadap iritasi, yaitu dengan
mengganti sel mukosa gaster, misalnya dengan sel desquamosa
yang lebih kuat. Karena sel desquamosa lebih kuat maka
elastisitasnya juga berkurang. Pada saat mencerna makanan,
lambung melakukan gerakan peristaltik tetapi karena sel
penggantinya tidak elastis maka akan timbul kekakuan yang pada
akhirnya menimbulkan rasa nyeri. Metaplasia ini juga
menyebabkan hilangnya sel mukosa pada lapisan lambung,
sehingga akan menyebabkan kerusakan pembuluh darah lapisan
mukosa. Kerusakan pembuluh darah ini akan menimbulkan
perdarahan (Price, Sylvia dan Wilson, Lorraine, 1999: 162).
5. Pemeriksaan
Penunjang
6. Ketetapan
Penukisan
Standar
7. Kebijakan
8. Asuhan
Keperawatan
9. Tujuan
10. Intervensi
11. Catatan
Perkembangan
12. Referensi

RSU.SAWERIGADING
PALOPO
LOGO

ASKEP ANEMIA
NO.DOKUMEN

NO.REVISI

TANGGAL TERBIT

DITETAPKAN
DIREKTUR UTAMA:

STANDAR ASUHAN
KEPERAWATAN

HALAMA
N

Dr.H.Rusdi, SKM.M.Kes
Nip: 19641231 200003 1
037

1. Pengertian
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan atau hitung
eritrosit lebih rendah dari normal. Anemia adalah berkurangnya
jumlah eritrosit serta jumlah Hb dalam 1mm3 darah atau
berkurangnya volume sel yang didapatkan (packed red cells
volume) dalam 100 ml darah. (Ngastiyah.1997).
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan
komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya nutrisi yang
dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah, yang
mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah
(Doenges,1999).
Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel
darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah
normal (Smeltzer, 2002 : 935).
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah
merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells
(hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256).
2. Etiologi
Penyebab tersering dari anemia adalah kekurangan zat gizi yang
diperlukan untuk sintesis eritrosit, antara lain besi, vitamin B12
dan asam folat. Selebihnya merupakan akibat dari beragam
kondisi seperti perdarahan, kelainan genetik, penyakit kronik,
keracunan obat, dan sebagainya. Penyebab umum dari anemia
adalah;
1. Perdarahan hebat

2. Akut (mendadak)
3. Kecelakaan
4. Pembedahan
5. Persalinan
6. Pecah pembuluh darah
7. Penyakit Kronik (menahun)
8. Perdarahan hidung
9. Wasir (hemoroid)
10. ulkus peptikum
11. kanker atau polip disaluran pencernaan
12. tumor ginjal atau kandung kemih
13. perdarahan menstruasi yang sangat banyak
14. berkurangnya pembentukan sel darah merah.
15. kekurangan zat besi, B12, asam folat dan vit.C
16. pembesaran limfa
17. kerusakan mekanik pada sel; darah merah.
18. reaksi autoimun terhadap sel darah merah.
19. hemoglobinuria nocturnal paroksismal
20.Sferositosis herediter
21. Elliptositosis herediter
22. Kekurangan G6PD
23. Penyakit sel sabit
24. Penyakit hemoglobin C
25.Penyakit hemoglobin S-C
26. Penyakit hemoglobin E
27. Thalasemia
3. Manisfestasi
klinik ( tanda
dan gejala)

3.1 Tanda-tanda umum anemia:


a) Pucat
b) takicardi
c) bising sistolik anorganik,
d) bising karotis
e) pembesaran jantung.
3.2 Manifestasi khusus pada anemia:
a) Anemia aplastik: ptekie, ekimosis, epistaksis, ulserasi
oral, infeksi bakteri, demam, anemis, pucat, lelah,
takikardi.
b) Anemia defisiensi: konjungtiva pucat (Hb 6-10 gr/dl),
telapak tangan pucat (Hb < 8 gr/dl), iritabilitas, anoreksia,
takikardi, murmur sistolik, letargi, tidur meningkat,
kehilangan minat bermain atau aktivitas bermain. Anak
tampak lemas, sering berdebar-debar, lekas lelah, pucat,
sakit kepala, anak tak tampak sakit, tampak pucat pada

mukosa bibir, telapak tangan dan kuku. Jantung agak


membeasat dan terdengar bising sistolik yang fungsional.
c) Anemia aplastik : ikterus, hepatosplenomegali.
4. Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum
atau kehilangan sel darah merah secara berlebihan atau keduanya.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel
fagositik atau dalam system retikuloendotelial, terutama dalam
hati dan limpa. Hasil samping proses ini adalah bilirubin yang
akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah
merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan
bilirubin plasma (konsentrasi normal 1 mg/dl, kadar diatas 1,5
mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera).
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam
sirkulasi, (pada kelainan hemolitik) maka hemoglobin akan
muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi
plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein
pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya,
hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam
urin (hemoglobinuria).
5. Pemeriksaan
Penunjang

6. Ketetapan
Penukisan
Standar
7. Kebijakan
8. Asuhan
Keperawatan
9. Tujuan
10. Intervensi
11. Catatan
Perkembangan
12. Referensi

5.1 jumlah darah lengkap; hemoglobin dan hematokrit menurun


5.2 jumlah eritrosit; menurun (AP), menurun berat aplastik
5.3 pewarna sel darah merah; mendeteksi perubahan warna dan
bentuk (dapat mengidentifikasikan tipe khusus anemia).
5.4 LED; peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi
5.5 Tes kerapuhan eritrosit
5.6 Aspirasi sumsum tulang/biopsy; sel mungkin tampak berubah
dalam jumlah, ukuran dan bentuk.
5.7 Pemeriksaan endoskopik dan radiografik; memeriksa sisi
perdarahan GI.

RSU.SAWERIGADING
PALOPO
LOGO
STANDAR ASUHAN
KEPERAWATAN
1. Pengertian
2. Etiologi
3. Manisfestasi
klinik ( tanda
dan gejala)
4. Patofisiologi
5. Pemeriksaan
Penunjang
6. Ketetapan
Penukisan
Standar
7. Kebijakan
8. Asuhan
Keperawatan
9. Tujuan
10. Intervensi
11. Catatan
Perkembangan
12. Referensi

ASKEP DIARE DEHIDRASI


NO.DOKUMEN

NO.REVISI

TANGGAL TERBIT

DITETAPKAN
DIREKTUR UTAMA:
Dr.H.Rusdi, SKM.M.Kes
Nip: 19641231 200003 1
037

HALAMA
N

You might also like