You are on page 1of 78

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang kelainan
congenital system digestivus bagian bawah. Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas
blok 2.6 mengenai gangguan digestivus.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu saya menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini,
terutama tutor pembimbing saya dalam tutorial blok 2.6 semester IV dr.Noviana Zara.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaatnya untuk
masyarakat dan dapat memberikan informasi terhadap pembaca.

Lhokseumawe,juni 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN .
BAB II : LANDASAN TEORI....
A. definisi kelainan kongenital..
B. embriologi saluran digestivus ..
C. faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital ..
BAB III : ISI.
I.
II.
III.
IV.
V.
VI.
VII.

Atresia duodenum..
Atresia ileum.....
Oemphalocele.
Gastroschisis..
Hischsprung disease..
Atresia ani.
Fissura ani dan fistula ani

BAB IV : KESIMPULAN .
1. LABIOPALATOSKISIS ..
BAB I Pendahuluan..................................................................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................................
BAB II Landasan Teori...........................................................................................................
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Definisi............................................................................................................
Etiologi............................................................................................................
Patofisiologi.....................................................................................................
Manifestasi klinis.............................................................................................
Pemeriksaan diagnostik...................................................................................
Komplikasi.......................................................................................................

BAB IV. PENUTUP................................................................................................................


a. Kesimpulan .............................................................................................................

2. ATRESIA ESOFAGUS.
BAB IPendahuluan.
1.1 Latar Belakang
BAB IITinjauan Teori
2.1 Pengertian Atresia Esofagus
2.2 Tipe Atresia Esofagus
I.

Insiden

II.

Epidemiologi

III.

Etiologi

IV. Anatomi
V. Patofisologi
2.3 Klasifikasi Atresia Esofagus
I

Diferensial Diagnosis

II.

Klinik .

III.

Tanda Dan Gejala ..

IV

Pengobatan ..

V. Komplikasi
2.4 Gambaran Radiologi
a) Foto Thoraks.
b) Computed Tomography (CT)
c) Ultrasonografi (USG)
d) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
e) Nuclear Imaging
f) Angiografi.
2.5 Diagnosis
2.6 Prognosis. ..
BAB IIIPENUTUP
3 . 1 K e s i mp u l a n
3.2 Saran

3. STENOSIS PYLORIC
BAB ITeori
I.
II.
III.
IV.
V.
VI.
VII.

Definisi
Epidemiologi/Insdien Kasus
Penyebab/Etiologi
Faktor Predisposisi
Patogenesis
Gejala Klinis
Pemeriksaan Fisik

VIII.
IX.

Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Therapy/Tindakan Penanganan

4. MIKROGNATIA.
BAB IPendahuluan
I.1

Latar belakang

BAB IITinjauan Pustaka.


II.1 Latar belakang penelitian
II.2 Masalah penelitian
II.3 Kesimpulan penelitian..
BAB IIIPembahasan
III.1 Definisi
III.2 Etiologi
III.3 Manifestasi klinis
III.4

Pengaruh Mikrognati terhadap struktur gigi.

BAB IVPenutup
IV.1 Simpulan.
IV.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA .
4

BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat
disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Ilmu yang mempelajari kelainan bawaan
disebut dismorfologi. Menurut World Health Organization (WHO), kelainan kongenital adalah
suatu keadaan yang umum.
Di negara maju, 30% dari seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit anak terdiri dari
penderita dengan kelainan kongenital dan akibat yang ditimbulkannya. Salah satu kelainan
kongenital yang terjadi adalah kelainan kongenital traktus digestivus. Perkembangan embriologi
sistem pencernaan dan turunannya biasanya dibahas dalam 3 bagian, yaitu (a) Usus depan
(foregut), yang terletak di sebelah kaudal tabung faring dan membentang hingga ke tunas hati;
(b) Usus tengah (midgut), mulai dari sebelah kaudal tunas hati dan berjalan ke suatu tempat
kedudukan, yang pada orang dewasa membentuk pertemuan dua pertiga kanan dan sepertiga kiri
kolon tranversum; dan (c) Usus belakang (hindgut), yang membentang dari sepertiga kiri kolon
tranversum hingga ke membrana kloakalis.
Jenis kelainan kongenital yang termasuk dalam kelainan kongenital traktus digestivus
adalah stenosis pilorus, atresia atau stenosis. duodenum, atresia atau stenosis yeyunum atau
ileum, penyakit Hirschsprung, anus imperforata, divertikulum,malformasi anorektal. Kelainan
kongenital traktus digestivus banyak menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Sebelas bayi yang
lahir dengan kelainan kongenital traktus digestivus, 3 diantaranya meninggal karena mempunyai
hubungan dengan kelainan yang lain.
Faktor-faktor yang diperkirakan dapat berpengaruh terhadap kejadian kelainan kongenital
traktus digestivus pada neonatus antara lain infeksi intrauterin, diabetes mellitus, status sosial
ekonomi, bayi prematur.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Definisi kelainan bawaan


Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir
yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Ilmu yang mempelajari kelainan
bawaan disebut dismorfologi.
B. Embriologi Saluran Pencernaan
Susunan pencernaan manusia mulai terbentuk pada kehidupan mudigah hari ke-22 sebagai
akibat dari pelipatan mudigah kearah sefalokaudal dan lateral. Sebagian dari rongga kuning telur
yang dilapisi endoderm bergabung ke dalam mudigah dan membentuk usus primitif.
Perkembangan embriologi sistem pencernaan dan turunannya biasanya dibahas dalam 3 bagian,
yaitu (a) Usus depan (foregut), yang terletak di sebelah kaudal tabung faring dan membentang
hingga ke tunas hati; (b) Usus tengah (midgut), mulai dari sebelah kaudal tunas hati dan berjalan
ke suatu tempat kedudukan, yang pada orang dewasa membentuk pertemuan dua pertiga kanan
dan sepertiga kiri kolon tranversum; dan (c) Usus belakang (hindgut), yang membentang dari
sepertiga kiri kolon tranversum hingga ke memrana kloakalis. Sedangkan mesoderm akan
membentuk jaringan ikat, komponen otot, dan komponen peritoneum pada sistem pencernaan.
Pada proses perkembangan selanjutnya, usus depan akan membentuk esophagus, lambung,
duodenum, hati, limpa, dan pancreas. Usus tengah akan membentuk jejunum, ileum, sekum,
apendiks, dan kolon asendens, dan dua per tiga proksimal kolon tranversum. Sedangkan Usus
belakang akan membentuk sepertiga distal kolon tranversum, kolon desendens, kolon sigmoid,
rectum, dan anus.

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital


Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain kurang lebih 30% dapat disebabkan oleh 3
golongan penyebab, yaitu penyebab genetik (20%) yang ditentukan oleh faktor prakonsepsi,
penyebab kromosom (3-5%) dan pengaruh lingkungan (7-10%).

BAB III
ISI

ATRESIA INTESTINAL

trisomi 21 (sindrom down), akan tetapi ini bukanlah faktor risiko yang signifikan
menyebabkan terjadinya atresia duodenal. Beberapa penelitan menyebutkan bahwa 1213% kasus atresia duodenal disebabkan karena polihidramnion.
a. PATOGENESIS
Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya atresia
duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini karena
kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir foregut dan
8

bagian sefalik midgut. Selama mingu ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel
dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada mingu ke 8- 10. Kegagalan
rekanalisasini disebut dengan atresia duodenum.Pada beberapa kondisi, atresia duodenum
dapat disebabkan karena factor ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena ganguan
perkembangan struktur tetanga, seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan dengan
pankreas anular.
Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik yang mengelingi sekeling duodenum,
terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ni akan mengakibatkan ganguan
perkembangan duodenum.
b. KLASIFIKASI
Atresia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe morfologi . Atresia tipe I terjadi pada
lebih dari 90 % kasus dari semua obstruksi duodenum. Kandungan lumen diafragma
meliputi mukosa dan submukosa. Terdapar windsock deformity, dimana bagian
duodenum yang terdilatasi terdapat pada bagian distal dari duodenum yang obstruksi.
Pada tipe I ini, tidak ada fibrous cord dan duodenum masih kontinu. Atresia tipe I,
dikarakteristikan dengan dilatasi proksimal dan kolaps pada segmen area distal yand
terhubung oleh fibrous cord. Atresia tipe II memilki gap pemisah yang nyata antara
duodenal segmen distal dan segmen proksimal.

c. MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan atresia duodenal memilki gejala obstruksi usus. Gejala akan nampak
dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat imbul gejala dalam beberapa
jam hinga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus menerus merupakan gejala
yang paling sering terjadi pada neonatus dengan atresia duodenal. Muntah yang terusmenerus ditemukan pada 85% pasien. Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah
mengandung cairan empedu (bilosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul
yaitu non-bilosa apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri. Muntah
neonatus akan semakin sering dan progresif setelah neonates mendapat ASI. Karakteristik
dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka jarang
terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna
kuning atau seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka
muntah akan berbau dan Nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada
hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya

dikonfirmasi dengan pemeriksan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai
mengalami obstruksi usus.
Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakan diagnosis.
Pada anak dengan atresia, biasanya akan memilki mekonium yang jumlahnya lebih
sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu,dibandingkan mekonium
yang normal. Pada beberapa kasus, anak memilki mekonium yang nampak seperti
normal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak tergangu. Akan
tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi ganguan. Anak dengan atresi duodenum juga
akan mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat,
biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat
mengakibatkan terjadinya ganguan pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak,
mengalami demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi.
Pada pemeriksan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi ini tidak selalu
ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat. Jika obstruksi pada
duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat tidak terlihat jika pasien
terus menerus muntah. Pada kasus lain, distensi tidak nampak sampai neonatus berusia
24-48 jam, tergantung pada jumlah susu yang dikonsumsi neonatus dan muntah yang
dapat menyebabkan traktus alimentary menjadi kosong. Pada beberapa neonatus, distensi
bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena
ruptur lambung atau usus sehinga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus
dengan atresia duodenum memilki gejala khas perut yang berbentuk skafoid. Saat
auskultasi, terlihat gelombang peristaltik gastrik yang melewati epigastrium dari kiri ke
kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadrankanan atas. Apabila obstruksi
pada jejunum, ileum maupun kolon, maka gelombang peristaltik akan terdapat pada
semua bagian dinding perut.

d. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksan penunjang dapat dilakukan sat prenatal maupun sat postnatal.
Prenatal

10

Diagnosis saat masa prenatal yakni dengan mengunakan prenatal


ultrasonografi.Sonografi dapat meng-evaluasi adanya polihidramnion dengan melihat
adanya struktur yang terisi dua cairan dengan gambaran double buble pada 4%
kasus.Sebagian besar kasus atresia duodenum dideteksi antara bulan ke 7 dan 8
kehamilan, akan tetapi pada beberapa penelitan bisa terdeteksi pada mingu ke20
Postnatal
Pemeriksan yang dilakukan pada neonatus yang baru lahir dengan kecurigan atresia
duodenum, yakni pemeriksan laboratorium dan pemeriksan radiografi.Pemeriksan
laboratorium yang diperiksa yakni pemeriksan serum, darah lengkap, serta fungsi ginjal
pasien. Pasien bisanya muntah yang semakin progresive sehinga pasien akan mengalami
ganguan elektrolit. Biasanya muntah yang lama akan menyebabkan terjadinya metabolik
alkalosis dengan hipokalemia atau hipokloremia dengan paradoksikal aciduria. Oleh
karena itu, ganguan elektrolit harus lebih dulu dikoreksi sebelum melakukan operasi.
Disamping itu, dilakukan pemeriksan darah lengkap untuk mengetahui apakah pasien
mengalami demam karena peritonits dan kondisi pasien secara umum. Pemeriksan
roentgen yang pertama kali dilakukan yakni plain abdominal x-ray. X-ray akan
menujukan gambaran double-buble sign tanpa gas pada distal dari usus. Pada sisi kiri
proksimal dari usus nampak gambaran gambaran lambung yang terisi cairan dan udara
dan terdapat dilatasi dari duodenum proksimal pada garis tengah agak kekanan. Apabila
pada x-ray terdapat gas distal, kondisi tersebut tidak mengekslusi atresia duodenum. Pada
neonatus yang mengalami dekompresi misalnya karena muntah, maka udara akan
berangsur-angsur masuk ke dalam lambung dan juga akan menyebabkan gambaran
double-buble

e. TATA LAKSANA
Tata laksana yang dilakukan meliputi tata laksana preoperatif, intraoperatif serta
postoperatif.
Tata Laksana Preoperatif
Setelah diagnosis ditegakan, maka resusitasi yang tepat diperlukan dengan melakukan
koreksi terhadap keseimbangan cairan dan abnormalitas elektrolit serta melakukan
kompresi pada gastrik. Dilakukan pemasangan orogastrik tube dan menjaga hidrasi IV.
Managemen preoperatif ini dilakukan mulai dari pasien lahir. Sebagian besar pasien
dengan duodenal atresia merupakan pasien premature dan kecil, sehinga perawatan
khusus diperlukan untuk menjaga panas tubuh bayi dan mencegah terjadinya
11

hipoglikemia, terutama pada kasus berat badan lahir yang sangat rendah, CHD, dan
penyakit pada respirasi. Sebaiknya pesien dirawat dalam inkubator.
Tata Laksana Intraoperatif
Sebelum tahun 1970, duodenojejunostomi merupakan teknik yang dipilh untuk
mengoreksi obstruksi yang disebabkan karena stenosis maupun atresia. Kemudian,
berdasarkan perkembanganya, ditemukan berbagai teknik yang bervariasi, meliputi sideto-side duodenoduodenostomi, diamnond shape duodenoduodenostomi, partial web
resection with heineke mikulick type duodenoplasty, dan tapering duodenoplasty. Side-toside duodenoplasty yang panjang, walaupun diangap efektif, akan tetapi pada beberapa
penelitan teknik ini memyebabkan terjadinya disfungsi anatomi dan obstruksi yang lama.
Sat ini, prosedur yang banyak dipakai yakni laparoskopi maupun open
duodenoduodenostomi. Teknik untuk anastomosisnya dilakukan pada bagian proksimal
secara melintang ke bagian distal secara longitudinal atau diamond shape. Disamping
melakukan open duodenoduodenostomi, pada negara maju dapat dilakukan teknik operasi
mengunakan laparoscopic. Teknik dimulai dengan memposisikan pasien dalam posisi
supinasi, kemudian akan dinsersikan dua instrument. Satu pada kuadran kanan bayi, dan
satu pada mid-epigastik kanan. Duodenum dimobilsasi dan didentifikasi regio yang
mengalami obstruksi. Kemudian dilakukan diamond shape anastomosis.
Tata Laksana Postoperatif
Pada periode postoperatif, maka infus intravena tetap dilanjutkan. Pasien mengunakan
transanastomotic tube pada jejunum, dan pasien dapat mulai menyusui setelah 48 jam
pasca operasi. Untuk mendukung nutrisi jangka panjang, maka dapat dipasang kateter
intravena baik sentral maupun perifer apabila transanastomotic enteral tidak adekuat
untuk memberi suplai nutrisi serta tidak ditoleransi oleh pasien. Semua pasien memilki
periode aspirasi asam lambungyang berwarna empedu. Kondisi ini terjadi karena
peristaltik yang tidak efektifatau distensi pada duodenum bagian atas. Permulan awal
memberi makanan oral tergantung pada penurunan volume gastrik yang diaspirasi.
f. PROGNOSIS
Angka harapan hidup untuk bayi dengan duodenal atresia yakni 90-95%. Mortalitas yang
tingi disebabkan karena prematuritas serta abnormalitas kongenital yang multiple.
Komplikasi post operatif dilaporkan pada 14-18% pasien, dan beberapa pasien
memerlukan operasi kembali. Beberapa kondisi yang sering terjadi dan menyebabkan
pasien perlu dioperasi kembali, yakni kebocoran anastomosis, obstruksi fungsional
duodenal, serta adanya adhesi
I.

ATRESIA ILEUM

12

Angka kejadian atresia ileum lebihkurang 50% dari atresia usus halus dansering
bersamaan denganatresia.jejunum. Insiden atresia ileum danjejunum sebanyak 1:3005000 kelahiran.
a. KLASIFIKASI
1. Atresia ileum tipe I
Pada atresia ileum tipe I ditandai dengan terdapatnya membran atau jaringan yang
dibentuk dari lapisan mukosa dan submukosa. Bagian proksimal dari usus mengalami
dilatasi dan bagian distalnya kolaps. Kondisi usus tersambung utuh tanpa defek dari
bagian mesenterium.
2. Atresia ileum tipe II
Pada atresia ileum tipe II bagian proksimal dari usus berakhir pada bagian yang buntu,
dan
berhubungan dengan bagian distalnya dengan jaringan ikat pendek di atas dari
mesenterium yang utuh. Bagian proksimal dari usus akan dilatasi dan mengalami
hipertrofi sepanjang beberapa centimeter dan dapat menjadi sianosis diakibatkan proses
iskemia akibat peningkatan tekanan intraluminal.
3. Atresia ileum tipe III
Pada atresia ileum tipe IIIa bagian akhir dari ileum yang mengalami atresia
memiliki gambaran seperti pada tipe II baik pada bagian proksimal dan distalnya, akan
tetapi tidak terdapat jaringan ikat pendek dan terdapat defek dari mesenterium yang
berbentuk huruf V. Bagian yang dilatasi yaitu proksimal sering kali tidak memiliki
peristaltik dan sering terjadi torsi atau distensi dengan nekrosis dan perforasi sebagai
kejadian sekunder. Panjang keseluruhan dari usus biasanya kurang sedikit dari normal.
4. Atresia ileum tipe IV
Pada atresia ileum tipe IV terdapat atresia yang multipel, dengan kombinasi dari tipe I
sampai dengan tipe III, memiliki gambaran seperti sosis. Terdapat hubungan dengan
faktor genetik, dan tingkat mortalitas yang lebih tinggi. Multipel atresia dapat terjadi
karena iskemia dan infark yang terjadi pada banyak tempat, proses inflamasi intrauterin,
dan malformasi dari saluran cerna yang terjadi pada tahap awal proses embriogenesis.

13

b. PATOFISIOLOGI
Hilangnya kontinuitas sebagian usus halus padapenderita atresia ileum menyebabkan
tidakadanya pasase mekonium ke distal dari atresiausus halus, sehingga kolon manjadi
sangat kecilmemberi gambaran mikrokolon. Atresia yangletaknya lebih proksmal dimana
timbul pada akhir gestasi menyebabkan succus entericus ataumekonium dapat memasuki
kolon sehingga kolonini walaupun ukurannya lebih kecil daripadaukuran normal, tidak
dapat diklasifikasikansebagai mikrokolon.
c. GAMBARAN KLINIS
Seluruh bayi dengan atresia usus halusmengalami distensi abdomen denganderajat yang
bervariasi, muntah biliousdan terdapat kegagalan pengeluaran mekonium.
d. GAMBARAN RADIOLOGI
- Plain abdominal foto
Terlihat dilatasi usus halus multipel dengan gambaranair fluid level didalamnya makin
distal letak atresia, makamakin tampak pula distensinya
- Kontras enema :
Jenis kontras yang dipakai adalah isoosmolal water soluble.Disini didapatkan gambaran
mikrokolon, dimana kontrasyang dimasukkan tidak akan mengalami refluks ke ususyang
mengalami distensi dan letaknya lebih proksimal. Pada literatur yang lain dikatakan
bahwa terdapatgambaran mikrokolon, tetapi data terjadi refluks darikontras melalui katub
ileovalvula menuju ke ileum,sehingga akan tampak lokasi distal atresia. Perlu
diketahuibahwa tidak didapatkan filling defek baik dalam mikrokolonmaupun pada usus
halus sisi distal.
e. DIAGNOSIS
Diagnosa definitive berdasarkangambaran klinis yang ada disertai dengankonfirmasi
gambaran radiologis
f. DIAGNOSA BANDING
Penyakit Hirschphrung,
Atresia kolon,
Mekonium ileus,
Malrotasi dengan volvulus
g. PENATALAKSANAAN
Dilakukan perawatan sebelum operasisampai dengan keadaan pasien optimal.Hal ini
disebabkan bahaya timbulnyaperforasi. Jenis operasi yang dilakukan berupa end to end
anastomosis. Jikadidapatkan atresia multipel, maka dibuatreseksi pada area atresia
kemudian dibuat anastomosis.
II.

Oemphalocele
14

Omphalocelle oleh Ambrois Pare ( 1510 1590 ) dilaporkan sebagai keadaan yang serius
yang membutuhkan perhatian yang khusus karena prognosisnya yang jelek.
Omphalocele merupakan defek pada dinding abdomen yang terletak ditengah, isi
abdomen yang keluar ditutupi oleh lapisan dan biasanya berhubungan dengan kelainan
kromosom atau kelainan jantung sedangkan bayi dengan gastrochisis jarang ditemukan
dengan kelainan tersebut kecuali adanya atresia usus.
a. ETIOLOGI
Omphalocele secara bahasa berasal dari bahasa yunani omphalos yang berarti umbilicus
= tali pusat dan cele yang berarti bentuk hernia. Omphalocele diartikan sebagai suatu
defek sentral dindng abdomen pada daerah cicin umbilkus atau cincin tali pusar sehingga
terdapat herniasi organ-organ abdomen dari cavum abdomen namun masih dilapisi oleh
suatu kantong atau selaput. Selaput terdiri atas lapisan amnion dan peritoneum .Penyebab
pasti terjadinya omphalokel belum jelas sampai sekarang. Beberapa faktor risiko atau
faktor-faktor yang berperan menimbulkan terjadinya omphalocele diantaranya adalah
infeksi, penggunaan obat dan rokok pada ibu hamil, defisiensi asam folat, hipoksia,
penggunaan salisilat, kelainan genetic serta polihidramnion. Sekitar 50-70% penderita
berhubungan dengan sindrom kelainan congenital yang lain.
Menurut Glasser (2003) ada beberapa penyebab omphalokel, yaitu :
1. Faktor kehamilan dengan resiko tinggi, seperti ibu hamil sakit dan terinfeksi,
penggunaan obat-obatan, merokok, dan kelainan genetic. Faktor-faktor tersebut berperan
pada timbulnya insufisiensi plasenta dan lahir pada umur kehamilan kurang atau bayi
premature.
2. Defisiensi asam folat, hipoksia dan salisilat menimbulkan defek dinding abdomen pada
percobaan dengan tikus tetapi makna secara klinis masih sebatas perkiraan.
3. Polihidramnion, dapat diduga adanya atresia intestinal fetus dan kemungkinan tersebut
harus dilacak dengan USG.
b. EPIDIMIOLOGI
Kelainan ini terjadi pada 2.5 dari 10.000 kelahiran dan dikaitkan dengan angka kematian
yang tinggi (25%) dan malformasi yang berat, seperti anomaly jantung (50%) dan cacat
tuba neuralis saraf (40%). Kelainan kromosom terdapat pada 50% bayi lahir hidup yang
mengalami oemphalocele. .
c.PATOGENESIS
Awal terjadinya omphalocele masih belum jelas dan terdapat beberapa teori embriologi
yang menjelaskan kemungkinan berkembang omphalocele. Teori yang banyak disebutkan
oleh para ahli ialah bahwa omphalocele berkembang karena kegagalan migrasi dan fusi
dari embriogenik fold bagian cranial, caudal, dan lateral saat membentuk cincin
umbilicus pada garis tengah sebelum invasi miotom pada minggu ke-4 perkembangan.
Teori lain menyebutkan bahwa Awal terjadinya omphalocele masih belum jelas dan
terdapat beberapa teori embriologi yang menjelaskan kemungkinan berkembang
omphalocele. Teori yang banyak disebutkan oleh para ahli ialah bahwa omphalocele
15

berkembang karena kegagalan migrasi dan fusi dari embriogenik fold bagian cranial,
caudal, dan lateral saat membentuk cincin umbilicus pada garis tengah sebelum invasi
miotom pada minggu ke-4 perkembangan.
d. DIAGNOSIS
Diagnosis omphalokel adalah sederhana, namun perlu waktu khusus sebelum operasi
dikerjakan, pemeriksaan fisik secara lengkap dan rontgen dada serta ekokardiogram. Pada
saat lahir omphalokel diketahui sebagai defek dindng abdomen pada dasar dinding
umbilicus. Defek tersebut lebih dari 4 cm dan dibungkus oleh suatu kantong membrane
atau omnion. Pada 10% sampai 18%, kantong mungkin rupture dalam rahim atau sektar
4% saat proses kelahiran.
Klasifikasi omphalokel menurut Moore ada 3, yatu :
1. Tipe 1 : diameter defek < 2,5 cm
2.Tipe 2 : diameter defek 2,5 5 cm
3. Tipe 3 : diameter defek > 5 cm
Bila omfalokel dibiarkan tanpa penanganan, bungkusnya akan mengering dalam beberapa
hari dan akan tampak retak-retak. Pada saat yang bersamaan akan terjadi infeksi dibawah
lapisan yang mengering dan menjadi berkrusta. Kadang dijumpai lapisan tersebut akan
terpecah dan usus akan
prolap.
Diagnosis omphalokel ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan dapat ditegakkan
pada waktu prenatal dan postnatal.
Diagnosis prenatal
Diagnosis prenatal terhadap omphalokel sering ditegakkan dengan bantuan USG
(Ultrasonographi). Defek dinding abdomen janin biasanya dapat dideteksi pada saat
minggu ke-13 kehamilan, dimana pada saat tersebut secara normal seharusnya usus telah
masuk seluruhnya kedalam kavum abdomen janin. Pada pemeriksaan USG, omphalokel
tampak sebagai suatu gambaran garis-garis halus dengan gambaran kantong atau selaput
yang ekhogenik pada daerah tali pusat (umbilical cord) berkembang. Berbeda dengan
gastrokisis, pada pemeriksaan USG tampak gambaran garis-garis yang kurang halus,
tanpa kantong yang ekhogenik dan terlihat defek terpisah dar tali pusat. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada masa prenatal antara lain :
- USG
- Ekhocardiografi
- MSAPF (Maternal Serum Alpha-Fetoprotein)
-Analisa Kromosom melalui amniosintesis
Diagnosis postnatal
Gambaran klinis bayi baru lahir dengan omphalokel adalah terdapatnya defek sentral
16

dinding abdomen pada daerah tali pusat. Ukuran defek bervariasi (4 12 cm),
mengandung herniasi organ-organ abdomen baik solid maupun berongga dan masih
dilapisi oleh selaput atau kantong serta tampak tali pusat berinsersi pada puncak kantong.
Kantong atau selaput tersusun atas dua lapisan yaitu selaput amnion (bagian luar) dan
peritoneum (bagian dalam). Diantara lapisan tersebut kadang terdapat lapisan Wartons
Jelly. Wartons Jelly adalah jaringan mukosa yang merupakan hasil deferensiasi dari
jaringan mesenkimal (mesodermal). Jelly mengandung banyak mukosa dengan sedikit
serat dan tidak mengandung vasa atau nervus.
Pada Giant Omphalokel, defek biasanya berdiameter 8 12 cm atau meliputi seluruh
dinding abdomen (kavum abdomen sangat kecil) dan dapat mengandung seluruh organorgan abdomen termasuk liver. Kantong atau selaput pada omphalokel dapat mengalami
rupture.

e. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan prenatal
Apabila terdiagnosa omphalokel pada masa prenatal maka sebaiknya dilakukan imforn
consent pada orang tua tentang keadaan janin, resiko terhadap ibu, dan prognosis.
Keputusan akhir diperlukan guna perencanaan dan penatalaksanaan berikutnya berupa
melanjutkan kehamilan atau mengakhirinya. Jika diputuskan untuk melanjutkan
kehamilan,selama masa itu janin harus dipantau dengan USG.
Penatalaksanaan postnatal
Bayi dengan oemphalocele biasanya lebih sedikit kehilangan panas tubuh sehingga
resusitasi awal cairan lebih sedikit daripada bayi dengan gastroskisis.Pentalaksanaan
segera bayi dengan omphalokel :
1. Tempatkan bayi pada ruangan yang aseptic dan hangat untuk mencegah kehilangan
cairan,hipotermi dan infeksi
2. Posisikan bayi senyaman mungkin dan lembut untuk menghindari bayi menangis dan
air swallowing. Posisi kepala sebaiknya lebih tinggi untuk memperlancar drainase.
3. Lakukan penilaian adanya distress respirasi. Jika ada, lakukan intubasi endotrakeal.
Penggunaan mask/sungkup tidak dianjurkan guna menghindari masuknya udara kedalam
gastrointestin
17

4. Pasang pipa nasogastrik/orogastrik untuk mengeluarkan udara dan cairan dari system
usus sehingga dapat mencegah muntah,aspirasi dan tekanan dalam sistim usus sekaligus
mengurangi tekanan intraabdomen
5. Pasang kateter uretra untuk mengurangi tegangan pada kandung kemih dan perut
6. Pasang jalur intravena pada ekstermitas atas untuk pemberian cairan dan nutrisi secara
parenteral sehingga dapat menjaga tekanan intravaskuler.
7. Lakukan monitoring suhu, stabilisasi asam basa, cairan dan elektrolit
8. Pada omphalokel, defek ditutup dengan suatu steril saline atau povidone iodine soaked
gauze, lalu ditutup lagi dengan suatu oklusif plastic dressing wrap atu plastic bowel bag.
Tindakan ini bertujuan untuk melindungi defek dari trauma mekanik, mencegah
kehilangan panas dan mencegah angulasi system usus yang dapat menganggu suplai
aliran darah
9. Pemeriksan darah lain serta fungsi ginjal, glukosa dan hematokrit untuk persiapan
operasi bila diperlukan
10. Evaluasi adanya kelainan congenital lain dengan foto thorax dan EKG
Bila bayi dirujuk,sebaiknya letakan bayi pada incubator dan jangan lupa pemberian
oksigen
Pertolongan secara konservatif : Dilakukan bila perawatan secara primer tidak
memungkinkan, misalnya pada defek > 5cm
Perawatan dapat berupa :
1. Bayi dijaga agar tetap hangat
2. Kantong ditutup kasa steril dan ditetesi Nacl 0.9%
3. Posisi pendrita miring
4. NGT diisap-isao tiap 30 menit
Tindakan non operatif secara sederhana dilakukan dengan merangsang epitelisasi dari
kantung. Beberapa obat yang biasa digunakan untuk merangsang epitelisasi adalah 0.25%
merbromin (mercurochrome), 0.25% silver nitrat, silver sulvadiazine dan povidone
iodine. Obat-obat tersebut merupakan agen antiseptic yang pada awalnya memacu
pertumbuhan eskar bakteriostatik dan perlahan lahan akan merangsang epitelisasi.
Tindakan non operatif lain dapat berupa penekanan secara eksternal pada kantong.
Beberapa material yang biasa digunakan adalah Ace wraps, Velcro binder, dan poliamid
mesh yang dilekatkan pada kulit. Ashcraft (2000) menyatakan dari suatu studi, bayi yang
menjalani penatalaksanaan non operatif ternyata memiliki lama riwayat inap yang lebih
singkat dan waktu full enteral feeding lebih cepat dibanding dengan penatalaksnanaan
dengan silastic.

18

Indikasi terapi non bedah :


a. Bayi dengan giant oemphalocele dan kelainan lain yang mengacam jiwa, dimana
kelainan tersebut harus didahulukan daripada oemphalocele
b. Bayi dengan kelainan yang menimbulkan komplikasi bila dilakukan pembedahan.
Terapi pembedahan
Tujuan operasi ialah memperoleh lama ketahanan hidup yang optimal dan menutup defek
dengan cara mengurangi herniasi organ intraabdomen, aproksimasi dari kulit dan facia.
Operasi bersifat darurat jika terdapat rupture kantong atau obstruksi usus.
Operasi dapat dilakukan dengan 2 metode,yaitu :
a)Primary Closure (penutupan langsung)
Primarry closure biasanya dilakukan pada defek abdomen <5-6 cm. Operasi dilakukan
dengan general anastesi. Mula mula hubungan antara selaput dengan kulit serta facia
diinsisisi dan vasa-vasa umbilicus dan urakus diidentifikasi dan diligasi. Selaput
kemudian dibuang dan organ intraabdomen diperiksa. Sering defek diperlebar agar dapat
diperoleh suatu insisi linear tension free dengan cara memperpanjang irisan 2-3 cm ke
superior. Kemudian dilakukan manual stretching pada dinding abdomen memutari
diseluruh kuadran abdomen. Kulit kemudian dideseksi atau dibebaskan terhadap facia
secara tajam. Facia kemudian ditutup dengan jahitan interuptus begitu pula pada kulit.
Untuk kulit juga dapat digunakan jahitan subkutikuler terutama untuk membentuk
umbilicus (umbilikoplasti) dan digunakan material yang dapat terabsorbsi.
b). staged closure
teknik skin flap
Pada teknik ini dilakukan skinfla melalui caraundermining/mendeseksi/membebaskan
secara tajam kulit dan jaringan subkuutan terhadap facia anterior m.rectus abdominis dan
aponeurosis m.oblique eksternum disebelah lateralnya sampai batas linea aksilaris
anterior. Kantong dibiarkan tetap utuh. Skin flap kemudian ditarik dan dipertemukan
pada garis tengah untuk menutupi defek yang kemudian menimbulkan hernia ventralis.
Hernia timbul karena kulit terus berkembang sedangkan otot abdomen tidak. Biasanya 612 minggu kemudian dapat dilakukan repair terhadap hernia tersebut.
Teknik silo
Silo merupakan suatu suspense prostetik yang dapat menjaga oran intraabdomen tetap
hangat dan menjaga dari trauma mekanik terutama sat organ oegan dimasukan kedalam
rongga abdomen. Operasi diawali dengan mengeksisi kantong atau selaput omfalokel.
Kemudian cara yang sama dilakukan seperti membuat skin flap namun dengan lebar yang
sedikit saja sehingga cukup untuk memaparkan batas facia atau otot. Suatu material
prostatic silo kemudian dijahitkan dengan facia menggunakan benang nn absorcable
sehingga terbentuk kanting protestik ekstraabdomen yang akan melindungi organ
intraabdomen. Organ intraabdomen dalam silo kemudian secara berkala dikurangi dan
kantong diperkecil,reduksi terjadi pada beberapa hari-minggu

19

III.

GASTROSCHISIS

a. ETIOLOGI
Gastroskisis adalah herniasi sisi perut melalui dinding tubuh langsung menuju rongga
amnion. Cacat ini terjadi disebelah lateral umbilicus, biasanya di kanan, melalui suatu
daerah lemah karena regresi vena umbilikalis kanan yang normalnya tidak ada, visera
tidak dibungkus oleh peritoneum atau amnion, dan usus bisa rusak karena langsung
terkana cairan amnion.
Gastroskisis terjadi pada 1 dari 10.000 kelahiran, tetapi frekuensinya semakin meningkat
khususnya pada wanita muda. Dan peningkatan ini mungkin disebabkan penggunaan
kokain. Tidak seperti oemphalocele, gastroskisis tidak ada hubungannya dengan kelainan
kromosom atau cacat berat lainnya, sehingga angka kelangsungan hidupnya bagus sekali.
Tetapi, volvulus (rotasi usus) yang menyebabkan gangguan suplai darah, bisa mematikan
banyak bagian usus dan menyebabkan kematian bayi.
b. EPIDEMIOLOGI
Dalam suatu penelitian di California menunjukkan bahwa adanya kelainan ini
berhubungan dengan
kehamilan pada wanita muda, status social ekonomi rendah dan kehidupan social yang
tidak stabil.
Penggunaan aspirin, ibuprofen dan pseudoephedrine pada kehamilan trimester pertama
dihubungkan dengan peningkatan resiko gastrochisis mendukung teori kerusakan
pembuluh darah sebagai penyebabnya. Rokok, alcohol dan obat-obat penenang
memberikan kenaikan resiko malformasi. Penelitian di eropa juga menunjukkan
peningkatan gastrochisis sampai 11 kali pada ibu dibawah humur 20 tahun. Kelainan
kromosom dan anomaly sangat jarang ditemukan pada gastrochisis, kecuali
adanya atresia intestinal. Bayi dengan gastroschisis biasanya kecil untuk masa
kehamilannya ( Aschraft, 2000)
20

c. EMBRIOLOGI
Pertumbuhan janin dan pembentukannya di atur oleh proses spesifik pada waktu dan
tempat yang tepat. Percepatan pertumbuhan yang sering diikuti oleh perlambatan.
Diferensiasi seluler, proliferasi, migrasi, dan deposisi terlihat dalam pembentukan
jaringan baru.
Permulaannya, embrio sejajar rata dengan cincin umbilicus, yang di tandai secara
histology dengan
hubungan epitel silinder dari epiblast ( ectoderm ) dan epitel kubus epitel dari amnion.
Embrio terdiri dari dua lapis, epiblast (ectoderm ) yang akan menjadi salah satu
neuroektoderi atau epitel permukaan, dan hipoblast, yang menjadi epitel dalam dari organ
perut. Pembentukan dari lapisan germinal yang ketiga ( mesoblast ) muncul seiring
dengan perubahan bentuk dari embrio. Pemanjangan dari disk embrio dan pelengkungan
longitudinal dan lateral terbentuk silinder sehingga calon bentuk tubuh dapat dikenali.
Singkatnya embrio manusia berbentuk disk yang terdiri dari dua lapisan. Lipatan dari
tubuh ( chepalic, caudal, lateral ) bertemu di tengah embrio dimana amnion tertanam
dalam yolk sak. Kecacatan perkembangan pada titik ini menyebabkan berbagai macam
kelainan dinding abdomen. Pada minggu keenam, pertumbuhan yang cepat dari midgut
menyebabkan hernia
fisiologis dari usus melalui cincin umbilicus. Usus akan kembali ke dalam kavum
abdomen pada minggu kesepuluh., dan rotasi dan fiksasi dari usus timbul. Proses ini tidak
terjadi pada bayi dengan gastroschsis atau omphalocele, menyebabkan peningkatan
resiko volvulus midgut.

d.DIAGNOSIS
Sekitar minggu ke 16 dari kehanilan, bisa dilakukan pemeriksaan protein yang disebut
alphafetoprotein ( AFP ). Bila mana hasilnya tidak normal atau tinggi maka dokter
spesialis kandungan akan melakukan pemeriksaan USG. USG akan menunjukkan adanya
kelainan di bagian luar perut bayi. Biasanya dokter akan melihat adanya usus di luar
perut bayi, melayang di cairan amnion. AFP sendiri bermanfaat pada trimester kedua
kehamilan. Ini berguna untuk kelainan omphalocele maupun gastoschisis yang secara
statistic kadar AFP gastroschisis lebih besar dari pada omphalocele. Serum kehamilan
yang lain seperti estriol dan Human Chorionic Gonadotropin, tidak tebukti berguna
secara klinik.Pada masa kehamilan awal ibu tidak akan merasakan kelainan atau
kejanggalan dalam kehamilannya saat mereka mengandung bayi dengan gastroschisis.
Pemeriksaan tambahan biasanya tidak dilakukan karena keadaan ini tidak berhubungan
dengan kelainan janin lainnya. Kadang kadang janin mengalami obstruksi usus sebagai
konsekuensi dari gastroschisis. Bayi dengan gastroschisis diawasi secara hati hati
dengan USG untuk memastikan apakah pertumbuhannya cukup saat di dalam uterus dan
memeriksa kerusakan pada ususnya. Kerusakan usus dapat di akibatkan oleh pemaparan
cairan amnion atau karena kerusakan pembuluh darah pada usus yang terbuka.

21

e. MANIFESTASI KLINIS
Defek biasanya 5 cm vertical, dan pada 95 % kasus ditemukan defek di sebelah kanan
umbilicus.
Adanya inflamasi yang luas dari usus yang menjadikan pembengkakan usus dan
kekakuan sangat mengganggu masuknya usus dan penutupan dinding abdomen. Inflamasi
juga mengubah bentuk dari usus yang menjadi kesulitan dalam menentukan apakah ada
atresia dari usus.
Bila usus bisa masuk ke kavum abdomen, inflamasi akan menurun, usus melunak, dan
bentuk
kembali normal. Koreksi untuk atresia usus sampai saat ini masih lebih baik dengan
penundaan,
biasanya 3 minggu setelah operasi pertama.

f. PENATALAKSANAAN
Bila usus atau organ intra abdomen terletak di luar abdomen, maka ini akan
meningkatkan resiko kerusakan bila melewati kelahiran normal. Banyak ahli
menganjurkan diberlakukan seksio sesaria untuk semua kasus gastroschisis dan
omphalocele. Pada kenyataan adanya resiko kehamilan normal hanyalah teori, dan
persalinan pervaginam tidak meningkatkan resiko komplikasinya. Atas dasar alasan
tersebut beberapa ahli merekomendasikan persalinan normal. Kecuali ada alasandari
obstetric untuk di lakukan seksio sesaria.Selama dalam uterus janin dengan gastroschisis
akan terlindung baik dari trauma dan komplikasi. Setelah lahir usus yang terpapar harus
dilindungi dari trauma, infeksi, dan dehidrasi, kemudian bayi baru dapat dibawa secara
aman ke rumah sakit rujukan setelah prosedur tersebut dijalankan.
Pada gastrosisis, operasi koreksi untuk menempatkan usus kedalam ronga perut dan
menutup lubang harus dikerjakan secepat mungkin karena tidak ada perlindungan infeksi.
makin ditunda operasi makin sukar karena usus akan menjadi edema

22

g. KOMPLIKASI:
1. Distresss pernapasan
2. Necrosis usus
3. Peritonitis dan paralisis usus (Komplikasi dari operasi abdomen)
4. Gangguan perncernaan makanan

h. PROGNOSIS :
Tergantung dari derajat beratnya masalah yang muncul termasuk prematuritas, atresia
intestinal, usus yang pendek dan disfungsi usus karena peradangan
Pada suatu penelitian disebutkan bahwa prognosis oemphalocele tiga kali lebih buruk
daripada gastro schisis karena sering disertai dengan kelainan congenital lainnya.

IV.

HISCHSPRUNG DISEASE
Hischsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus
auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. sembilan puluh persen (90%) terletak pada
rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon bahkan seluruh usus (Total
Colonic Aganglionois (TCA)). Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan
pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta
distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal.

23

a.DEFINISI
Penyakit hirschprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion di pleksus
myenterikus (auerbachs) dan submukosa (meissners).
b. INSIDENSI
Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi terjadinya
Penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga Penyakit
hirschprung dan pada pasien penderita Down Syndrome. Rectosigmoid paling sering
terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis atau colon transversum pada 17% kasus.
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko terjadinya penyakit
hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5 sampai 17,6% dengan 130
kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih tinggi pada anak perempuan. Penyakit
hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu aganglionosis dibanding oleh
ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami aganglionosis total pada colon
(sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22
pasangan kembar yang terkena yang kebanyakan mengalami long segment aganglionosis
c.ETIOLOGI
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf parasimpatis
myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu tidak ditemukan
dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ketiga pleksus
tersebut.
d. PATOGENESIS
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon dan sphincter
anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang abnormal akan
mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang normal akan
mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik selalu terdapt dibagian
distal rectum.
24

Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive dan abnormalitas
atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan aganglionosis,
hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar.
Tipe Hirschsprungs Disease:
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang terkena. Tipe
Hirschsprun disease meliputi:

Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari rectum.

Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari colon.

Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.

Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum dan kadang
sebagian usus kecil

e. DIAGNOSIS
Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada neonatus. Gejala
konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya mekonium untuk dikeluarkan
dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi gejala ini biasanya ditemukan pada 6% atau
42% pasien. Gejala lain yang biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan
pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjdi pada neonatus yang
berusia lebih tua maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal lain yang harus
diperhatikan adalah jika didapatkan periode konstipasi pada neonatus yang diikuti
periode diare yang massif kita harus mencurigai adanya enterokolitis. Pada bayi yang
lebih tua penyakit hirschsprung akan sulit dibedakan dengan kronik konstipasi dan
enkoperesis. Faktor genetik adalah faktor yang harus diperhatikan pada semua kasus.
Pemeriksaan barium enema akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Akan
tetapi apabila barium enema dilakukan pada hari atau minggu awal kelahiran maka zone
transisi akan sulit ditemukan. Penyakit hirschsprung klasik ditandai dengan adanya
gambaran spastic pada segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal
intestinal.
Gejala klinik:
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama kehidupan.
Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis. Tidak keluarnya
mekonium padsa 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah
25

pada diagnosis ini. Pada beberapa bayi yang baru lahir dapat timbul diare yang
menunjukkan adanya enterocolitis.
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan makan,
distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi.Penyakit hirschsprung dapat
juga menunjukkan gejala lain seperti adanya periode obstipasi, distensi abdomen,
demam, hematochezia dan peritonitis.
Kebanyakan anak-anak dengan hirschsprung datang karena obstruksi intestinal atau
konstipasi berat selama periode neonatus. Gejala kardinalnya yaitu gagalnya pasase
mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi abdomen dan muntah. Beratnya
gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien dan sangat individual untuk
setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi intestinal komplit dan lainnya
mengalami beberapa gejala ringan pada minggu atau bulan pertama kehidupan.
f. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan pemeriksaan:
1. Barium enema. Pada pasien penyakit hirschprung spasme pada distal rectum
memberikan gambaran seperti kaliber/peluru kecil jika dibandingkan colon sigmoid yang
proksimal. Identifikasi zona transisi dapat membantu diagnosis penyakit hirschprung.
Segmen aganglion biasanya berukuran normal tapi bagian proksimal usus yang
mempunyai ganglion mengalami distensi sehingga pada gambaran radiologis terlihat
zona transisi.
Ada beberapa tanda dari penyakit Hirschsprung yang dapat ditemukan pada pemeriksaan
barium enema, yang paling penting adalah zona transisi. Posisi pemeriksaan dari lateral
sangat penting untuk melihat dilatasi dari rektum secara lebih optimal. Retensi dari
barium pada 24 jam dan disertai distensi dari kolon ada tanda yang penting tapi tidak
spesifik. Enterokolitis pada Hirschsprung dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen
yang ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang
disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut
dapat terlihat jelas dengan barium enema.
2. Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit hirschsprung,
gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter ani interna ketika rectum
dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan dan
pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi umum. Metode ini lebih
sering dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada neonates
3. Biopsy rectal merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit
hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas minimal
karena menggunakan suction khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan sample
26

biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate dan juga mengambil sample yang normal jadi
dari yang normal ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya harus
menggunakan anestesi umum karena contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih
tebal.
g. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan dengan obstruksi
pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:
Obstruksi mekanik

Meconium ileus

Simple

Complicated (with meconium cyst or peritonitis)

Meconium plug syndrome

Neonatal small left colon syndrome

Malrotation with volvulus

Incarcerated hernia

Jejunoileal atresia

Colonic atresia

Intestinal duplication

Intussusception

NEC
Obstruksi fungsional

Sepsis

Intracranial hemorrhage

Hypothyroidism

Maternal drug ingestion or addiction


27

Adrenal hemorrhage

Hypermagnesemia

Hypokalemia

h. Tatalaksana
Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari diagnosis yang
tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk melakukan Pulltrough ketika
diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi anak dan respon dari terapi awal..
Decompresi kolon dengan pipa besar, diikuti dengan washout serial, dan meninggalkan
kateter pada rektum harus dilakukan. Antibiotik spektrum luas diberikan, dan
mengkoreksi hemodinamik dengan cairan intravena. Pada anak dengan keadaan yang
buruk, perlu dilakukan colostomy.
Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan penyakit hirschsprung:
Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen kemudian
dalakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy seromuskuler.
Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3 metode:
1. Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter ani interna
dan dilakukan anastomosis coloanal pada perineum
2. Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian yang ganglionik
ditarik ke bagian belakang ujung daerah aganglioner. stapler GIA kemudian dimasukkan
melalui anus.
3. Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan bagian distal aganglioner.
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya berhasil baik,
walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah gejala
tersering pada pascaoperasi.
V.

ATRESIA ANI
Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu a yang artinya
tidak ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah
kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya
lubang yang normal.
a. DEFENISI
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz,
2002). Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya
lubang atau saluran anus (Donna, 2003). Atresia ani adalah tidak
lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya
anus secara abnormal (Suradi, 2001).
28

B. KLASIFIKASI
Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga
feses tidak dapat keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum
c. ETIOLOGI
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada
sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :
1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang anus.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena
ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu
atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin
yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai 19
sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain
juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan
kongenital saat lahir, seperti :
1. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali
pada gastrointestinal.
2. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.

29

d.PATOFISIOLOGI
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal
secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus
dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari
embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang
menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur
anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal
anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan
perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan
fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis
sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan
usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak
dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya
saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir 20
tanpa lubang anus. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga
letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit
perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan
fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi
tidak menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani
sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.
e.MANIFESTASI KLINIS
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih
tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita
sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air
besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula
rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang
rektoperineal. Gejala yang akan timbul :
1.) Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.
30

2.) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.21


3.) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya
salah.
4.) Perut kembung.
5.) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani
biasanya anus tampak merah, usus melebar, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi
terdengar hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam waktu 24 jam
setelah bayi lahir, tinja dalam urine dan vagina.
f. KOMPLIKASI
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2. Obstruksi intestinal
3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
4. Komplikasi jangka panjang :
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.
g.PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :
a. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding
abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan
lubang biasanya sementara atau permanen dari usus besar atau colon
iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari
setelah lahir.
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai 12
bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk
membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga
memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah
baik status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah
operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan
sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya
dan agak padat.
h.PEMERIKSAAN PENUNJANG
31

Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan


penunjang sebagai berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk 23
mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi
oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rektum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.
VI.

FISSURA ANI DAN FISTULA ANI

a.PENGERTIAN
Fissura ani adalah robeknya bagian superfisial anoderma secara linier yang dapat
disebabkan karena pelebaran jalan keluar akibat feses yang mengeras. Robekan ini berada
dibagian distal linea dentate. Fisura ani merupakan salah satu gangguan anorektal yang
banyak ditemukan baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Fissura ani adalah
robeknya batas kulit bagian dari anal kanal sehingga area linea dentata ke anal verge,
lebarnya beberapa milimeter, jarang yang melebihi satu sentimeter. Inisiasi oleh BAB
karena feses yang besar dan keras terutama di bagian posterior oleh karena support otot
pada bagian ini kurang. Insidensi terutama pada usia muda atau pertenghan
(Schwartz) .Fissura ani adalah suatu ulkus di mukosa anal kanal, biasanya karena trauma
sekunder dari konstipasi, feses yang keras, kriptitis, dan ulserasi mukosa yang menutupi
hemmorrhoid.(Sabiston) Fissura adalah lepasnya epitel dari anal kanal, diatas sphincter
interna, sangat nyeri oleh karena letaknya dibawah mucocutaneous junction. (Current)

32

Gambar. Fissura ani


Fistula ani merupakan suatu peradangan saluran diantara anal kanal dan kulit.
Fistula dapat dibagi kedalam 4 kategori berdasarkan hubungan fistula dengan otot
sphincter, yaitu: intersphincteric, transsphincteric, suprasphincteric, dan extrasphincteric

Gambar. Fistula ani

b.PATOFISIOLOGI
Pada fissura ani, daerah yang sering terkena adalah daerah distal linea dentate.
Sekitar 90% dari fissura ani terjadi di garis tengah bagian posterior dimana merupakan
bagian terlemah dari otot-otot yang melingkari anus. 10% terjadi dibagian anterior dari
garis tengah.
Fissura ani dikatakan akut bila penyakit terjadi kurang dari 6 minggu, dan
dikatakan khronis bila sudah lebih dari 6 minggu.
33

o
o

o
o

o
o
o

Kebanyakan fistula ani berasal dari kripta anal, dimana akan mengalami infeksi
sehingga menimbulkan abses. Bila abses tersebut pecah atau terbuka, maka akan
terbentuk suatu fistula
c. ETIOLOGI
Feses yang mengeras
Diarrhea khronik
Penggunaan cathartic
Trauma ani (terjadi karena anal intercourse atau pemeriksaan rektum menggunakan
spekulum)
Penyebab fistula ani diantaranya karena pecahnya/terbukanya abses perianal atau abses
ischiorectal yang cepat mengering membentuk fistula.
Fissura ani dapat ditemukan pada penderita syphilis dan penyakit kelamin lainnya,
tuberculosis, leukemia, inflammatory bowel disease seperti Crohn disease, tindakan
bedah didaerah anal sebelumnya, HIV, dan kondisi atau penyakit lainnya.
Incidensi fissura ani pada penderita leukemia sekitar 24%.
Fistula juga dapat ditemukan pada penderita inflammatory bowel disease,
khususnya Crohn disease. Insidensi terjadinya fissura pada penderita Crohn disease
adalah 30-50%.
Fistula ani juga berhubingan dengan diverticulitis, reaksi tubuh terhadap benda
asing, actinomycosis, chlamydia, lymphogranuloma venereum (LGV), syphilis,
tuberculosis, paparan radiasi, dan HIV.
Sekitar 30% penderita HIV dapat mengalami abses anorektal dan terjadi fistula.
d. MANIFESTASI KLINIS
Anamnesis
Nyeri didaerah rektum, biasanya digambarkan seperti rasa terbakar, rasa terpotong, atau
seperti terasa robekan.
Nyeri sejalan dengan kontraksi usus; spasme anus perlu dicurigai terjadinya fissura ani.
Buang air besar berdarah
Khas, ditemukannya darah warna merah terang pada permukaan feses. Darah
biasanya tidak bercampur dengan feses.
Kadang-kadang, darah ditemukan pada tisue toilet saat membersihkan anus.
Mucoid discharge
Pruritus
Penderita fistula ani mengeluh timbul bau busuk dari bagian perianal, pruritus, absces
berulang, demam, atau nyeri didaerah perianal.
Nyeri kadang hilang dengan sendirinya sejalan dengan terbukanya abses atau
terbentuknya saluran baru.
Nyeri dirasakan saat duduk, bergerak, buang air besar, atau bahkan saat batuk.
Nyeri biasanya makin lama makin meningkat dan dapat dirasakan sepanjang hari.

34

o
o

o
o
o

o
o
o
o
o

Pemeriksaan Fisik
Diawali dengan memposisikan penderita secara optimal; posisikan pasien dalam posisi
lateral decubitus dengan lutut ditekuk menempel pada nagian dada.
Periksa pasien secara hati-hati untuk menghindari rasa nyeri. Saat pemeriksaan dapat juga
digunakan zat analgetik topikal seperti lidokain jelly, sebelum dilakukan pemeriksaan
rektal toucher.
Kebanyakan fissura ani dapat terlihat dari luar saat terjadi pergerakan usus.
Perhatikan dalamnya fissura dan posisinya dari garis tengah,
Robekan kebanyakan ditemukan dibagian posterior dari garis tengah.
Pemeriksaan rektum terkadang sulit dilakukan karena rasa sakit dan spasme sphincter.
Fissura ani akut terlihat eritem dan mudah berdarah.
Fissura ani khronik ditandai dengan tiga gejala klasik sebagai berikut :
Ulkus yang dalam
Sentinel pile, dimana terbentuk saat bagian dasar fissura mengalami edema dan
hipertropi
Papilla anal membesar
Pemeriksaan rektum pada penderita fistula ani dapat memperlihatkan saluran dari
fistula tersebut.
Fistula dapat diidentifikasi sebagai lingkaran kecil granulasi jaringan, dimana
akan mengeluarkan pus saat ditekan.
Saluran fistula yang terbuka dapat terlihat dengan bantuan anoskopi.
Kelenjar getah bening inguinal dapat membesar dan sakit.
Pada fistula akut yang mengalami abses, tanda pasti inflamasi; rubor, dolor, calor,
dan tumor dapat ditemukan.
Lokasi abses pada fistula ani :
Perianal(60%)
Ischiorectal(20%)
Intersphincteric(5%)
Supralevator(4%)
Submucosal(1%)

35

Gambar. Lokasi abses


Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis fissura ani didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien fistula ani yaitu dengan
melakukan pemeriksaan hitung jenis darah dan kultur darah.
o
Perhatikan jumlah sel darah putih.

e. TERAPI
Tindakan yang dapat dilakukan :
Penggunaan WASH regimen dalam menangani fissura ani.
o
Warm water (air hangat)
o
Analgesic
o Stool softener (melunakan feses)
o High-fiber diet (diet tinggi serat)

Fissura ani berat dapat sembuh dalam 2-4 minggu dengan terapi suportif. Fissura ani
khronik sering memerlukan tindakan pembedahan.
Kebanyakan prosedur pembedahan biasanya dilakukan dengan melebarkan atau
memotong sphincter bagian dalam. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan adalah
lateral internal sphincterotomy. Botulinum toxin juga dapat digunakan sebagai alat terapi
fissura ani.

36

Gambar. Open sphincterotomy

Terapi fistula ani tergantung pada (1) keadaan penderita, (2) ada sepsis atau abses yang
besar, atau (3) tidak ditemukan hal yang membahayakan pada pemeriksaan fisik.
o
Dapat diberikan antibiotik intravena, antipyretic, dan analgesic.
Obat-Obatan :
Untuk terapi fissura ani, tidak ada obat lain selain untuk melunakan feses untuk
mengurangi rasa sakit yang terjadi.
Antibiotik mungkin diperlukan dalam penanganan fistula ani, khususnya pada
penderita yang memperlihatkan tanda-tanda gejala sistemik.
Laxative/Zat pelunak

Psyllium (Fiberall, Metamucil, Konsyl)


Dewasa : 1-2 wafers, 1-2 packets, or 1-2 sendok teh diencerkan dalam 240 mL cairan 3x1

Muscle relaxant

Diazepam (Valium)
5 mg/kg/d PO tid prn
spasm 5-10 mg slow IV/IM
Antibiotics

37

Metronidazole (Flagyl)
Loading dose 1 g atau 15 mg/kg IV, kemudian 500 mg atau 7.5 mg/kg IV/PO q6h

Ampicillin and sulbactam (Unasyn)


1.5-3 g IV/IM q6-8h

Ticarcillin and clavulanate potassium (Timentin)


3.1 g IV q6h

38

BAB IV
KESIMPULAN
Kelainan kongenital pada bayi merupakan kelainan anatomi yang disebabkan oleh
berbagai faktor, baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Kelainan kongenital tersebut
akan mempengaruhi kualitas hidup bayi. Tingkat morbiditas dan mortalitas dari kelainan
kongenital anatomi sistem digestivus bagian atas bergantung kepada jenis kelainan,
tingkat kelainan, dan penatalaksanaan dari kelainan itu sendiri.

39

1. LABIOPALATOSKISIS
BAB 1
PENDAHULUAN
A LATAR BELAKANG
Kasus bibir sumbing dan celah langit-langit merupakan cacat bawaan yang masih
menjadi masalah di tengah masyarakat. Antara Februari - Mei 1992, IKABI cabang
Padang mengadakan pengabdian masyarakat di dua Kabupaten 50 Kota dan Solok
berbentuk operasi bibir sumbing secara gratis. Dilakukan penelitian pada 126 penderita yang
dilakukan operasi. Hardjowasito dengan kawan-kawan di propinsi Nusa Tenggara Timur
antara

April

1986

sampai

Nopember

1987

melakukan

operasi

pada 1004 kasus bibir sumbing atau celah langit-langit pada bayi, anak maupun dewasa di
antara 3 juta penduduk.
Pada dasarnya kelainan bawaan dapat terjadi pada mulut, yang biasa disebut
labiopalatoskisis. Kelainan ini diduga terjadi akibat infeksi virus yang diderita ibu pada
kehamilan trimester 1. jika hanya terjadi sumbing pada bibir, bayi tidak akan mengalami
banyak gangguan karena masih dapat diberi minum dengan dot biasa. Bayi dapat mengisap
dot

dengan

baik

asal

dotnya

diletakan

dibagian

bibir

yang

tidak

sumbing.

Kelainan bibir ini dapat segera diperbaiki dengan pembedahan. Bila sumbing mencakup pula
palatum mole atau palatum durum, bayi akan mengalami kesukaran minum, walaupun bayi
dapat menghisap naun bahaya terdesak mengancam. Bayi dengan kelainan bawaan ini akan
mengalami gangguan pertumbuhan karena sering menderita infeksi saluran pernafasan akibat
aspirasi.keadaan umur yang kurang baik juga akan menunda tindakan untuk meperbaiki
kelainan tersebut.

40

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Labio/plato skisis adalah merupakan kongenital anomali yang berupa adanya
kelainan bentuk pada struktur wajah. Palatoskisi adalah adanya celah pada garis tengah
palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan
7-12 minggu.
Labio Palato skisis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah
mulut, palato skisis (subbing palatum) dan labio skisis (sumbing tulang) untuk menyatu
selama perkembangan embrio (Hidayat, Aziz, 2005:21)
Palatos kisis adalah fissura garis tengah pada polatum yang terjadi karena
kegagalan dua sisi untuk menyatu karena perkembangan embriotik (wong,Dona L. 2003)
Beberapa jenis bibir sumbing :
a. Unilateral incomplete
Apabila celah sumbing terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan tidak memenjang
hingga ke hidung.
b. Unilteral complete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir dan memanjang hingga ke
hidung.
c. Bilateral complete
Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.

B. ETIOLOGI
1. Faktor Heriditer
Sebagai faktor yang sudah dipastikan. Gilarsi : 75% dari faktor keturunan resesif
dan 25% bersifat dominan.
a. Mutasi gen.
b. Kelainan kromosom
2. Faktor Eksretnal / Lingkungan.
a. Faktor usia ibu.

41

b. Obat-obatan.

Asetosal,

Fenasetin,Sulfonamid,

Aspirin

Aminoglikosid,

(SCHARDEIN-1985)
Indometasin,

Asam

Rifampisin,
Flufetamat,

Ibuprofen,Penisilamin, Antihistamin dapat menyebabkan celah langit-langit.


Antineoplastik, Kortikosteroid.
c. Nutrisi .
d. Penyakit infeksi Sifilis, virus rubella.
e. Radiasi.
f. Stres emosional.
g. Trauma, (trimester pertama).
C. PATOFISIOLOGI
Bibir sumbing merupakan kelainan kongenital yang memiliki prevalensi cukup
tinggi. Bibir sumbing memiliki beberapa tingkant kerusakan sesuai organ yang
mengalami kecacatannya. Bila hanya dibibir disebut labioschizis, tapi bisa juga mengenai
gusi dan palatum atau langit-langit. Tingkat kecacatan ini mempengaruhi keberhasilan
operasi.
Cacat bibir sumbing terjadi pada trimester pertama kehamilan karena tidak
terbentuknya suatu jaringan di daerah tersebut. Semua yang mengganggu pembelahan sel
pada masa kehamilan bisa menyebabkan kelainan tersebut, misal kekurangan zat besi,
obat2 tertentu, radiasi. Tak heran kelainan bibir sumbing sering ditemukan di desa
terpencil dengan kondisi ibu hamil tanpa perawatan kehamilan yang baik serta gizi yang
buruk.
Bayi-bayi yang bibirnya sumbing akan mengalami gangguan fungsi berupa
kesulitan menghisap ASI, terutama jika kelainannya mencapai langit-langit mulut. Jika
demikian, ASIdari ibu harus dipompa dulu untuk kemudian diberikan dengan sendok atau
dengan botol berlubang besar pada bayi yang posisinya tubuhnya ditegakkan. Posisi bayi
yang tegak sangat membantu masuknya air susu hingga ke kerongkongan. Jika tidak
tegak, sangat mungkin air susu akan masuk ke saluran napas mengingat refleks

42

pembukaan katup epiglottis( katup penghubung mulut dengan kerongkongan) mesti


dirangsang dengan gerakkan lidah, langit-langit, serta kelenjar liur.
Bibir sumbing juga menyebabkan mudah terjadinya infeksi di rongga hidung,
tenggorokan dan tuba eustachius (saluran penghubung telinga dan tenggorokan) sebagai
akibat mudahnya terjadi iritasi akibat air susu atau air yang masuk ke rongga hidung dari
celah sumbingnya.
1. Kegagalanpenyatuanatauperkembanganjaringanlunak

dan

atautulangselama

fase

embrio pada trimester I.


2. Terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nosal medial dan
maksilaris untuk menyatu terjadi selama kehamilan 6-8 minggu.
3. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh
kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu.
4. Penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara 7-8 minggu masa kehamilan.
D. MANIFESTASI KLINIS
a. Pada labio Skisis:
1. Distorsi pada hidung.
2. Tampak sebagian atau keduanya.
3. Adanya celah pada bibir.
b. Pada palato skisis:
1. Tampak ada celah pada tekak (uvula), palato lunak, dan keras dan atau foramen
2.
3.
4.
5.

incisive.
Adanya rongga pada hidung.
Distorsi hidung.
Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari.
Kesukaran dalam menghisap atau makan.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pada Labio palatoskisis umumnya dilakukan pemeriksaan:
43

1. Foto rontgen
2. Pemeriksaan fisisk
3. MRI untuk evaluasi abnormal
Juga terdapat pemeriksaan terapeutik, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.

Penatalaksanaan tergantung pada beratnya kecacatan.


Prioritas pertama adalah pada teknik pemberian nutrisi yang adekuat.
Mencegahkomplikasi.
Fasilitas pertumbuhan dan perkembangan.
Pembedahan: pada labio sebelum kecacatan palato; perbaikan dengan pembedahan
usia 3 hari atau sampai usia beberapa minggu prosthesis intraoral atau ekstraoral
untuk mencegah kolaps maxilaris, merangsang pertumbuhan tulang, dan membantu
dalam perkembangan bicara dan makan, dapat dilakukan sebelum penbedahan

perbaikan.
6. Pembedahan pada palate dilakukan pada waktu 6 bulan dan 2 tahun, tergantung pada
derajat kecacatan. Awal fasilitas penutup anadalah untuk perkembangan bicara.
F. KOMLIKASI
Komlikasi yang terjadi pada Labio Palatoskisis,yaitu :
1. Gangguan bicara dan pendengaran.
2. Terjadinya otitis media.
3. Asirasi.
4. Distress pernafasan.
5. Risisko infeksi saluran nafas.
6. Pertumbuhan dan perkembangan terhambat.
7. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh atitis media rekureris sekunder akibat
disfungsi tuba eustachius.
8. Masalah gigi
9. Perubahan harga diri dan citra tubuh yang dipengaruhi derajat kecacatan dan jaringan
paruh.

44

BAB II
PENUTUP
i. KESIMPILAN

Labio Palato skisis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah
mulut, palato skisis (subbing palatum) dan labio skisis (sumbing tulang) untuk menyatu
selama perkembangan embrio (Hidayat, Aziz, 2005:21).
Penyebab terjadinya Labio Palatoskisis terjadi dalam dua faktor yaitu faktor
heriditer dan faktor eksternal atau faktor dari luar.
Komplikasi dapat terjadi pada Labio Palatoskisis adalah Gangguan bicara dan
pendengaran, Terjadinya otitis media, Asirasi, Distress pernafasan, Risisko infeksi saluran
nafas, Pertumbuhan dan perkembangan terhambat, Gangguan pendengaran yang
disebabkan oleh atitis media rekureris sekunder akibat disfungsi tuba eustachius, Masalah
gigi, dan Perubahan harga diri dan citra tubuh yang dipengaruhi derajat kecacatan dan
jaringan paruh.

45

2.ATRESIA ESOFAGUS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Atresia esofagus termasuk kelompok kelainan kongenital yang terdiri atas gangguan
kontinuitas esofagus dengan atau tanpa hubungan persisten dengan trakea. Pada penyakit ini,
terdapat suatu keadaan dimana bagian proksimal dan distal esofagus tidak berhubungan. Pada
bagian atas esofagus mengalami dilatasi yang kemudian berakhir sebagai kantung dengan
dinding muskuler yang mengalami hipertrofi yang khas memanjang sampai pada tingkat vertebra
torakal segmen 2-4. Bagian distal esofagus merupakan bagian yang mengalami atresia dengan
diameter yang kecil dan dinding muskuler yang tipis. Bagian ini meluas sampai bagian atas
diafragma).
Sekitar 50% bayi dengan atresia esofagus juga mengalami beberapa anomali terkait.
Malformasi kardiovaskuler, malformasi rangka termasuk hemivertebra, dan perkembangan
abnormal radius serta malformasi ginjal dan urogenital sering terjadi; semua kelainan itu disebut
sindrom vacterl (vertebral defect, malformasi anorektal, defek kardiovaskuler, defek
trakeoesofagus, kelainan ginjal , dan defek pada anggota tubuh).

46

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian Atresia Esofagus
Atresia esofagus adalah malpormasi yang disebabkan oleh kegagalan esofagus untuk
mengadakan pasase yang kontinu : esophagus mungkin saja atau mungkin juga tidak membentuk
sambungan dengan trakea (fistula trakeoesopagus) atau atresia esophagus adalah kegagalan
esophagus untuk membentuk saluran kotinu dari faring ke lambung selama perkembangan
embrionik adapun pengertian lain yaitubila sebua segmen esoofagus mengalami gangguan dalam
pertumbuhannya (congenital) dan tetap sebaga bagian tipis tanpa lubang saluran.
Terdapat suatu penyakit yang sering menyertai penyakit ini yakni fistula trakeoesofagus.
Fistula trakeoesofagus adalah suatu kelainan hubungan antara trakea dan esofagus. Jika
berhubungan dengan atresia esofagus biasanya fistula terdapat antara bagian distal segmen
esofagus dan bagian trakea yang letaknya di atas karina. Meskipun begitu, kedua kelainan ini
dapat pula muncul pada beberapa tingkat antara kartilago krikoid dan karina, fistula
trakeosofagus dapat juga berjalan oblik pada bagian akhir proksimal trakea atau pada tingkat
vertebra torakal segmen kedua.
Lebih jarang atresia esofagus atau fistula trakeoesofagus terjadi sendiri-sendiri atau
dengan kombinasi yang aneh. Pada 86% kasus terdapat fistula trakeo esofagus di distal, pada 7%
kasus tanpa fistula. Sementara pada 4% kasus terdapat fistula trakeo esofagus tanpa atresia,
terjadi 1 dari 2500 kelahiran hidup.
2.2 Tipe Atresia Esofagus

Tipe A
(5% sampai 8%) kantong buntu disetiap ujung asofagus, terpisah jauh dan

tanpahubungan ke

trakea

Tipe B
(jarang) kantong buntu disetiap ujung esophagus dengan fistula dari trakea ke segmen esophagus
bagian atas.
47

Tipe C
(80% sampai 95%) segmen esophagus proksimal berakhir pada kantong buntu, dan segmen
distal dihbungkan ke trakea atau bronkus primer dan fistula pendek pada atau dekat bifurkasi.

Tipe D (jarang)
Kedua segmen esophagus atas dan bawah dihubungkan ke trakea.

Tipe E (jarang disbanding A atau C)


Sebaliknya trakea dan esophagus nomal dihubungkan dengan fistula umum.

I.

Insiden
Secara internasional penemuan penyakit ini jarang tergantung pada kawasan yang
berbeda di seluruh dunia, dimana diperkirakan sekitar 0,4-3,6 kasus per-10.000 kelahiran. Di
Amerika Utara insiden dari Atresia Esofagus berkisar 1:3000-4500 dari kelahiran hidup, dimana
sepertiganya merupakan kelahiran prematur. Angka ini makin lama makin menurun dengan
sebab yang belum diketahui. Secara internasional angka kejadian paling tinggi terdapat di
Finlandia yaitu 1:2500 kelahiran hidup. Atresia Esofagus 2-3 kali lebih sering pada janin yang
kembar.

II.

Epidemiologi
Atresia esofagus pertama kali dikemukakan oleh Hirschprung seorang ahli anak dan

Copenhagen pada abad 17 tepatnya pada tahun 1862 dengan adanya lebih kurang 14 kasus
atresia esophagus. Kelainan ini sudah diduga sebagai suatu malformasi dari traktus
gastrointestinal.
Meskipun sejarah penyakit atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus telah dimulai pada
abad ke 17, namun penanganan bedah terhadap anomali tersebut tidak berubah sampai tahun
1869. Baru pada tahun 1939, Leven dan Ladd telah berhasil menyelesaikan penanganan terhadap
atresia esophagus. Lalu di tahun 1941 seorang ahli bedah Cameron Haigjit dad Michigan telah
berhasil melakukan operasi pada atresia esofagus dan sejak itu pulalah bahwa Atresia Esofagus
sudah termasuk kelainan kongenital yang bisa diperbaiki.
Kecenderungan peningkatan jumlah kasus atresia esophagus tidak berhubungan dengan
ras tertentu. Namun dari suatu penelitian didapatkan bahwa insiden atresia esophagus paling

48

tinggi ditemukan pada populasi kulit putih (1 kasus per10.000 kelahiran) dibanding dengan
populasi non-kulit putih (0,55 kasus per 10.000 kelahiran).
Jenis kelamin laki-laki memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan pada perempuan
untuk mendapatkan kelainan atresia esophagus. Rasio kemungkinan untuk mendapatkan kelainan
esophagus antara laki-laki dan perempuan adalah sebesar 1,26:1. Atresia esophagus dan fistula
trakeoesofagus adalah kelainan kongenital pada neonatus yang dapat didiagnosis pada waktuwaktu awal kehidupan. Beberapa penelitian menemukan insiden atresia esophagus lebih tinggi
pada ibu yang usianya lebih muda dari 19 tahun dan usianya lebih tua dari 30 tahun, dimana
beberapa penelitian lainnya juga mengemukakan peningkatan resiko atresia esophagus terhadap
peningkatan umur ibu.
III. Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan terjadinya
kelainan atresia esophagus, hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2 % jika salah satu dari
saudara kandung yang terkena. Atresia esophagus lebih berhubungan dengan sindroma trisomi
21,13 dan 18 dengan dugaan penyebab genetik. Namun saat ini, teori tentang terjadinya atresia
esophagus menurut sebagian besar ahli tidak lagi berhubungan dengan kelainan genetik.
Perdebatan tentang proses embriopatologi masih terus berlanjut.
Selama embryogenesis proses elongasi dan pemisahan trakea dan esophagus dapat
terganggu. Jika pemisahan trekeoesofageal tidak lengkap maka fistula trakeoesofagus akan
terbentuk. Jika elongasi melebihi proliferasi sel sebelumnya, yaitu sel bagian depan dan belakang
jaringan maka trakea akan membentuk atresia esophagus.
Atresia esophagus dan fistula trakeoesofagus sering ditemukan ketika bayi memiliki
kelainan kelahiran seperti :

Trisomi

Gangguan saluran pencernaan lain (seperti hernia diafragmatika, atresia duodenal, dan
anus imperforata).

Gangguan jantung (seperti ventricular septal defect, tetralogifallot, dan patent ductus
arteriosus).

Gangguan ginjal dan saluran kencing (seperti ginjal polisistik atau horseshoe kidney,
tidak adanya ginjal,dan hipospadia).
49

Gangguan Muskuloskeletal

Sindrom VACTERL (yang termasuk vertebr, anus, candiac, tracheosofagealfistula, ginjal,


dan abnormalitas saluran getah bening).

Lebih dari setengah bayi dengan fistula atau atresia esophagus memiliki kelainan lahir lai

IV. Anatomi
Esophagus adalah sebuah saluran yang terdiri atas otot yang menghubungkan faring
dengan gaster. Pada pangkalnya esophagus terletak pada linea mediana, ketika masuk kedalam
kavum thoraks tergeser sedikit ke sebelah kiri linea mediana. Disebelah ventral esophagus
terdapat trakea, bronkus kiri, pericardium, dan diafragma. Disebelah dorsal esophagus terdapat
dataran ventral columna vertebralis, arteri intercostale desktra, duktus torakikus, dan vena
hemiazigos.
Adapun vascularisasi esophagus diperoleh dari percabangan arteri thyroidea inferior,
aorta descendens, arteria bronchialis, arteri gastrica sinistra, serta arteri pherenica inferior
sisnistra. Sedangkan innervasinya diperoleh dari cabang-cabang nervus recurrens, nervus vagus
dan truncus simpaticus.
V. Patofisologi
Beberapa teori menjelaskan bahwa masalah pada kelainan ini terletak pada proses
perkembangan esophagus. Trakea dan esophagus berasal dari embrio yang sama. Selama minggu
keempat kehamilan, bagian mesodermal lateral pada esophagus proksimal berkembang.
Pembelahan galur ini pada bagian tengah memisahkan esophagus dari trakea pada hari ke- 26
masa gestasi.
Kelainan notochord, disinkronisasi mesenkim esophagus dan laju pertumbuhan epitel,
keterlibatan sel neural, serta pemisahan yang tidak sempurna dari septum trakeosofageal
dihasilkan dari gangguan proses apoptosis yang merupakan salah satu teori penyebab
embryogenesis atresia esophagus. Sebagai tambahan bahwa insufisiensi vaskuler, faktor genetik,
defisiensi vitamin, obat-obatan dan penggunaan alkohol serta paparan virus dan bahan kimia
juga berkontribusi pada perkembangan atresia esophagus.
Berdasarkan pada teori-teori tersebut, beberapa fektor muncul menginduksi laju dan
waktu pertumbuhan dan froliferasi sel pada proses embrionik sebelumnya. Kejadian ini biasa
50

terjadi sebelum 34 hari masa gestasi. Organ lainnya seperti traktus intestinal, jantung, ginjal,
ureter dan sistem masculoskeletal, juga berkembang pada waktu ini, dan organ-organ tersebut
tidak berkembang secara teratur dengan baik.
2.3 Klasifikasi Atresia Esofagus
Klasifikasi asli oleh Vogt tahun 1912 masih digunakan sampai saat ini. Gross pada tahun
1953 memodifikasi klasifikasi tersebut, sementara Kluth 1976 menerbitkan Atlas Atresia
Esofagus yang terdiri dari 10 tipe utama, dengan masing-masing subtype yang dilaksanakan
pada klasifikasi asli dan Vogt.Hl ini terlihat lebih mudah intuk menggabarkan kelainan anatomi
dibandingkan memberi label yang sulit untuk dikenali. Adapun kasifikasi atresia esophagus
menurut Voght adalah sebagai berikut:
1. Atresia esophagus dengan fistula trakeoesofagus distal
Merupakan gambar yang paling sering pada proksimal esophagus, terjadi dilatasi dan
penebalan dinding otot berujung pada mediastinum superior setinggi vetebra thoracal III/IV.
Esofagus distal (Fistel), yang mana lebih tipis dan sempit, memasuki dinding posterior trakea
setinggi carina atau 1-2 cm diatasnya. Jarak antara esophagus proksimal yang buntu dan fistula
trakheaesofagus distal bervariasi mulai dari bagian yang overlap hingga yang berjarak jauh.
2. Atresia esophagus terisolasi tanpa fistula
Esofagus distal dan proksimal benar-benar berakhir tanpa hubungan dengan segmen
esophagus proksimal, dilatasi dan dinding menebal dan biasanya berakhir setinggi mediastinum
posterior sekitar vetebra thorakalis II. Esofagus distal pendek dan berakhir pada jarak yang
berbeda diatas diagframa.
3. Fistula trakeosofagus tanpa atresia
Terdapat hubungan seperti fistula antara esophagus yang secara anatomi cukup intak
dengan trachea. Traktus yang seperti fistula ini biasa sangat tipis dengan diameter 3-5 mm dan
umumnya berlokasi pada daerah servikal paling bawah. Biasanya satu tapi pernah ditemukan dua
atau tiga fistula.
4. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal
Gambar kelainan yang jarang ditemukan namun perlu dibedakan dari jenis terisolasi.
Fistula bukan pada ujung distal esofagus tapi berlokasi 1-2 cm diatas dinding depan esofagus.
51

5. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus distal dan proksimal


Pada kebanyakan bayi, kelainan ini sering terlewati (misdiagnosa) dan diterapi sebagai
atresia proksimal dan fistula distal. Sebagai akibatnya infeksi saluran pernapasan berulang,
pemeriksaan yang dilakukan memperlihatkan suatu fistula dapat dilakukan dan diperbaiki
keseluruhan. seharusnya sudah dicurigai dari kebocoran gas banyak keluar dari kantong atas
selama membuat/merancang anastomase.
I. DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Diagnosis dari atresia esofagus/fistula trakeoesofagus bisa ditegakkan sebelum bayi lahir.
Salah satu tanda awal dari atresia esofagus diketahui dari pemeriksaan USG prenatal yaitu
polihidramnion, dimana terdapat jumlah cairan amnion yang sangat banyak. Tanda ini bukanlah
diagnosa pasti tetapi jika ditemukan harus dipikirkan kemungkinan atresia esofagus.
Selain itu, diagnosa esofagus juga bisa ditentukan pada waktu diruang persalinan, karena
aspirasi paru adalah faktor yang menentukan prognosis. Kesulitan memasukkan kateter kedalam
lambung biasanya memperkuat kecurigaan. Kateter biasanya berhenti mendadak pada 10-11 cm
dari garis gusi atas.
Akan tetapi untuk penentuan diagnosis yang terbaik akan dijelaskan secara sistematik
sebagai berikut:

Memasukkan selang nasogastrik

Rontgen esofagus menunjukkan adanya kantong udara dan adanya udara di lambung
serta usus.

II. KLINIK
Secara umum atresia esofagus harus dicurigai pada pasien dengan :
(1). Kasus polihidramnion ibu,
(2). Jika kateter yang digunakan untuk resusitasi pada waktu lahir tidak bisa dimasukkan ke
dalam lambung,
(3). Jika bayi mengeluarkan sekresi mulut yang berlebihan,
(4). Jika tersendak, sionosis, atau batu pada waktu berupaya menelan makanan.

52

III. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan Gejala-gejala kelainan ini bervariasi tergantung dari tipe kelainan
trakeoesofagus yang ada. Biasanya disertai hidramnion (60%) dan hal ini pula yang
menyebabkan kenaikan frekuensi bayi lahir prematur, sebaiknya dari anamnesis didapatkan
keterangan bahwa kehamilan ibu diertai hidramnion hendaknya dilakukan kateterisasi esofagus.
Bila kateter terhenti pada jarak 10 cm, maka di duga atresia esofagus.
Bila pada bbl Timbul sesak yang disertai dengan air liur yang meleleh keluar, di curigai
terdapat atresia esofagus.
Segera setelah di beri minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena aspirasi
cairan kedalam jalan nafas.
Pada fistula trakeosofagus, cairan lambung juga dapat masuk kedalam paru, oleh karena
itu bayi sering sianosis.
Pada bayi yang dengan hanya atresia, diagnosis biasanya dibuat setelah kelahiran. Saliva
tidak bisa terletak secara mengisi mulut dan nostril kemudian mengalami regurgitasi. Bayi
dengan fistula pada bagian proksimal menghambat pernafasan, distress, dan sianosis selama
makan. Pada bayi dengan atresia dan fistula distula, saliva yang banyak dan regurgitasi muncul
bersamaan dengan sianosis dan pneumonia sekunder yang terjadi akibat refluks dari isi lambung.
Selain itu, udara biasanya masuk keperut, sehingga perut menjadi timpani dan mungkin menjadi
begitu kembung sehingga mengganggu pernapasan. Jika kedua fistula proksimal dan distal ada,
biasanya fistula proksimal yang memberikan gejala. Tipe yang berikutnya merupakan tipe fistula
trakeoesofagus tanpa atresia atau fistula tipe-H, akan menimbulkan gejala batuk dan tersedak
sewaktu makan, pneumonia berulang dan distensi abdomen intermitten. Pada beberapa kasus
yang jarang, kelainan dapat diagnosis pada masa kanak-kanak. Sedangkan pada pasien dewasa
biasanya muncul dengan pneumonia rekuren dan bronkiektasis.
Pada neonatus dengan atresia esofagus atau tracheasofageal fistual, trachea juga akan
mengalami gangguan yang dikenali sebagai tracheomalacia. Trhaceomalacia berarti trakea
menjadi lebih lunak dan rigiditasi lebih rendah dibanding normal. Tracheomalacia ini mungkin
bervariasi pada beberapa anak. Trahceaomalacia dapat menyebabkan barking cough. Hal ini
berpengaruh pada pertumbuhan. Terkadang tracheomalacia lebih berat dan butuh penanganan
tambahan.
53

IV PENGOBATAN
1. Medik
Pengobatan dilakukan dengan operasi.
Pada penderita atresia anus ini dapat diberikan pengobatan sebagai beriikut :
Fistula yaitu dengan melakukan kolostomia sementara dan setelah 3 bulan dilakukan koreksi
sekaligus.
Eksisi membran anal.
Sebelum dilakukan operasi, bayi diletakkan setengah duduk untuk mencegah terjadinya
regurgitasi cairan lambung ke dalam paru, cairan lambung harus sering diisap untuk mencegah
aspirasi.
V. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa timbul setelah operasi perbaikan pada atresia esofagus dan fistula
atresia esophagus adalah sebagai berikut :
1. Dismotilitas esophagus. Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot dingin esophagus. Berbagai
tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi ini. Komplikasi ini terlihat saat bayi sudah mulai
makan dan minum.
2.

Gastroesofagus refluk. Kira-kira 50 % bayi yang menjalani operasi ini kana mengalami
gastroesofagus refluk pada saat kanak-kanak atau dewasa, dimana asam lambung naik atau
refluk ke esophagus. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan obat (medical) atau pembedahan.

3. Trakeo esogfagus fistula berulang. Pembedahan ulang adalah terapi untuk keadaan seperti ini.
4. Disfagia atau kesulitan menelan. Disfagia adalah tertahannya makanan pada tempat esophagus
yang diperbaiki. Keadaan ini dapat diatasi dengan menelan air untuk tertelannya makanan dan
mencegah terjadinya ulkus.
5. Kesulitan bernafas dan tersedak. Komplikasi ini berhubungan dengan proses menelan makanan,
tertaannya makanan dan saspirasi makanan ke dalam trakea.
6. Batuk kronis. Batuk merupakan gejala yang umum setelah operasi perbaikan atresia esophagus,
hal ini disebabkan kelemahan dari trakea.

54

7. Meningkatnya infeksi saluran pernafasan. Pencegahan keadaan ini adalah dengan mencegah
kontakk dengan orang yang menderita flu, dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi vitamin dan suplemen.
2.4 Gambaran Radiologi
Pemeriksaan radiologi biasanya digunakan sebagai screening non-invasif untuk
mendiagnosis penyakit motilitasi esofagus. Biasanya pasien dengan disfagi memiliki beberapa
pemeriksaan konvensional, seperti pemeriksaan barium atau endoskopi.
Pada pelaksanaannya, bolus cairan atau makanan berjalan sepanjang esofagus oleh karena
tekanan peristaltik dan gravitasi. Proses ini dikenal sebagai esofagus transit yang berbeda dengan
esofagus clearance yang merupakan suatu proses pengosongan esofagus dari refluks bahanbahan makanan yang berasal dari usus.
Terdapat beberapa pemeriksaan radiologi yang dapat menunjang diagnosis atresia
esofagus. Kesemua pemeriksaan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
a) Foto Thoraks
Gambaran penebalan pada dinding posterior trakea merupakan suatu petunjuk adanya
kelainan pada esofagus. Dimana jika didapatkan penebalan difus pada mediastium dengan air
fluid level dapat disuspek dengan akalasia. Untuk massa pada esofagus cukup jarang dideteksi
dengan kunci untuk mengevaluasi motilitas, refluks, dan aspirasi.
Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah foto thoraks termasuk abdomen atas dengan
memasukkan sonde lambung kedalam esofagus, kalau perlu kateter diisi kontras non-ionik.
Diagnosis atresia esofagus dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto pada posisi postreroanterior
(PA) dan lateral. Dimana akan didapatkan gamabaran gulungan nasogastrik tube pada bagian
proksimal kantung esofagus. Selain itu, lokasi arkus aorta juga dapat terlihat. Pneumonia asprisai
(khususnya pada bagian lobus kanan atas) dan atelektasis juga sering didapatkan.
Selain itu, gangguan motilitas akan ditemukan pada anak dengan atresia esofagus dana
dapat dilihat videofluoroskopi. Pada gangguan motilitas esofagus gambaran yang didapatkan
adalah penyempitan esofagus, transit esofagus yang melambat, dan disorganisasi transit
esofagus.

55

Berikut gambaran foto thorak yang didapatkan sesuai dengan tipe atresia esofagus yang ada:
1. Atresia esofagus tanpa fistula.
Dilatasi dari kantong proksimal esofagus yang berisi udara, akan menyebabkan trakea maju ke
bagian depan.
Abdomen yang berisi gas mungkin terlihat. Udara normalnya terlihat di dalam perut 15 menit
setelah setelah kelahiran.
Kantung esofagus bagian bawah dapat dilihat dengan menggunakan barium atau pemasukan
dengan gastrostonomi.
2. Atresia esofagus dengan fistula distal.
Distensi gas pada bagian perut dan usus halus (disebabkan udara melewati fistula kemungkinan
akan ditemukan.
Foto akan memperlihatkan gambaran udara yang sedikit jika fistula okolusi.
Sejumlah udara akan terlihat pada esofagus, meskipun biasanya udara dalam esofagus pada
neonatus dan anak-anak normal.
3. Atresia esofagus dengan fistula proksimal.
Pada gamabaran radiografi, tanda-tandanya sama dengan yang didapatkan pada atresia esofagus
tanpa fistula.
Abdomen yang berisi gas dapat terlihat.
Pemeriksaan dengan menggunakan barium mungkin akan mengalami kegagalan dalam
pemeriksaan ini.
Gambaran fistula membutuhkan pemeriksaan videofluoroskopi selama pengisian pada kantung
proksimal.
4. Fistula tanpa atresia.
Pneumonia rekuren mungkin akan terlihat, dengan bentuk pneumonia secara umum.
Penggambaran fistula sulit dilakukan.
Sejumlah udara akan terlihat pada esophagus.
Pemeriksaan dengan kontras merupakan pemeriksaan pilihan untuk diagnosis. Kontrak non-ionik
merupakan pilihan kontras; dilusi barium dapat digunakan sebagai kontras alternatif. Jika pasien
diintubasi atau dengan foto kontas menunjukkan trakea tanpa gambaran fistula, maka esofagram
sebaiknya dilakukan.
56

b) Computed Tomography (CT)


Pemeriksaan CT-scan jarang dilakukan untuk mendiagnosa atresia esofagus. Pemeriksaan
ini merupakan periksaan 3 dimensi esofagus dalam hubungannya dengan struktur yang
berdekatan. Biasanya pemeriksaan ini digunakan pada pasien yang lebih dewasa. Gambar CTscan penampakan aksial sulit untuk diindefikasi; fistula kemungkinan hanya terlihat sebagian.
Pemeriksaan CT penampakan sagital selalu digunakan untuk diagnosis atresia esofagus pada
neonatus secara akurat. Metode ini dapat memperlihatkan gambar panjang esofagus, lengkap
dengan atresia, fistula dan batas-batasnya.
Pemeriksaan ini jika dikombinasikan dengan endoskopi akan lebih memberi keuntungan,
sebagai tambahan untuk memfasilitasi pemahaman hubungan anatomi yang kompleks.
c) Ultrasonografi (USG)
USG merupakan pemeriksaan yang tidak rutin dilakukan untuk diagnosis atresia esofagus
setelah kelahiran, akan tetapi dapat digunakan sebelum kelahiran. Pada pemeriksaan ini
ditemukan adanya gelembung udara pada perut fetus yang dikombinasikan dengan
polihidramnion pada ibu yang mengarah ke diagnosis atresia esofagos.
Diagnosa akurat meningkat jika terdapat area anehoik pada bagian tengah leher fetus,
tanda ini membedakan atresia esofagus dengan penyakit-penyakit gangguan menelan.
Terdapatnya dilatasi kantung esofagus yang buntu pada pemeriksaan ini dapat merujuk ke
atresia esofagus. tanda kantung ini telah didapatkan secara langsung pada usia 26 minggu masa
gestasi, tetapi onsetnya diperkirakan paling cepat 22 minggu. Kemungkinan hubungan antara
peningkatan tranlusens nuchal didapatkan pada trimester pertama dan atresia esofagus telah
ditemukan.
d) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Seperti pemeriksaan USG, MRI tidak disarankan untuk diagnosa atresia esofagus pada
bayi setelah kelahiran. Meskipun begitu, MRI memberikan gambar esofagus dan sekitarnya pada
posisi sgital dan karonal, dan resolusi kontrasnya lebih baik dibandingkan CT-scan. MRI sangat
jarang digunakan untuk menjelaskan lokasi arkus aorta, tetapi sering digunakan untuk diagnosa
molformasi congenital.
57

Tidak seperti USG, pemeriksaan MRI pada prenatal memberikan ganbar lesi sekitar
esofagus dan hubungan dan hubungan anatomi. MRI pada fetus memberikan bukti akurtat untuk
diagnosis atresia esofagus pada anak dengan resiko tinggi berdasarkan penemuan USG. Akan
tetapi, pemeriksaan MRI sulit untuk dilakukan pada kasus polihidramnion karena kualitas
gambar jelek.
e) Nuclear Imaging
Biasanya pemeriksaan ini tidak digunakan untuk mrngevaluasi atresia esofogus.
Meskipun demikian pemeriksaan ini digunakan pada beberapa keluhan motilitas setelah
perbaikan. Pemeriksaan scintigraph dan radionuclide dapat mendeteksi dan menghitung esofagus
transit, esofagus clearance dan GER.
f) Angiografi
Angiografi umumya tidak digunakan untuk diagnosis anak dengan atresia esofagus.
Tetapi pemeriksaan biasa digunakan untuk perencanaan penggantian atau perbaikan organ
esofagus, jika hal itu menjadi penanganan yang dipilih.
2.5 DIAGNOSIS
Tanda awal dari atresia esofagus pada bayi yang berupa polihidramnion menyebabkan
atresia esofagus memiliki banyak diferensial diagnosis, antara lain :
1. Atresia intestinal
2. Hidrofetalis
3. Cacat batang otak
4. Hernia difragmatika
5. Lesi intrathorakal
Atresia merupakan kasus gawat darurat. Prabedah, penderita seharusnya ditengkurapkan
untuk mengurangi kemungkinan isi lambung masuk ke paru-paru. Kantong esofagus harus secara
teratur dikosongkan dengan pompa untuk mencegah aspirasi sekret. Perhatikan yang cermat
harus diberikan terhadap pengendalian suhu, fungsi respirasi, dan pengelolaan anomaly
penyerta.Sebelum dilaksanakan tindakan bedah, maka anomali kogenital lain pada bayi terlebih
58

dahulu dievaluasi. Foto thoraks dapat mengevaluasi abnormalitas skeletal, malformasi


kordiovaskular, pneumonia dan lengkung aorta kanan. Foto abdomen bertujuan mengevaluasi
abnormalitas skeletal, obstruksi intestinal dan malrotasi. Foto thoraks dan abdomen biasanya
sudah mencukupi, penggunaan kontraks tidak terlaku sering dibutuhkan untuk mengevaluasi
atresia esofagus. Echocardiogram dan renal ultrasonogram mungkin dapat membantu.
Terkadang karena keadaan penderita, maka operasi dilakukan secara bertahap, tahap
pertama biasanya adalah pengikatan fistula dan pemasukan pipa gastrotomi untuk memasukkan
makanan, dan langkah kedua adalah anastomosis primer, makanan lewat mulut biasanya dapat
diterima. Esofagografi pada hari kesepuluh akan menolong keberhasilan anastomosis.
Adapun komplikasi-komplikasi yang bisa timbul setelah operasi perbaikan pada atresia
esofagus dan fistula trakeoesofagus adalah sebagai berikut:
a) Dismotilitas Esofagus. Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot dinding esofagus. Berbagai
tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi ini. Komplikasi ini terlihat saat bayi sudah mulai
makan dan minum.
b) Gastrosofagus refluks. Kira-kira 50% bayi yang menjadi operasi ini akan mengalami
gastroesofagus refluks pada saat kanak-kanak atau dewasa, dimana asam lambung naik atau
refluks ke esofagus. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan obat (medikal) atau pembedahan
c) Fistula trakeosofagus berulang. Pembedahan ulang adalah terapi untuk keadaan seperti ini.
d) Disfagia atau kesulitan menelan. Disfagia adalah tertahannya makanan pada tempat esofagus
yang diperbaiki.keadaan ini dapat diatasi dengan menelan air mutu tertelannya makanan dan
mencegah terjadinya ulkus.
e) Kesulitan bernafas dan tersendak. Konplikasi ini berhubungan dengan proses menalar makanan,
terhadap makanan dan aspirasi makanan kedalam trakea.
f)

Batuk kronis batuk merupakan gejala yang umum setelah operasi perbaikan atresia esophagus.
Hal ini disebabkan oleh kelemahan dari trakea.

g) Meningkatkan infeksi saluran pernafasan.pencegahan keadaan ini adalah dengan mencegah


kontak dengan orang yang menderita Flu, dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi vitamin dan suplemen.

59

2.6 PROGNOSIS
Tahun 1962, Waterson dkk membuat klasifikasi bayi yang lahir dengan Atresia Esofagus
menjadi 3 grup Dengan harapan hidup yang berbeda. Klasifikasi menurut BB lahir dan
kelainan lain yang berhubungan :
1. Menurut Berat Badan Lahir
a) Grup A : > 2500 gr dan baik
b) Grup B : BB lahir > tinggi & Pneumonia moderat dan kelainan kongenital
c) Grup C : BB lahir > timggi & pneumonia berat dan kelainan kongenital berat.
Klasifikasi ini merujuk pada 113 kasus yang ditangani dari RS Great Ormond Street dari
1951-1959. 38 bayi grup A, hampir semua selamat (95%) hanya 2 yang tidak. Dari 43 bayi di
grup B, 29 selamat (68%) sementara hanya 2 bayi dari 32 yang selamat di grup C.
Selama 40 tahun telah terjadi peningkatan angka survival rate berkaitan dengan diagnosa
dan terapi pada kelainan lain yang berhubungan. Kemajuan di bidang teknik anestesi dan
intensive care bagi neonatus cukup memuaskan.
Klasifikasi waterson berdasarkan 357 bayi dengan atresia esofagus yang dirawat di rumah
sakit dari 1980-1992 :
1) Grup A. 153 dari 154 selamat (99%)
2) Grup B. 72 dari 36 selamat (95%)
3) Grup C.101 dari 142 selamat (72%)
Jelaslah bahwa sistem klasifikasi berdasarkan resiko baru diperlukan sesuai era yang sudah
modern. Klasifikasi berdasarkan resiko, baru meliputi berat badan lahir dan malfomasi jantung
yang bertanggung jawab pada sebagian besar kematian.
2. Klasifikasi Menurut Kelainan Lain Yang Menyertai
Klasifikasi menurut Spitz terhadap keselamatan pada atresia esofagus :
Grup I : BB lahir > 1500 gr tanpa kelainan jantung mayor (utama)
Grup II : BB lahir < 1500 gr atau dengan kelainan jantung mayor
Grup III : BB lahir < 1500 gr + kelainan jantung mayor

60

Kelainan jantung mayor didefinisikan sebagai kelainan jantung kongenital sianotik yang
memerlukan terapi paliatif atau lebih atau kelainan jantung kongenital cyanotic yang
memerlukan bedah untuk gagal jantung.
Berdasarkan klasifikasi scheme, angka keselamatan di grup I 96 %, grup II 59 % dan
grup III 22 % pada tahun 1980, tetapi sudah meningkat menjadi 98 %, 82% dan 58 % pada saat
ini. Penelitian dari montreal mengidentifikasikan hanya preoperative yang tergantung ventilator
dan kelainan penyerta yang berat dengan prognasis signifikan.

61

BAB III
PENUTUP

3 . 1 K e s i mp u l a n
Atresia

esofagus

merupakan

suatu

kelainan

kongenital

dengan

variasi

fistulatrakeoesofageal maupun kelainan kongenital lainnya. Atresia esofagus yang


dapat dicurigai sejak kehamilan, dan di diagnosa segera setelah bayi baru lahir.
Bahaya utama pada atresia esofagus adalah resiko aspirasi, sehingga perlu dilakukan
suction berulang. Penatalaksanaanya pada atresia esofagus adalah pembedahan, tetapi
tetap dapat meninggalkan komplikasi lebih lanjut yang berhubungan dengan
gangguan motilitas esofagus.
3.2 Saran
Perlu dilakukan pemeriksaan dengan NGT untuk mencari ada tidaknya atresia
esofagus pada bayi baru lahir terutama dengan faktor resiko ibu yang memiliki
polihidramnion ataupun tanda dari bayi seperti mulut berbusa,air liur yang terus
keluar, batuk, dan sesak nafas, ataupun kembung.Dalam perujukan,perlu dilakukan
tindakan khusus saat pemindahan, yaitu untuk mencegah hipotermia, sumbatan jalan
nafas dan aspirasi.Dengan suction berulang,dan gangguan sirkulasi berulang, dan
gangguan sirkulasi seperti dehidrasi, hipoglikemia dan gangguan elektrolit dengan
pemberian cairan intravena.

62

3. STENOSIS PYLORIC
BAB I
TEORI
I. DEFINISI
Stenosis pilorik adalah penyempitan di bagian ujung lubang tepat makanan keluar
menuju ke usus haluas. Akibat penyempitan tersebut, hanya sejumlah kecil isi lubang yang bisa
masuk ke usus, selebihnya akan dimuntahkan sehingga anak mengalami penurunan berat badan.
Gejala tersebut biasanya muncul pada usia 2-6 minggu selain muntah hebat dan menyemprot,
bayi juga terus menerus merasa lapar, buang air besar tidak teratur serta gelisah. Dokter akan
melakukan berbagai pemeriksaan dan bila terbukti diagnosisnya stenosis pilorik, diperlukan
tindakan bedah untuk melebarkan daerah yang menyempit.
II. EPIDEMIOLOGI/INSDIEN KASUS
Stenosis pilorik terjadi pada usia < 2 tahun dan tampil dengan muntah-muntah refrakter setelah
diberi makan. Paling sering pada anak laki-laki pertama, dan bisa terdapat gangguan elektrolit
berat tergantung pada durasinya.
III. PENYEBAB/ETIOLOGI
Penyebab kelainan ini belum jelas diketahui. Kelainan ini biasanya baru diketahui setelah bayi
berumur 2-3 minggu dengan gejala muntah yang proyektil (menyemprot) beberapa saat setelah
minum susu yang dimuntahkan susu saja : bayi tampak selalu haus dan berat badannya sukar
bertambah.
IV.FAKTOR PREDISPOSISI
Hal ini diyakini bahwa bayi yang mengembangkan kondisi tidak dilahirkan dengan pyloric
stenosis tetapi bahwa bahan progresif dari lubang antara perut dan usus yang terjadi setelah lahir
yang terpengaruh pada bayi mulai menunjukan gejala akibat lubang antara perut dengan usus
sangat thickened bahwa perut tidak dapat lagi kososng benar.
Hal ini tidak diketahui apa yang menyebabkan bahan dari otot dari lubang antara perut dan usususus ia mungkin merupakan kombinasi dari beberapa faktor. Beberapa peneliti percaya bahwa

63

ibu hormon yang dapat menyebabkan kontribusi. Lain percaya bahwa bahan dari otot perut
adalah tanggapan dari beberapa jenis reaksi alergi pada tubuh.
Beberapa ilmuwan percaya bahwa bayi dengan pyloris stenosis receptors kekurangan dalam
pyloric otot mendeteksi berhubungan dengan sendawa oksida, sebuh kimia di dalam tubuh yang
memberitahu bahwa lubang antara perut dengan usu otot untuk bersantai. Akibatnya otot dalam
keadaan kontrasi hampir terus, yang menyebabkan ia menjadi lebih besar dan lebih kental waktu.
Mungkin membutuhkan waktu beberapa saat untuk bahan ini terjadi, yang pyloric mengapa
stenosis bayi biasanya muncul dalam beberapa minggu setelah lahir.
V. PATOGENESIS
Obat-obatan golongan NSAID (aspirin), alcohol, garam empedu, dan obat-obatan lain yang
merusak lambung mengubah permeabilitas sawar epitel, memungkinkan difusi balik asam
klorida dengan akibat kerusakan jaringan (mukosa) dan khususnya pembuluh darah. Hal ini
mengakibatkan pengeluaran histamin, histamine akan merangsang sekresi asam dan
meningkatkan pepsin dari pepsinogen. Histamine ini akan mengakibatkan juga peningkatan
vasodilatasi kapilem sehingga membrane kapiler menjadi permeable terhadap protein, akibatnya
sejumlah protein hilang dan mukosa menjadi adema.
Peningkatan asam akan merangsang syaraf kolinerik dan syaraf simpatik. Perangsang terhadap
koligenerik akan berakibat terjadinya peningtkatan motilitas sehingga menimbulkan rasa nyeri,
sedangkan rangsangan terhadap syaraf simpatik dan mengakibatkan reflek spasmeesohageal
sehingga timbul reguritasi aqsam Hal yang menjadi pencetus timbulnya rasa nyeri berupa rasa
seperti terbakasar yang mengandung diagnesa (keperawatan I). selain itu rasangan terhadap
syaraf sympatik juga dapat mengakibatkan terjadinya pilorospasme yang berlanjut menjadi
pilotenosis yang berakibat lanjut makanann dari lambung tidak bisa masuk ke saluran
berikutnya oleh karena itu pada penderita ulkus peptikum setekah makan mengakami mual,
kembung dan kadang vomius. Resiko terjadinya kekurangan nutrisi bisa terjadi sebagai
manifestasi dari gejala-gejala tersebut.
Pada penderita tukak lambung mengalami peningkatan pepsin yang berasal dari pepsinogen yang
menyebabkan degrasi mucus yang merupakan salahs atu factor lambung. Oleh karena itulah
terjadi penurunan fungsi sawar sehingga mengakibatkan penghancuran kapiler dan vena kecil.
Biola hal ini terus berlanjut akan dapat memunculkan komplikasi berupa pendarahan
64

Pendarahan ulkus peptikum bisa terjadi disetiap tempat, namun yang sering adalah dinding
bulbus duodenum bagian posterior, karena dekat dengan arterigastroduodenalis atau arteri
prokreatikuduodenalis kehilangan darah ringan dan kronik dapat mengakibatkan anemi
defisiensi. Disamping itu perdarahan juga dapat memunculkan gejala hemateneses dan melena
pada penadarahan akut akibat ulkus peptikum dapat mengakibatkan terjadinya kekuarangan
volume cairan (MK III)
Proses ulkus peptikum yang terus berlanjut, selain berakibat pendarahan dapat pula berakibat
terjadinya performasi yang berlanjut dapat menembus oragan sekitarnya, termasuk peritoneum
bila ulkus temlah sampai diperirterium dapat terjadi perioritasi akibat inasi kuman. Obstruksi
merupakan salah satu komplikasi dariulkus peptikum. Obstruksi biasanya dijumpai di daerah
yang disebabkan peradangan, edema, adanya pilorusplasme dan jaringan parut yang pada proses
penyembuhan ulkus. Akibat adanya obsturksi bisa timbul gejala anokreksia, mual, kembung dan
vomitus setelah makan.
VI. GEJALA KLINIS
Gejala Pyloric stenosis biasanya mulai sekitar usia 3 bulan. Mareka adalah :

Muntah gejala pertama dari pyloric stenosis biasanya muntah-muntah. Pada awalnya
mungkin tampaknya bahwa bayi cukup sering peludahan atas. Tapi kemudian cenderung untuk
kemajuan peluru untah, dimana air susu ibu atau formula adalah ejectedforcefully dari mulut,
dalam sebuah arc, kadang-kadang lebih dari jarak beberapa kaki peluru muntah biasanya terjadi
segera setelah akhir makan, meskipun dalam beberapa kasus mungkin akan tertunda berjam-jam.
Jarang, yang mungkin berisi muntah darah.
Dalam beberapa kasus, vomited susu mei baru cuedled karena telah dicampur dengan asam
lambung. Muntah yang tidak bisa akan berisi empedu, cairan yang kehijau-hijauan dari hati yang
Mixes dicerna dengan makanan setelah meninggalkan perut.
Walaupun muntah bayi dengan pyloric stenosis biasanya lapar kembali segera setelah muntah
dan akan makan. Gejala yang pyloric stenosis dapat menipu karena meskipun bayi Mei tampak
tidak nyaman, dia mungkin tidak akan muncul dalam besar atau sakit pada awalnya kelihatan
sangat sakit.

65

Perubahan stools Bayi dengan pyloric stenosis biasanya memiliki lebih sedikit, lebih
kecil stools karena sedikit atau tidak ada makanan yang dapat mencapai intestines. Sembelit atau
stools lendir yang ada didalamnya juga dapat gejala.

Kegagalan untuk mendapatkan berat dan kekelesaan sebagian besar bayi dengan
pyloric stenosis akan gagal untuk mendapatkan erat atau akan kehilangan berat.
VII.PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dan laboratorium. Nilai status hidrasis. Cari sumber infeksi. Pemeriksaan
abdomen dan rektum untuk obstruksi atau anus imperforata. Pemeriksaan radiologi sesuai
indikasi. Jika anak berusia kurang dari 2 bulan, pertimbangkan ultrasonografi untuk stenosis
pilorik
VIII. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG

1.

Labotarium
Yang perlu di periksa (konsultasikan kepada dokter Anda)

1.

Darah perifer lengkap

2.

Urinalis (protein, darah, bilirubin, leokusit, biakan urin)

3.

Elektrolit darah (Na, K, Ca, Mg, Cl, P)

4.

Kadar ureum dan kreatinin darah

5.

Analisis gas darah dan asam basa

6.

Pemeriksaan fungsi hati

7.

Kadar gula

Ultrasonografi Abdomen (USG Perut), untuk melihat target sign atau donut sign pada
kasus stenosis pilorik hipertrofik, intusefsi (usus makan usus) untuk menilai hati saluran
empedu, ginjal, dan kandung kemih.
1.

Foto polos abdomen, untuk menilai distribusi udara di dalam usus, untuk melihat gambar
air fluid level.

2.

Endoskopi (gastrudodenoskopi). Bila dicurigai esoffagistis.

66

XI. THERAPY/TINDAKAN PENANGANAN


Penanganan muntah pada anak tergantung penyebabnya, jangan berikan obat antimuntah
karena obat tersebut menyembuhkan penyebab muntahnya, malahan dapat menyesatkan bila
ternyata anak tengah menderita suatu kelainan saluran pencernaan yang memerlukan upaya
bedah selain itu obat anti muntah juga menimbulkan efek samping.
X.

PENATALAKSANAAN

1. Menjaga/mengembalikan kesimbangan cairan dan lektrolit.


2. Diberi obat muntah (sesuai petunjuk dokter), misal :
3. Domperidon (0,2-0,4) mg/kg berat badan tiap 4-8 jam).
4.

Metotkkloparamid.

5. Cisapride
6. Bila terdapat esofagitis, berikanlah antagonis H2
Misalnya : ianitidin (2-3 mg/kg berat badan/kali, 2x sehari)

67

4.MIKROGNATIA
BAB I
PENDAHULUAN
I.1

Latar belakang

Mikrognatia merupakan suatu kelainan di mana mandibula lebih kecil dari normal. Biasanya
ditemukan bersamaan dengan mikroglossi (lidah kecil). Mikrognathia adalah ketidaknormalan
ukuran rahang, yaitu lebih kecil dari ukuran normal. Mikrognathia merupakan istilah yang
menggambarkan sebuah rahang bawah yang tidak normal. Mikrognathia juga merupakan salah
satu kelainan pada anak yang dapat disebabkan oleh kelainan bawaan tertentu dan sindrom.

68

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Latar belakang penelitian
Mikrognati merupakan malformasi wajah yang ditandai dengan hipoplasia dan mandibula yang
berukuran kecil, dagu yang mundur ke belakang atau surut sehingga tidak bisa menjaga lidah
pada posisi ke depan. Kondisi yang terkait dengan mikrognati meliputi berbagai kelainan, dan
prognosis mikrognati pada janin adalah buruk, bahkan jika kromosom janin normal. Ketika
mikrognati ditemukan, ini dianggap sebagai komponen atau merupakan salah satu manifestasi
klinis dari sindrom Pierre-Robin (PRS).
Etiologi yang mendasari Pierre-Robin Syndrome belum diketahui dengan jelas. Pertumbuhan
mandibula adalah hasil dari motilitas sel-sel pada rongga mulut, yang dimulai selama hidup janin
awal.

Sebelumnya,

ada

suatu

sistem screening pralahir

yang

dikembangkan

untuk

mengidentifikasi janin dengan fungsi sistem saraf pusat terganggu dengan mengamati perilaku
janin. Jurnal ini berisi laporan kasus bayi prematur dengan mikrognati dan hipoplasia paru
dengan gerakan janin yang abnormal.
II.2 Masalah penelitian
Pada jurnal ini masalah penelitiannya di deskripsikan melalui sebuah kasus yaitu seorang
primigravida asal Jepang usia 27 tahun di minggu kehamilan ke 33 dirujuk ke rumah sakit. Pada
saat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan adanya klinis polihidramnion dengan
indeks cairan ketuban 28 cm. Pada USG 3 Dimensi mikrognati tampak jelas terlihat pada
midsagittal.
Area paru-paru seluas 8,9 cm2 pada tampilan empat bagian dengan ukuran kurang dari deviasi
-2,0 yang berarti deviasi standar untuk usia kehamilan (normal rata-rata 2SD, 20,1 7,6).
Diameter biparietal adalah 82 mm, panjang tulang paha 51 mm, dan berat janin diperkirakan
adalah 1.500 g, dan menunjukkan pembatasan pertumbuhan janin.

69

Denyut sonografi doppler menunjukkan arteri serebral normal dan indeks arteri umbilikalis
teraba. Amniosentesis dilakukan untuk studi kromosom, dengan hasil 46 kariotipe XX. Penulis
mengamati gerakan janin selama 90 menit pada 34 minggu 3 hari usia kehamilan. Pergerakan
keempat ekstremitas diamati, namun napas janin dan gerakan tidak terdeteksi, hanya terlihat
gerakan mata yang sporadis. Pada 34 minggu 5 hari usia kehamilan, operasi caesar dilakukan dan
terlahir seorang bayi perempuan yang memiliki berat lahir 1675 g, dengan pH arteri pusar 7,385.
Apgar score adalah 5 pada satu menit dan 7 di lima menit, bayi diketahui mengalami hipoplasia
mandibula dan glossoptosis dan didiagnosis dengan PRS. Setelah melahirkan kemudian terjadi
kondisi darurat untuk janin sehingga dilakukan tindakan seperti trakeostomi dan resusitasi
kardiopulmonar dengan dukungan ventilasi mekanis. Namun, kondisi kardiopulmonar bayi tidak
mengalami perbaikan dan dia meninggal 21 jam setelah lahir.
Kepala bayi tidak microcephaly, fitur dismorfik, atau tangan/kaki anomali. Pada saat dilakukan
autopsi, paru-paru berisi udara kecil, dan perbandingan paru-paru terhadap berat badan adalah
0,01. Histologi, epitel alveoli paru tebal dan displastik serta menurun jumlahnya dibandingkan
dengan yang normal. Hal ini berhubungan dengan kematangan paru-paru pada 17-24 minggu
usia kehamilan, selain itu tidak ditemukan ada kelainan organ internal lainnya.
II.3 Kesimpulan penelitian
Kondisi yang terkait dengan mikrognatia merupakan kelainan kromosom, kelainan
neuromuskuler, gangguan gen tunggal, dan sindrom lainnya. Prognosis mikrognatia janin adalah
buruk, meskipun kromosom janin normal. Dalam laporan kasus ini, tidak ada laporan tentang
mikrognatia terkait dengan hipoplasia paru dan tidak adanya kelainan kromosom juga telah
dipublikasikan. Kasus ini tidak memiliki kelainan kromosom dan tidak cenderung memiliki
gangguan gen tunggal atau sindrom lainnya, tidak ada fitur microcephaly dismorfik, atau
anomali tangan/kaki yang diamati.
Kasus ini menunjukkan pola-pola perilaku abnormal, termasuk gerakan mata sporadis, yang
terlihat pada pemeriksaan USG. Normal terdapat pergantian dari pergerakan mata dan periode
non-gerakan mata serta pernapasan pada kasus ini tidak jelas. Tidak adanya gerakan pernapasan
janin menunjukkan sebuah lesi yang melibatkan medulla oblongata, pusat pernapasan. Jadi,
70

diduga terdapat disfungsi batang otak sebelum lahir. Dari hasil tersebut didapatkan bahwa
disfungsi dari daerah batang otak mengendalikan irama refleks mengisap dan menelan, fungsi
kardiorespirasi, faring, dan laring dapat berkontribusi pada susah menelan makanan dan
gangguan pernapasan dilihat pada bayi dengan PRS. Anomali fungsional melibatkan beberapa
organ yang dikendalikan oleh jaringan saraf umum yang terletak di batang otak. Peneliti telah
menyatakan disfungsi batang otak prenatal dan bayi sebagai hipotesis neuroembryological
untuk menjelaskan terjadinya beberapa kasus PRS. Kelainan struktural dan fungsional diamati
selama pemeriksaan USG sehingga penulis konsisten dengan ide ini. Dalam kasus ini,
pemeriksaan otak postmortem tidak dilakukan. Namun, temuan-temuan dari pemeriksaan USG
diduga akibat dari disfungsi otak. Pengamatan perilaku janin tampaknya efektif untuk prediksi
prognosis kasus dengan mikrognatia.

71

BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Definisi
Mikrognati adalah istilah yang menggambarkan sebuah rahang bawah normal yang kecil. Pada
mikrognati, rahang yang cukup kecil dapat mengganggu saat makan. Bayi dengan mikrognati
mungkin perlu puting khusus sebagai alat bantu. Mikrognati mungkin kelainan yang sering
terjadi pada anak. Hal ini juga dapat disebabkan oleh kelainan bawaan dan sindrom tertentu.
Mikrognati adalah salah satu penyebab abnormal alignment gigi.
III.2 Etiologi
Penyebabnya secara umum antara lain:
1.

Pierre robin syndrome

2.

Sindrom hallerman-streiff

3.

Trisomi 13

4.

Trisomi 18

5.

Turner syndrome

6.

Progeria

7.

Treacher collins syndrome

8.

Smith lemli opitz syndrome

9.

Russell silver syndrome

10. Sindrom Seckel


11. Sindrom cri du chat
12. Sindrom Marfan

72

III.3 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis pada mikrognati bisa dilihat dari pemeriksaan fisik. Ditemukannya bentuk
serta ukuran rahang bawah yang lebih kecil dari ukuran normal sudah sangat membantu. Pada
bayi bisa didapatkan kesusahan dalam meminum sesuatu. Mikrognathia adalah salah satu
penyebababnormal alignment gigi. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan penutupan gigi
karena sering kali tidak akan ada cukup ruang untuk tumbuh gigi. Mikrognati kadang tidak
berdiri sendiri, misalnya pada sindrom pierre robin gejalanya mikrognati, hipoglossus, dan cleft
palatum. Pada trisomi 18 gejalanya kelainan pada telinga, mikrognati, benjolan pada oksipital,
panggul yang sempit, kaki rocker bottom. Pemeriksaan penunjang mungkin diperlukan
seperti skull ray dan foto gigi. Jika ada gejala lain yang mengindikasikan adanya faktor
keturunan, dan sudah mengganggu pembedahan atau peralatan ortodontik mungkin dianjurkan.
III.4

Pengaruh Mikrognati terhadap struktur gigi

Organ tubuh dan struktur oral dapat mengalami sejumlah besar kelainan, yang terjadi dalam
hidup janin atau setelah kelahiran atau kadang-kadang muncul saat lahir. Kemudian setiap tahap
kehidupan berkembang, begitu pula pada gigi. Anomali perkembangan secara luas
diklasifikasikan sebagai dua jenis:
1.

Anomali kongenital: yang cacat saat lahir atau sebelum lahir atau melalui gen, mungkin
tidak menular.

2.

Cacat yang didapat atau cacat bawaan yang tidak turun temurun.

Cacat tulang rahang juga merupakan masalah umum dan terbaru. Hal ini terutama disebabkan
oleh kelainan genetik dan faktor lingkungan lain yang mempengaruhi kesehatan.
1.

Agnathia, merupakan hal yang langka, pengembangannya mencerminkan kegagalan


lengkap. Lebih sering pada bagian dari rahang, untuk premaxila misalnya, kondilus dan
ramus.

73

2.

Mikrognathia berarti rahang kecil, di sisi lain mikrognati dapat dikaitkan dengan
mikrognatia kongenital, sindrom Pierre Robin atau cacat jantung bawaan. Mikrognati
adalah salah satu penyebab abnormal alignment gigi.

3.

Makrognatia yaitu ukuran rahang leih besar dari normal. Jika rahang kecil dibandingkan
dengan ukuran rahang yang lain normal, maka kemudian terlihat lebih besar. Ini yang
disebut pseudomakrognatia.

74

BAB IV
PENUTUP
IV.1 Simpulan
Mikrognati adalah istilah yang menggambarkan sebuah rahang bawah normal yang kecil.
Kondisi yang terkait dengan mikrognati meliputi berbagai kelainan, Mikrognati adalah salah satu
penyebababnormal alignment gigi. Mikrognati kadang tidak berdiri sendiri, misalnya pada
sindrom pierre robin gejalanya mikrognati, hipoglossus, dan cleft palatum. Pada trisomi 18
gejalanya kelainan pada telinga, mikrognati, benjolan pada oksipital, panggul yang sempit,
kaki rocker bottom.
Pemeriksaan penunjang mungkin diperlukan seperti skull ray dan foto gigi. Jika ada gejala lain
yang mengindikasikan adanya faktor keturunan, dan sudah mengganggu pembedahan atau
peralatan ortodontik mungkin dianjurkan. Kondisi yang terkait dengan mikrognatia merupakan
kelainan kromosom, kelainan neuromuskuler, gangguan gen tunggal, dan sindrom lainnya.
Prognosis mikrognatia janin adalah buruk, meskipun kromosom janin normal. Dalam laporan
kasus ini, tidak ada laporan tentang mikrognatia terkait dengan hipoplasia paru dan tidak adanya
kelainan kromosom juga telah dipublikasikan. Kasus ini tidak memiliki kelainan kromosom dan
tidak cenderung memiliki gangguan gen tunggal atau sindrom lainnya, tidak ada
fitur microcephalydismorfik, atau anomali tangan/kaki yang diamati.
IV.2 Saran
1.

Dilanjutkan penelitian yang berbasis epidemiologi tentang mikrognati

2.

dilakukan riset-riset pengembangan terutama screening prenatal untuk mengetahui


kelainan-kellainan pada janin.

75

DAFTAR PUSTAKA
1.

Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, Pollock. 2005. Colon, rectum, and anus. In
Schwartzs Principles of Surgery. 8th edition. Vol 2. USA: McGraw-Hill. P 1057-70.

2.

Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2003. Usus halus, appendiks, kolon, dan anorektum. Dalam
Buku ajar ilmu bedeah. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal 646-53.

3.

Townsend, Beauchamp, Evers, Matton. 2004. Colon and rectum. In Sabistons Textbook of
Surgery. 17th edition. 2004. Philadelphia: Elsevier Saunders. P 1443-1510.

4.

Kirby I. Bland. 2002 Anal Fissure and Fistula.The Practice of General Surgery. Page 515

5.

Lawrente, Gerard. 2004. Anal Fissure. Lange, current surgical diagnosis & treatment. 11th
edition. Lange Medical Book. Page 766 768

6.

Lawrente, Gerard. 2004. Haemorrhoid. Lange, current surgical diagnosis & treatment. 11th
edition. Lange Medical Book. Page 758 770

7.

Jeffrey A., Randal R., Alfred E,. 2001. Colo, Rectum, and Anus. Surgery, Basic Science and
Clinical Evidence.Springer-verlag. New York inc. Page 726 - 734

8.

Cameron: Current Surgical Therapy, 2004

9.

ANZ Journal of Surgery. 2005; 75:64-72

10.

RadiologicClinics of North America 2003; 41(2); 443-57

11.

Surgical clinics of North America 2002;,82 (6):1153-1167

12. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON TEXTBOOK of
SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders.Philadelphia. Page 2113-2114
13.Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in: Ashcraft Pediatric Surgery
3rd edition W.B. Saunders Company.Philadelphia. page 453-468
14. Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in: Schwartzs
PRINCIPLES OF SURGERY. 8th edition. McGraw-Hill. New York. Page 1496-1498
15. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease In: Operative
PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-640
16. Laura K, Jay GL, Karen WW, Frederick JR, Scherer LR, Schot AG.
Intestinal Atresia and Stenosis. Arch Surg. 207;13:490-497
17. Tamer S, Mustafa K, Ulas A, Ali SK, Duodenal Atresia and Hirchsprung
Disease in a Patient with Down Syndrome. Eur J Gen Med.201;8(2):157- 9
18.Fre FA, Bary G. Duodenal Obstruction in the Newborn Due To Anular
Pancreas. Surg.204;103:321-325
76

19. Alan PL, James AM. Congenital Duodenal Abnormalies in a Adult. Arch
Surgery.201;136:578-561
20. Kesel D, Bruyn D, Drake F. Case report: Ultrasound Diagnosis Of
Duodenal Atresia Combined With Isolated Oesophageal Atresia. The
Britsh Journal of Radiology.201;6: 86-8
21. Hayden CK, Marshal ZS, Michael D, Leonard ES. Combine Esophageal
and Duodenal Atresia: Sonograpic Findings. Arch Surg.203;140:25-230
22. Richard FL, Beneth AL, Norman GB, Anthony JB, Brian RJ.
Sonographic Apearance of Duodenal Atresia in Utero. Am J
Roentgenol.201;131:701-702
23. Felicitas EW, Afu AJ, Sanjay K. Duidenal Atresia and Stenosis. 209;936-938
24. . http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/hirschsprungs_ez/
25. . www.ptolemy.ca/members/archives/2005/Neonatal/60.pdf
26. http://www.info- dokter.com/content/16 januari 2011 pukul 18:00

27. Judith. W.2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarta


28.Nanda. 2006. Panduan Diagnosa Keperawatan. PM. Jakarta
29.Lucile Packard Childrens Hospital. Tracheosophageal fistula and
esophagealatresia. [online]. [cited on 2008 Feb 18].
30.Available from:URL: http://www.lpch.org/kids/index/html
31.Depertament of Surgery University . Esophageal atresia. [online]. [cited on 13 Desember
2008]. Available from:URL: http://www.umich.edu/pediactric/clinical.html
32.Shienfield N. Esophageal atresia. [online]. [cited on 21 Agustus 2008]. Available
from:URL: http://www.pedsurg.ucsf.edu/index.html
33. Blog HKS. Atresia esofagus. [online]. [cited on 11 Desember 2008]. Available
from:URL: http://www.ksuheimi.blogspot.com/2008/07/ateresia-esofagus/html
34. Rasad S. Radiologi diagnostik. 2nd Ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2006.

35.Kronemer KA, Warwick AS. Esophageal atresia/tracheosophageal


fistula.URL:http://www.emedicine/medscape/com/article/414368/imaging
36.Kronemer KA, Warwick AS. Esophageal atresia/tracheosophageal
fistula.URL:http://www.emedicine/medscape/com/article/414368/multimedia
77

37.Blair G. Esophageal Atresia With Or Without Trakheoesophageal


Fistula.http://www.emedicine.com[diakses 15 Februari 2008]2 .
381.Pusponegoro HD, Etal. (Ed). Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I. badan
Penerbit IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). Jakarta. 2005 : 64-68.
39.2.Smehzer, Suzanne C, Bare, Brenda G. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8. jakarta :
EGC
40..Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2, EGC, Jakarta.
41. 4.Carpenito, Lynda Juall, 1998, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, EGC. Jakarta
42.Bromley B, Benacerraf BR: Fetal micrognathia: associated anomalies and outcome. J
Ultrasound Med 1994, 13(7):529-33.
43.Neil K. Kaneshiro, MD, MHA, Clinical Assistant Professor of Pediatrics, University of
WashingtonSchoolof Medicine. Also reviewed by David Zieve, MD, MHA, Medical
Director, A.D.A.M., Inc.
44. Van den Elzen AP, Semmekrot BA, Bongers EM,Huygen PL, Marres HA: Diagnosis and
treatment of the Pierre Robin sequence: results of a retrospective clinical study and review
of the literature. Eur J Pediatr 2001, 160(1):47-53.

78

You might also like