You are on page 1of 8

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Sepsis
Sepsis neonatorum atay seoticemia neonatorum merupakan keadaan
dimana terdapat infeksi oleh bakteri dalam darah di seluruh tubuh yang terjadi
pada bayi baru lahir 0 - 28 hari pertama (Maryuni, 2009).
Sepsis neonatorum yaitu infeksi sistemik pada neonatus yang disebabkan
oleh bakteri, janur, dan virus (Fauziah, 2013).
B. Klasifikasi
Sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) merupakan infeksi perinatal yang
terjadi segera dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya
diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Infeksi terjadi secara
vertikal karena penyakit ibu atau infeksi yang diderita ibu selama persalinan
atau kelahiran bayi. Incidence rate sepsis neonatorum awitan dini adalah 3.5
kasus per 1.000 kelahiran hidup dan 15-50% pasien tersebut meninggal
(Depkes RI, 2008). Sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL) terjadi
disebabkan kuman yang berasal dari lingkungan di sekitar bayi setelah 72 jam
kelahiran. Proses infeksi semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi
horizontal dan termasuk didalamnya infeksi karena kuman nasokomial
(Aminullah, 2010).
C. Etiologi
Organisme penyebab sepsis primer berbeda dengan sepsis nosokomial.
Sepsis primer biasanya disebabkan: Streptokokus Grup B (GBS), kuman usus
Gram negatif, terutama Escherisia coli, Listeria monocytogenes, Stafilokokus,
Streptokokus lainnya (termasuk Enterokokus), kuman anaerob, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab sepsis nosokomial adalah
Stafilokokus (terutama Staphylococcus epidermidis), kuman Gram negatif
(Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, dan Proteus), dan jamur (Pusponegoro,

2000).
Di Indonesia sendiri, menurut data RSCM/FKUI pada tahun 1975-1980
Salmonella sp, Klebsiella sp. Tahun 1985-1990 Pseudomonas Sp, Klebsiella
Sp, E. Coli. Tahun 1995-2003 Acinetobacter Sp, Enterobacter Sp,
Pseudomonas Sp, Serratia Sp, E. Coli (Aminullah et al, 2010).
Faktor risiko dari sepsis neonatorum bersifat multifaktorial dan
berhubungan dengan belum matangnya sistem humoral, fagosit dan imunitas
seluler (biasanya terjadi pada bayi prematur dan berat bayi lahir rendah),
hipoksia, asidosis dan gangguan metabolisme. Insiden sepsis neonatorum
juga dipengaruhi oleh proses persalinan, usia kehamilan, jenis kelamin (lakilaki 4 kali lebih mudah terinfeksi dari pada perempuan), dan standar
perawatan bayi (Kardana IM, 2011). Faktor resiko sepsis meliputi faktor
resiko mayor yaitu ketuban pecah dini (KPD) > 18 jam, ibu demam
intrapartum > 38 0 C, karioamionitis, ketuban berbau, denyut jantung janin
(DJJ) > 160 X/ menit. Faktor resiko minor terdiri dari KPD > 12 jam, demam
intrapartum > 37.5 0 C, skor apgar rendah (menit 1 skor < 5 menit dan menit
5 skor < 7), BBLR (< 2500 gram), kembar, usia kehamilan < 37 minggu,
keputihan yang tidak diobati, ibu yang dicurigai infeksi saluran kemih (ISK).
Seorang bayi memiliki resiko sepsis bila memenuhi dua kriteria mayor atau
satu kriteria mayor dan dua kriteria minor (Wilar et al, 2010).
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinik neonatus sehat adalah tampak bugar, menangis keras,
refleks hisap bagus, napas spontan dan teratur, aktif dan gerakan simetris,
dengan umur kehamilan 37-42 minggu, berat lahir 2500-4000 gram dan tidak
terdapat kelainan bawaan berat/mayor (Arkhaesi, 2008). Neonatus yang
terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan
memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak
lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia,
hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat
berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat

kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah
kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat
disertai kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis, dingin
dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik,
gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan, ikterus, muntah,
diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung
yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi) (Depkes RI, 2008).
E. Patofisiologi
Patofisiologi sepsis neonatorum merupakan interaksi respon komplek
antara mikroorganisme patogen dan keadaan hiperinflamasi yang terjadi pada
sepsis, melibatkan beberapa komponen, yaitu: bakteri, sitokin, komplemen,
sel netrofil, sel endotel, dan mediator lipid. Faktor inflamasi, koagulasi dan
gangguan fibrinolisis memegang peran penting dalam patofisiologi sepsis
neonatorum. Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molekular dan
seluler

untuk

menimbulkan

respon

sepsis

neonatorum

tergantung

mikroorganisme penyebabnya, sedangkan tahapan-tahapan pada respon sepsis


neonatorum sama dan tidak tergantung penyebab. Respon inflamasi terhadap
bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu
endotoksin dari dinding sel yang dilepaskan pada saat lisis, yang kemudian
mengaktifasi sel imun non spesifik (innate immunity) yang didominasi oleh
sel fagosit mononuklear. LPS terikat pada protein pengikat LPS saat di
sirkulasi. Kompleks ini mengikat reseptor CD4 makrofag dan monosit yang
bersirkulasi (Hapsari, 2009). Organisme gram positif, jamur dan virus
memulai respon inflamasi dengan pelepasan eksotoksin/superantigen dan
komponen antigen sel. Sitokin proinflamasi primer yang diproduksi adalah
tumor necrosis factor (TNF) , interleukin (IL)1, 6, 8, 12 dan interferon
(IFN). Peningkatan IL-6 dan IL-8 mencapai kadar puncak 2 jam setelah
masuknya endotoksin. Sitokin ini dapat mempengaruhi fungsi organ secara
langsung atau tidak langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide,
tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin, dan

komplemen. Mediator proinflamasi ini mengaktifasi berbagai tipe sel,


memulai kaskade sepsis dan menghasilkan kerusakan endotel (Nasution,
2008). Imunoglobulin pertama yang dibentuk fetus sebagai respon infeksi
bakteri intrauterin adalah Ig M dan Ig A. Ig M dibentuk pada usia kehamilan
10 minggu yang kadarnya rendah saat lahir dan meningkat saat terpapar
infeksi selama kehamilan. Peningkatan kadar Ig M merupakan indikasi
adanya infeksi neonatus. Ada 3 mekanisme terjadinya infeksi neonatus yaitu
saat bayi dalam kandungan / pranatal, saat persalinan/ intranatal, atau setelah
lahir/ pascanatal. Paparan infeksi pranatal terjadi secara hematogen dari ibu
yang menderita penyakit tertentu, antara lain infeksi virus atau parasit seperti
Toxoplasma,

Rubella,

Cytomegalovirus,

Herpes

(infeksi

TORCH),

ditransmisikan secara hematogen melewati plasental ke fetus (Nasution,


2008). Infeksi transplasenta dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan.
Infeksi dapat menyebabkan aborsi spontan lahir mati, penyakit akut selama
masa neonatal atau infeksi persisten dengan sekuele. Infeksi bakteri lebih
sering di dapat saat intranatal atau pascanatal. Selama dalam kandungan ibu,
janin terlindung dari bakteri karena adanya cairan dan lapisan amnion. Bila
terjadi kerusakan lapisan amnion, janin berisiko menderita infeksi melalui
amnionitis. Neonatus terinfeksi saat persalinan dapat disebabkan oleh aspirasi
cairan amnion yang mengandung lekosit maternal dan debris seluler
mikroorganisme, yang berakibat pneumonia. Paparan bayi terhadap bakteri
terjadi pertama kali saat ketuban pecah atau dapat pula saat bayi melalui jalan
lahir. Pada saat ketuban pecah, bakteri dari vagina akan menjalar ke atas
sehingga kemungkinan infeksi dapat terjadi pada janin (infeksi transmisi
vertikal, paparan infeksi yang terjadi saat kehamilan, proses persalinan
dimasukkan ke dalam kelompok infeksi paparan dini (early onset of neonatal
sepsis) dengan gejala klinis sepsis, terlihat dalam 3-7 hari pertama setelah
lahir (Hapsari, 2009). Infeksi yang terjadi setelah proses kelahiran biasanya
berasal dari lingkungan sekitarnya. Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui
udara pernapasan, saluran cerna, atau melalui kulit yang terinfeksi. Bentuk
sepsis semacam ini dikenal dengan sepsis paparan lambat (late onset of

neonatal sepsis). Selain perbedaan dalam waktu paparan kuman, kedua


bentuk infeksi ini (early onset dan late onset) sering berbeda dalam jenis
kuman penyebab infeksi. Walaupun demikian patogenesis, gejala klinik, dan
tata laksana dari kedua bentuk sepsis tersebut tidak banyak berbeda (Hapsari,
2009).
F. Pemeriksaan Penunjang
Hingga saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium tunggal yang
mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang cukup baik, sehingga hasil
laboratorium harus digunakan bersama faktor risiko dan gejala klinis.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain Ningrum (2015) :
1.

Pemeriksaan darah rutin yaitu jumlah leukosit PMN, jumlah trombosit


dan preparat darah hapus. Hasil positif apabila didapatkan jumlah
leukosit total 25.000/mm3 atau 5000/mm3 dan jumlah trombosit <
150.000/mm3.

2.

Dengan preparat darah hapus yang perlu diperhatikan adalah jumlah


leukosit imatur (neutropenia < 1800/l) sehingga dapat diperhitungkan
rasio neutrofil imatur dengan neutrofil total. Dikatakan terinfeksi apabila
rasio I:T > 0,2. Preparat darah hapus menunjukkan gambaran hasil
berupa hemolisis, hipergranulasi, hipersegmentasi dan toksik granulasi.
Sales santos M, Bunye MO membuat sistim skor hematologis untuk
memprediksi sepsis neonatorum, sebagai berikut:
Tabel Sistim skor hematologis untuk prediksi neonatal sepsis
Kriteria
Peningkatan I/T rasio
Penurunan/ peningkatan jumlah PMN total
I:M 0,2
Peningkatan jumlah PMN imatur
Jumlah leukosit sesuai umur
Bayi baru lahir 25.000/mm3 atau 5.000/mm3
Umur 12-24 jam 31.000/mm3
Umur > 2 hari 21.000/mm3
Perubahan PMN
3 vakuolisasi, toksik granuler, dohle bodies

Skor
1
1
1
1
1

Trombosit < 150.000/mm3


3.

Kultur darah hingga saat ini merupakan gold standard dalam menentukan
diagnosis sepsis. Hasil kultur darah positif merupakan tanda definitif
terdapatmya bakteri patogen. Namun mempunyai kelemahan yaitu hasil
biakan bakteri baru dapat diperoleh minimal 3-5 hari.25 Insidensi hasil
16 positif dari kultur sepsis neonatorum awitan dini sekitar 0.9 per 1000
kelahiran.

G. Penatalaksanaan Medis
1.

Terapi suportif jalan napas, pernapasan, sirkulasi (ABC). Periksan gula


darah.

2.

Obati debngan antiobik segera bila ada dugaan sepsis. Pilihan antiobik
bergantung kepada kejadian dan praktik setempat .
a.

Sepsis awitan dini (early-onset sepsis).


Mencakup organisme gram positif dan gram negatif, contoh:
penicilin/ amokcillin + aninoglikosida (misalnya : gentamisin /
tobramisin).

b.

Sepsis awitan lambat (late-onset sepsis).


Perlu juga mecakup stafilokokus dan enterokokkus koagulase
negatif, contoh : methicillin/ flucloxacillin + gentamisin atau
sefalosporin / gentasin + vancomysin.
Bila terasang kateter vena sentral, pindahkan bila tidak ada
respon terhadap antibiotik, kultur terus menerus positif, adanya
organisme gram negatif atau sangat sakit (Fanaroff, 2013).

Tabel Jenis dan Dosis Antibiotik yang Dianjurkan untuk


Neonatus
Jenis Antibiotik
Inj Benzil Penicillin
atau Inj Ampisilin

Dosis

Frekuensi
Pemberian
Tiap 12 jam
Tiap 8 jam

50.000 IU/kgBB/kali i.m


50 mg/kgBB/kali i.m/i.v.
Dikombinasikan dengan 2.5
mg/kgBB/kali i.m/i.v
Inj
Aminoglikosida 2.5 mg/kgBB/kali i.m/i.v
Tiap 12 jam
(Gentamisin)
Eritromisin
50 mg/kgBB/hari
Dalam
3
dosis
(Saifuddin, 2009)
H. Komplikasi
1.

Hipoglikemia, hiperglikemia, asidosis metabolik, dan jaundice


Bayi memiliki kebutuhan glukosa meningkat sebagai akibat dari
keadaan septik. Bayi mungkin juga kurang gizi sebagai akibat dari
asupanenergi yang berkurang. Asidosis metabolik disebabkan oleh
konversi ke metabolisme anaerobik dengan produksi asam laktat, selain
itu ketika bayi mengalami hipotermia atau tidak disimpan dalam
lingkungan termal netral, upaya untuk mengatur suhu tubuh dapat
menyebabkan asidosis metabolik. Jaundice terjadi dalam menanggapi
terlalu banyaknya bilirubin yang dilepaskan ke seluruh tubuh

yang

disebabkan oleh organ hati sebagian bayi baru lahir belum dapat
berfungsi optimal, bahkan disfungsi hati akibat sepsis yang terjadi dan
kerusakan eritrosit yang meningkat.
2.

Dehidrasi
Kekuarangan cairan terjadi dikarenakan asupan cairan pada bayi
yang kurang, tidak mau menyusu, dan terjadinya hipertermia..

3.

Hiperbilirubinemia dan anemia


Hiperbilirubinemia berhubungan dengan penumpukan bilirubin yang

10

berlebihan pada jaringan. Bilirubin dibuat ketika tubuh melepaskan selsel darah merah yang sudah tua, ini merupakan proses normal. Bilirubin
merupakan zat hasil pemecahan hemoglobin (protein sel darah merah
yang memungkinkan darah mengakut oksigen). Hemoglobin terdapat
pada sel darah merah yang dalam waktu tertentu selalu mengalami
destruksi (pemecahan). Namun pada bayi yang mengalami sepsis terdapat
infeksi oleh bakteri dalam darah di seluruh tubuh, sehingga terjadi
kerusakan sel darah merah bukanlah hal yang tidak mungkin, bayi akan
kekurangan darah akibat dari hal ini (anemia) yang disertai
hiperbilirubinemia karena seringnya destruksi hemoglobin sering terjadi.
4.

Meningitis
Infeksi sepsis dapat menyebar ke meningies (selaput-selaput otak)
melalui aliran darah.

5.

Disseminated Intravaskuler Coagulation (DIC)


Kelainan perdarahan ini terjadi karena dipicu oleh bakteri gram
negatif yang mengeluarkan endotoksin ataupun bakteri gram postif yang
mengeluarkan mukopoliskarida pada sepsis. Inilah yang akan memicu
pelepasan faktor pembekuan darah dari sel-sel mononuklear dan endotel.
Sel yang teraktivasi ini akan memicu terjadinya koagulasi yang
berpotensi trombi dan emboli pada mikrovaskular.
(Blue, 2015)

You might also like