You are on page 1of 38

LAPORAN KASUS ANAK

SEORANG ANAK LAKI-LAKI DENGAN INTOKSIKASI KOMIX


DAN GIZI KURANG

Pembimbing :
dr. Raden Setiyadi Sp.A
Disusun oleh :
Meiria Sari
030.11.186
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
PERIODE 08 OKTOBER 2016 05 DESEMBER 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi laporan kasus dengan judul
Seorang Anak Laki-laki Dengan Intoksikasi Komix dan Gizi Kurang

Penyusun:
Meiria Sari
030.11.186
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal
periode 08 Oktober 2016 05 Desember 2016

Tegal, November 2016

dr. Raden Setiyadi, Sp.A

BAB I
STATUS PASIEN
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
Nama : Meiria Sari
NIM : 030.11.186

Pembimbing : dr. Raden Setiyadi, Sp.A.


Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN
Data
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat

Pasien
Ayah
Ibu
An. AW
Tn S
Ny. A
13 tahun
55 tahun
50 tahun
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Munjung Ayung RT 04/ RW 05, Kramat

Agama
Suku Bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Keterangan
Asuransi
No. RM
Tanggal masuk RS

Islam
Islam
Islam
Jawa
Jawa
Jawa
SMP
SMP
Serabutan
Pedagang Gorengan
Rp 1.000.000,Rp 600.000,00Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Umum
848009
17 Oktober 2016

II. ANAMNESIS
Data anamnesis diperoleh secara alloanamnesis kepada ibu pasien (Ny. A, 50 tahun)
pada tanggal 26 Oktober 2016 di Bangsal Wijaya Kusuma RSU Kardinah pukul 14.00 WIB.
Keluhan Utama
Panas sejak 2 hari SMRS.
Keluhan Tambahan
Batuk kering, muntah 5x, belum BAB 2 hari.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah dengan keluhan panas sejak Sabtu, 2 hari
SMRS. Panas dirasakan naik turun, turun jika diberikan obat namun akan naik lagi 5 jam
kemudian. Sorenya sebelum ke IGD sempat dibawa ke dokter umum dan masih panas. Di
rumah hari minggu pasien sempat muntah sebanyak 5x dan batuk kering ada sebelum panas

kurang lebih 1 minggu. Pasien sempat meminum obat komix sebanyak 1 botol sekaligus.
Sebelum panas pasien bersekolah seperti biasa, pulang sering bermain bersama teman dan
pulang sore. Sehari sebelum sakit pasien tampak lebih gembira dan aktif dari biasanya. Tidak
ada pilek, sesak, kejang, BAB belum selama 2 hari ini dan BAK lancar Nafsu makan
menurun selama panas, namun tetap minum banyak. Riwayat kejang disangkal, imunisasi
terakhiri usia 9 bulan campak. Disekitar rumah tidak ada yang sedang mengalami demam
berdarah atau campak.
Lalu pasien di rawat di Puspanindra hari Rabu, 19 Oktober 2016, pasien mulai tampak
mengantuk dan sulit dibangunkan, dan tidak mau makan, belum BAB dan BAK lancar.
Riwayat Penyakit Dahulu
Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya belum pernah mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya. Tidak pernah rawat inap di RS, tidak ada riwayat operasi, riwayat trauma,
riwayat alergi obat maupun makanan tertentu. Riwayat penyakit lain, seperti asma, penyakit
jantung, ginjal dan sebagainya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien mengatakan bahwa di keluarganya tidak ada yang mengalami keluhan yang
serupa. Ayah os memiliki riwayat darah tinggi. Riwayat alergi dalam keluarga disangkal.
Riwayat Lingkungan Rumah
Pasien tinggal bersama dengan ayah, ibu, nenek dari ibu dan 4 saudara kandungnya
dirumah pribadi. Rumah berada di kawasan yang padat penduduk dengan luas 15 meter x 15
meter. Tempat tinggal pasien memiliki 4 kamar tidur, 2 kamar mandi, dan 1 dapur. Rumah
memiliki 8 jendela yang selalu dibuka setiap pagi. Penerangan dengan listrik. Air berasal dari
air sumur. Jarak septic tank kurang lebih 20 meter dari sumber air. Air limbah rumah tangga
disalurkan melalui selokan di depan rumah.
Kesan : keadaan rumah dan ventilasi cukup baik, keadaan lingkungan rumah cukup
baik.
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah bekerja serabutan dengan penghasilan per bulan Rp 1.000.000 dan ibu pasien
seorang pedagang gorengan dengan penghasilan Rp 600.000,00. Orangtuanya menanggung
kebutuhan ke 5 orang anaknya dan satu nenek dari ibunya.

Kesan: riwayat sosial ekonomi kurang.


Riwayat Kehamilan dan Prenatal
Ibu os berusia 37 tahun saat mengandung pasien. Ibu os rutin memeriksakan
kehamilannya secara teratur satu kali setiap bulan di posyandu. Ibu mendapatkan suntikan TT
2x, dan rutin mengonsumsi tablet yang diberikan oleh dokter di Poli kandungan RSUD
Kardinah. Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, perdarahan selama hamil, kejang,
trauma maupun infeksi saat hamil disangkal.
Kesan: riwayat pemeliharaan prenatal baik.
Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran

: RSU Kardinah

Penolong persalinan : Bidan


Cara persalinan

: Per vaginam, secara spontan

Masa gestasi

: 38 minggu pada G5P4A0

Keadaan bayi

Berat badan lahir

: 3200 gram

Panjang badan lahir

: 49 cm

Lingkar kepala

: Ibu lupa

Keadaan lahir : Langsung menangis kuat, tidak pucat, dan tidak biru

Nilai APGAR : Ibu tidak tahu

Kelainan bawaan

: Tidak ada

Air ketuban

: Jernih

Kesan: neonatus aterm, dengan lahir secara per vaginam, bayi dalam keadaan bugar.

Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Pemeliharaan setelah kehamilan dilakukan di Posyandu secara teratur dan anak dalam
keadaan sehat. I
Kesan: riwayat pemeliharaan postnatal baik.
Corak Reproduksi Ibu

Ibu P5A0, pasien merupakan anak keempat berjenis kelamin laki-laki.


Riwayat Keluarga Berencana
Ibu pasien tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi baik pil, suntik atau operasi.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Pertumbuhan:
Berat badan lahir 3200 gram. Panjang badan lahir 49 cm.
Berat badan sekarang 28 kg. Panjang badan 148 cm.
Perkembangan:
Psikomotor

Senyum : 3 bulan
Tengkurap
: 4,5 bulan
Duduk
: 6 bulan
Merangkak
:Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 11 bulan
Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan baik dan sesuai usia.

Riwayat Makan dan Minum Anak


Ibu memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Usia 6 bulan diberikan ASI dan
bubur susu 3x sehari. Usia 1 tahun diberikan makanan lunak dan buah pisang. Usia 2
tahun sudah diberikan nasi, sayur dan lauk pauk. Ibu os mengatakan pasien makan dan
minumnya baik tapi tidak banyak.
Kesan: kualitas makanan baik, kuantitas makanan buruk.

Riwayat Imunisasi
VAKSIN

ULANGAN

DASAR (umur)

(umur)
-

BCG

0 bulan

DTP/ DT
POLIO

0 bulan

2 bulan
2 bulan

4 bulan
4 bulan

6 bulan
6 bulan

CAMPAK

-9 bulan

0 bulan

1 bulan

6 bulan

HEPATITIS B

Kesan : Imunisasi dasar pasien lengkap sesuai umur, tetapi tidak diulang

Silsilah Keluarga

Keterangan :

= Laki-laki

= Pasien

= Perempuan

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan di bangsal Ruang Puspanindra RSU Kardinah Tegal pada
tanggal 26 Oktober 2016 pukul 14.30 WIB.
A. Kesan Umum : Somnolen, tampak sakit sedang, lemah,
kurus
B. Tanda Vital

Nadi
Laju nafas
Suhu
Tekanan darah

: 84 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.


: 24 x/menit, reguler.
: 36,7C
: 100/70

C. Data Antropometri

Berat badan

: 28 kg

Panjang badan

: 148 cm

Lingkar lengan atas

: 12 cm

D. Status Generalis

Kepala

: mesocephali, LK : 52 cm

Rambut

: rambut warna hitam kecoklatan, tebal, penyebaran


merata, tidak mudah dicabut.

Mata

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem

palpebra (-/-), mata cekung (-/-),

Hidung

: bentuk normal, simetris, septum deviasi (-),

sekret (-/-), nafas


cuping hidung (-)

Telinga: normotia, discharge (-/-)

Mulut

: bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-) normoglosia


oral hygiene baik, deviasi lidah (-), bicara pelo

Tenggorok

: faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-)

Leher

: Simetris, pembesaran KGB (-)

Kulit

: coklat, eritema (-), petechie (-)

Thorax

Paru

Inspeksi

: Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris, retraksi


(-), sela iga (+) terlihat jelas

Palpasi

: Tidak ada hemitoraks yang tertinggal.

Perkusi

: Sonor pada kedua hemitoraks.

Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: Iktus kordis tidak tampak.


: Iktus kordis tidak teraba.
: Tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen

Inspeksi

Auskultasi : Bising usus (+)

Palpasi

: Datar, simetris

: Supel, distensi (-), turgor kulit baik, nyeri tekan (+)


epigastirum, hepar dan lien teraba tidak membesar.

Perkusi

: Timpani pada seluruh kuadran abdomen.

Genitalia

: jenis kelamin laki-laki, tidak ada kelainan.

Anorektal

: tidak dilakukan pemeriksaan,

Ekstremitas

Superior
-/-/<2
-/Normotonus
Normotrofi
+/+
-/-

Akral Dingin
Akral Sianosis
CRT
Oedem
Tonus Otot
Trofi Otot
Ref. Fisiologis
Ref. Patologis

Inferior
-/-/<2
-/Normotonus
Normotrofi
+/+
-/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 18/10/2016 Pukul 05.38 WIB
Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Eritrosit
RDW
MCV
MCH
MCHC
Hitung Jenis (Diff)
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
Laju Endap Darah
LED 1 Jam
LED 2 Jam
Sero Imunologi
NS1 Dengue

Hasil

Satuan

Rujukan

11,5 ()
7,1
34,4 ()
283
4,3 ()
12,2
80,2
26,8 ()
33,4

g/dL
103/uL
%
103/uL
106/uL
%
U
Pcg
g/dl

13,7 17,7
4,4 11,3
42 52
150 521
4,5 5,9
11,5 14,5
80 96
28 33
33 36

0 ()
0.7 ()
67,9
22,8()
8,7

%
%
%
%
%

2-4
0-1
50-70
25-40
2-8

13
29 ()

mmol/L
mmol/L

0 15
0 25

Negatif

Negatif

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 19/10/2016 Pukul 19.09 WIB


Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Eritrosit
RDW
MCV
MCH
MCHC
Kimia klinik :
Glukosa Sewaktu
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida

Hasil

Satuan

Rujukan

11,7 ()
5,6
24,7 ()
285
4,4 ()
11,6
79,8 ()
26,9 ()
33,7

g/dL
103/uL
%
103/uL
106/uL
%
U
Pcg
g/dl

13,7 17,7
4,4 11,3
42 52
150 521
4,5 5,9
11,5 14,5
80 96
28 33
33 36

113

mg/dL

70-140

138,6
4,14
106,4 ()

Mmol/L
Mmol/L
Mmol/L

135 - 145
4,4 5,1
96 106

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 21/10/2016 Pukul 18.03 WIB


Pemeriksaan
Kimia klinik :
Ureum
Creatinine

Hasil
11 ()
0,52 ()

Satuan
mg/dL
mg/dL

Rujukan
12,8 42,8
0,9 1,3

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 22/10/2016 Pukul 14.01 WIB


Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Rujukan
Hematologi
Hemoglobin
12,1 ()
g/dL
13,7 17,7
Leukosit
5,8
103/uL
4,4 11,3
Hematokrit
35,1 ()
%
42 52
Trombosit
284
103/uL
150 521
Eritrosit
4,5
106/uL
4,5 5,9
RDW
11,68
%
11,5 14,5
MCV
77,8 ()
U
80 96
MCH
26,8 ()
Pcg
28 33
MCHCPemeriksaan Laboratorium
34,5 Tanggal 23/10/2016
g/dl Pukul 13.42 33
36
WIB
Kimia klinik : Elektrolit
Pemeriksaan
Hasil 137,7
Satuan
Rujukan
Natrium
Mmol/L
135 - 145
Urin
Kalium
3,38
Mmol/L
4,4 5,1
Makroskopis
Klorida
106,1 ()
Mmol/L
96 106
Warna
Kuning
Kuning
Kekeruhan
Jernih
Jernih
Kimia Urin
pH
8,0
6.0-9.0
Protein
Negatif
Negatif, +-/0.15, 1/0.30,
+2/1.00, +3/3, 4/10.0
Reduksi
Negatif
Negatif
Mikroskopis (Sedimen)
Eritrosit
12-14
/lpb
1/<4, +2/5-9, +3/10-29, +4
Lekosit
4-5
/lpb
1/<4, +2/5-9, +3/10-29, +4
Epitel
Pos (1+)
1/<4, +2/5-9, +3/10-29, +4
Silinder
Bakteri
Negatif
Negatif
Kristal
Ca Oxalat +
Jamur
Negatif
Negatif
Khusus
Berat Jenis
1.005
1.005-1.030
Bilirubin
Negatif
Negatif
Urobilinogen
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
Nitrit
Negatif
Negatif
Eritrosit
Pos (++)
/75
Negatif
Lekosit
Pos (++)
/75
Negatif

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 25/10/2016 Pukul 15.07 WIB


Pemeriksaan
Kimia klinik :
Ureum
Creatinine

Hasil

Satuan
14
0,94

Rujukan

mg/dL
mg/dL

12,8 42,8
0,9 1,3

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 27/10/2016 Pukul 15.57 WIB


Pemeriksaan
Hasil
Histopatologi : Cairan Otak
Makroskopis
Warna
Kuning muda
Kekeruhan
Jernih
Kimia
Test Nonne Apekt
Negatif
Pandy
Negatif
Glukosa
SPL <<<
Mikroskopis
Hitung Eritrosit
Hitung Jumlah Lekosit
Mononukleus

Satuan

Rujukan
Kuning muda - kuning tua
Jernih

mg/dL

SPL <<<
SPL <<<

%
/mm3

SPL <<<

Negatif
Negatif
: Glukosa Plasma =
> Glukosa Plasma :
30.0 50.0
< 1.000 : Transudat
> 1.000 : Eksudat
0 - 100000
Kronis

Pemeriksaan CT-scan Kepala (26/10/2016 pk 21.20 WIB)


a.

Tanpa kontras
b. Dengan kontras

Deskripsi :
- tak tampak lesi hipo/hiperdens
- giry samar dan sulcy dangkal
- sisterna ventrikel sempit
- struktur mediana tak tampak deviasi
- pada kontras enchancement CT tampak
kortikal patologis enchance

Kesan : Encephalitis
V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Data Antropometri
Anak laki-laki usia 13 tahun
Berat badan 28 kg
Tinggi badan 148 cm
Lingkar kepala 52 cm
Lingkar lengan atas 10 cm

Pemeriksaan Status Gizi


Pertumbuhan persentil anak menurut CDC sebagai berikut:
1. BB/U= 28/45 x 100% = 62,2 % (berat badan menurut
umur kurang)
2. TB/U = 148/156 x 100% = 94,8 % (tinggi badan menurut
umur baik)
3. BB/TB = 28/40 x 100% = 70% (gizi kurang menurut berat
badan per tinggi badan)
Kesan: Anak laki-laki usia 13 tahun, status gizi kurang
Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)
LK 52 cm
Hasil : +2SD
Kesan : Mesocephali

Pemeriksaan Status (Gizi Kesan: status gizi kurang)

VI.

RESUME
Seorang anak laki-laki berusia 13 tahun datang ke IGD RSUD Kardinah dengan

keluhan panas sejak sabtu, 2 hari SMRS. Panas dirasakan naik turun, turun jika diberikan
obat namun akan naik lagi 5 jam kemudian. Sorenya sebelum ke IGD sempat dibawa ke
dokter umum dan masih panas. Di rumah hari minggu pasien sempat muntah sebanyak 5x
dan batuk kering ada sebelum panas kurang lebih 1 minggu. Sehari sebelum sakit pasien
tampak lebih gembira dan aktif dari biasanya. Nafsu makan. Pasien di rawat di Puspanindra
hari Rabu, 19 Oktober 2016, pasien mulai tampak mengantuk dan sulit dibangunkan, dan
tidak mau makan dan belum BAB selama di rawat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, lemas,
kurus, dan somnolen. Tanda vital dalam batas normal. Bicara pelo, pada thoraks tampak sela
iga jelas, dan ada nyeri tekan di epigastrium. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium
darah didapatkan penurunan hemoglobin, hematokrit dan eritrosit, dan peningkatan LED jam
ke2. Dan pada pemeriksaan CT-scan kepala didapatkan kesan encephalitis. Pada pemeriksaan
khusus, disimpulkan bahwa os memiliki gizi kurang.
VII.

MASALAH
Panas naik turun sudah 2 hari SMRS
Mengantuk, sulit dibangunkan
Bicara pelo
Nafsu makan kurang, gizi kurang
Anemia

VIII. DIAGNOSA KERJA


1. Intoksikasi dextrometrofan
2. Ensefalitis
3. Gizi kurang
4. Anemia

IX.

DIAGNOSIS BANDING
Demam naik turun

Penurunan Kesadaran

Infeksi (virus, bakteri, parasit)

Non infeksi (obat)

Keganasan
Infeksi (ensefalitis, meningitis)

Metabolik (ensefalopati, syok)

Struktural (tumor, perdarahan,


abses)

Gizi Kurang

Anemia

Defisiensi

Penyakit kronis

Hemolitik

X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:

IVFD RL 10 tpm

Paracetamol syr 3x1 cth

Ambroxol 3x 2 ml

Vit A 1 x 200.000 U

Inj Amoxicilin 3x 250 ml

Inj Dexamethason 3x1/4 amp

Non-medikamentosa

Rawat inap untuk monitor gejala

Awasi keadaan umum, dan tanda vital

Edukasi : menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan,


dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.

XI.

Memberikan asupan gizi yang sesuai

PROGNOSA
Quo ad vitam
Quo ad sanationam

: Ad bonam
: Ad bonam

Quo ad fungsionam

: Ad bonam

PERJALANAN PENYAKIT
18 Oktober 2016 pkl. 23.30 WIB
(IGD)
Hari Perawatan ke-0
Demam (+) H+2, muntah (+) 5x, mual S
(+), batuk kering (+), pilek (-), sesak (-),
kejang (-), pusing (+), mata merah (-),
ruam kemerahan (-), mimisan (-), gusi
berdarah (-), BAB cair (-), BAK (+),
makan , minum (+).
KU: TSS, CM, lemas, pucat
O
0
TTV: HR 138x/m,RR 26x/m, T 37,9 C
Status generalis:
Kepala: mesosefal
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-), RCL/RCTL (+/+), cekung (-/-)
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal.
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik,
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik
Obs Febris 2 hari susp infeksi viral
A
Vomitus
Gizi kurang

19 Oktober 2016 pkl. 06.00 WIB


(Puspanidra)
Hari Perawatan ke-1
Demam (+) H+3, muntah (-) mual (+),
batuk kering (+), pilek (-), sesak (-),
kejang (-), pusing (+), mata merah (-),
ruam kemerahan (-), mimisan (-), gusi
berdarah (-), BAB cair (-), BAK (+),
makan , minum (+).
KU: TSS, CM, lemas, pucat
TTV: HR 92x/m,RR 22x/m, T 37,1 0C
Status generalis:
Kepala: mesosefal
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-), RCL/RCTL (+/+), cekung (-/-)
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal.
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik,
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik
Obs Febris 3 hari susp infeksi viral
Gizi kurang
Anemia

IVFD RL 20 tpm
Paracetamol tab 3x500mg
Inj Ranitidin 2xIamp
Inj Ondansentron 2x8mg
Vit c100
Darah rutin

IVFD RL 20 tpm
Paracetamol syr 3x2cth
Inj Ranitidin 2x1/2amp
Inj Ondansentron 2x8mg
Vit c100
Darah rutin+NS1

20 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB


(Puspanidra)
Hari Perawatan ke-2
Demam (+) H+4, mengantuk terus, sulit
dibangunkan, muntah (-), mual (+),
batuk kering (+), pilek (-), sesak (-),
kejang (-), pusing (+), BAB (-), BAK (+)
banyak, makan (-), minum (+).
KU: TSS, somnolen, lemas
E2 V1 M2 = 5
TTV: HR 53x/m,RR 30x/m, S 36,8 0C
Status generalis:
Kepala: mesosefal, kaku kuduk (-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra

21 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB


(Puspanidra)
Hari Perawatan ke-3
Demam (-) H+5, mengantuk terus,
gelisah, muntah (-), mual (+), batuk
kering (+), pilek (-), sesak (-), kejang (-),
pusing (-), BAB (-), BAK (+) banyak,
makan (-), minum (+).
KU: TSS, somnolen, lemas
E3 V3 M5 = 11
TTV: HR 66x/m,RR 18x/m, S 36,40C
Status generalis:
Kepala: mesosefal
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra

(-/-), RCL/RCTL (+/+), cekung (-/-),


isokor 4mm/4mm
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal.
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik, Ref. Fis (+/+), Hofman (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik, , Ref. Fisiologis (+/+)
Ref. Babinski (-/-), Chadoks (-/-),
Gordon (-/-), Schaefer (-/-)
GDS = 80mg/dL
Intoksikasi dextrometrophan
Kesadaran menurun
Gizi kurang
Anemia
IVFD Kaen 3A 12 tpm
Pantoprazole tab 1x5mg
Paracetamol syr 3x2cth
Inj Ranitidin 2x1/2amp
Inj Ondansentron 2x2mg
Inj. Piracetam 1x1gr
Inj. SA 1x1/3amp
D40% 1flash pk 19.20 WIB
Awasi TTV
22 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB
(PICU 1)
Hari Perawatan ke-4
Demam (-) H+6, sadar tidak bisa bicara,
sakit tenggorokan, gelisah, muntah (-),
mual (-), batuk (-), pilek (-), sesak (-),
kejang (-), pusing (+), nyeri perut (-),
BAB (-) 4 hari, kentut (+), BAK (+)
banyak, makan bubur habis, minum (+).
KU: TSS, somnolen, lemas
E3 V3 M5 = 11
TTV: HR 64x/m,RR 16x/m, S 36,90C
SpO2 98%
Status generalis:
Kepala: mesosefal
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-), RCL/RCTL (+/+), cekung (-/-),
isokor 2mm/2mm
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal.
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT

(-/-), RCL/RCTL (+/+), cekung (-/-),


isokor 4mm/4mm
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal.
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik, Ref. Fis (+/+), Hofman (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik, , Ref. Fisiologis (+/+)
Ref. Babinski (-/-), Chadoks (-/-),
Gordon (-/-), Schaefer (-/-)
A

Intoksikasi dextrometrophan
Kesadaran menurun
Gizi kurang
Anemia
IVFD Kaen 3A 12 tpm
Flunarizin 1x5mg
Paracetamol syr 3x2cth
Inj Ranitidin 2x1/2amp
Inj Ondansentron 2x2mg
Inj. Piracetam 1x1gr
Inj. SA 3x1/3amp (sampai HR 80x/m)
Awasi TTV
23 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB
(PICU 1)
Hari Perawatan ke-5
Demam (-) H+7, sadar tidak bisa bicara,
sakit tenggorokan, gelisah, muntah (-),
mual (-), batuk (-), pilek (-), sesak (-),
kejang (-), pusing (+), nyeri perut (-),
BAB (-) 4 hari, kentut (+), BAK (+)
banyak, makan bubur habis, minum (+).
KU: TSS, somnolen, lemas
E3 V3 M5 = 11
TTV: HR 67x/m,RR 18x/m, S 36,40C
SpO2 100%
Status generalis:
Kepala: mesosefal
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-), RCL/RCTL (+/+), cekung (-/-),
isokor 2mm/2mm
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal.
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT

<2 detik, Ref. Fis (+/+), Hofman (-/-)


Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik, , Ref. Fisiologis (+/+)
Ref. Babinski (-/-), Chadoks (-/-),
Gordon (-/-), Schaefer (-/-)
Intoksikasi dextrometrophan
A
Kesadaran menurun
Gizi kurang
Anemia
IVFD Kaen 3B 15 tpm
P
Flunarizin 1x5mg
Paracetamol syr 3x2cth
Inj Ranitidin 2x1/2amp
Inj Ondansentron 2x8mg
Inj. Piracetam 1x1gr
Inj. SA 3x1/3amp (sampai HR 80x/m)
Inj. Naloxon 0,2mg/jam IM (sampai
kesadaran membaik)
Awasi TTV

<2 detik, Ref. Fis (+/+), Hofman (-/-)


Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik, , Ref. Fisiologis (+/+)
Ref. Babinski (-/-), Chadoks (-/-),
Gordon (-/-), Schaefer (-/-)
Intoksikasi dextrometrophan
Kesadaran menurun
Gizi kurang
Anemia
IVFD Kaen 3B 15 tpm
Vit C 3x1tab
Bc 3x1
Flunarizin 1x5mg
Paracetamol syr 3x2cth
Inj Ranitidin 2x1/2amp
Inj Ondansentron 2x8mg
Inj. Piracetam 1x1gr
Inj. SA 3x1/3amp (sampai HR 80x/m)
Inj. Naloxon 0,2mg/jam IM (sampai
kesadaran membaik)

24 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB


(PICU 1)
Hari Perawatan ke-4
Demam (-) H+8, lemas (+),bisa bicara,
S
sakit tenggorokan (-), gelisah, muntah (-),
mual (-), batuk (-), pilek (-), sesak (-),
kejang (-), pusing (+), nyeri perut (-),
BAB (-) 6 hari, kentut (+), BAK (+)
banyak, makan bubur habis, minum (+).
KU: TSS, somnolen, lemas
O
E3 V5 M4 = 13
TTV: HR 69x/m,RR 18x/m, S 36,00C
SpO2 100%
Status generalis:
Kepala: mesosefal
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-), RCL/RCTL (+/+), cekung (-/-),
isokor 2mm/2mm
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal, NT (+)
hipokondrium bilateral
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik, Ref. Fis (+/+), Hofman (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik, , Ref. Fisiologis (+/+)
Ref. Babinski (-/-), Chadoks (-/-),
Gordon (-/-), Schaefer (-/-)

25 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB


(Wijayakusuma Atas)
Hari Perawatan ke-5
Demam (-) H+9, lemas (+), kontak
membaik, pandangan kabur (-), muntah
(-), mual (-), batuk (-), pilek (-), sesak (-),
kejang (-), pusing (+), nyeri perut (-),
BAB (-) 6 hari, kentut (+), BAK (+)
banyak, makan bubur habis, minum (+).
KU: TSS, somnolen, lemas
E4 V5 M5 = 14
TTV: HR 76x/m,RR 20x/m, S 37,00C
SpO2 100%
Status generalis:
Kepala: mesosefal
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-), RCL/RCTL (+/+), cekung (-/-),
isokor 2mm/2mm
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal, NT (+)
hipokondrium bilateral
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik, Ref. Fis (+/+), Hofman (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik, , Ref. Fisiologis (+/+)
Ref. Babinski (-/-), Chadoks (-/-),
Gordon (-/-), Schaefer (-/-)

Penurunan kesadaran
Intoksikasi dextrometrophan
Gizi kurang
Anemia
IVFD Kaen 3B 20 tpm
Vit C 3x1tab
Bc 3x1
Inj Ranitidin 2x1/2amp
Inj. SA 4x1/3amp (sampai HR 80x/m)
Awasi TTV bila HR <61x/m

26 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB


(Wijayakusuma Atas)
Hari Perawatan ke-4
Demam (-) H+10, lemas (+), kontak
S
membaik dapat diajak bicara, pandangan
kabur (-), muntah (+) 1x sisa makanan
1 gelas, mual (-), batuk (-), pilek (-),
sesak (-), kejang (-), pusing (+), sakit
kepla (+), nyeri ulu hati(+), BAB (-) 7
hari, kentut (+), BAK (+) banyak, makan,
minum (+) sedikit.
KU: TSS, somnolen, lemas, kurus
O
E4 V5 M5 = 14
TTV: HR 84x/m,RR 29x/m, S 36,40C
SpO2 100% TD 100/70mmHg
Status generalis:
Kepala: mesosefal
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-), RCL/RCTL (+/+), cekung (-/-),
isokor 2mm/2mm
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal, NT (+)
epigastrium
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik, Ref. Fis (+/+), Hofman (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik, , Ref. Fisiologis (+/+)
Ref. Babinski (-/-), Chadoks (-/-),
Gordon (-/-), Schaefer (-/-)
Obs. penurunan kesadaran (perbaikan)
Intoksikasi dextrometrophan
Gizi kurang
Anemia

Penurunan kesadaran (perbaikan)


Intoksikasi dextrometrophan
Gizi kurang
Anemia
IVFD Kaen 3B 20 tpm
Vit C 3x1tab
Bc 3x1
Inj Ranitidin 2x1/2amp
Inj. SA 4x1/3amp (sampai HR 80x/m)
Inj. Ceftriaxone 3x1amp (1)
Loading 300cc jam 17.00 & 22.57 WIB
27 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB
(Wijayakusuma Atas)
Hari Perawatan ke-5
Demam (-) H+11, lemas (+), sering
mengantuk, bicara pelo, pandangan
kabur (-), muntah (-), mual (+), batuk (-),
pilek (-), sesak (-), kejang (-), pusing (+),
sakit kepla (+), nyeri seluruh perut (+),
BAB (-) 7 hari, kentut (+), BAK (+)
banyak, makan, minum melalui selang,
gerak tangan, kaki mulai aktif
KU: TSB, somnolen, lemas, kurus
E4 V5 M5 = 14
TTV: HR 68x/m,RR 20x/m, S 36,70C
SpO2 98% TD 90/60mmHg
Status generalis:
Kepala: mesosefal
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-), RCL/RCTL (+/+) lambat, cekung
(-/-), isokor 4mm/4mm
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal, NT (+)
epigastrium, hipokondrium kiri kanan
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik, Ref. Fis (+/+), Hofman (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik, , Ref. Fisiologis (+/+)
Ref. Babinski (-/-), Chadoks (-/-),
Gordon (-/-), Schaefer (-/-)
CT Scan : kesan encephalitis
Obs. penurunan kesadaran (perbaikan)
Intoksikasi dextrometrophan
Encephalitis
Gizi kurang
Anemia

IVFD Kaen 3B 20 tpm


Vit C 3x1tab
Bc 3x1
Inj Ranitidin 2x1/2amp
Inj. SA 4x1/3amp (bila HR <61x/m)
Inj. Ceftriaxone 3x1amp (2)
28 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB
(Wijayakusuma Atas)
Hari Perawatan ke-4
Demam (-) H+12, lemas (+), kontak
membaik, bicara pelo, pandangan kabur
(-), muntah (-), mual (+), batuk (-), pilek
(-), sesak (-), kejang (-), pusing (+),
kepala terasa berat, nyeri perut (+),
BAB (+) sedikit, kentut (+), BAK (+)
banyak, makan, minum tidak tersedak,
gerak tangan, kaki mulai aktif
KU: TSB, CM, lemas, kurus
E4 V5 M6 = 15
TTV: HR 64x/m,RR 22x/m, S 37,30C
SpO2 97% TD 100/70mmHg
Status generalis:
Kepala: mesosefal
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-), RCL/RCTL (+/+) lambat, cekung
(-/-), isokor 4mm/4mm
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal, NT (+)
epigastrium dan hipokondrium kanan
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik, Ref. Fis (+/+), Hofman (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik, , Ref. Fisiologis (+/+)
Ref. Babinski (-/-), Chadoks (-/-),
Gordon (-/-), Schaefer (-/-)
N. Kranialis normal, parese (-)
Obs. penurunan kesadaran (perbaikan)
Intoksikasi dextrometrophan
Encephalitis
Gizi kurang
Anemia
IVFD Kaen 3B 20 tpm
Vit C 3x1tab
Bc 3x1
Inj Ranitidin 2x1/2amp
Inj. SA 4x1/3amp (bila HR <61x/m)

IVFD Kaen 3B 20 tpm


Vit C 3x1tab
Bc 3x1
Inj Ranitidin 2x1/2amp
Inj. SA 4x1/3amp (bila HR <61x/m)
Inj. Ceftriaxone 2x1gr (drops) (3)
Inj. Dexamethasone 2x1/2amp (1)
29 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB
(Wijayakusuma Atas)
Hari Perawatan ke-5
Demam (-) H+13, kontak baik, bicara
pelo, pandangan kabur (-), muntah (-),
mual (+), batuk (-), pilek (-), sesak (-),
kejang (-), pusing (+), sakit kepla (-),
nyeri seluruh perut (+), BAB (+), kentut
(+), BAK (+) banyak, makan, minum
sudah baik, sudah bisa berjalan
KU: TSS, CM, kurus
E4 V5 M6 = 15
TTV: HR 76x/m,RR 20x/m, S 36,80C
SpO2 9% TD 110/70mmHg
Status generalis:
Kepala: mesosefal
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-), RCL/RCTL (+/+) lambat, cekung
(-/-), isokor 5mm/5mm, diplopia (+)
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal, NT (+)
epigastrium
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik, Ref. Fis (+/+), Hofman (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik, , Ref. Fisiologis (+/+)
Ref. Babinski (-/-), Chadoks (-/-),
Gordon (-/-), Schaefer (-/-)
Nonne Pandy (-)
Obs. penurunan kesadaran (perbaikan)
Intoksikasi dextrometrophan
Encephalitis
Gizi kurang
Anemia
IVFD Kaen 3B 20 tpm
Vit C 3x1tab
Bc 3x1
Inj Ranitidin 2x1/2amp
Inj. SA 4x1/3amp (bila HR <61x/m)

Inj. Ceftriaxone 2x1gr (4)


Inj. Dexamethasone 2x1/2amp (2)

Inj. Ceftriaxone 2x1gr (5)


Inj. Dexamethasone 2x1/2amp (3)

30 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB


(Wijayakusuma Atas)
Hari Perawatan ke-4
Demam (-) H+14, kontak baik, bicara
pelo, pandangan kabur (-), muntah (-),
mual (-), batuk (-), pilek (-), sesak (-),
kejang (-), pusing (-), sakit kepla (-),
nyeri perut (-), BAB (+), kentut (+),
BAK (+) banyak, makan, minum sudah
baik, sudah bisa berjalan

31 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB


(Wijayakusuma Atas)
Hari Perawatan ke-5
Demam (-) H+15, kontak baik, bicara
pelo, pandangan kabur (-), muntah (-),
mual (-), batuk (-), pilek (-), sesak (-),
kejang (-), pusing (-), sakit kepla (-),
nyeri perut (-), BAB (+), kentut (+),
BAK (+) banyak, makan, minum banyak
1 bungkus, sudah bisa berjalan, tangan
kaki pegal
KU: TSB, CM, kurus
E4 V5 M5 = 14
TTV: HR 68x/m,RR 20x/m, S 36,70C
SpO2 9% TD 90/60mmHg
Status generalis:
Kepala: mesosefal
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-), RCL/RCTL (+/+) lambat, cekung
(-/-), isokor 4mm/4mm
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal, NT (-)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik, Ref. Fis (+/+), Hofman (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik, , Ref. Fisiologis (+/+)
Ref. Babinski (-/-), Chadoks (-/-),
Gordon (-/-), Schaefer (-/-)
Intoksikasi dextrometrophan
Obs. penurunan kesadaran (perbaikan)
Encephalitis
Gizi kurang
IVFD Kaen 3B 20 tpm
Vit C 3x1tab
Bc 3x1
Inj Ranitidin 2x1/2amp
Inj. SA 4x1/3amp (bila HR <61x/m)
Inj. Ceftriaxone 2x1gr (7)
Inj. Dexamethasone 2x1/2amp (5)
Sorenya boleh pulang

KU: TSB, CM, kurus


E4 V5 M5 = 15
TTV: HR 100x/m,RR 30x/m, S 36,40C
SpO2 9% TD 110/70mmHg
Status generalis:
Kepala: mesosefal
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-), RCL/RCTL (+/+) lambat, cekung
(-/-), isokor 4mm/4mm
Toraks: Retraksi (-/-), SNVes (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) , distensi (-),
turgor baik, Hepar, lien normal, NT (-)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik, Ref. Fis (+/+), Hofman (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik, , Ref. Fisiologis (+/+)
Ref. Babinski (-/-), Chadoks (-/-),
Gordon (-/-), Schaefer (-/-)
Intoksikasi dextrometrophan
Obs. penurunan kesadaran (perbaikan)
Encephalitis
Gizi kurang
IVFD Kaen 3B 20 tpm
Vit C 3x1tab
Bc 3x1
Inj Ranitidin 2x1/2amp
Inj. SA 4x1/3amp (bila HR <61x/m)
Inj. Ceftriaxone 2x1gr (6)
Inj. Dexamethasone 2x1/2amp (4)

BAB II
ANALISA KASUS
Pasien anak laki-laki usia 13 tahun, dengan diagnosis intoksikasi dekstrometrofan,
penurunan kesadaran, encephalitis, gizi kurang, dan anemia. Dasar diagnosis ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada pasien ini didiagnosis intoksikasi dektrometrofan berdasarkan anamnesis bahwa
pasien meminum 1 botol komix, sebelumnya pasien mengalami batuk kering lalu panas yang
naik turun sudah 2 hari SMRS, muntah dan terjadi euforia. Pasien kemudian mengalami
penurunan kesadaran dan bradikadi.
Diagnosis ensefalitis berdasarkan gejala yang dimiliki pasien seperti demam diawali
dengan suhu yang mendadak naik, kesadaran tiba-tiba menurun, ada juga keluhan sering
mengeluh nyeri kepala dan muntah sebanyak 5x. Pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak
somnolen, diplopia, dan bicara pelo. Pemeriksaan penunjang didapatkan kesan ensefalitis
maka diagnosis encefalitis dapat ditegakkan.
Diagnosis gizi kurang dan anemia diperoleh dari anamnesis berupa nafsu makan pasien
yang memang kurang sebelum sakit. Pada pemeriksaan fisik pasien tampak kurus, lemah,
serta sela iga tampak jelas. Dari hasil pemeriksaan khusus BB/TB didapatkan hasil 70% yang
diklasifikasikan sebagai gizi kurang menurut CDC. Pemeriksaan penunjang yang mendukung
adalah kadar hemoglobi, dan MCV dan MCH yang rendah.
Penatalaksanaan untuk pasien adalah dengan pemberian cairan melalui infus dengan
penambahan vitamin C dan Bc. Lalu pengobatan simptomatik untuk mual muntah. Diberikan
sulfas atrofin untuk menjaga tekanan nadi dan apabila terjadi penurunan <61x/m, pemberiaan
antibiotik yang sesuai serta obat kotrikosteroid untuk ensefalitis.
Intoksikasi dektrometrofan merupakan suatu kejadian yang dapat terjadi akibat
penyalahgunaan fungsi obat dengan dosis yang berlebih atau tanpa tahu indikasi pemakaian,
dikarenakan pengetahuan yang kurang. Lalu ensefalitis pada pasien juga memperberat atau
perancu daripada penurunan kesadaran yang terjadi pada pasien. Komplikasi ensefalitis
dalam beberapa kasus, dapat menyebabkan kerusakan otak permanen dan komplikasi tetap
seperti kesulitan belajar, masalah berbicara, kehilangan memori, atau berkurangnya kontrol
otot yang tampak bahwa pasien masih berbicara pelo.
Prognosis ad vitam pada pasien adalah ad bonam disebabkan karena dengan pengobatan
yang rutin dan tepat maka penyakit tersebut dapat sembuh dan tidak menimbulkan kematian.
Sedangkan pada ad sanationam ad bonam karena dengan edukasi dan pengawasan makan

yang baik pada pasien kasus intoksikasi dapat dicegah. Dan pada ad fungsionam ad malam
karena pasien sebelumnya tidak memiliki riwayat kejang, imunisasi lengkap, dan
penatalaksaanaan diberikan sesuai dan tepat. Terdapat perbaikan klinis yang bermakna dan
tidak ada cacat permanen.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
INTOKSIKASI DEKSTROMETHORFAN
Definisi
Toksisitas atau keracunan yang terjadi jika bentuk longacting dekstrometorfan dengan
dosis yang berlebih. Dekstrometorfan D-3-methoxy-N-methyl-morphinan) adalah obat pereda
batuk yang bekerja pada pusat batuk di otak untuk menekan batuk kering.1
Komposisi Komix
Setiap 7ml mengandung Guaiafenesin 100 mg, Dextromethorphan HBr 15 mg,
Chlorpheniramne Maleate 2 mg. Sedian botol 27 ml dan 54 ml.
Epidemiologi
Beberapa anak, berusia 2 sampai 3 tahun, setelah menelan hingga 180 mg
dekstrometorfan tidak menunjukkan gejala apapun, sementara anak lain menunjukkan
demam, ataksia dan pingsan pada dosis 90 hingga 180 mg. Seorang anak perempuan berusia
30 bulan setelah menelan 38 mg/kg dekstrometorfan, satu jam setelah tertelan merasa pusing.
2,5 jam pasca tertelan terjadi opisthotonus (kejang/spasme pada kepala, leher dan tulang
belakang sehingga membentuk lengkungan/melengkung), tatapan kosong, ketidakmampuan
untuk mengenali kerabat, nistagmus horisontal dan vertikal, terhadap anak ini dilakukan
dekontaminasi midriasis dan perawatan suportif, termasuk arang aktif,dan antidot nalokson,
difenhidramin.
Patofisiologi
Dekstrometorfan adalah dekstroisomer dari kodein analog metorfan. dekstrometorfan
tidak bekerja pada reseptor opioid tipe mu dan delta seperti jenis levoisomer, tetapi bekerja
pada reseptor tipe sigma. Dekstrometorfan memiliki efek halusinogen.3 Zat yang memiliki
peran dalam mengakibatkan efek halusinogen ini adalah metabolit aktif dari dekstrometorfan
yaitu dekstrorfan (3-hydroxy-17-methylmorphinan). Dekstrorfan dapat terikat dengan afinitas
lemah dengan reseptor opioid tipe sigma dan terikat dengan afinitas kuat dengan reseptor
NMDA (N-methylD-aspartate). (Klein et al., 1989; Murray et al., 1984); (Franklin et al.,
1992). Dextrorfan bekerja sebagai antagonis reseptor NMDA yang akan memproduksi efek

yang sama dengan efek dari ketamin maupun fenisiklidin (PCP). Ketamin sendiri adalah obat
yang digunakan sebagai anestetik umum.4
Metabolisme absorpsi peroral cepat, kadar puncak plasma dicapai 30 - 60 menit
setelah pemberian. Metabolisme terutama terjadi di hepar, dan metabolitnya diekskresikan
melalui ginjal. Efek sampingnya hanya ringan dan terbatas pada rasa mengantuk,
termangumangu, pusing, nyeri kepala, dan gangguan lambung-usus. Meninggikan dosis tidak
akan membantu kuatnya efek, tetapi dapat memperpanjang kerjanya sampai 10-12 jam, dan
ini dapat dimanfaatkan untuk mengontrol batuk malam hari. Dosis anak 1 mg/kg BB/hari
dalam dosis terbagi 3-4 kali sehari (Munaf, 1994 )
Dosis lazim dekstrometorfan hidrobromida untuk dewasa dan anak diatas 12 tahun
adalah 10mg - 20mg tiap 4 jam atau 30mg tiap 6 - 8 jam, dan tidak lebih dari 120mg dalam
satu hari.5 Pada penggunaan dengan dosis lazim efek samping yang pernah muncul seperti
mengantuk, pusing, nausea, gangguan pencernaan, kesulitan dalam berkonsentrasi dan rasa
kering pada mulut dan tenggorok. Pada kasus penyalahgunaan, dosis yang digunakan
biasanya jauh lebih besar daripada dosis lazim. Pada dosis 5-10 kali lebih besar dari dosis
yang lazim, efek samping yang timbul menyerupai efek samping yang diamati pada
penggunaan ketamin atau PCP, dan efek ini meliputi: kebingungan, keadaan seperti mimpi,
rasa kehilangan identitas pribadi, gangguan bicara dan pergerakan, disorientasi, keadaan
pingsan, mengantuk (Schwartz, 2005; Siu et al., 2007). Toksisitas bromida akut dapat terjadi
pada kasus penyalahgunaan dekstrometorfan HBr meskipun sangat jarang dan sedikit
disebutkan dalam literatur. Biasanya toksisitas bromida terjadi ketika kadar bromida pada
serum lebih besar daripada 50-100 mg/dl.
Gejala Klinis6
Gejala yang berhubungan dengan penyalahgunaan DMP, adalah euphoria, gangguan
presepsi, halusinasi, paranoia, gangguan penglihatan, dan disorientasi. Selain itu juga
ditemukan adanya takikardi, mual, muntah, pusing, hipertensi bersaamn juga dengan efek
pada system saraf pusat (nistagmus, ataksia, midiarisis, letargi, kejang, koma) Konsumsi
DMP dalam jumlah besar akan mengakibatkan efek psikotropik. Hal ini terutama disebabkan
oleh akumulasi dari bentuk aktif dekstrofan. Gejala yang dihasilkan tergantung dari stadium,
awalnya para penyalahguna DMP mengeluhkan efek stimulant yang ringan disertai dengan
halusinasi dan delusi. Efek samping tersebut juga diserta euphoria, ataxia, agitasi, dan
penurunan tingkat konsentrasi. Gejala tersebut baru timbul jika dosis DMP > 2 mg/kgBB.
Dan jika dosisnya melebihi 7mg/KgBB maka efek disosiatif lebih banyak dirasakan. Pada

intoksikasi yang akut dan berat dapat menimbulkan nystagmus dan midriasis. DMP juga
dikenal sebagai antagonis reseptor serotonin, oleh sebab itu pasien yang datang dengan
syndrome serotonin, harus dipikrkan juga efek dari DMP. Gejala yang muncul pada sindroma
serotonin antara lain gangguan status mental, kekakuan, hipertermia, dan kejang.
Pada kasus konsumsi DMP dalam jumlah besar dapat juga terjadi depresi pernafasan,
takikardi, dan hipertensi. Intoksikasi akut bisa berhubungan dengan depresi saraf pusat,
hipotensi, dan takikardi. Pada penggunaan DMP jangka panjang dapat menimbulkan
sindroma Bromism, dimana ditemukan perubahan perilaku, iritabilitas dan letargi.
Penyalahguna DMP menggambarkan adanya 4 plateau yang tergantung dosis, seperti berikut:
Plateau Dose (mg)
1st
100200
nd
2
200400
rd
3
300 600
4th
500-1500

Behavioral Effects
Stimulasi ringan
Euforia dan halusinasi
Gangguan persepsi visual dan hilangnya koordinasi motorik
Dissociative sedation

Toksisitas akut dapat dihubungkan dengan adanya depresi sistem saraf pusat,
hipotensi, dan takikardia. Konsumsi kronis dapat mengakibatkan sindrom bromism, yang
ditandai dengan adanya perubahan perilaku, iritabilitas, dan letargi. Tidak ada antidot khusus
untuk menangani toksisitas bromida. Untuk menangani kasus keracunan bromida biasanya
digunakan metode hidrasi dengan menggunakan larutan saline untuk mendorong ekskresi
melalui urin, dan pada kasus yang parah digunakan metode hemodialisis. Pemberian bersama
dekstrometorfan dengan obat dari golongan inhibitor Monoamin Oksidase (MAOI) seperti
moklobemid dan isoniazid, dapat menyebabkan sindrom serotonin, yaitu keadaan dimana
terjadi perubahan status mental, hiperaktifitas saraf otonom dan abnormalitas saraf otot
(neuromuscular). Meskipun demikian, keadaan ini tidak selalu muncul pada orang yang
mengkonsumsi kedua obat tersebut. Jika obat batuk dan obat flu yang mengandung
dekstrometorfan dikonsumsi dengan jumlah 5- 10 kali dosis lazimnya maka dapat terjadi
peningkatan toksisitas bahan tambahan dan atau bahan aktif kombinasi lainnya. Kombinasi
dekstrometorfan dengan guaifenesin dosis tinggi dapat menyebabkan mual yang hebat dan
muntah. Sedangkan kombinasi dengan klorfeniramin dapat menyebabkan rasa terbakar pada
kulit, midriasis, takikardia, delirium, gangguan pernafasan, syncope dan kejang.
Penyalahgunaan dalam bentuk sirup, memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk
menimbulkan gangguan pada saluran pencernaan karena larutan tersebut mengandung etanol
sebagai pelarutnya.
Penatalaksanaan

Kegawat
A.
=
Bersihkan
daruratan
Jalan
B.
Oksigen
NaCl
diperlukan
0.9%;
koloid
bila
Penanganan
opiat
dilakukan
pada
intoksikasi
obat
oral
charcoal
dalam
240
oral
ml
::Nafas
30
cairan.
sampai
Dapat
100
gram
diberikan
dapat
diberikan
diazepan
IV
Naloxone
dengan
dosis
5
-10
mg
afinitas
tinggi
terhadap
reseptor
()yang
bekerja
opioid
Mu
sebagai
antagonis
sehingga
antidotum
dapat
pada
menjadi
kasus
naloxone
juga
opioid,
pada
reseptor
Kappa
()
dan
lebih
Delta
kecil
()
meskipun
intoksikasi
dextrometorfan
belum
jelas,
penggunaannya
laporan
efek
tsamping

idak
ada
Pemberian
Naloxone
mg
iv
0,4
dosis
awal
diberikan
1-2
depresi
pernapasan,
dilatasi
mencapai
pupil
dosis
atau
maksimal
telah
10
mg
berkurang
pasien
20-40
dpt
kembali
menit
intoksikasi,
keadaan
kesadaran,
respirasi,
pupil
jam
tanda
vital
dalam
24
urine
dan
foto
thorax
5.
Pertimbangkan
ETT
mencegah
aspirasi
5
menit,
diberikan
nalokson
hingga
timbul
1-2
mg
respon
iv
perbaikan
Kegawat
A.
=
Bersihkan
daruratan
Jalan
Nafas
B.
Oksigen
NaCl
diperlukan
0.9%;
koloid
bila
Penanganan
opiat
dilakukan
pada
intoksikasi
obat
oral
charcoal
dalam
240
oral
ml
30
g
cairan.
sampai
Dapat
100
gram
diberikan
dapat
diberikan
diazepan
IV
Naloxone
dengan
dosis
5
-10
mg
afinitas
tinggi
terhadap
reseptor
()yang
bekerja
opioid
Mu
sebagai
antagonis
sehingga
antidotum
dapat
pada
menjadi
kasus
naloxone
juga
opioid,
pada
reseptor
Kappa
()
lebih
Delta
kecil
()
meskipun
intoksikasi
dextrometorfan
belum
jelas,
penggunaannya
laporan
efek
tsamping

idak
ada
Pemberian
Naloxone
0,4
dosis
awal
diberikan
1-2
mg
iv
depresi
pernapasan,
dilatasi
mencapai
pupil
dosis
atau
maksimal
telah
10
mg
berkurang
dan
pasien
20-40
dpt
kembali
menit
intoksikasi,
keadaan
kesadaran,
respirasi,
pupil
jam
tanda
vital
dalam
24 g
urine
dan
foto
thorax
5.
Pertimbangkan
ETT
mencegah
aspirasi

Tidak ada antidot khusus untuk intoksikasi dekstrometorfan. Arang diketahui dapat
menyerap opiat dan diharapkan dapat mengikat dekstrometorfan. Prosedur standar lainnya
yang

juga

diharapkan

memberikan

hasil

efektif

untuk

mengurangi

penyerapan

dekstrometorfan dari saluran pencernaan jika dilakukan tepat waktu adalah dengan
melakukan emesis atau bilas lambung. Penggunaan nalokson untuk menangani keracunan
dekstrometorfan masih diperdebatkan karena bertentangan dengan laporan tentang
keefektivitasannya. Walaupun tidak ada kontradiksi dalam penggunaan nalokson,
kemampuannya

untuk

menangani

gejala

dari

keracunan

dekstrometorfan

masih

dipertanyakan. Ketika digunakan, nalokson sebaiknya diberikan pada dosis standard yang
direkomendasikan untuk penanganan asupan opioid. (0.42 mg I.V. diulangi tiap 23 menit
hingga respon dicapai pada dosis maksimum 10 mg). Proses detoksifikasi tetap perlu
dilakukan pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan dekstrometorfan kronis. Naloxone
adalah antidotum pada intoksikasi opiat Bilas lambung dapat dilakukan pada intoksikasi obat
oral. Efek nalokson berkurang 20-40 menit dan pasien dpt kembali pada keadaan intoksikasi,
maka perlu dipantau kesadaran, respirasi, pupil dan tanda vital dalam 24 jam Pemeriksaan
sampel urine dan foto thorax. Pertimbangkan ETT. Puasakan untuk mencegah aspirasi
Pencegahan
Tenaga kesehatan memiliki peranan penting dalam pencegahan penyalahgunaan
dengan memberikan edukasi kepada masyarakat saat pembelian obat dekstrometorfan. Selain
itu diperlukan komunikasi dan edukasi kepada remaja tentang risiko penyalahgunaan
dekstrometorfan. Komunikasi dan edukasi ini selain dilakukan pada remaja juga sebaiknya
dilakukan pada para orangtua supaya dapat berperan aktif dalam pencegahan penyalahgunaan
dekstrometorfan pada anak remaja mereka. Untuk menghindari penggunaan yang salah dari
obat dekstrometorfan pada anak-anak maka para orang tua harus memperhatikan
penyimpanan obat di lemari/kotak penyimpanan obat. Lemari penyimpanan obat diletakkan
pada tempat dimana anak-anak tidak dapat menjangkaunya.
ENSEFALITIS
Definisi
Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang biasanya disebabkan oleh
virus. Ensefalitis berarti jaringan otak yang terinflamasi sehingga menyebabkan masalah pada
fungsi otak. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi neurologis anak

termasuk konfusi mental dan kejang.8,9 Ensefalitis terdiri dari 2 tipe yaitu: ensefalitis primer
(acute viral ensefalitis) disebabkan oleh infeksi virus langsung ke otak dan medulla spinalis.
Dan ensefalitis sekunder (post infeksi ensefalitis) dapat merupakan hasil dari komplikasi
infeksi virus saat itu.10
Epidemiologi
Usia, musim, lokasi geografis, kondisi iklim regional, dan sistem kekebalan tubuh
manusia berperan penting dalam perkembangan dan tingkat keparahan penyakit. Di AS,
terdapat 5 virus utama yang disebarkan nyamuk: West Nile, Eastern Equine Encephalitis,
Western Equine Encephalitis , La Crosse, dan St. Louis Encephalitis. Tahun 1999, terjadi
wabah virus West Nile (disebarkan oleh nyamuk Culex)di kota New York. Virus terus
menyebar hingga di seluruh AS. Insidensi di USA dilaporkan 2.000 atau lebih kasus viral
ensefalitis per tahun, atau kira-kira 0,5 kasus per 100.000 penduduk. Virus Japanese
Encephalitis adalah arbovirus yang paling umum di dunia (virus yang ditularkan oleh nyamuk
pengisap darah atau kutu) dan bertanggung jawab untuk 50.000 kasus dan 15.000 kematian
per tahun di sebagian besar dari Cina, Asia Tenggara, dan anak benua India.11 Kejadian
terbesar adalah pada anak-anak di bawah 4 tahun dengan kejadian tertinggi pada mereka yang
berusia 3-8 bulan.8
Etiologi
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya bakteria,
protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Penyebab yang terpenting dan tersering ialah
virus. Beberapa mikroorganisme yang dapat menyebabkan ensefalitis terbanyak adalah
Herpes simpleks, arbovirus, Eastern and Western Equine, La Crosse, St. Louis encephalitis.
Penyebab yang jarang adalah Enterovirus (Coxsackie dan Echovirus), parotitis, Lassa virus,
rabies, cytomegalovirus (CMV).12,13
Klasifikasi yang diajukan oleh Robin ialah :
1. Infeksi virus yang bersifat epidemik
a. Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.
b. Golongan virus ARBO : Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis, Eastern
equine encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer encephalitis,
Murray valley encephalitis.

2. Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simplex, Herpes zoster,
Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis lain yang dianggap
disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
3. Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubela, pasca vaksinia,
pasca mononukleosis infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi traktus
respiratorius yang tidak spesifik.
Meskipun di Indonesia secara klinis dikenal banyak kasus ensefalitis, tetapi baru Japanese B
encephalitis yang ditemukan.
Patofisiologi
Virus masuk tubuh melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya virus dapat
melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh
virus akan menyebar dengan beberapa cara:
1

Setempat: virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ tertentu.

Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke


organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.

Penyebaran hematogen sekunder: virus berkembang biak di daerah pertama kali masuk
(permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke organ lain.

Penyebaran melalui saraf: virus berkembang biak di permukaan selaput lendir dan
menyebar melalui sistem saraf.12

Pada keadaan permulaan akan timbul demam pada pasien, tetapi belum ada kelainan
neurologis. Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan
akhirnya diikuti oleh kelainan neurologis.

12

HSV-1 mungkin mencapai otak dengan

penyebaran langsung sepanjang akson saraf.14


Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh:
1

Invasi dan pengrusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang
berkembang biak.

Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat demielinisasi,
kerusakan vaskular dan paravaskular. Sedangkan virusnya sendiri sudah tidak ada
dalam jaringan otak.

Reaksi aktivitas virus neurotopik yang bersifat laten.12


Tingkat demielinasi yang mencolok pada pemeliharaan neuron dan aksonnya terutama

dianggap menggambarkan ensefalitis pascainfeksi atau alergi. Korteks serebri terutama

lobus temporalis, sering terkena oleh virus herpes simpleks; arbovirus cenderung mengenai
seluruh otak; rabies mempunyai kecenderungan pada struktur basal.14
Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi virus,
kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat menghambat
multiplikasi virus. Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu
menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Pada
beberapa virus seperti varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu dengan sistem imun
yang lemah, merupakan faktor resiko utama.
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui peredaran
darah atau melalui sistem neural ( virus herpes simpleks, virus varisella zoster ). Patofisiologi
infeksi virus lambat seperti subakut skelosing panensefalitis (SSPE) sanpai sekarang ini
masih belum jelas. Setelah melewati sawar darah otak,virus memasuki sel-sel neural yang
mengakibatjan fungsi-fungsi sel menjadi rusak, kongesti perivaskular, dan respons inflamasi
yang secara difus menyebabkan ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan
substansia putih (alba). Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor
membran sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai contoh,
virus herpes simpleks mempunyai predileksi pada lobus temporal medial dan inferior.
Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum jelas
dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural secara langsung
dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau olfaktorius. Virus herpes simpleks tipe I
ditransfer melalui jalan nafas dan ludah.Infeksi primer biasanya terjadi pada anak-anak dan
remaja.Biasanya subklinis atau berupa somatitis, faringitis atau penyakit saluran nafas
.Kelainan neurologis merupakan komplikasi dari reaktivasi virus.Pada infeksi primer, virus
menjadi laten dalam ganglia trigeminal.Beberapa tahun kemudian,rangsangan non spesifik
menyebabkan reaktivasi yang biasanya bermanifestasi sebagai herpes labialis. Plasmodium
falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi lengket. Sel-sel darah yang lengket
satu sama lainnya dapast menyumbat kapiler-kapiler dalam otak. Akibatnya timbul daerahdaerah mikro infark. Gejala-gejala neurologist timbul karena kerusakan jaringan otak yang
terjadi. Pada malaria serebral ini, dapat timbul konvulsi dan koma. Pada toxoplasmosis
kongenital, radang terjadi pada pia-arakhnoid dan tersebar dalam jaringan otak terutama
dalam jaringan korteks. Sangatlah sukar untuk menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan
pada postmortem.Kecuali pada kasus-kasus non viral seperti malaria falsifarum dan
ensefalitis fungal, dimana dapat ditemukan indentifikasi morfologik. Pada kasus viral,

gambaran khas dapat dijumpai pada rabies (badan negri) atau virus herpes (badan inklusi
intranuklear).
Gejala Klinis
Trias ensefalitis yang khas ialah demam, kejang, kesadaran menurun. Manifestasi klinis
tergantung kepada :
1. Berat dan lokasi anatomi susunan saraf yang terlibat, misalnya :
-

Virus Herpes simpleks yang kerapkali menyerang korteks serebri, terutama lobus
temporalis

Virus ARBO cenderung menyerang seluruh otak.

2. Patogenesis agen yang menyerang.


3. Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita.
Umumnya diawali dengan suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan
hiperpireksia. Kesadaran dengan cepat menurun,. Anak besar, sebelum kesadaran menurun,
sering mengeluh nyeri kepala. Muntah sering ditemukan. Pada bayi, terdapat jeritan dan
perasaan tak enak pada perut.Kejang-kejang dapat bersifat umum atau fokal atau hanya
twitching saja. Kejang dapat berlangsung berjam-jam. Gejala serebrum yang beraneka ragam
dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan
sebagainya. Gejala batang otak meliputi perubahan refleks pupil, defisit saraf kranial dan
perubahan pola pernafasan. Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan
mencapai meningen.
Pada kelompok pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat membantu
diagnosis. Pada japanese B ensefalitis, semua bagian susunan saraf pusat dapat
meradang.gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir dan tangan, rigiditas
pada lengan atau pada seluruh badan, kelumpuhan dan nistagmus. Rabies memberi gejala
pertama yaitu depresi dan gangguan tidur, suhu meningkat, spastis, koma pada stadium
paralisis.
Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut atau subakut.
Pada fase awal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7 hari.
Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan kepribadian dan
gangguan daya ingat. Kemudian pasien mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Kejang
dapat berupa fokal atau umum. Kesadaran menurun sampai koma dan letargi. Koma adalah
faktor prognosis yang sangat buruk, pasien yang mengalami koma sering kali meninggal atau
sembuh dengan gejala sisa yang berat. Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan

hemiparesis. Beberapa kasus dapat menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf cranial, kaku
kuduk dan papil edema.
Diagnosis
Gejala Klinis
Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat.
Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga perlahan-lahan. 12 Mulainya
sakit biasanya akut, walaupun tanda-tanda dan gejala sistem saraf sentral (SSS) sering
didahului oleh demam akut non spesifik dalam beberapa hari. Pada anak, manifestasi klinik
dapat berupa sakit kepala dan hiperestesia, sedangkan pada bayi dapat berupa iritabilitas dan
letargi. Nyeri kepala paling sering pada frontal atau menyeluruh, remaja sering menderita
nyeri retrobulbar. Biasanya terdapat gejala nausea dan muntah, nyeri di leher, punggung dan
kaki, dan fotofobia. Masa prodromal ini berlangsung antara 1-4 hari kemudian diikuti oleh
tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung dari keterlibatan meningen dan parenkim
serta distribusi dan luasnya lesi pada neuron. Gejala-gejala tersebut dapat berupa gelisah,
perubahan perilaku, gangguan kesadaran, dan kejang. Kadang-kadang disertai tanda
neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia, dan paralisis saraf otak.
Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan sampai meningen. Selain itu, dapat
juga timbul gejala dari infeksi traktus respiratorius atas (mumps, enterovirus) atau infeksi
gastrointestinal (enterovirus) dan tanda seperti exantem (enterovirus, measles, rubella, herpes
viruses), parotitis, atau orchitis (mumps atau lymphocytic chotiomeningitis).12,14-5
Pemeriksaan Penunjang
1 Pencitraan/ radiologi
Pencitraan diperlukan untuk menyingkirkan patologi lain sebelum melakukan LP (lumbal
punksi) atau ditemukan tanda neurologis fokal. Pencitraan mungkin berguna untuk
memeriksa adanya abses, efusi subdural, atau hidrosefalus. 16 Pada CT-scan dapat ditemukan
edema otak dan hemoragik setelah satu minggu. Pada virus Herpes didapatkan lesi
berdensitas rendah pada lobus temporal, namun gambaran tidak tampak tiga hingga empat
hari setelah onset.CT-scan tidak membantu dalam membedakan berbagai ensefalitis virus. 12
MRI (magnetic resonance imaging) kepala dengan peningkatan gadolinium merupakan
pencitraan yang baik pada kecurigaan ensefalitis. Temuan khas yaitu peningkatan sinyal T2weighted pada substansia grisea dan alba. Pada daerah yang terinfeksi dan meninges

biasanya meningkat dengan gadolinium.Pada infeksi herpes virus memperlihatkan lesi lobus
temporal dimana terjadi hemoragik pada unilateral dan bilateral.15
Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi yang difus (aktivitas lambat
bilateral).Pada Japanese B encephalitis dihubungkan dengan tiga tanda EEG: 1)gelombang
delta aktif yang terus-menerus ;2)gelombang delta yang disertai spike (gelombang paku) ;
3)pola koma alpha.Pada St Louis ensefalitis karakteristik EEG ditandai adanya gelombang
delta yang difus dan gelombang paku tidak menyolok pada fase akut.Dengan asumsi bahwa
biopsi otak tidak meningkatkan morbiditas dan mortalitas, apabila didapat lesi fokal pada
pemeriksaan EEG atau CT-scan, pada daerah tersebut dapat dilakukan biopsi tetapi apabila
pada CT-scan dan EEG tidak didapatkan lesi fokal, biopsi tetap dilakukan dengan melihat
tanda klinis fokal. Apabila tanda klinis fokal tidak didapatkan maka biopsi dapat dilakukan
pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes simpleks.12
Laboratorium
Biakan dari darah ,viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar mendapatkan
hasil yang positif dari cairan likour srebrospinalis atau jaringan otak ; dari feces untuk jenis
enterovirus,sering

didapatkan

hasil

positif.

Analisis

CSS

(cairan

serebrospinal)

menunjukkan pleositosis (yang didominasi oleh sel mononuklear) sekitar 5-1000 sel/mm 3
pada 95% pasien. Pada 48 jam pertama infeksi, pleositosis cenderung didominasi oleh sel
polimorfonuklear, kemudian berubah menjadi limfosit pada hari berikutnya. Kadar glukosa
CSS biasanya dalam batas normal dan jumlah ptotein meningkat. PCR (polymerase chain
reaction) dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis ensefalitis.15,16
Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) pada cairan serebrospinal biasanya positif
lebih awal dibandingkan titer antibody. Pemeriksaan PCR mempunyai sensitivitas 75% dan
spesifisitas 100% dan ada yang melaporkan hasil postif pada 98% kasus yang telah terbukti
dengan biposi otak.Tes PCR untuk mendeteksi West Nile virus telah dikembangkan di
California.PCR digunakan untuk mendeteksi virus-virus DNA.Herpes virus dan Japenese B
encephalitis dapat terdeteksi dengan PCR.
Penatalaksanaan
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.
Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah
mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien koma
yaitu mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral atau

parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan asam
basa darah.
Bila kejang dapat diberi Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB IV dilanjutkan fenobarbital.
Paracetamol 10 mg/kgBB dan kompres dingin dapat diberikan apabila pasien panas. Apabila
didapatkan tanda kenaikan tekanan intrakranial dapat diberi Dexamethasone 1 mg/kgBB/hari
dilanjutkan

pemberian

0,25-0,5

mg/kgBB/hari.

Pemberian

Dexamethasone

tidak

diindikasikan pada pasien tanpa tekanan intrakranial yang meningkat atau keadaan umum
telah stabil. Mannitol juga dapat diberikan dengan dosis 1,5-2 mg/kgBB IV dalam periode 812 jam. Perawatan yang baik berupa drainase postural dan aspirasi mekanis yang periodik
pada pasien ensefalitis yang mengalami gangguan menelan, akumulasi lendir pada
tenggorokan serta adanya paralisis pita suara atau otot-otot pernapasan. Pada pasien herpes
ensefalitis (EHS) dapat diberikan Adenosine Arabinose 15 mg/kgBB/hari IV diberikan
selama 10 hari. Pada beberapa penelitian dikatakan pemberian Adenosine Arabinose untuk
herpes ensefalitis dapat menurunkan angka kematian dari 70% menjadi 28%. Saat ini
Acyclovir IV telah terbukti lebih baik dibandingkan vidarabin, dan merupakan obat pilihan
pertama. Dosis Acyclovir 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari.12
Komplikasi
Dalam beberapa kasus, pembengkakan otak dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen dan komplikasi tetap seperti kesulitan belajar, masalah berbicara, kehilangan
memori, atau berkurangnya kontrol otot.18
Prognosis
Prognosis tergantung dari keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, dan umur anak.
Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkim maka prognosisnya
jelek dengan kemungkinan defisit yang bersifat intelektual, motorik, psikiatri, epileptik,
penglihatan atau pendengaran. Sekuele berat juga harus dipikirkan pada infeksi yang
disebabkan oleh virus Herpes simpleks.14

BAB IV
KESIMPULAN
Toksisitas atau keracunan yang terjadi jika bentuk longacting dekstrometorfan dengan
dosis yang berlebih. Dekstrometorfan D-3-methoxy-N-methyl-morphinan) adalah obat pereda
batuk yang bekerja pada pusat batuk di otak untuk menekan batuk kering. 1 Dekstrometorfan
adalah dekstroisomer dari kodein analog metorfan. dekstrometorfan tidak bekerja pada
reseptor opioid tipe mu dan delta seperti jenis levoisomer, tetapi bekerja pada reseptor tipe
sigma. Dekstrometorfan memiliki efek halusinogen.3 Tidak ada antidot khusus untuk
intoksikasi dekstrometorfan. Arang diketahui dapat menyerap opiat dan diharapkan dapat
mengikat dekstrometorfan. Prosedur standar lainnya yang juga diharapkan memberikan hasil
efektif untuk mengurangi penyerapan dekstrometorfan dari saluran pencernaan jika dilakukan
tepat waktu adalah dengan melakukan emesis atau bilas lambung. Penggunaan nalokson
untuk menangani keracunan dekstrometorfan masih diperdebatkan karena bertentangan
dengan laporan tentang keefektivitasannya.
Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang biasanya disebabkan oleh
virus. Ensefalitis berarti jaringan otak yang terinflamasi sehingga menyebabkan masalah pada
fungsi otak. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi neurologis anak
termasuk konfusi mental dan kejang.8,9 Ensefalitis terdiri dari 2 tipe yaitu: ensefalitis primer
(acute viral ensefalitis) disebabkan oleh infeksi virus langsung ke otak dan medulla spinalis.
Dan ensefalitis sekunder (post infeksi ensefalitis) dapat merupakan hasil dari komplikasi
infeksi virus saat itu.10 Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di
rumah sakit. Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut
adalah mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien
koma yaitu mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral atau
parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan asam
basa darah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Available

at

http://www.medsafe.govt.nz/consumers/cmi/CoughandCold/Dextromethorph an1.pdf
Accessed on November 20, 2016
2. Available

at

http://www.deadiversion.usdoj.gov/drugs_concern/dextro_m/dextro_m.htm Accessed
on November 20, 2016
3. WHO Expert Committee on Drug Dependence, Dextromethorphan PreReview
Report, Juni 2012.
4. SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 092/MENKES/SK/II/2012 tentang
Harga Eceran Tertinggi Obat Generik Tahun 2012.
5. Frank Romanelli and Kelly M. Smith, Review Article: Dextromethorphan abuse:
Clinical effects and Management.
6. Edward W. Boyer, M.D., Ph.D., and Michael Shannon, M.D., M.P.H., Review Article:
current concepts The Serotonin Syndrome
7. Available at 7. http://www.toxinz.com/Spec/1911480/113035 (Diunduh November
2013) Accessed on November 20, 2016
8. Saharso, Darto. Hidayati, Siti Nurul. Infeksi Virus Pada Susunan Saraf Pusat.
Soetomenggolo, Taslim S. Ismael, Sofyan. Dalam: Buku Ajar Neurologi Anak.
Cetakan ke-2. Jakarta. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2000;hal373-5.
9. Prober, Charles G. Meningoensefalitis. Nelson, Waldo E. Dalam: Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Ed.15 Vol.2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996;hal880
10. Sevigny, Jeffrey MD. Frontera, Jennifer MD. Acute Viral Encephalitis. Brust, John
C.M. In: Current Diagnosis & Treatment In Neurology. International Edition. New
York. Mc Graw Hill. 2007;p449-54
11. Markam,S.Ensefalitis

dalam

Kapita

Selekta

Neurologi

Ed

ke-2,Editor

:Harsono.,Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.2000;hal 155-6.


12. Arvin A.M Penyakit Infeksi dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Edtor:Wahab
SA.EGC Jakarta.2000;hal 1141-53
13. Jeffrey Hom, MD. Pediatric Meningitis and Encephalitis Differential Diagnoses.
Richard

G,

Bachur,MD.

Updated

on

April

19th,

2011.

Available

from

http://emedicine.medscape.com/article/802760-differential. Accessed November 20,


2016

14. Jeffrey Hom, MD. Pediatric Meningitis and Encephalitis Workup. Richard G,
Bachur,MD.

Updated

on

April

19th,

2011.

Available

from

http://emedicine.medscape.com/article/802760-workup. Accessed November 20, 2016


15. Jeffrey Hom, MD. Pediatric Meningitis and Encephalitis. Richard G, Bathur,MD.
Updated

on

April

19th,

2011.

Available

from

http://emedicine.medscape.com/article/802760-overview. Accessed January 31,2012


16. Kate M, Cronan.MD. Encephalitis. Updated: January 2010. Available from
http://kidshealth.org/parent/infections/bacterial_viral/encephalitis.html. Accessed on
November 20, 2016
17. Soldatos,

Ariane

MD.

Encephalitis.

Available

http://www.childrenshospital.org/az/Site832/mainpageS832P0.html.

from
Accessed

November 20, 2016


18. Todd, Mundy.MD. Encephalitis. Michael D, Burg MD. 2012. Available from
http://www.emedicinehealth.com/encephalitis/. Accessed on November 20, 2016
19.

You might also like