You are on page 1of 20

SINDROM NEFROTIK

A. PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai
pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang
dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100
mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun
hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang
dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.1,8
Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua
gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN,
tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein
dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai
komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria,
gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai
pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang
berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode
SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang baik terhadap terapi
steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.2
Pada anak kausa SN tidak jelas sehingga disebut Sindrom Nefrotik Idiopatik
(SNI). Kelainan histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang tidak jelas
atau sangat sedikit perubahan yang terjadi sehingga disebut Minimal Change

Nephrotic Syndrome atau Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM). Sarjana


lain menyebut (Nothing In Light Microscopy) disease.8
B. INSIDENS
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai
pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan = 2:1, sedangkan pada masa
remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1.8
C. ETIOLOGI
Sebab yang pasti belum diketahui. Akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu
penyakit autoimun. Jadi merapakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para
ahli membagi etiologinya menjadi :3
I.
Sindrom nefrotik bawaan3
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa
neonates. Pencangkokan ginjal pada masa neonates telah dicoba, tapi tidak
berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulanII.

bulan pertama kehidupannya.


Sindrom nefrotik sekunder3
Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit
sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya
efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
b. Infeksi: hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.

d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik : lupus eritematosus sistemik,

III.

purpura Henoch-Schonlein, sarkoidosis.


e. Neoplasma: tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui sebabnya)3
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsy ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop electron, Churg dkk. membagi
dalam empat golongan yaitu :
1. Kelainan minimal
Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan
dengan pemeriksaan mikroskop electron tampak foot processus sel epitel
berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG atau
immunoglobulin beta -1C pada dinding kapiler glomerulus.
Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang
dewasa. Prognosis lebih baik jika dibandingkan dengan golongan lain.
2. Nefropati membranosa fis
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak.
Prognosis kurang baik.
3. Glomerulonefiitis proliferative
a. Dengan Glomerulonefiitis proliferatif eksudatifdifus
Terdapat proliferasi sel mesangial dan
polimorfbnukleus.

Pembengkakan

sitoplasma

infiltrasi
endotel

sel
yang

menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan pada


nefiitis yang timbul setelah infeksi dengan Streptococcus yang
berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik.
b. Dongan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)

Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan


batang lobular.
c. Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel
simpai (kapsular) dan viseral.
d. Glomerulonefritis membranoploriferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang
menyerupai membrane basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C
atau beta-1 A rendah.
e. Lain-lain
Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas
4. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Bering
disertai dengan atrofi tubulus. Prognosis buruk.
TABLE 527-2 - Summary of Primary Renal Diseases That Present as Idiopathic
Nephrotic Syndrome
FOCAL
SEGMEN
MINIMAL
TAL
CHANGE
GLOME
NEPHROTIC RULOSC
SYNDROME LEROSIS

MEMBRA
NOUS
NEPHRO
PATHY

MEMBRANOPROLIFE
RATIVE
GLOMERULONEPHRI
TIS
Type I

Type II

[ ]

FREQUENCY *
Children

75%

10%

<5%

10%

10%

Adults

15%

15%

50%

10%

10%

2-6, some
adults

2-10,
some
adults

40-50

5-15

5-15

Clinical
Manifestations
Age(yr)

Sex

2 : 1 male

1,3 : 1run

2 : 1 male

Male-

Male-female

MINIMAL
CHANGE
NEPHROTIC
SYNDROME

Nephrotic
syndrome
Asymptomatic
proteinuria
Hematuria
Hypertension
Rate of
progression to
renal failure
Associated
condition

Laboratory
Findings

FOCAL
SEGMEN
TAL
GLOME
RULOSC
LEROSIS

MEMBR
ANOUS
NEPHRO
PATHY

MEMBRANO
PROLIFERATIVE
GLOMERULONEPHR
ITIS
Type II

40%

100%

male
90%

80%

Type I
female
60%

10%

20%

40%

10-20%
10%
Does
progress

60-80%
20% early
not 10 yr

Allergy?
Hodgkin
disease,
usually none

60%
80%
Infrequent 35%
50%
in 10-20 yr
10-20yr

None

Renal vein None


thrombosi
s, cancer,
SLE,
hepatitis B
Manifestations Manifestat Manifest
of
nephrotic ions
of ions
of
syndrome
nephrotic nephrotic
syndrome
BUN in 15- BUN in syndrome LowCl,
C4, C330%
20-40%
C9

60%

80%
35%
5-15 yr

Partial
lipodystroph
y

Normal
C4, low

Cl,

C3-C9
Immunogenetics

HLA-B8, B12 Mutations


in
(3.5) []
podocin,
a-actinin4, other
genes

HLADRw3
(12-32)[t]

Not
establish
ed

C3 nephritic
factor
Not
established

Renal Pathology

MINIMAL
CHANGE
NEPHROTIC
SYNDROME

Light microscopy

Normal

FOCAL
SEGMEN
TAL
GLOME
RULOSC
LEROSIS

MEMBR
A NOUS
NEPHRO
PATHY

Focal
sclerotic
lesions

Thickened
GBM,
spikes

Immuno fluoresce Negative


nee

IgM, C3 Fine
in lesions
granular
IgG, C3
Foot process Foot
Subepithel
fusion
process
ial
fusion
deposits

Electron
microscopy

Response
Steroids

to

90%

15-20%

MEMBRANOPROLIFE
RATIVE
GLOMERULONEPHRI
TIS
Type I
Thickened
GBM,
proliferati
on
Granular
IgG, C3

Type II
Lobulation

Mesangial
and
subendoth
el
ial
deposits
Not
establishe
d

Dense
deposits

C3 only

Maybe
Not
slow
established
progressio
n
Modified from Couser WG:Glomerular disorders. In Wyngaarden JB, Smith LH,
BennettJC (editors): Cecil Textbook of Medicine, 19th ed. Philadelphia, WB Sawders,
1992, p 5604
D. PATOGENESIS
Proteinuria (afbuminuria) masrf merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adaiah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
7

Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif


tertarik

keluar

menembus

sawar

kapiler

glomerulus.

Hipoalbuminemia

merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat
rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik
plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang
interstitial.1
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena Mlangnya a-glikoprotein sebagai
perangsang Hpase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara
spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid
kembali normal. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik
koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan
menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang
menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif
merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan
air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan
tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma
yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu
rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium
dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium
rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan
8

bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena
hipovolemia.

Tetapi

ternyata

tidak

semua

penderita

sindrom

nefrotik

menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru


memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin
plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori
overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume
plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai
akibat hipervolemia.1
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena
patogenesis

penyakit

glomerulus

mungkin

merupakan

suatu

kombinasi

rangsangan yang lebih dari satu.1

Gambar 1. Mekanisme edema pada sindrom nefrotik2


E. GEJALA KLINIS
Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, kadang-kadang mencapai
40% daripada berat badan dan didapatkan anasarka. Penderita sangat rentan
terhadap infeksi sekunder. Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria,
azotemia dan hipertensi ringan. Terdapat proteinuria terutama albumin (85-95%)
sebanyak 10-15 gram/hari. Ini dapat ditentukan dengan pemeriksaan Esbach.
Selama edema masih banyak, biasanya produksi urin berkurang, berat jenis urin
meninggi. Sedimen dapat normal atau berupa torak hialin, granula, lipoid;
terdapat sel darah putih; dalam urin mungkin dapat ditemukan pula double
refractile bodies. Pada fase non-nefiitis uji fungsi ginjal seperti kecepatan filtrasi

10

glomerulus, aliran plasma ke ginjal tetap normal atau meninggi. Dengan


perubahan yang progresif di glomerulus terdapat penurunan fungsi ginjal pada
fase nefiitik.3
Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia. Kadar globulin normal atau
meninggi sehingga terdapat perbandingan albumin-globulin yang terbalik.
Didapatkan pula hiperkolesterolemia, kadar fibrinogen meninggi, sedangkan
kadar ureuni normal. Anak dapat pula menderita anemia defisiensi besi karena
transferin banyak keluar dengan urin. Kadang-kadang didapatkan protein bound
iodine rendah tanpa adanya Mpotiroid. Pada 10% kasus terdapat defisiensi faktor
DC. Laju endap darah meninggi. Kadar kalsium darah sering rendah. Pada
keadaan lanjut kadang-kadang terdapat glukosuria tanpa hiperglikemia.3
Efusi pleura sering terdapat pada pasien dengan sindrom nefrotik.
Berdasarkan penemuan radiografi terdapat efusi sekitar 21% dari 52 anak-anak
dengan sindrom nefrotik. Menurunnya tekanan osmotik plasma dan meningkatnya
tekanan

hidrostatik

mendukung

perkembangan

efusi

pleura

transudat.

Torakosintesis harus dilakukan setiap terjadi efusi pada pasien sindrom nefrotik,
untuk mengkonfirmasi bahwa cairan tersebut adalah sebuah transudat (protein
<3g/di). Adanya efusi pleura menyebakan pasien sesak napas.7
F. IMUNISASI
Pemberian imunisasi pada SN dapat dilakukan dengan mengingat hal-hal
sebagai berikut:8

11

1. Vaksin virus mati : dapat diberi selama R/steroid atau 6 minggu setelah
R/dihentikan.
2. Vaksin virus hidup : hanya diberikan setelah 12 minggu R/steroid dihentikan.
G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang:
1) Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang
berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan.
2) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadangkadang ditemukan hipertensi.
3) Pemeriksaan penunjang 1,6
o Hypoalbuminemia (serum albumin ,2,5 gram/dl)
o Nephrotic-range proteinuria:
a. Proteinuria >40 mg/m2 per -jam (normal: <4 mg/m2 per-jam) b. Urin
protein : rasio kreatinin (mgrmg) >2 (normal: bayi <0.5, anak-anak
<0.2)
o Hyperlipidemia (peningkatan kolesterol, trigliserid, and low-density dan
very-low-density lipoprotein)
o Peningkatan kadar nitrogen urea darah (15-30%)
o Urinalisis
a. Peningkatan berat jenis (penurunan volume intavaskular)
b. Proteinuria 3 + or 4 +
c. Hematuria mikroskopik (20-25%)
d. Lipid droplet
H. DIAGNOSIS BANDING16

12

Periorbital edema disebabkan oleh infeksi


Periorbital edema disebabkan oleh alergi
Sebab non-renal: gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi
Glomerulonefritis akut
Proteinuria dari penyebab lain
Lupus sistemik eritematous
Enterophaty akibat kehilangan protein
Kwashiorkor (malnutrisi kalori dan protein)

13

I. PENATALAKSANAAN1-6
Pada episode pertama nefrosis, anak dapat dirawat-inap di rumah sakit untuk
tujuan diagnostic, pendidikan, terapeutik. Bila timbul edema, masukan natrium
dikurangi dengan memulai "diet tidak ditambah garam". Ibunya dinasehati untuk
tidak memasak dengan garam, menyembunyikan garam meja, dan menghindari
menyajikan makanan yang jelas-jelas bergaram. Pembatasan garam dihentikan
apabila edemanya membaik. Jika edemanya tidak berat, masukan cairan tidak
dibatasi namun tidak perlu didorong. Anaknya dapat masuk sekolah dan
berpartisipasi dalam aktivitas sekolah seperti yang dapat ditoleransi. Sampai
diuresis akibat kortikosteroid mulai, edema ringan sampai sedang dapat dikelola
di rumah dengan klorotiazid 10-40 mg/kg/24 jam dalam dua dosis terbagi. Bila
terjadi hipokalemia, dapat ditambahkan kalium klorida atau spironolakton (3-5
mg/kg/24 jam dibagi menjadi empat dosis). Jika edemanya menjadi berat,
mengakibatkan kegawatan pernapasan akibat efosi pleura yang massif dan asites
atau pada edema skrotum yang berat, anak haras di rawat-inap di rumah sakit.
Pembatasan natrium harus diteruskan, tetapi pengurangan masukan yang lebih
lanjut jarang efektif dalam mengendalikan edema. Skrotum yang membengkak
dinaikkan dengan bantal untuk meningkatkan pengeluaran cairan dengan
gravitasi. Di masa lampau, edema yang berat diobatidengan pemberian albumin
intravena, pada beberapa penderita disertai dengan pemberian furqsemid
intravena. Tetapi sekarang terapi tipe ini telah diganti dengan pemberian
furosemid oral (1-2 mg/kg setiap 4 jam) bersama dengan metolazon (0,2-0,4

14

mg/kg/24 jam dalam dua dosis terbagi); matolazon dapat bekerja pada tubulus
proksimal dan distal. Bila menggunakan kombinasi yang kuat ini, kadar elektrolit
dan fungsi ginjal harus dimonitor secara ketat. Pada beberapa keadaan edema
berat, pemberian albumin manusia 25% (1 g/kg/24 jam) intravena mungkin
diperlukan, tetapi efeknya biasanya sementara dan harus dihindari terjadinya
kelebihan beban volume dengan hipertensi dan gagal jantung.
Setelah diagnosis diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat,
patofisiologi dan pengobatan nefrosis ditinjau lagi bersama-sama dengan
keluarganya untuk meningkatkan pengertian mereka tentang penyakit anaknya.
Remisi kemudian diinduksi dengan pemberian Prednison, kortikosteroid yang
kurang mahal, dengan dosis 60 mg/m2/24 jam (maksimum dosis 60 mg setiap
hari), dibagi menjadi 3 atau 4 dosis dalam sehari. Digunakan terapi dosis terbagi
bukannya dosis tunggal, karena beberapa penderita yang gagal berespon terhadap
dosis tunggal akan berespon terhadap dosis terbagi. Waktu yang dibutuhkan untuk
berespon terhadap Prednison rata-rata sekitar 2 minggu, responnya ditetapkan
pada saat urin menjadi bebas protein. Jika anak berlanjut menderita proteinuria
(2+ atau lebih) setelah 1 bulan mendapat Prednison dosis terbagi yang terusmenerus tiap hari, nefrosis demikian disebut resisten steroid dan biopsy ginjal
terindikasi untuk menentukan penyebab penyakitnya yang tepat.
Lima hari setelah urin menjadi bebas protein (negative, sedikit sekali, atau 1+
pada dipstick), dosis Prednison diubah menjadi 60 mg/m2 (dosis maksimum 60
mg) diberikan selama sehari sebagai dosis tunggal bersama dengan makan pagi.
Regimen selang sehari ini diteruskan selama 3-6 bulan. Tujuan terapi selama
15

sehari ini adalah mempertahankan remisi dengan menggunakan dosis Prednison


yang relative non toksik, dengan demikian menghindari seringnya kekambuhan
dan toksisitas kumulatif akibat pemberian kortikosteroid setiap hari. Setelah
periode terapi selang sehari tersebut, prednisone dapat dihentikan secara
mendadak. Pengalaman yang cukup menunjukkan bahwa ada pemulihan yang
cukup pada fungsi axis pituitaria adrenal sehingga penderita tidak berisiko
terhadap insufisiensi adrenal setelah penarikan kembali prednisone selang sehari
tersebut secara mendadak. Sebaliknya, dalam waktu sampai dengan 1 tahun
setelah penyelesaian terapi kortikosteroid, anak akan membutuhkan tambahan
kortikosteroid unruk penyakit yang berat atau pembedahan.
Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan
didefmisikan sebagai berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria, karena
beberapa anak dengan keadaan ini akan menderita proteinuria intermitten yang
menyembuh spontan. Sejumlah kecil penderita yang berespon terhadap terapi
dosis terbagi setiap hari, akan mengalami kekambuhan segera setelah perubahan
ke atau setelah penghentian terapi selang sehari. Penderita demikian itu disebut
tergantung steroid.
Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas
kortikosteroid berat (tampak cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh), kemudian
harus dipikirkan terapi siklofosfamid. Siklofosfamid terbukti memperpanjang
lama remisi dan mencegah kekambuhan pada anak yang sindrom nefrotiknya
sering kambuh. Efek samping obat (leucopenia, infeksi varicella tersebar, sistitis
hemoragika,

alopesia,

sterilitas)

harus

dipantau

pada

keluarga.

Dosis
16

siklofosfamid adalah 3 mg/kgBB/24jam sebagai dosis tunggal, selama total


pemberian 12 minggu. Terapi Prednison selang sehari sering diteruskan selama
pemberian siklofosfamid. Selama terapi dengan Siklofosfamid, leukosit harus
dimonitor setiap minggu dan obatnya dihentikan jika jumlah leukosit menurun <
5000/mm3. Penderita yang resisten steroid berespon terhadap perpanjangan
pemberian siklofosfamid (3-6 bulan), bolus metilprednisolor, atau siklosforin.
Tranplantasi ginjal terindikasi untuk gagal ginjal stadium akhir karena
glomerulosklerosis setempat dan segmental resisten steroid. Sindrom nefrotik
berulang terjadi pada 15-55% penderita. Absorbsi protein plasma pada kolom
protein basis-A dapat menurunkan proteinuria pada penderita-penderita ini.
Absorbsi protein memindahkan suatu fraksi (BM <100.000), yang menaikkan
permeabilitas protein ginjal.
J. KOMPLIKASI2,3
Keseimbangan nitrogen2
Proteinuria massif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen
menjadi negative. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini
tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema
rnenghilang. Kehilangan massa otot sebesar 10-20% dari massa tubuh (lear

body mass) tidakjarang dijumpai pada SN.


Hiperlipidemia dan Lipiduria
Hiperkoagulasi
Metabolism kalsium dan tulang
Infeksi3

17

Infeksi yang dapat terjadi salah satunya yaitu infeksi sekunder. Terutama
infeksi

kulit

yang

disebabkan

oleh

Streptococcus,

Staphylococcus;

bronkopneumonia dan tuberculosis.


Gangguan fungsi ginjal
Komplikasi lain

K. PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut:1
1) Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun dan di atas 6
2)
3)
4)
5)

tahun
Disertai oleh hipertensi
Disertai hematuria
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Terapi anti bakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak

berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun
dengan kortikosteroid.3
Sebagian besar anak dengan nefrosis yang berespons terhadap steroid akan
mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri
secara spontan menjelang usia akhir dekade kedua. Yang penting adalah,
menunjukkan pada keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita sisa
disfungsi ginjal, bahwa penyakitnya biasanya tidak herediter, dan bahwa anak
akan tetap fertile (bila tidak ada terapi siklofosfamid atau klorambusil). Untuk
memperkecil efek psikologis nefrosis, ditekankan bahwa selama masa remisi anak
tersebut normal serta tidak perlu pembatasan diet dan aktivitas. Pada anak yang

18

sedang berada dalam masa remisi pemeriksaan protein urin biasanya tidak
diperlukan.6

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Noer MS, Soemyarso N. Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet].


2006

Date

[cited

2013

March

21st

]:

Available

from:

http://old.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&fi
Iepdf=0&pdf=&html=07110-ebtq258.html.
2. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. In: Sudoyo AW, editor. Ilmu Penyakit
Dalam. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2006. p. 999-1003.
3. Latief A, Pudjiadi A, Putra ST. Sindrom Nefrotik. In: Hassan R, editor. Buku
Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC; 2007. p. 832-35
4. E.Berhman R, Kligman RM, Arvin AM. Textbook of Pediatrics. 17th ed.
Churchill livingstone: Elsevier science; 2004.
5. Shah BR, Lucchesl M. Atlas of Pediatric Emergency Medicine. Churchill
livingstone: York: Cambridge University Press; 2000.
6. E.Berhman R, Kligman RM, Arvin AM. Sindrom Nefrotik. Dalam : Wahab S,
editor. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. 15th ed. Jakarta: EGC; 2000. p. 1828-31
7. Kinasewitz GT. Transudative Effusions. The Pleura. Oklahoma: ERS Journals;
[updated

1997;

cited

2013

March

19th];

Available

from:

http://www.ersj.org.Uk/content/10/3/714.full.pdf.
8. Rauf, Syafruddin. Sindrom Nefrotik. Dalam : Catatan Kuliah Nefrologi Anak.
Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Anak; 2009. p. 21-34

20

You might also like