You are on page 1of 18

abu, 18 Mei 2011

CERMAT MELIHAT TREN TURUNNYA EKSPOR DAN BANJIRNYA IMPOR


Oleh : Fr. Sumarwan
Krisis ekonomi global telah membuat banyak negara kelimpungan. Berangkat dari badai
ekonomi Amerika Serikat (AS) yang merembet ke Eropa, Asia sampai ke ujung bumi telah
memaksa banyak otoritas negara harus mengantisipasi imbas krisis agar tidak terlalu parah.
Melemahnya daya beli, tingginya inflasi dan pelemahan pertumbuhan ekonomi berikut seretnya
likuiditas di hampir semua negara memaksa pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan,
meyakinkan masyarakat melalui pernyataan resminya supaya tidak panik karena Indonesia tidak
akan terimbas krisis yang dipicu kasus suprime mortgage di AS. Kalaupun ada dampaknya
itupun tidak secara langsung.
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) melakukan koordinasi untuk mencegah dampak krisis
dengan berbagai strategi. Usulan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) menjadi referensi
kebijakan pemerintah dan tidak kurang para pengamat ekonomi ikut mengkritisi berbagai
persoalan agar Indonesia mampu menghindari dampak krisis ekonomi global.
Sehubungan dengan pelemahan daya beli konsumen negara-negara besar seperti Amerika Serikat
dan Uni Eropa, pemerintah Indonesia mau tidak mau harus memperhatikan kebijaksanaan
ekspor. Akibat terpengaruhnya transaksi ekspor ke pasar tradisional seperti AS, Uni Eropa, dan
Jepang memaksa pemerintah segera menanggulangi penurunan ekspor.
Dibalik kebijaksanaan pemerintah mengamankan transaksi ekspor ada kepentingan pemerintah
untuk menjaga neraca perdagangan Indonesia agar tidak defisit, cadangan devisa bisa dalam
batas aman, sektor riil yang diharapkan mampu mencetak angka pertumbuhan.
Banyak pelaku bisnis mengharapkan action pemerintah untuk membantu mengupayakan
diversifikasi pasar luar negeri, memberikan insentif fiskal bagi industri untuk kelancaran
produksi dan distribusi ekspor bahkan perlunya intensitas promo dan misi dagang ke negaranegara non tradisional demi menahan pelemahan nilai dan volume ekspor. Salah satunya melalui
ajang pameran dalam Trade Expo Indonesia (TEI) 2008 yang berlangsung di Jakarta akhir
Oktober ini.
Memang tidak mudah untuk membuka pasar baru yang serta merta disertai persetujuan kontrak
dalam jangka pendek, mengingat ada proses penjajakan kerja sama sekaligus untuk mengenal
produk dan kualitasnya, harga, juga perlu memperhitungkan kompetitor lain. Sementara itu,
negara-negara lain juga melakukan langkah serupa untuk mencari pasar baru setelah transaksi
ekspornya juga mengalami kemunduran akibat pelemahan daya beli di negara-negara yang
mengalami dampak langsung krisis keuangan.
Tidak heran kalau negara lain juga membidik potensi pasar Indonesia yang sangat besar. Dengan

demikian, geliat Indonesia mencari pasar ekspor untuk mendukung pertumbuhan sektor riil bisa
kecolongan dengan hadirnya produk-produk impor negara lain dari pelimpahan produk yang
tidak lagi ditampung di negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Di saat Indonesia gencar mencari pasar baru, pasar Indonesia juga akan menjadi ajang produk
impor yang tidak kalah gencarnya. Tentu saja, maraknya produk impor yang membanjiri pasar
domestik bisa mendistorsi pasar produk yang imbasnya kepada pertumbuhan sektor riil. Yang
lebih parah lagi, sektor riil akan terpukul sehingga enggan berproduksi dan lebih memilih
menjadi pedagang yang turut menyemarakkan naiknya volume impor.
Perkuat Pasar Produk Domestik
Tetap mempertahankan ekspor di pasar tradisional dan terus berupaya membuka peluang pasar
non tradisional memang perlu penanganan cerdas. Hanya saja pemerintah harus menahan
derasnya ekspor produk primer demi mendukung pertumbuhan industri pengolahan yang bisa
menyerap tenaga kerja. Tetapi melindungi pasar domestik dari serbuan produk impor juga harus
semakin ditingkatkan.
Peluang untuk memasuki pasar baru selalu berhadapan dengan daya saing produk dari negara
lain dan trade barrier dari negara tujuan ekspor. Sedangkan, mengelola dan meningkatkan pasar
domestik yang prinsip dasarnya untuk mengamankan industri dalam negeri akan berhadapan
dengan gelombang produk impor yang masuk melalui strategi dumping dan penyelundupan.
Pertanyaannya adalah: Mana yang lebih mendapatkan prioritas dalam seni berdagang, tekun
mengejar pasar luar negeri atau mengelola pasar dalam negeri yang lebih sehat? Atau bersamasama menggali potensi ekspor sekaligus perkuat pasar domestik yang diabdikan pada
kepentingan pertumbuhan sektor riil dan menyerap tenaga kerja?.
Disini perlunya koordinasi antardepartemen baik departemen perdagangan, departemen
perindustrian, departemen keuangan, dan departemen teknis terkait dengan jenis komoditas dan
output yang menjadi obyek perdagangan internasional. Sementara itu, kian terasa perlambatan
ekspor ke pasar tradisional memaksa pemerintah harus mengambil langkah konkrit dan segera.
Yang ideal adalah melakukan terobosan pasar ekspor baru sekaligus memperkuat pasar domestik,
membuka kran impor hanya untuk barang modal dan bahan baku atau bahan setengah jadi. Lalu
membatasi impor barang-barang konsumsi dengan berbagai regulasi tentunya yang tidak
bersinggungan dengan kesepakatan dalam World Trade Organisation (WTO).
Kompleksitas ekspor impor memang sangat terasa ketika Indonesia menghadapi situasi gawat
darurat sebagai dampak resesi ekonomi global. Dengan demikian kondisi ideal untuk mengatur
strategi ekspor, impor dan penguatan pasar domestik mau tidak mau harus menyita perhatian
terkait dengan laju penetrasi pasar baru yang tidak mudah diakses, membanjirnya barang impor
secara ilegal, dan terlanjur masuknya barang-barang impor akibat kurang tepat mengambil
kebijaksanaan masa lalu yang keliru memaknai liberalisasi perdagangan.
Penekanan paradigma yang menjadikan sektor riil dan penyerapan lapangan kerja sebagai pusat
perhatian segala kebijaksanaan ekspor dan impor, menjadi sumber inspirasi dan nafas
kebijaksanaan strategi ekspor, impor dan kekuatan pasar domestik.

Beberapa asosiasi perusahaan eksportir seperti Asosiasi Permebelan Indonesia (Asmindo) dan
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) secara serius meminta perhatian pemerintah untuk
membuka jalan bagi produk yang dihasilkan perusahaan nasional supaya dapat mengakses pasar
non tradisional seperti Rusia, China, Timur Tengah dan Amerika Latin.
Untuk kepentingan daya saing produk dalam negeri, seperti Indonesian Iron and Steel Industries
Asociation (IISIA), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) dan
Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) juga melontarkan maraknya produk-produk impor
ilegal dan produk dumping yang menawarkan harga jauh lebih rendah dari produk sejenis di
dalam negeri. Praktis kehadiran produk impor tersebut mengalahkan daya saing produk lokal
yang ujung-ujungnya mematikan industri nasional.
Lagi-lagi sektor riil yang akhirnya menjadi korban ketika terobosan pasar non tradisional
terkendala daya saing produk negara lain dengan segala insentifnya.Apalagi yang masuk dengan
cara-cara ilegal.
Beberapa rekomendasi menghendaki diperkuatnya pasar domestik untuk merangsang
pertumbuhan sektor riil. Pencanangan kembali cinta produk dalam negeri yang menjadi salah
satu penopang pasar domestik juga berkumandang seolah baru disadari manfaatnya setelah
produk dalam negeri benar-benar terpinggirkan. Bahkan pemerintah sedang menyiapkan aturan
untuk memandu penggunaan produk dalam negeri dengan akan diterbitkannya Inpres
Penggunaan Produk Dalam Negeri yang merevisi Keppres No. 80 Tahun 2003.
Melalui regulasi tersebut akan ada mekanisme pembatasan-pembatasan impor barang konsumtif
demi untuk menopang penguatan pasar domestik melalui tata niaga impor. Bahkan demi
keselamatan pasar domestik, pemerintah harus tega menjatuhkan sanksi tegas bagi peredaran
produk impor yang sudah membahayakan industri nasional melalui perlindungan pasar
(safeguard) dan antidumping.
Kebijaksanaan pemberian insentif fiskal, penanggulangan ekonomi biaya tinggi dan
pembangunan infrastruktur jalan, energi, dan pelabuhan sedang ditunggu-tunggu pengusaha juga.
Dengan demikian pelaku bisnis bisa terus berproduksi untuk menangkap pangsa pasar domestik,
menembus pasar ekspor dengan berbagai kualifikasi produknya, berikut target produksi,
distribusi hingga menemukan pangsa pasar ekspor yang masih potensial.
Sektor riil butuh investasi, modal kerja dan insentif disamping perlindungan produk dari serbuan
produk impor. Dengan demikian diharapkan ada keunggulan produk, diversifikasi produk untuk
bisa tembus pasar ekspor dan menguasai pasar domestik. Dengan demikian tidak perlu kuatir bila
Indonesia akan kebanjiran produk impor kalau penanganan ekspor impor dan perlindungan pasar
domestik benar-benar dilakukan secara konprehensif dan terintegrasi.
Peran perbankan juga sangat dinanti-nanti untuk memberikan fasilitas kredit tidak langsung
untuk mempermudah eksportir mencairkan dokumen ekspor, penjaminan letter of credit bagi
pengimpor barang modal dan bahan baku dan memberikan kemudahan akses kredit ekspor dalam
mata uang rupiah mengingat fluktuasi nilai tukar yang terlalu berisiko.

Diposkan oleh fr.sumarwan di 20:48 0 komentar


Label: Kinerja Ekspor

Link ke posting ini

BERHARAP BANYAK PADA INDONESIA EXIMBANK


Oleh : Fr. Sumarwan
Awal tahun ini terbit peraturan produk legislatif tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
(LPEI) dalam rumusan Undang-undang No. 2 Tahun 2009, yaitu undang-undang yang menjadi
landasan hukum terbentuknya LPEI dengan nama Indonesia EximBank. Pada bulan Juli 2009,
lembaga itu akan menggantikan peran Bank Ekspor Indonesia dengan wajah yang jauh lebih
fleksibel dalam pembiayaan, memiliki kualitas khusus dalam kedudukan, dan strategis dalam
mendongkrak kinerja ekspor nasional.
Kehadiran Indonesia EximBank diharapkan menopang pengembangan ekspor nasional. Dengan
demikian, keberadaannya bukan saja mengutamakan aspek pembiayaan ekspor tetapi juga
merangsang terciptanya iklim usaha yang berorientasi ekspor demi menunjang peningkatan
volume dan nilai ekspor nasional.
Kebijakan yang berorientasi ekspor melalui pembentukan lembaga khusus yang ditempatkan
dalam sebuah undang-undang, adalah wujud keseriusan pemerintah untuk meningkatkan peran
ekspor bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian peran besar LPEI sebagai lembaga yang
memiliki nilai strategis bagi pemberdayaan ekspor nasional akan menjadi tumpuan harapan
pelaku ekspor.
LPEI yang menikmati sovereign status dalam mengakses pendanaan memiliki kebebasan untuk
menerbitkan surat berharga, menggalang pinjaman dari pemerintah asing, lembaga multilateral,
bank serta lembaga keuangan dan pembiayaan dari dalam maupun luar negeri.
Karena sumber dana tidak berasal dari dana masyarakat, maka ketentuan tentang capital
adequacy ratio (CAR) dan loan to deposit ratio (LDR) seharusnya tidak berlaku untuk Indonesia
EximBank. Batas maksimum pemberian kredit (BMPK) juga tidak lagi relevan untuk menjadi
acuan dalam kebijakan pengucuran kredit ekspor. Memang dalam hal-hal yang menyangkut
administrasi (sistem informasi debitur) dan aktivitas bisnis tertentu (seperti, pinjaman uang
antarbank, real time gross settelment, letter of credit dan surat kredit berdokumen dalam negeri)
tetap memperhatikan rambu-rambu regulasi perbankan dan Bank Indonesia. Meskipun demikian
Indonesia EximBank akan memiliki kapasitas pemberian kredit ekspor yang jauh lebih besar.
Dengan demikian sepak terjang lembaga itu dalam memberikan pembiayaan menjadi lebih
fleksibel. Bandingkan dengan PT. Bank Ekspor Indonesia (BEI) yang selama ini tunduk pada
regulasi perbankan dan dalam pengawasan bank sentral. Akibatnya ruang gerak bank itu menjadi
terbatas. Karena itu, BEI akan melebur menjadi LPEI dengan bendera Indonesia EximBank
melalui payung hukum undang-undang itu.
Hebatnya, Indonesia EximBank tidak hanya sekedar menyediakan pembiayaan seperti yang
selama ini dijalankan BEI. Lebih dari itu, ada peran lainnya yang cukup memberikan angin segar

bagi pelaku ekspor yaitu fasilitas penjaminan, asuransi dan jasa-jasa lain yang mendukung upaya
peningkatan ekspor barang dan jasa, serta melakukan kegiatan pembiayaan yang merupakan
program pemerintah.
Jaringan Internasional
Sebagai lembaga yang menyediakan pembiayaan dan kemudahan lainnya bagi pelaku
perdagangan internasional, Indonesia EximBank perlu dukungan jaringan yang luas baik dengan
lembaga perbankan domestik maupun internasional, baik lembaga keuangan bukan bank tingkat
lokal maupun global. Bahkan lembaga keuangan itu perlu mengakses informasi pasar dengan
meningkatkan komunikasi intensif dengan atase perdagangan, Badan Pengembangan Ekspor
Nasional (BPEN), lembaga internasional yang dekat dengan informasi pasar, dan berperan aktif
dalam misi-misi dagang berikut pameran dagang di tingkat lokal dan internasional.
Tentunya dengan meleburnya BEI menjadi Indonesia EximBank tidak memutus jaringan
perbankan nasional dan internasional yang bermitra dengan BEI. Bahkan kalau perlu jaringan
perbankan dan lembaga keuangan internasional diperluas dengan memperbanyak kerja sama
yang semakin meningkatkan hubungan korespondensi. Perlunya jaringan global tersebut untuk
menjembatani lancarnya transaksi pembayaran ekspor dan mempermudah jalur pembukaan L/C,
meningkatkan jalur komunikasi terkait dengan transaksi finansial, dan menjadi pelaksana
program goverment to goverment (G to G) yang menjadi program pemerintah dalam
meningkatkan kinerja ekspor di masa mendatang.
Untuk fungsi penjaminan dan asuransi, tampaknya ruang lingkup Indonesia Exim Bank akan
bersinggungan dengan lembaga asuransi ekspor, PT. Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI),
sehingga perlu batasan pasar yang jelas agar kedua lembaga keuangan tersebut saling bersinergi.
Sementara itu, filling the market gap cukup memberi angin segar bagi eksportir yang kesulitan
pembiayaan dari perbankan karena skema pembiayaannya sudah berada diluar rambu-rambu
ketentuan perbankan bisa digawangi Indonesia EximBank.
Tentunya filling the market gap menutup kesempatan untuk bersaing dan yang terlebih penting
bahwa eksportir akan diuntungkan. Artinya jika eksportir kesulitan mendapat pembiayaan dari
bank umum karena regulasi dari Bank Indonesia, maka masih ada tumpuan harapan eksportir
untuk memperoleh fasilitas ekspor dari Indonesia EximBank.
Jadi Indonesia EximBank seharusnya hanya akan mengisi pasar yang tidak terjangkau bank
umum dan ASEI atau memberi kemudahan kedua jenis lembaga keuangan itu menjangkau
konsumennya. Artinya, Indonesia EximBank hanya bermain pada ceruk pasar yang tidak
tergarap bank umum dan ASEI dengan tetap memberikan solusi terakhir bagi eksportir dalam
mengakses fasilitas (the solution of the last resort).
Lalu bagaimana dengan aktivitas Indonesia EximBank yang terbatas wilayah kerjanya?. Paling
tidak hanya beberapa kota besar yang sekarang ini menjadi tempat operasional BEI sebagai
kegiatan operasional lembaga baru tersebut. Akan sulit mengerjakan sektor bisnis ekspor yang
bisa digarap dengan jaringan wilayah yang juga terbatas ditengah-tengah pangsa pasar yang luas
dengan mayoritas eksportirnya tergolong UKM.

Untuk itu perlu ada sinergi antara Indonesia EximBank dan bank umum terutama untuk
menjembatani solusi pembiayaan, antisipasi risiko, penjaminan dan tugas-tugas lainnya. Dengan
terbukanya jalan bagi Indonesia EximBank untuk memberi fasilitas secara lebih luas seperti
untuk buyers credit dan pinjaman kepada perusahaan Indonesia yang berinvestasi di luar negeri,
ditambah titipan program pemerintah untuk mendulang devisa melalui kinerja ekspor, harusnya
tidak ada alasan untuk konservatif dalam pemberian fasilitas ekspor.
Indonesia bisa mengambil contoh program General Sales Marketing (GSM) 102 dan 103.
Program GSM itu cukup efektif mendongkrak kinerja ekspor komoditas pertanian Amerika
Serikat (AS) karena program tersebut memberikan jaminan kepada bank yang memberi bantuan
kredit kepada perusahaan ekspor produk pertanian.
Sedangkan importir komoditas pertanian Indonesia yang khusus mengimpor produk AS bisa
menikmati pembayaran dengan tempo 3 tahun (GSM 102) atau 10 tahun (GSM 103).
Mekanismenya, The US Department of Agriculture menyetujui beberapa bank di Indonesia
untuk ikut program GSM dengan mendapatkan fasilitas kredit yang murah yang dapat digunakan
untuk membuka letter of credit (L/C) impor dalam rangka membeli produk pertanian AS.
Program tersebut bisa menjadi contoh bagi Indonesia agar ekspor produk asal Indonesia bisa
diserap di pasar luar negeri terutama untuk pasar non tradisional sehingga kesulitan pembiayaan
importir luar negeri bisa ditanggulangi dengan fasilitas kredit dari pemerintah Indonesia melalui
Indonesia EximBank.
Tetapi program tersebut baru bisa menjadi lebih efektif kalau kerja sama pemerintah melalui G to
G mendahului peluncuran program serupa GSM 102 dan GSM 103. Disamping itu, sebelum
kegiatan pembiayaan Indonesia EximBank diluncurkan, harus sudah ada instrumen penjaminan
kredit oleh negara pengimpor produk Indonesia agar risiko kredit kepada importir di negara lain
bisa diminimalisir.
Niscaya semua upaya pengembangan ekspor nasional bisa terdongkrak bila semua stakeholder
memikirkan langkah ekspor dalam menyelamatkan industri, pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan devisa.
Diposkan oleh fr.sumarwan di 20:43 0 komentar
Link ke posting ini
Label: Pembiayaan Ekspor

ADA SAATNYA L/C DITINGGALKAN


Oleh : Fr. Sumarwan
Sejalan dengan pandangan saudara Paul Sutaryono di harian Bisnis Indonesia pada tanggal 08
Agustus lalu, bahwa setelah krisis moneter menerpa Indonesia tahun 1997 ada pergeseran rasio
penerimaan pendapatan dari interest based ke fee based income.Salah satu contoh yang
dikemukakan adalah peranan fee based dari transaksi trade finance yang utamanya disumbang
dari transaksi ekspor, impor dan bank garansi.
Transaksi perbankan yang memberikan pelayanan pada nasabah eksportir dan importir memang

mendulang pendapatan fee based yang cukup signifikan. Satu hal yang sangat mendukung
perolehan income tersebut karena setiap transaksi selalu menggunakan mata uang yang berbeda
sehingga dari perbedaan kurs valuta asing (valas) akan muncul pendapatan selisih kurs.
Selisih kurs diperoleh ketika importir akan membayar barang ke luar negeri dengan mata uang
asing (misal: USD) yang dibeli dari mata uang rupiah. Sedangkan bank nasional yang melayani
transfer dana valas ke luar negeri pasti mendapatkan biaya transfer. Apabila importir itu sudah
memiliki saldo dalam rekening valas maka sumber dana tinggal didebet dari rekening tersebut
tanpa proses jual beli valas namun bank akan mendapatkan provisi pengiriman uang berikut
biaya transfer.
Sebaliknya, bank nasional sering menerima transfer dana valas untuk kepentingan eksportir dari
relasi bisnisnya di luar negeri. Sekalipun setiap pengiriman dana valas tidak selalu berhubungan
dengan kegiatan ekspor impor, namun paling tidak adanya dana valas akan dicairkan sewaktuwaktu dalam mata uang rupiah sehingga potensi pendapatan selisih kurs sudah dapat
diperhitungkan. Belum lagi ada biaya incoming teleghrapic transfer yang turut menyumbang fee
based yang cukup menambah income yang disumbang dari trade cukup besar.
Umumnya eksportir dan importir yang menggunakan jasa perbankan akan dikenai biaya
transaksi yang masuk kategori biaya standar dalam sistem pembayaran ekspor impor jalur
langsung. Artinya jalur yang ditempuh ketika eksportir dan importir saling percaya dan masingmasing saling mengetahui karakter lawan bisnisnya. Sehingga masing-masing pihak tidak ragu
lagi masalah pembayaran dan pengiriman barang. Tinggal pengaturan pelaksanaan cara bayar
saja yang akan ditentukan apakah akan dibayar dimuka (advance payment), bayar kemudian
(open account) atau bayar setelah barang laku di pasaran (consignment).
Karena sudah begitu kentalnya hubungan bisnis antarmereka, maka pengiriman barang ke negara
tujuan akan diikuti pengiriman satu set dokumen ekspor secara langsung kepada importir sebagai
instrumen pengambilan barang di pelabuhan tujuan.
Namun kalau terjadi keraguan akan reputasi importir dalam pembayaran, biasanya eksportir akan
berupaya menyelamatkan barang setidak-tidaknya barang tersebut masih tertahan di pelabuhan
tujuan dengan mengatur cara pengiriman secara tidak langsung. Mekanisme documentary
collection memberikan solusi lebih baik untuk menjembatani kemauan eksportir dengan
melibatkan perbankan untuk menjadi agen pengiriman dokumen, tugas penagihan pembayaran
dan agen pembayaran itu sendiri. Dengan demikian dokumen-dokumen ekspor diserahkan ke
bank setelah eksportir mengirimkan barang ke negara tujuan ekspor.
Karena perbankan bersedia menjadi perantara lalu lintas dokumen dan pembayaran maka ada
imbal hasil berupa provisi oudward document yang dikenakan setelah eksportir menerima
pembayaran. Sebaliknya, bank juga bisa menerima provisi inward document ketika ada dokumen
yang tiba di bank itu untuk kepentingan importirnya. Selebihnya fee selisih kurs akan menjadi
pendapatan bank ketika importir akan membayar dolar dengan menggunakan sumber dana
rupiah.
Lebih jauh lagi, ada mekanisme yang menjembatani kesesuaian maksud dan tujuan masing-

masing pihak untuk menggunakan cara bayar yang lebih pasti bagi eksportir dan pengiriman
barang yang terjadwal bagi kepentingan importir. Dimana prinsip dokumen yang ada
hubungannya dengan barang menempati posisi kunci karena akan menjadi pangkal tolak
pembayaran.
Mengingat bank hanya berhubungan dengan dokumen untuk membayar atau menyanggupi
pembayaran maka status dokumen menentukan lancarnya transaksi ekspor impor. Ada fasilitas
kredit tidak langsung dari bank yang menjadikan bank terikat kewajiban pembayaran kepada
eksportir dengan syarat pemenuhan dokumen yang ditentukan. Lagi pula syarat pemenuhan
dokumen tersebut juga akan menjadi penentu pembiayaan bank kepada eksportir.
Jadi, minimal ada satu bank yang mewakili kepentingan importir dan bank lain lagi yang
mewakili kepentingan eksportir, yang keduanya terlibat dalam mekanisme pembayaran. Importir
dan eksportir bisa memanfaatkan fasilitas kredit tidak langsung kepada bank sesuai dengan
kondisi dokumen dengan parameter letter of credit (L/C).
Mekanisme pembayaran menggunakan L/C lebih kompleks yang bukan lagi menjadikan bank
sebagai perantara pembayaran tetapi ada keterikatan bank untuk membayar dengan syarat
kesesuaian dokumen dengan L/C. Artinya bank pembuka L/C menjadi dominan dalam
menentukan pembayaran karena bank tersebut yang berjanji membayar kepada eksportir atas
instruksi importir, apabila dokumen yang dipresentasikan sesuai isi dan ketentuan L/C. Tentunya
Bank Pembuka L/C tidak bisa sendirian bertindak dalam menyediakan sarana pembayarannya.
Paling tidak hubungan korespondensi dengan bank di negara eksportir akan memperlancar
kemudahan dalam presentasi dokumen dan pembayarannya.
Bank eksportir ini yang akan mengecek keaslian L/C dan memberikan informasi tentang
efektivitas L/C kepada eksportir untuk merealisasikan mengirimkan barang dan melengkapi
dokumen yang diperlukan.
Tetapi yang pasti importir meminta Bank membuka L/C karena sudah ada perjanjian bisnis
dengan eksportir tentang berbagai hal yang ada hubungannya dengan barang, pembayaran, cara
pengiriman dll.
Memang lebih banyak ragam biaya yang harus dikeluarkan oleh importir dan eksportir
sehubungan diterbitkannya L/C sehingga menjadi target fee based bank karena tersedianya trade
sevice dan trade product yang ditawarkan.
Seperti misalnya, importir harus menyediakan uang jaminan, provisi, biaya cable ketika L/C
diterbitkan, provisi akseptasi terkait penerimaan dokumen dengan L/C berjangka, dan confirming
fee apabila L/C yang diterbitkan harus dijamin bank lain.
Eksportir juga akan terkena biaya penerusan L/C, provisi, porto dokumen, biaya cable, biaya
yang ditarik bank perantara pembayaran di negara ketiga, handling charges, dan biaya
penyimpangan dokumen (discrepancy fee) jika ada, bunga transit time dan bunga diskonto kalau
mendapat fasilitas dari L/C berjangka.
Biaya tersebut menjadi pendapatan bank selain pendapatan dari selisih kurs. Belum lagi ada

tambahan pendapatan karena manfaat dari ketersediaan fasilitas pembiayaan. Seperti importir
yang mendapat pembiayaan melalui skema trust receipt dan eksportir mendapatkan fasilitas dana
talangan yang tentunya tidak bebas bunga kecuali ada ketentuan waktu bebas bunga (grace
period).
Namun demikian syarat perolehan dana talangan hanya mungkin kalau dokumen yang
dipresentasikan oleh eksportir sesuai isi ketentuan L/C (clean document). Dengan pengertian
bahwa clean document menjadi pegangan bagi bank eksportir bahwa bank pembuka L/C akan
mencairkan L/C sesuai janjinya karena syarat clean document terpenuhi. Namun bila terjadi
penyimpangan dokumen tentunya tidak ada fasilitas dana talangan yang diberikan kepada
eksportir mengingat penyimpangan dokumen akan membebaskan kewajiban bank pembuka L/C
untuk mencairkan L/C.
Bukan Pengalihan Risiko
L/C bukan menjadi sarana pengambilalihan risiko kepada bank tetapi hanya sebagai mekanisme
pembayaran dari importir melalui bank yang mengikatkan bank untuk membayar kalau dokumen
yang dipresentasikan eksportir sesuai isi ketentuan L/C. Sedangkan jaminan pembukaan L/C
yang pada umumnya berupa dana likuid menjadi bukti bahwa tidak ada risiko yang akan menjadi
tanggung jawab bank ketika menerbitkan L/C. Sementara itu, jaminan pembukaan L/C yang
tidak sampai 100% dari nilai L/C hanyalah kepercayaan bank kepada importir karena reputasi
importir dimata bank sudah cukup baik. Pada waktunya nanti importir tetap harus menyediakan
dana untuk membayar tagihan sesuai nilai dokumen.
Lagi pula bank hanya berhubungan dengan dokumen dan tidak sama sekali berhubungan dengan
barang. Dengan demikian, ketika terjadi gagal bayar dan gagal kirim barang/cacad maka bank
tidak bisa dipersalahkan karena tidak ada iktikad baik dari eksportir maupun importir.
Sementara itu status hubungan hukum antara importir dengan bank pembuka L/C hanyalah
pemberian instruksi dengan imbalan upah. Hubungan hukum antara Bank penerbit L/C dengan
eksportir di luar negeri sebatas kewajiban membayar dengan syarat. Dan hubungan hukum antara
bank penerus L/C dengan eksportir juga muncul karena bank ini ditunjuk (nominated) untuk
memberikan fasilitas dan kemudahan dalam pembayarannya. Jadi seharusnya tidak ada risiko
yang harus ditanggung bank sekalipun ada imbal hasil berupa provisi yang diperoleh karena
bank telah memberikan jasa dalam transaksi ekspor impor.
Apabila terjadi cidra janji antara eksportir dan importir harus dikembalikan pada kesepakatan
semula dalam sales contract karena di dalamnya berlaku hukum perjanjian. Karena itu, sejak
semula L/C berlaku asas independensi yang terlepas dari cales contract artinya bank tidak terikat
dalam sales contract sekalipun kadang kontrak tersebut menjadi rujukan L/C yang diterbitkan.
Barang kali kalau risiko gagal bayar atau gagal kirim barang menjadi tanggung jawab bank,
tentunya L/C akan menjadi pilihan eksportir dan importir untuk mendapatkan rasa aman. Tetapi
kenyataannya, banyak L/C yang dijadikan instrumen pembayaran hanya untuk hubungan bisnis
yang relatif baru karena masing-masing pihak tidak mengetahui posisi dan reputasi lawan
bisnisnya. Sementara itu, bila dirasakan sudah terbina hubungan bisnis yang lancar dan sudah
saling mengetahui karakter satu sama lain, biasanya akan memilih cara pembayaran langsung

melalui telegraphic transfer atau documentary collection.


Bahkan L/C tidak akan digunakan untuk transaksi perdagangan yang nilai transaksinya kecil.
Karena L/C lebih kompleks dan biaya yang harus dikeluarkan dengan mekanisme L/C tidak
sebanding dengan keuntungan. Hanya untuk perdagangan yang rutin, partai besar dan berjangka
panjang lebih cocok menggunakan L/C karena ada fasilitas kredit langsung atau tidak langsung
yang bisa diberikan perbankan.
Akhirnya kembali pada tingkatan kualitas hubungan bisnis yang akan menentukan apakah akan
menggunakan instrumen L/C atau non L/C. Semakin besar risiko bisnis yang akan dihadapi
tentunya akan memilih instrumen L/C, termasuk alasan lain yang memang L/C menjadi pilihan
untuk membantu aspek keuangan importir dan eksportir karena tersedianya fasilitas trade finance
. Jadi, ada saatnya L/C ditinggalkan tetapi pada saat tertentu akan sangat diperlukan.
Diposkan oleh fr.sumarwan di 20:37 0 komentar
Link ke posting ini
Label: Sistem Pembayaran dengan L/C

ACFTA JUGA SOAL JASA DAN INVESTASI


Oleh : Fr. Sumarwan
Berita tentang perjanjian perdagangan bebas Asean China (Asean-China Free Trade
Agreement/ACFTA) hampir setiap hari menghiasi media massa sejak awal Desember 2009.
Tanggal 1 Januari 2010 menjadi begitu penting untuk dibahas terlebih menyangkut baik
buruknya perdagangan bebas bagi Indonesia. Karena tanggal tersebut menjadi awal
implementasi ACFTA.
Berbagai protes ketidak-setujuan, permohonan untuk ditunda, dan kesibukan pemerintah
menghadapi implementasi ACFTA juga tergambar dari sorotan pemberitaan itu. Yang pasti
pemerintah tidak bisa mengelak implementasi ACFTA ini mengingat posisi Indonesia sebagai
negara anggota Asean. Pemerintah pun berharap dunia usaha mengerti posisi Indonesia dalam
skema perdagangan bebas tersebut.
Kini implementasi perdagangan bebas sudah berjalan hampir satu bulan. Tinggal membuktikan
dampak baik/buruk dari berbagai pandangan para ekonom, analis, praktisi bisnis, dan beberapa
kalangan asosiasi industri yang selama ini lantang menyuarakan potential loss atau potential gain
dari dampak lanjutan implementasi ACFTA.
Selama berjalannya perdagangan bebas Asean China memang muncul keluhan beberapa
pengusaha yang terekam di tingkat asosiasi. Makanya beberapa pengurus asosiasi segera merilis
kabar di jajaran industrinya yang memberitahukan akan datangnya produk China dan produk
negara anggota Asean lain yang akan terasa dalam tiga pekan atau setidak-tidaknya mulai
Februari 2010.
Boleh jadi mulainya produk mengalir masuk ke pasar dalam negeri ini didasarkan pada asumsi
order pembelian produk dari China pada bulan Oktober dan Nopember 2009. Karena hasil
laporan beberapa pengusaha yang tergabung dalam asosiasi pengusaha tersebut membenarkan

adanya order pembelian oleh para anggota asosiasi pada bulan-bulan itu.
Perluasan Pasar
Bila benar ada arus barang impor yang masuk sebagai dampak implementasi ACFTA, tentu
importir memiliki argumen yang masuk akal karena produk yang diimpor pasti lebih murah,
praktis, menguntungkan. Jelasnya, pedagang akan menghentikan order produk domestik sambil
menunggu kedatangan produk sejenis yang diimpor dari pasar bebas Asean China.
Sikap importir itu tentu disambut antusias eksportir luar negeri yang melihat perdagangan bebas
Asean China ini sebagai peluang untuk memperluas pasar dan penetrasi produk yang setidaktidaknya bisa menepis adanya hambatan tarif.
Keyakinan eksportir Negara lain semakin kuat ketika industri manufaktur di negara tujuan
ekspor, termasuk Indonesia, belum siap bersaing dengan industri manufaktur di negaranya.
Contoh yang paling mencolok adalah keandalan industri China yang selalu menjadi momok
industri nasional.
Oleh karena itu, pemberitaan tentang ACFTA selalu menyoroti tentang keunggulan China yang
bisa memanfaatkan peluang pasar bebas dalam kerangka ACFTA. Maklum, selama ini banyak
pemanufaktur nasional dirugikan oleh kehadiran produk China.
Gelagat pemerintah China untuk mengungguli Jerman dalam pencapaian volume ekspor terbesar
dunia, bisa menjadi kenyataan karena peluang pasar bebas di wilayah terdekat dengan China,
yaitu negara anggota Asean telah membuka pasarnya dalam skema perdagangan bebas. Hal itu
juga sesuai dan sejalan dengan tawaran eksportir China yang akan memberikan diskon 20%30%.
Tentu order pembelian produk dari China semakin menarik karena produk yang sudah murah
meriah ditambah dengan perlakuan diskon atas harga barang yang akan diimpor menjadi
semakin menarik perhatian.
Sebaliknya, tantangan yang akan dihadapi pemanufaktur nasional menjadi semakin berat karena
pasar domestik, pasar regional Asean dan China, dan pasar internasional kini semakin sulit
ditembus. Untuk pasar domestik, industri manufaktur Indonesia bisa kehilangan pangsa pasar
karena kalang saing dengan barang murah dan berkualitas.
Untuk pasar regional Asean dan China, Industri manufaktur nasional yang berorientasi ekspor
masih harus berkompetisi dengan produk dari negara lain. Sedangkan untuk pasar internasional,
industri kita akan tertatih-tatih menghadapi blok perdagangan lain yang semakin marak dari
berbagai kawasan. Bisa saja pelaku usaha yang berminat mengambil mata dagangan dari
kawasan ACFTA akan melirik China yang produknya dikenal murah sehingga produk Indonesia
bisa terpinggirkan.
Persoalan yang sekarang membelenggu industri nasional adalah daya saing. Karena kini daya
saing produk domestik masih diragukan keunggulannya. Bagaimana mungkin bisa menguasai
pasar lokal sekaligus membendung aliran produk impor dari Negara yang tergabung dalam
ACFTA? Sementara sinyalemen yang berkembang membuktikan adanya pesimisme industri
yang tidak mampu bersaing melawan kekuatan produk impor.

Sepertinya, pelaku usaha nasional sudah pasrah menghadapi kekuatan daya saing negara lain
yang tergabung dalam ACFTA. Apalagi problem daya saing dengan China selama ini menjadi
persoalan yang telah lama berkembang di kalangan pengusaha. Sedangkan produk China yang
masuk sebelum skema perdagangan bebas Asean China saja sudah membikin pusing para
pengusaha lokal. Apalagi dengan volume dan ragam produk China setelah implementasi ACFTA.
Lebih diragukan lagi ketika produk nasional akan menembus pasar bebas Asean China. Sebab
melawan produk impor China saja selalu dihadapi dengan rasa pesimis. Padahal peluang pasar
kian luas dengan fasilitas bebas tarif untuk penetrasi produk ke negara anggota lainnya.
Harusnya kesempatan emas ini perlu dimanfaatkan kalau perlu dengan optimisme, semangat, dan
perjuangan keras. Namun kenyataannya, kemampuan industri nasional untuk meningkatkan daya
saing terganjal oleh problem sangat klasik bernama energi, birokrasi, infrastruktur, ekonomi
biaya tinggi, dan suku bunga bank yang kelewat tinggi.
Kini pengusaha dihadapkan pada tiga masalah besar, yaitu ketidak mampuan menangkap peluang
pasar bebas Asean China karena rendahnya daya saing, ketidakmampuan menguasai pasar
domestik karena tidak adanya daya saing, dan kenyataan pemerintah menyetujui implementasi
ACFTA ditengah-tengah kemerosotan kinerja manufaktur yang lima tahun ini terus
memprihatinkan.
Pengusaha seolah ada dalam jeratan yang terlalu kuat sehingga maju kena mundur pun kena
persoalan. Kalau perdagangan bebas ini menjadi cambuk bagi para pengusaha untuk lebih
memacu pengusaha bangun dari tidur lelapnya, mestinya pemerintah juga mencabut akar
persoalan yang menjadikannya daya saing produk nasional tidak terbentuk, yaitu problem yang
terhitung sangat klasik itu.
Atau, kalau hanya karena terlanjur sepakat dengan perdagangan bebas Asean China tanpa
memperhitungkan ketidakberdayaan industri nasional menghadapi pasar bebas ini maka pelaku
usaha juga akan sulit memahami dan bahkan tidak mau mengerti posisi pemerintah dalam
kerangka perjanjian perdagangan Asean China.
Bukan Hanya Real Goods
Sepertinya perdagangan bebas mematikan industri manufaktur nasional. Memang, karena yang
terkena dampak langsung dari kebijaksanaan perdagangan ini adalah industri manufaktur dengan
tenaga kerja massal yang menggantungkan nasib pada geliat industrinya. Tetapi perjanjian
perdagangan bebas tidak sekedar bersinggungan dengan produk yang dihasilkan oleh industri
manufaktur. Sebab aspek jasa dan investasi juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
implementasi perdagangan bebas Asean China.
Dengan demikian perlu meletakkan perdagangan bebas secara proporsional dengan melihat
keseimbangan antara perdagangan barang/komoditas, pertukaran jasa seperti tenaga kerja, dan
aliran investasi. Bahkan dalam perkembangannya obyek perdagangan bebas yang dimaksud bisa
muncul dalam bentuk bauran komoditas, jasa dan investasi sehingga nuansa perdagangan bisa
lebih atraktif dan memberikan tingkat kesejahteraan bagi semua warga Asean China karena
adanya pendistribusian pendapatan.

Para pengusaha mengeluh karena daya saing industri manufaktur nasional rendah namun tidak
semua produk digeneralisir sebagai produk berdaya saing rendah. Ada kategori produk yang
berdaya saing kuat, sedang, dan lemah, bahkan ada yang daya saingnya sangat lemah. Setiap
pengelompokan produk sesuai kemampuannya bersaing memiliki jadwal penurunan tariff
(normal tract) yang berbeda waktu.
Bea masuk produk berdaya saing kuat yang termasuk kategori normal tract 1 dihapus menjadi
0% pada tanggal 1 Januari 2010. Sedangkan untuk produk kategori normal tract 2 dihapus
menjadi 0% pada tahun 2012. Untuk produk berdaya saing lemah akan dihapuskan tariff bea
masuknya pada tahun 2018.
Tentunya, yang perlu diperhatikan adalah produk yang berdaya saing sedang, rendah, dan sangat
rendah. Karena produk ini pasti akan kalah saing baik di pasar lokal atau regional Asean China.
Sedangkan untuk menjadikan produk tersebut berdaya saing tinggi juga perlu waktu. Kini giliran
pemerintah untuk mendatangkan investasi, manajemen, dan teknologi dari pasar bebas Asean
China bagi kepentingan pengembangan industri manufaktur yang menghasilkan produk berdaya
saing sedang dan lemah agar bisa menyetarakan keunggulan produk negara lain terutama
menghadapi produk China.
Menciptakan sinergi antar-industri manufaktur sesama anggota negara Asean China juga menjadi
alternatif solusi untuk mengantarkan keunggulan produk. Melalui formulasi kebijaksanaan
pembangunan industri yang terintegrasi dari hulu hingga hilir akan meningkatkan kinerja
industri, operasional dan produktivitas yang efisien dan efektif sehingga peningkatan daya saing
bisa terealisir. Lagi pula bentuk industri yang terintegrasi ini merupakan kombinasi dari unsur
produk riil (tangible goods), jasa, dan investasi yang menjadi obyek perdagangan bebas skema
ACFTA.
Namun yang terutama sekat-sekat birokrasi dan ekonomi biaya tinggi, lambatnya pembangunan
infrastruktur dan sulitnya akses pembiayaan perbankan dengan bunga murah harus diselesaikan
sesegera mungkin agar daya saing produk Indonesia memiliki kesetaraan atau kalau perlu lebih
unggul dari produk negara lain.
Diposkan oleh fr.sumarwan di 20:31 0 komentar
Link ke posting ini
Label: Kerja Sama Regional

Sabtu, 01 Mei 2010


Illegal Transshipment
Illegal Transshipment merupakan problem serius yang perlu ditangani pemerintah. Mengingat
kita kehilangan potensi pasar ekspor di negara lain karena produk yang secara administratif
menunjukkan peningkatan ekspor namun faktanya produk negara lain yang membanjiri negara
tujuan dengan memanfaatkan dokumen surat keterangan asal (SKA) Indonesia.
Kerugiannya? Pertama, kalau negara tujuan ekspor menerapkan kebijaksanaan kuota, maka
banjirnya ekspor dari negara lain dengan menggunakan dokumen SKA Indonesia akan
mempersempit jatah ekspor produk sejenis di negara tujuan ekspor tersebut. Kedua,nama baik

pemerintah dipertaruhkan karena dianggap mudah menerbitkan SKA tanpa prosedur penerbitan
SKA secara benar. Ketiga, data kinerja ekspor yang mendadak naik sebagai kenaikan nilai semu
bisa menyesatkan yang mempengaruhi strategi kebijakan di bidang ekspor.
Diposkan oleh fr.sumarwan di 17:32 0 komentar
Link ke posting ini

Target Ekspor USD. 200 milyar


Pemerintah akan menargetkan nilai ekspor hingga tahun 2014 sebesar USD. 200 milyar,
sebagaimana komitmen pemerintah.
Namun bagaimana pencapaian itu akan terealisasi, itu tergantung dari kebijakan pemerintah
dalam mendukung bisnis berorientasi ekspor dan pengaruh pasar luar negeri.

Lima Hal Penting Dalam Memulai Usaha


Rabu, 14 Desember 2011 14:00 redaksi
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peranan yang besar dalam pertumbuhan
ekonomi dalam negeri. Selain itu, dengan memulai usaha kecil-kecilan seperti ini, anda juga
turut membuka lapangan kerja bagi orang lain. Membuka usaha sendiri memerlukan strategi
yang tepat supaya bisa sukses dan berkembang menjadi sebuah korporasi besar. Beberapa hal
yang penting anda perhatikan adalah konsumen, arus kas, pinjaman, kredibilitas, dan modal.
Lima hal ini merupakan hal-hal yang menentukan sukses tidaknya usaha anda. Berikut rincian
dari hal-hal yang harus Anda perhatikan saat memulai usaha Anda, seperti dikutip dari
investopedia, Selasa (12/12/2011).
1. Konsumen
Konsumen adalah hal utama yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha karena mereka adalah
urat nadi dalam semua bisnis. Konsumen juga lah yang memberi anda omzet supaya perusahaan
anda terus bergerak. Pepatah lama mengatakan, "bisnis tidak akan jalan tanpa ada sesuatu yang
terjual" itu sangat benar adanya bagi pelaku usaha.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam mempertahankan dan menggaet konsumen baru.
Salah satunya adalah seperti di bawah ini.
-Iklan
Dalam memulai usaha, anda harus mulai menyebarkan luaskan bisnis tersebut supaya banyak
orang tahu. Caranya dengan memasang iklan. Tempat dan medianya bisa apa saja, seperti koran
lokal, iklan radio, brosur yang dikirim dari rumah ke rumah, laman situs pribadi, iklan baris dan
lain sebagainya.
- Promosi
Banyak para pelaku usaha yang memberikan promosi di awal-awal membangun bisnisnya.
Biasanya, promosi dilakukan memakai kupon potongan harga atau hadiah langsung jika
mencapai pembelian di harga tertentu. Efektivitas program seperti ini tergantung kepada target
konsumen dan hadiah yang diberikan.
- Brosur dari rumah ke rumah
Menyebarkan brosur dengan cara dari rumah ke rumah bisa efektif nan efisien. Cara ini paling
banyak dilakukan di awal-awal anda membangun bisnis dengan target konsumen masyarakat
sekitar.
- Diskon
Cara yang paling klasik dalam menggaet dan mempertahankan konsumen. Supaya anda tidak
terlalu rugi dalam memberikan potongan harga, usahakan ada syarat khusus terlebih dahulu.
Salah satu yang efektif adalah dengan syarat jika si konsumen berhasil membawa calon pembeli
maka akan diberi diskon. Dengan demikian, lambat laun jumlah konsumen anda akan selalu
bertambah.

- Patenkan Merek
Dengan mematenkan merek, maka keberadaan dan reputasi produk anda akan lebih meningkat di
mata konsumen. Hal ini banyak digunakan oleh perusahaan besar tetapi juga bisa efektif untuk
usaha kecil jika mampu. Sayangnya, hal ini cenderung menjadi proses yang berkelanjutan dan
biayanya cukup mahal.
- Bagian Pelayanan Konsumen
Dengan menyediakan bagian pelayanan konsumen sangatlah penting bagi semua pelaku usaha.
Jika tidak cukup sumber daya, si pemilik bisnis bisa sekaligus merangkap posisi ini. Yang
penting, keluhan dan kepuasan konsumen bisa terdeteksi dengan baik. Tapi hati-hati, cara
costumer service berkomunikasi dengan konsumen bisa mengangkat atau menghancurkan citra
perusahaan.
- Jaringan
Mengembangkan jaringan bisa berujung pada bertambahnya konsumen. Caranya, anda bisa
mengikuti pameran atau bergabung dalam sebuah asosiasi. Dalam sebuah asosiasi anda bisa
berbagi pengalaman dan mencari ide-ide baru.
2. Arus Kas
Arus kas yang lancar dan sehat kadang lebih penting ketimbang ozmet dalam usaha yang baru
berdiri. Anda harus bisa mengatur keseimbangan antara arus dana keluar dan masuk. Arus kas
yang tidak seimbang bisa memberikan kejutan yang kurang enak di bisnis anda ke depan.
Salah satunya adalah kekurangan biaya untuk bayar karyawan, telat bayar kredit ke bank sampai
kurang dana untuk bayar pajak. Kejutan-kejutan seperti ini yang biasanya menghancurkan bisnis
anda secara perlahan-lahan.
Ad baiknya anda rencakan pengeluaran dan pemasukan dalam satu atau dua bulan ke depan,
sehingga jika ada kejutan di tengah jalan anda masih punya waktu untuk bertindak sehingga pada
akhirnya arus kas anda masih tetap positif.
Dalam membuat prediksi arus kas, anda harus terlebih dahulu memperkirakan omzet yang akan
masuk, lalu bandingkan dengan ongkos operasional perusahaan anda. Atur sedemikian rupa
sehingga proyeksi arus kasnya tetap positif.
3. Kredit
Sebuah pinjaman dari bank ataupun tempat lain merupakan salah satu instrumen yang bisa
dimanfaatkan anda untuk beberapa alasan, seperti di bawah ini:
Mencicil berbagai keperluan operasional anda tanpa menggunakan uang sendiri, sehingga arus
kas anda bisa diputar untuk digunakan di pos lain.
Bisa mendapatkan diskon dengan membeli barang dalam jumlah banyak. Contohnya, jika
salah satu vendor memberi anda jangka waktu pelunasan dalam 30 hari, tapi jika langsung
dibayar kas anda bisa dapat diskon 2%. Maka segeralah ke bank dan ajukan pinjaman.
Lebih mudah mengatur arus kas. Memiliki akses ke sebuah pinjaman saat dibutuhkan

sangatlah membantu terutama dalam menutup kebutuhan antara arus kas keluar dan masuk.
4. Kredibilitas
Salah satu kelemahan yang biasa melanda perusahaan kecil baru berkembang adalah kurangnya
kredibilitas. Sehingga, saat berniat bergerak maju ke cakupan yang lebih luas biasanya kalah
duluan oleh kompetitor yang lebih besar.
Para pelanggan setianya mungkin saja tahu mengenai perusahaan ini dengan baik, mulai dari
jumlah dan kompetensi karyawan, kelangsungan bisnisnya hingga kurang mantapnya posisi
merek secara nasional.
Presentasi secara profesional, testimoni dari konsumen, sertifikasi pemerintah dan referensi dan
promosi dari mulut ke mulut oleh konsumen bisa membantu anda mengangkat kredibilitas
perusahaan. Kredibilas juga bisa dibentuk dengan cara si pemilik perusahaan terjun langsung ke
lapangan dan melayani konsumen
5. Modal
Modal yang cukup tinggi akan sangat membantu perusahaan saat anda ingin berekspansi, seperti
menyewa gedung, beli peralatan atau kendaraan operasional atau bahkan mengakuisisi
perusahaan kecil lainnya. Dengan adanya hubungan baik dengan bank, ditambah dengan rekam
jejak kredit yang cukup baik bisa menjadi sumber modal yang mudah dicairkan.
Kesimpulan:
Merancang dan membangun bisnis sendiri sangatlah penting dalam memajukan ekonomi
nasional. Perusahaan yang anda bangun bisa membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Meski
peranannya sangat penting, bukan berarti menjalankan perusahaan sendiri itu mudah. Tapi,
dengan beberapa tips di atas anda diharapkan bisa bertahan dan
tumbuh dengan baik.

You might also like