Professional Documents
Culture Documents
Asal istilah
Kata Yunani (atheoi), seperti yang tampak pada Surat Paulus kepada Jemaat di
Efesus di papirus abad ke-3.
Pada zaman Yunani Kuno, kata sifat atheos (, berasal dari awalan - + "tuhan")
berarti "tak bertuhan". Kata ini mulai merujuk pada penolakan tuhan yang disengajakan dan
aktif pada abad ke-5 SM, dengan definisi "memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa" atau
"menolak tuhan/dewa". Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang
menerjemahkan atheos sebagai "ateistik". Sebagai nomina abstrak, terdapat
pula (atheots), yang berarti "ateisme". Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut
ke dalam bahasa Latin atheos. Istilah ini sering digunakan pada perdebatan antara
umat Kristen awal dengan para pengikut agama Yunani Kuno (Helenis), yang mana masingmasing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai ateis secara peyoratif.[14]
Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada "kepercayaan tersendiri" pada akhir
abad ke-18 di Eropa, utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis.
[15]
Pada abad ke-20, globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada
"ketidakpercayaan pada semua tuhan/dewa", walaupun adalah masih umum untuk merujuk
ateisme sebagai "ketidakpercayaan pada Tuhan (monoteis)".[16] Akhir-akhir ini, terdapat suatu
desakan di dalam kelompok filosofi tertentu untuk mendefinisikan ulang ateisme sebagai
"ketiadaan kepercayaan pada dewa/dewi", daripada ateisme sebagai kepercayaan itu sendiri.
Definisi ini sangat populer di antara komunitas ateis, walaupun penggunaannya masih sangat
terbatas.[16][17][18]
Suatu gambaran yang menunjukkan hubungan antara definisi ateisme kuat/lemah dengan
ateisme implisit/eksplisit. Ateis implisit tidak memiliki pemikiran akan kepercayaan pada
tuhan; individu seperti itu dikatakan secara implisit tanpa kepercayaan pada tuhan. Ateis
eksplisit mengambil posisi terhadap kepercayaan pada tuhan; individu tersebut dapat
menghindari untuk percaya pada tuhan (ateisme lemah), ataupun mengambil posisi bahwa
tuhan tidak ada (ateisme kuat).
Para penulis berbeda-beda dalam mendefinisikan dan mengklasifikasi ateisme,[19] yakni
apakah ateisme merupakan suatu kepercayaan tersendiri ataukah hanyalah ketiadaan pada
kepercayaan, dan apakah ateisme memerlukan penolakan yang secara sadar dan eksplisit
dilakukan. Berbagai kategori telah diajukan untuk mencoba membedakan jenis-jenis bentuk
ateisme.
Ruang lingkup
Beberapa ambiguitas dan kontroversi yang terlibat dalam pendefinisian ateisme terletak pada
sulitnya mencapai konsensus dalam mendefinisikan kata-kata seperti dewa dan tuhan.
Pluralitas dalam konsep ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran akan
penerapan kata ateisme. Dalam konteks teisme didefinisikan sebagai kepercayaan
pada Tuhan monoteis, orang-orang yang percaya pada dewa-dewi lainnya akan
diklasifikasikan sebagai ateis. Sebaliknya pula, orang-orang Romawi kuno juga menuduh
umat Kristen sebagai ateis karena tidak menyembah dewa-dewi paganisme. Pada abad ke-20,
pandangan ini mulai ditinggalkan seiring dengan dianggapnya teisme meliputi keseluruhan
kepercayaan pada dewa/tuhan.[20]
Bergantung pada apa yang para ateis tolak, penolakan ateisme dapat berkisar dari penolakan
akan keberadaan tuhan/dewa sampai dengan keberadaan konsep-konsep spiritual
dan paranormal seperti yang ada pada agama Hindu dan Buddha.[21]
Definisi ateisme juga bervariasi dalam halnya sejauh mana seseorang harus mengambil posisi
mengenai gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap sebagai ateis. Ateisme kadang-kadang
didefinisikan secara luas untuk meliputi ketiadaan kepercayaan akan keberadaan tuhan/dewa.
Definisi yang luas ini akan memasukkan orang-orang yang tidak memiliki konsep teisme
sebagai ateis.
Pada tahun 1772, Baron d'Holbach mengatakan bahwa "Semua anak-anak dilahirkan sebagai
ateis, karena mereka tidak tahu akan Tuhan."[22] George H. Smith (1979) juga menyugestikan
bahwa: "Orang yang tidak kenal dengan teisme adalah ateis karena ia tidak percaya pada
tuhan. Kategori ini juga akan memasukkan anak dengan kapasitas konseptual untuk mengerti
isu-isu yang terlibat, tetapi masih tidak sadar akan isu-isu tersebut (sebagai ateis). Fakta
bahwa anak ini tidak percaya pada tuhan membuatnya pantas disebut ateis."[23] Smith
menciptakan istilah ateisme implisit untuk merujuk pada "ketiadaan kepercayaan teistik tanpa
penolakan yang secara sadar dilakukan" danateisme eksplisit untuk merujuk pada definisi
ketidakpercayaan yang dilakukan secara sadar.
Dalam kebudayaan Barat, pandangan bahwa anak-anak dilahirkan sebagai ateis merupakan
pemikiran yang baru. Sebelum abad ke-18, keberadaan Tuhan diterima secara sangat luas
sedemikiannya keberadaan ateisme yang benar-benar tidak percaya akan Tuhan itu
dipertanyakan keberadaannya. Hal ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik),
yakni suatu nosi bahwa semua orang percaya pada Tuhan dari lahir. Pandangan ini memiliki
konotasi bahwa para ateis hanyalah menyangkal diri sendiri.[24]Terdapat pula sebuah posisi
yang mengklaim bahwa ateis akan dengan cepat percaya pada Tuhan pada saat krisis, bahwa
ateis percaya pada tuhan pada saat meninggal dunia, ataupun bahwa "tidak ada ateis dalam
lubang perlindungan perang (no atheists in foxholes)."[25] Beberapa pendukung pandangan ini
mengklaim bahwa keuntungan antropologis agama membuat manusia dapat mengatasi
keadaan susah lebih baik. Beberapa ateis menitikberatkan fakta bahwa terdapat banyak
contoh yang membuktikan sebaliknya, di antaranya contoh-contoh "ateis yang benar-benar
berada di lubang perlindungan perang."[26]
dari berkata kita tahu apapun, kecuali mungkin kebenaran matematika dan logika
formal."[34] Karenanya, beberapa penulis ateis populer seperti Richard Dawkins memilih
untuk membedakan posisi teis, agnostik, dan ateis sebagai spektrum probabilitas terhadap
pernyataan "Tuhan ada" (spektrum probabilitas teistik).[35]
Dasar pemikiran
"Salah satu anak dari gerombolan orang pernah menanyai seorang ahli astronomi siapa ayah
yang membawanya ke dalam dunia ini. Cendekiawan tersebut menunjuk langit dan seorang
tua yang sedang duduk, dan berkata:
'Yang di sana adalah ayah tubuhmu, dan yang itu adalah ayah jiwamu.'
Anak lelaki tersebut membalas:
'Apa yang di atas kita bukanlah urusan kita, dan saya malu menjadi anak dari orang setua
itu!'
'Oh sangatlah tidak berbudi, tidak ingin mengenali ayahmu, dan tidak berpikir bahwa Tuhan
adalah penciptamu!' [36] Ilustrasi ateisme praktis dan asosiasi historisnya dengan amoralitas,
judul "Supreme Impiety: Atheist and Charlatan", dari Picta poesis, oleh Barthlmy Aneau,
1552.
Batasan dasar pemikiran ateistik yang paling luas adalah antara ateisme praktis dengan
ateisme teoretis. Bentuk-bentuk ateisme teoretis yang berbeda-beda berasal dari argumen
filosofis dan dasar pemikiran yang berbeda-beda pula. Sebaliknya, ateisme praktis tidaklah
memerlukan argumen yang spesifik dan dapat meliputi pengabaian dan ketidaktahuan akan
pemikiran tentang tuhan/dewa.
Ateisme praktis
Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apateisme, individu hidup
tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal.
Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai
tidak penting dan tidak berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun
memengaruhi kehidupan sehari-hari.[37] Salah satu bentuk ateisme praktis dengan
implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme metodologis, yaitu pengambilan
asumsi naturalisme filosofis dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun
tanpa secara penuh menerima atau memercayainya."[38]
Ateisme praktis dapat berupa:
Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan
moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya;
Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan
tindakan praktis;
Ateisme teoretis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan
secara aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti
misalnya argumen dari rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan
teoretis untuk menolak keberadaan tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan
epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan sosiologis.
Argumen metafisika
Informasi lebih lanjut: Monisme dan Fisikalisme
Ateisme metafisik didasarkan pada monisme metafisika, yakni pandangan bahwa realitas
adalah homogen dan tidak dapat dibagi. Ateis metafisik absolut termasuk ke dalam beberapa
bentuk fisikalisme, sehingga secara eksplisit menolak keberadaan makhluk-makhluk halus.
Ateis metafisik relatif menolak secara implisit konsep-konsep ketuhanan tertentu didasarkan
pada ketidakkongruenan antara filosofi dasar mereka dengan sifat-sifat yang biasanya
ditujukan kepada tuhan, misalnya transendensi, sifat-sifat personal, dan keesaan tuhan.
Contoh-contoh ateisme metafisik relatif meliputi panteisme, panenteisme, dan deisme.[40]
Epikouros sering disebut sebagai orang yang pertama menguraikan secara terperinci masalah
kejahatan.David Hume dalam bukunya Dialogues Concerning Natural Religion (1779) mengutip
argumen Epikouros dalam bentuk sederet pertanyaan: [41] "Apakah [Tuhan] berniat mencegah
kejahatan, namun tidak dapat? maka apakah ia impoten. Apakah ia dapat, namun tidak berniat? Maka
apakah ia berhati dengki. Apakah ia dapat dan berniat? maka darimanakah kejahatan?"
tuhan/dewa adalah tidak dapat dilihat oleh banyak orang.[46] Argumen yang sama juga
diberikan oleh Siddhartha Gautama, pendiri Agama Buddha.[47]
Argumen antroposentris
Informasi lebih lanjut: Antropologi filosofis dan Humanisme
Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan sebaliknya menerima
keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti kemanusiaan. Ateisme dalam bentuk ini
menganggap kemanusiaan sebagai sumber mutlak etika dan nilai-nilai, dan mengizinkan
individu untuk menyelesaikan permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx,
Nietzsche, Freud, dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk menyebarkan pesarpesan kebebasan, bermensch, dan kebahagiaan tanpa kekangan.[37]
Salah satu kritik yang paling umum terhadap ateisme adalah bahwa menolak keberadaan
Tuhan akan membawa pada relativisme moral, menyebabkan seseorang tidak bermoral
ataupun tidak memiliki dasar etika,[48] atau membuat hidup tidak berarti dan menyedihkan.
[49]
Blaise Pascal memaparkan argumen ini pada tahun 1669.[50]
Demografi
Adalah sulit untuk menghitung jumlah ateis di dunia. Para responden survei dapat
mendefinisikan "ateisme" secara berbeda-beda ataupun menarik garis batas yang berbeda
antara ateisme, kepercayaan non-religius, dan kepercayaan religius non-teis dan spiritual.
[53]
Selain itu, masyarakat di beberapa belahan dunia enggan melaporkan dirinya sebagai ateis
untuk menghindari stigma sosial,diskriminasi, dan penganiayaan. Survei tahun 2005 yang
dipublikasi dalam Encyclopdia Britannicamenunjukkan bahwa kelompok non-religius
mencapai sekitar 11,9% populasi dunia, dan ateis sekitar 2,3%. Jumlah ini tidak termasuk
orang-orang yang memeluk agama ateistik, seperti agama Buddha.[6]
Survei November-Desember 2006 yang dilakukan di Amerika Serikat dan lima negara Eropa,
dan dipublikasi di Financial Times menunjukkan bahwa orang Amerika (73%) cenderung
lebih percaya kepada tuhan/dewa atau makhluk tertinggi dalam bentuk apapun daripada
orang Eropa. Di antara orang dewasa Eropa yang disurvei, orang Italia adalah yang paling
banyak percaya (62%) dan orang Perancis adalah yang paling rendah (27%). Di Perancis,
32% mengaku dirinya sebagai ateis, dan 32% lainnya mengaku sebagai agnostik.[54]
Survei resmi Uni Eropa memberikan hasil-hasil berikut: 18% populasi Uni Eropa tidak
percaya pada tuhan; 27% yakin akan keberadaan beberapa "makhluk halus atau roh",
manakala 52% percaya pada tuhan-tuhan tertentu. Proporsi orang yang percaya naik menjadi
65% pada orang-orang yang putus sekolah pada usia 15; responden survei yang menganggap
dirinya berasal dari latar belakang keluarga yang keras juga lebih cenderung percaya pada
tuhan daripada yang merasa dirinya tumbuh di lingkungan tanpa aturan yang keras.[55]
Sebuah surat yang dipublikasi di Nature pada tahun 1998 melaporkan sebuah survei bahwa
kepercayaan pada tuhan personal ataupun kehidupan setelah mati berada dalam posisi
terendah di antara para anggota Akademi Sains Nasional Amerika Serikat, hanya 7,0%
anggota yang percaya pada tuhan personal, dibandingkan dengan lebih dari 85% masyarakat
AS secara umumnya.[56] Pada tahun yang sama pula, Frank Sulloway dari Institut Teknologi
Massachusetts dan Michael Shermer dari California State Universitymelakukan sebuah kajian
yang menemukan bahwa pada sampel survei mereka yang terdiri dari orang dewasa AS yang
"dipercayai" (12% Ph.D dan 62% lulusan perguruan tinggi), 64%-nya percaya pada Tuhan,
dan terdapat sebuah korelasi yang mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan seiring
dengan meningkatnya tingkat pendidikan.[57]
Korelasi yang berbanding terbalik antara keimanan dengan kecerdasan juga telah ditemukan
pada 39 kajian yang dilakukan antara tahun 1927 sampai dengan tahun 2002, menurut sebuah
artikel dalam Majalah Mensa.[58] Penemuan ini secara luas sesuai dengan metaanalisis statistis tahun 1958 yang dilakukan oleh Profesor Michael Argyle dariUniversitas
Oxford. Ia menganalisa tujuh kajian riset yang telah menginvestigasi korelasi antara sikap
terhadap agama dengan pengukuran kecerdasan pada pelajar-pelajar sekolah dan perguruan
tinggi AS. Walaupun korelasi negatif ditemukan dengan jelas, analisis ini tidak
mengidentifikasi sebab musababnya, namun menilai bahwa faktor-faktor seperti latar
belakang keluarga yang otoriter dan kelas sosial mungkin memainkan sebagian peran
penting.[59]
Pada sensus pemerintah Australia pada tahun 2006, pada pertanyaan yang
menanyakan Apakah agama anda? Dari keseluruhan populasi, 18,7% mencentang kotak tak
beragama ataupun menulis sebuah respon yang diklasifikasikan sebagai non-religius
(humanisme, agnostik, ateis). Pertanyaan ini bersifat sukarela dan 11,2% tidak menjawab
pertanyaan ini.[60] Pada sensus Selandia Baru 2006 yang menanyakan Apakah agama anda?,
34,7% mengindikasikan tidak beragama, 12,2% tidak merespon ataupun keberatan untuk
menjawab pertanyaan tersebut.[61]
Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah
Alkitab yang menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintahperintah religius mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma
sosial dan politik yang mengikuti perintah religius. Namun ia juga mencatat bahwa
kecenderungan yang sama jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif.
[76]
Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada Political Philosophy from
Plato to Mao dalam kasus kitab Al-Qur'an yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan
dalam memelihara kode-kode sosial zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan
masyarakat sekuler.[77]
Walaupun demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan agama
Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada otoritarianisme dandogmatisme.
[78]
Sebenarnya pula, fundamentalisme agama dan agama ekstrinsik (agama dipeluk karena ia
lebih menguntungkan)[79] berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka.
[80]
Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti Perang Salib, Inkuisisi,
dan penghukuman tukang sihir, sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk
membenarkan pandangan mereka.[81]
Morgan Freeman adalah salah satu aktor paling terkenal di dunia hingga kini.
Kiprahnya di dunia perfilman dengan membintangi banyak film besar salah
satunya Bruce Almighty yang mana dia berperan menjadi Tuhan telah banyak
membuat orang terkesan. Namun meski berhasil memainkan perannya dengan
sangat bagus di film tersebut, namun Morgan diketahui merupakan seorang
ateis.
Morgan diketahui memiliki prinsip tak bakal percaya adanya sosok pencipta
tanpa melihat bukti meyakinkan di depan matanya. Dia menutupi segala
fenomena di alam ini dengan berbasis ilmu pengetahuan. Jika secara logis dan
matematis sesuatu dapat terjadi, maka Morgan dapat mempercayainya.
2. Jack Black
Aktor berbakat, Jack Black yang memiliki bakat hebat ini telah sukses dalam
karir sebagai aktor, musisi, maupun voice over beberapa film animasi seperti
Kungfu Panda. Soal kepercayaan, Black dibesarkan di keluarga Yahudi. Namun
dirinya menyatakan jika dia adalah seorang ateis sejak awal karir di dunia
perfilman. Namun, setelah memiliki keluarga dan dikaruniai dua anak laki-laki
pada tahun 2006 dan 2008, akhirnya Black memutuskan untuk menganut paham
Yahudi dan membesarkan kedua anaknya tersebut dengan paham tersebut.
3. Jodie Foster
4. Keira Knightley
Knightley, aktris yang terkenal lewat perannya di film Star Wars Episode I : The
Phantom Menace. Sejak saat itu, Knightley sukses membintangi lebih dari 50
peran dalam berbagai genre film dari komedi romantis hingga drama. Knightley
mengaku sebagai ateis karena dirinya menganggap ateisme membuatnya merasa
lebih bertanggung jawab atas tindakannya. Dirinya berpendapat jika beragama,
maka seseorang bakal bisa lebih mudah melakukan kesalahan lalu
pengampunan sesuai agamanya dan kembali menjalani kehidupan tanpa rasa
bersalah.
5. Hugh Laurie
Laurie, sosok aktor yang terkenal karena peran sarkastik dan ateis pada tv show
House ini ternyata sedikit mencerminkan kehidupan pribadinya. Laurie memang
dikenal sebagai seorang ateis yang tak menganut agama apapun serta vokal
pada pandangannya selama puluhan tahun. Dia menyimpulkan pandangannya
yaitu dirinya tidak percaya pada Tuhan, tapi Laurie punya ide bahwa jika Tuhan
dan takdir itu ada.
6. Julianne Moore
Memiliki jejak karir yang panjang serta pernah bermain dengan karakter dari
gila hingga karismatik di banyak film, membuat Julianne Moore menjadi aktris
yang paling bersinar di Hollywood. Menjadi aktris terkenal, Moore ternyata
secara terbuka menyatakan jika dirinya merupakan seorang ateis. Meski tak
mempercayai adanya Tuhan, bukan berarti Moore jarang melakukan kebaikan.
Moore bahkan dikenal sebagai sosok yang aktif dalam lembaga sosial
khususnya yang membela hak wanita dalam kehidupan berumah tangga.
7. Kathy Griffin
8. Ricky Gervais
Gervais, aktor brilian asal Inggris ini sukses berkarir sebagai komedian, penulis,
dan presenter radio. Dirinya mengaku kehilangan kepercayaannya pada usia 8
tahun dan telah menjadi ateis sejak saat itu. Ketika ditanya bagaimana dirinya
menjadi seorang ateis, Gervais pernah berkata, "Saya tidak percaya pada Tuhan
karena sama sekali tidak ada bukti ilmiah terkait keberadaannya."
9. Kevin Bacon
Kevin Bacon yang sukses berperan dalam drama tv hits seperti 'Few Good Men'
dan 'JFK', diketahui menikah dengan wanita Yahudi bernama Kyra Sedgwick
selama lebih dari 25 tahun. Meski sudah membina keluarga sejak lama, namun
Bacon menegaskan jika dirinya tidak percaya pada Tuhan dalam sebuah
wawancara dengan The Times di 2005 lalu. Meski mengaku sebagai ateis,
namun Kevin menyebutkan bahwa dirinya tidak anti agama.
Javier Bardem yang terkenal berkat perannya di 'No Country for Old Men' di
tahun 2007 lalu ini merupakan sosok lelaki yang dibesarkan di keluarga
Katolik. Meski dibesarkan di keluarga yang memiliki latar belakang agama,
namun Bardem memutuskan untuk menjadi ateis semenjak dirinya kehilangan
ayahnya yang meninggal dunia. Bardem mengatakan meninggalnya ayahnya
membuatnya berpikiran bahwa agama tidak lebih dari sebuah metode untuk
mengatasi kematian.
PENDIDIKAN RELIGIUSITAS
KELOMPOK I :
-
KELAS : 1-01