You are on page 1of 38

MAKALAH PENGERTIAN DAN JENIS-JENISAKAD DALAM

FEE BASED INCOME

Dosen:
Dosen:
Yayu Putri Senjani SE,
Disusun Oleh:
Lidiyna Khoirul Fatih
Joni Rolis
Annisa Herdiyany

(1112082000010)
(1112082000017)
(11120820000)

SEMESTER 4 KELASB
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTASEKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITASISLAM NEGERI
SYARIFHIDAYATULLAH
JAKARTA

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr Wb
1

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah pengertian dan jenis-jenis akad dalam fee
based income.
Selama penyusunan makalah ini kami mendapat banyak bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih
kepada yang telah membantu.
Apabila kiranya dalam penyusunan atau penulisan makalah ini
terdapat kesalahan, kami mengaharap kritik dan saran yang dapat
membangun sehingga menjadi lebih baik.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Wasalamualaikum Wr Wb

Jakarta, 7 Juni 2014

Penyusun

DAFTAR ISI
2

COVER

1
KATA
PENGANTAR
..2
DAFTAR
ISI
.3
BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
..4
2. Rumusan
Masalah
..4
3. Tujuan
.4
BAB II : PEMBAHASAN
1. Fee Based
Income
5
2. Wakalah
.5
3. Kafalah
8
4. Sharf
12
5. Hiwalah
.15
6. Rahn
17
7. Letter of
Credit
.21
8. Kartu Pembayaran(Card)
..29
BAB III : PENUTUP
1. Kesimpulan
.34

DAFTAR
PUSTAKA
35

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Untuk latar belakang pembuatan dari makalah ini merupakan
tugas presentasi kelompok dalam mata kuliah Akuntansi Keuangan
Syariah. Akan tetapi lebih luas lagi untuk latar belakang pembuatan
makalah ini adalah untuk mengenal akuntansi bagi lembaga
keuangan syariah, dalam hal ini dikhususkan pada perbankan
syariah mengenai jasa Fee Based Income.
2. Rumusan Masalah
1. Pengertian dari akad-akad?
2. Bagaimana perlakuan akuntansi syariah dalam akad-akad?
3. Ketentuan dalam akad-akad?
3. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengertian dari akadakad dalam fee based income, memahami jenis-jenis akad fee
based income dan juga ketentuan-ketentuan dari masing-masing
akad sesuai dengan syariah.
4

BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN
A. FEE BASED INCOME
Dalam perbankan konvensional, pengertian Fee based income
adalah keuntungan yang didapat dari transaksi yang diberikan
dalam jasa-jasa bank lainnya atau selain spread based. Dalam
PSAK No.31 Bab I huruf A angka 03 dijelaskan bahwa dalam
operasinya bank melakukan penanaman dalam aktiva produktif
seperti kredit dan surat-surat berharga juga diberikan memberikan
komitmen dan jasa-jasa lain yang digolongkan sebagai fee based
operation, atau off balance sheet activities
Unsur-unsur fee based income
Karena pengertian fee based income merupakan pendapatan
operasional non bunga maka unsur-unsur pendapatan operasional
yang masuk kedalamnya adalah :
1.
Pendapatan komisi dan provisi
2.
pendapatan dari hasil transaksi valuta asing atau devisa
3.
pendapatan operasional lainnya.
5

Begitupun dalam perbankan syariah penghasilan tidak hanya


didapatkan pada pengelolaan dana mudharabah, tapi ada pendapatan
yang sepenuhnya menjadi hak milik bagi bank syariah, seperti fee
kliring, fee inkaso, fee pembayaran payroll, dan fee lainnya dari jasa
yang diberikan oleh perbankan syariah.
Adapun produk perbankan syariah di bidang jasa didasarkan pada
akad-akad yang sudah dikenal dalam Islam, yaitu; Hiwalah (Hawalah),
Wakalah, Kafalah, Rahn, dan Sharf
B. WAKALAH
1. PENGERTIAN DAN RUKUN WAKALAH
Dalam kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah, Bank
Indonesia dijelaskan pengertian wakalah sebagai berikut:
Wakalah
perwakilan,penyerahan,
pendelegasian
atau
pemberian mandat (power of attorney) adalah akad pelimpahan
kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal
yang boleh diwakilkan. Praktek wakalah dalam lembaga
keuangan syariah mengharuskan adanya, muwakil (nasabah
atau investor), wakil (bank) dan taukil (obyek atau wewenang
yang diwakilkan) Wakalah bil Ujrah adalah akad wakalah dengan
memberikan fee atau imbalan kepada wakil.
Dalam Glossori Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, memberikan
penjelasan pengertian wakalah sebagai berikut:
Wakalah adalah akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak
kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.

Dalam PSAK No. 59:


Wakalah merupakan Akad pemberian kuasa dan muwakil
(pemberi kuasa/nasabah) kepada wakil (penerima kuasa/bank)
untuk melaksanakan suatu taukil (tugas) atas nama pemberi
kuasa.
Dari pengertian wakalah memiliki empat rukun, yaitu:
a. Pemberi kuasa (Muwakil)
b. Penerima kuasa (Wakil)
c. Obyek yang dikuasakan (Taukil)
d. Ijab Qabul (Sighat)
Adapun syarat-syarat tertentu sehingga wakalah halal dalam Islam
adalah sebagai berikut:
a. Pihak orang yang diwakili dan wakil harus terdiri dari mereka
yang dipertanggungjawabkan.
6

b. Orang yang diwakili harus mempunyai kuasa untuk


mengendalikan perkara yang diwakili.
c. Wakil hendaklah menyatakan dengan jelas perkara diwakili saat
perjanjian.
d. Wakil harus menyebutkan nama orang/pihak yang diwakili saat
menjalankan tugas Wakalah yang berkaitan dengan Hibah,
Pinjaman, Pegadaian, Wadi'ah, Hutang Piutang, Musyaarakah
dan Mudharabah. Adapun ketika menjalankan tugas Wakalah
dalam Jual Beli dan Sewa menyewa tidak perlu menyebutkan
nama pihak yang diwakili.
2. Ketentuan Wakalah
Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Wakalah
sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional
nomor 10/DSN-MUI/IV/2(KK) tcrtanggal13 April 2(KK) (Fatwa, 2(K)6)
sebagai berikut:
Pertama : ketentuan tentang wakalah
1. Pernyataan ijab Kabul harus dinyatakan oleh pam pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
(akad).
2. Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh
dibatalkan secara sepihak.
Kedua : Rukun dan syarat wakalah
1. Syarat-syarat muwakil (yang mewakilkan)
a. Harus seorang pemilik sah yang dapat bcrtindak terhadap
sesuatu yang ia
wakilkan
b. Orang mukalaf atau anak mumayyiz dalam batas- batas
tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya
seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima
sedekah dan sebagainya
b. Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
a. Cakap hukum
b. Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya,
c. Wakil adalah orang yang diberi amanat
c. Hal-hal yang diwakilkan
a. Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili
b. Tidak bertentangan dengan syariah islam
c. Dapat diwakilkan menurut syariah islam
3. JENIS WAKALAH
7

Wakalah terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :


1. Wakalah Muthlaqah
yaitu Wakalah yang tidak terikat dengan syarat tertentu (selain
dari syarat yang ditetapkan Islam), tidak terbatas waktu, dan
tidak terikat dengan keadaan tertentu.
2. Wakalah Muqaiyadah
yaitu Wakalah yang terikat dengan syarat tertentu, atau terbatas
waktu, atau terikat dengan syarat tertentu.
4. WAKALAH DALAM PERBANKAN SYARIAH
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah
memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan
pekerjaan atau jasa tertentu, seperti pembuktian letter of credit,
inkaso, kliring dan transfer uang. Selain itu akad wakalah juga
digunakan dalam penyelesaian piutang dalam ekspor dan anjak
piutang syariah. Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad
pemberian kuasa harus cakap hukum. Tugas, wewenang dan
tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah, Setiap
tugas yang dilakukan harus mengatasnamakan nasabah dan harus
mampu dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya
tersebut,
bank
mendapatkan
imbalan
(fee)
berdasarkan
kesepakatan bersama. Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi
tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena force majeure
menjadi tanggung jawab nasabah. Apabila bank yang ditunjuk lebih
dari satu, maka masing-masing bank tidak boleh bertindak sendirisendiri tanpa musyawarah dengan bank yang lain, kecuali seizin
nasabah. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan
disetujui bersama antara nasabah dengan bank.

5.

PERLAKUAN AKUNTANSI WAKALAH


1. Bagi pihak yang mewakilkan/wakil/penerima kuasa:
a. Pada saat menerima imbalan tunai (tidak berkaitan dengan
jangka waktu).
Kas
xxx
Pendapatan
Wakalah

xxx
b. Pada saat membayar beban
8

Beban Wakalah
Kas

xxx

xxx
c. Pada saat diterima pendapatan untuk jangka waktu dua tahun
di muka
Kas

xxx
Pendapatan

muka

wakalah

diterima

di

xxx
d. Pada saat mengakui pendapatan wakalah akhir periode
Pendapatan wakalah diterima di muka
xxx
Pendapatan
wakalah
xxx
2. Bagi pihak yang meminta diwakilkan
Pada saat membayar ujr/komisi
Beban wakalah
xxx
Kas
xxx
o Dalam Laporan Keuangan
kedalam Laporan Laba/Rugi.

pendapatan

wakalah

masuk

C. KAFALAH
PENGERTIAN DAN RUKUN KAFALAH
Kafalah adalah Transaksi penjaminan yang diberikan oleh
penanggung (kafil) kepada pihak ketiga atau yang tertanggung
(makzul lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (makjul
anhu/ashil). Ada dua pendapat mengenai pihak penjamin, yaitu antara
penjamin dianggap ikut berhutang atau tidak. Istilah lain yang populer
dari kafalah adalah dhamanah.
Kafalah dan Dhamanah mempunyai arti yang sama, yaitu
jaminan. Yang mana yang dimaksud dengan Jaminan adalah
bertanggung jawab atas hak yang thabit/wajib bagi orang lain atau
menghadirkan seseorang yang mempunyai suatu tanggung jawab
untuk diambil tindakan atau mendapatkan suatu barang pengganri
kepada pihak yang berhak. Dengan ini, berarti jaminan adalah :
menempatkan tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab
orang lain.
Adapun rukun kafalah adalah:
- Pihak penjamin (kaafil)
- Pihak yang dijamin (Makful)
9

Obyek penjaminan (Makful alaih)


Ijab kabul (Sighat)

Jaminan halal dalam Islam dengan menurut syarat-syarat tertentu


untuk kafalah yaitu:
a. Penjamin harus orang / pihak yang bisa dipertanggungjawabkan. Jika
Penjamin terdiri dari 1 orang (individu), maka ia harus orang yang
cukup umur (baligh) dan sempurna akal pikiran (faqil)
b. Orang Yang dijamin tidak dikenakan syarat-syarat tersebut di atas
c. Jika yang dijamin itu 1 orang, maka penjamin harus mengenali orang
itu, dan jika yang dijamin itu orang atau hutang, maka tidak
dikenakan syarat seperti tadi.
d. Dalam jaminan atas harta (maal) disyaratkan / diharuskan bahwa
barang yang dijamin itu menjadi tanggung jawab orang yang
dijamin untuk menggantinya. Karena itu, boleh menjamin harga
barang yang dijual, penyewa, hutang, barang yang diambil saat
penawaran jual beli yang telah ditetapkan harganya, dan tanggung
jawab apa pun yang bersifat jaminan untuk mengembalikan barang
yang dirampas kepada pemiliknya. Boleh mengikat jaminan dengan
sebab sebab tertentu, seperti kemusnahan modal Mudharabah
karena kesengajaan pihak penguasa, maka Mudharabah karena
kesengajaan perihal penguasa, maka pihak modal boleh meminta
penjamin dari pihak penguasa saat melakukan Perjanjian
Mudharabah.

1.
2.
3.

4.

5.

JENIS KAFALAH
Kafalah bi an naf
yaitu merupakan akad (personal guarantee)
Kafalah bi al mal
yaitu merupakan jaminan pembayaran hutang atau pelui hutang
Kafalah bit taslim.
Jenis ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas
barang yang disewa pada waktu masa sewa berakhir
Kafalah al munjazah.
Jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu
dan untuk kepentingan / tujuan tertentu.
Kafalah al mualaqah.
Jaminan ini merupakan menyerdahanaan dari kafalah al
munjazah, dimana jaminan dibatasi hanya untuk jangka waktu
tertentu.

10

3. KETENTUAN KAFALAH
Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang
Wakalah sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah
Nasional nomor ll/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal13 April 2000
(Fatwa, 2006) sebagai berikut:
Pertama:
1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak
untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad).
2. Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee)
sepanjang tidak memberatkan
3. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh
dibatalkan secara sepihak.
Kedua:
1. Pihak penjamin (Kafiil)
a. Baligh (dewasa) dan berakal sehat
b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hokum dalam
urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan
kafalah tersebut
2. Pihak orang yang berhutang (Ashil, Makftiulanhu)
a. Sanggup menyerahkan tangungannya (piutang)
b. Dikenal oleh penjamin
3. Pihak orang yang berpiutang (Makfuul lahu)
a. Diketahui identitasnya
b. Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
4. Obyek penjamin (makfuul bihi)
a. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik
berupa uang, benda, maupun pekerjaan
b. Hanya bisa dilaksanakan oleh penjamin
c. Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak
mungkin dihapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
d. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
e. Tidak bertentangan dengan syariah (diharamkan)
5. APLIKASI KAFALAH DALAM BANK SYARIAH
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk
menjalin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank
dapat mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan
sejumlah dana untuk fasilitas ini, dan bank menerima dana
tersebut dengan prinsip wadiah. Bank mendapatkan imbalan
atas jasa yang diberikan.
11

Dalam Surat Edaran Bank Indonesia nomor 10/31/DPbS


tanggal 7 Oktober 2008, perihal Produk Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah dijelaskan Bank G a ran si sebagai berikut:
1. Definisi
Bank Garansi adalah jaminan yang diberikan oleh bank
kepada pihak ketiga penerima jaminan atas pemenuhan
kewajiban tertentu nasabah bank selaku pihak yang dijamin
kepada pihak ketiga dimaksud.
2. Akad Kafalah
Transaksi penjaminan yang diberikan oleh penanggung
{kafil) kepada pihak ketiga atau yang tertanggung {makful
lahu) untuk {makful 'anhuj ashil).
3. Fitur dan Mekanisme
1. Bank bertindak sebagai pemberi jaminan atas
pemenuhan kewajiban nasabah terhadap pihak
ketiga;
2. Kontrak (akad) jaminan memuat kesepakatan antara
pihak bank dan pihak kedua yang dijamin dan
dilengkapi persaksian pihak penerima jaminan;
3. Obyek penjaminan harus
a.
Merupakan kewajiban pihak/orang yang meminta
jaminan;
b. Jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya termasuk
jangka waktu penjaminan; dan
c.
Tidak
bertentangan
dengan
syariah
(tidak
diharamkan).
4. Bank dapat memperoleh imbalan atau fee yang
disepakati di awal serta dinyatakan dalam jumlah
nominal yang tetap;
5. Bank dapat meminta jaminan berupa Cash Collateral
atau bentuk jaminan lainnya atas nilai penjaminan;
dan
6. Dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban
kepada pihak ketiga, maka Bank melakukan
pemenuhan kewajiban nasabah kepada pihak ketiga
dengan
memberikan
dana
talangan
sebagai
Pembiavaan atas dasar Akad Oardh yang harus
diselesaikai
Selain garansi bank, produk bank syariah lain yang
menggunakan akad kafalah adalah L/C dengan akad kafalah
pil ujrah dan penjaminan syariah.
12

4. PERLAKUAN AKUNTANSI KAFALAH


1. Bagi pihak penjamin
a. Pada saat menerima imbalan tunai, jurnal:
Kas
Pendapatan kafalah

xxx
xxx

b. Pada saat membayar beban, jurnal:


Beban kafalah

xxx

Kas

xxx
2.Bagi pihak yang meminta jaminan
a. Pada saat membayar beban, jurnal:
Beban kafalah

xxx

Kas
Dalam Laporan Keuangan
Laporan Laba/Rugi.

xxx
Pendapatan

Kafalah

masuk

dalam

D. SHARF
1. Konsep Dasar
Sjahdeini (1999) dalam Sudarsono (2003: 79) menjelaskan tentang
arti harfiah dari sharf yaitu penambahan, penukaran, penghindaran,
atau transaksi jual beli. Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta
dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing (valuta
asing ) dapat dilakukan baik dengan sesama mata uang sejenis,
misalnya rupiah dengan rupiah maupun yang tidak sejenis, misalnya
rupiah dengan dollar atau sebaliknya. Jual beli mata uang yang tidak
sejenis ini, penyerahan yang harus dilakukan pada waktu yang sama
(spot).
2. Landasan Fiqh dan Fatwa DSN tentang Akad Sharf
a. Landasan Hadis
Jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, kurma dengan kurma, anggur dengan anggur,
13

(apabila) satu jenis (harus) sama (kualitas dan kuantitasnya dan


dilakukan) secara tunai. Apabila jenis berbeda maka juallah
sesuai dengan kehendakmu dengan syarat secara tunai. (HR
Jamaah).
b. Fatwa DSN tentang Akad Sharf
Fatwa Nomor 28/DSN-MUI/III/2012 tentang Al Sharf merupakn
satu-satunya fatwa DSN yang mengatur tentang jua beli mata
uang dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama : Ketentuan Umum Sharf
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka
nilainya harus dan secara tunai (at-taqabudh).
4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai
tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan
secara tunai.
Kedua : Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing
1. Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan
valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the
counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka
waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap
tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses
penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan
transaksi internasional.
2. Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan
valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan
diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam
sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena
harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan
(muwaadah) dan penyerahannya dilakukan dikemudian hari,
padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu
sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dengan
bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat
dihindari (lil hajah).
3. Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan
valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan
pembelian anatara penjualan valas yang sama dengan harga
14

forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsure maisir


(spekulasi).
4. Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam
rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus
dilakukan atas sejumlah unit valuta aasing pada harga dan
jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram,
karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
3. Karakteristik
PSAK Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah paragraph
144 menjelaskan karakteristik Sharf adalah akad jual beli suatu
valuta dengan valuta lainnya. Transaksi valuta asing pada bank
syariah (diluar jual beli bank notes) hanya dapat dilakukan untuk
tujuan lindung nilai (hedging) dan tidak dibenarkan untuk tujuan
spekulatif.
4. Teknis Perbankan/Lembaga Keuangan Syariah
Sudarsono (2003 : 79) menjelaskan tentang ketentuan umum dan
teknis penerapan sharf dalam praktik perbankan syariah adalah
sebagai berikut:
1. Nilai tukar yang diperjualbelikan harus telah dikuasai, baik oleh
pembeli maupun oleh penjual, sebelum keduanya berpisah.
Penguasaan itu dapat berbentuk penguasaan secara
material
maupun hukum. Penguasaan secara material, misalnya pembeli
langsung menerima dolar AS yang dibeli dan penjual langsung
menerima rupiah. Adapun
penguasaan
hukum,
misalnya
pembayaran dengan menggunakan cek.
2. Apabila mata uang atau valuta yang diperjualbelikan itu dari
jenis yang sama, maka jual beli mata uang itu harus dilakukan
dalam mata uang sejenis yang kualitas dan kuantitasnya sama
sekalipun model dari mata uang itu berbeda.
3. Dalam sharf tidak boleh dipersyaratkan dalam akadnya adanya
hak khiar syarat (khiar) bagi pembeli. Khiar syarat adalah hak
pilih bagi pembeli untuk dapat melanjutkan jual beli mata uang
tersebut setelah selesai berlangsungnya jual beli yang terdahulu
atau tidak melanjutkannya jual beli itu, yang syarat itu
diperjanjikan ketika berlangsungnya transaksi dahulu tersebut.
4. Tidak ada tenggang waktu antara penyerahan mata uang yang
dipertukarkan, karena bagi sahnya sharf penegasan obyek akad
harus dilakukan secara tunai dan pembuatan saling
menyerahkan itu harus berlangsung sebelum kedua belah pihak
yang melakukan jual beli valuta berpisah.
15

5. Pengakuan dan Pengukuran Sharf


PSAK Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah
paragraf 145-146
menjelaskan pengakuan dan pengukuran
pendapatan sharf sebagai berikut:
1. selisih antara kurs yang diperjanjikan dalam kontrak dan
kurs tunai (mark to market) pada tanggal penyerahan
valuta diakui sebagai keuntungan/kerugian pada saat
penyerahan /penerimaan dana.
2. selisih penjabaran aktiva dan kewajiban valuta asing dalam
rupiah (revaluasi) diakui sebagai pendapatan atau beban.
6.Pelakuan Akuntansi Akad Sharf
1. Jurnal saat membeli valuta asing:
Kas (Dollar)
xxx
Kas (Rupiah)
xxx
2.Jurnal saat dijual
Kas (Rupiah)
Kerugian*
Keuntungan**
Kas (Dollar)

xxx
xxx
xxx
xxx

Keterangan: * jika harga beli valas lebih besar dari harga jual
** jika harga beli valas lebih kecil dari harga jual

Untuk tujuan laporan keuangan akhir periode, asset moneter


(piutang dan utang ) dalam suatu valuta asing akan dijabarkan
dalam satuan rupiah dengan menggunakan nilai kurs tengah
Bank Indonesia pada tanggal laporan keuangan. Jurnal
penyesuaiannya adalah sebagai berikut:
o Jika nilai kurs BI lebih kecil dari nilai kurs transaksi, jurnal
pencatatannya:
Piutang (valas)
xxx
Kerugian
xxx
Keuntungan
xxx
Utang
xxx

B. HIWALAH
1. Konsep Dasar
16

Sabiq, Sayyid (1987) dalam Sudarsono (2003: 67-68)


menjelaskan bahwa kata hiwalah diambil dari kata tahwil yang
berarti intiqal (perpindahan). Yang dimaksud disini adalah
memindahkan hutang dari tanggungan orang yang berhutang
(muhil) menjadi tanggungan orang yang berkeajiban membayar
hutang (muhal alaih). Dalam konsep hukum perdata, hiwalah adalah
serupa
dengan
lembaga
pengambilalihan
hutang
(schuldoverneming), atau lembaga pelepasan hutang atau
penjualan utang (debt sale), atau lembaga penggantian kreditor
atau penggantian debitor.
2. Landasan Fiqh dan Fatwa DSN tentang Akad Hiwalah
a. Landasan Hadis
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Huraira
bahwa Rasulullah SAW bersabda, menunda pembayaran bagi
orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan jika salah
seorang dari kamu diikuti (dihawalahkan) kepada orang yang
mampu/kaya, terimalah hawalah itu.(HR Bukhari Muslim).

b. Fatwa DSN tentang Akad Hiwalah


Fatwa Nomor 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang hawalah merupakan
satu-satunya fatwa DSN yang mengatur tentang Hawalah/Hiwalah
dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
pertama: Ketentuan Umum Hawalah
1. Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berhutang dan
sekaligus berpiutang, muhal yakni orang yang berpitang kepada
muhil, muhal alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan
wajib membayar hutang kepada muhal, muhal bih yakni hutang
muhil kepada muhal, dan sighat (ijab qabul).
2. pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak
untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
(akad).
3. Akad dituangkan secara tertulis, melaui korespondensi, atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
4. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal, dan
muhal alaih.
5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam
akad secara tegas.
17

Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat


hanyalah muhal dan muhal alaih, dan hak penagihan muhal
berpindah kepada muhal alaih.
Kedua :
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
3. Karakteristik
PSAK Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah paragraf
150 menjelaskan karakteristik hiwalah adalah pemindahan atau
pengalihan hak dan kewajiban, baik dalam bentuk pengalihan
piutang maupun hutang, dan jasa pemindahan/pengalihan dana dari
satu entitas kepada entitas lain.
4.Teknis Perbankan/ Lembaga Keuangan Syariah
Sudarsono (2003:68) menjelaskan tentang ketentuan umum dan
teknis penerapan hiwalah dalam praktik perbankan syariah adalah
sebagai berikut:
1. Dalam praktik perbankan syariah, fasilitas hiwalah lazimnya
membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat
melanjutkan usahanya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa
pemindahan piutang.
2. Untuk mengantisipasi risiko kerugian yang akan timbul, bank
perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang
berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan
piutang dengan yang berutang.
3. Karena kebutuhan supplier atas likuiditas maka ia meminta
bank untuk mengambil alih piutang. Bank akan menerima
pembayaran dari pemilik proyek.

5. Pengakuan dan Pengukuran Hiwalah


PSAK Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah paragraf 151
menjelaskan pengakuan dan pengukuran transaksi hiwalah sebagai
kegiatan bank syariah berbasis imbalan sebagai berikut:
pendapatan dan beban yang berkaitan dengan jangka waktu diakui
selama jangka waktu tersebut. Pendapatan dan beban yang tidak
berkaitan dengan jangka waktu diakui pada saat terjadinya
transaksi dalam periode yang bersangkutan.
6. Aplikasi dan Ilustrasi
PT Mentari sebagai distributor tetap PT Maratam memiliki tagihan
sebesar
Rp. 30.000.000,- yang akan jatuh tempo 3 bulan
18

mendatang. PT Mentari ingin mengalihkan piutang tersebut kepada


Bank Syariah Arrania mengingat PT Mentari selama ini telah menjadi
nasabah gito Bank Syariah Arrania. Kontrak jual beli antara PT
Mentari dengan PT Maratam serta invoice asli untuk penagihan
disertakan sebagai bukti adanya piutang PT Maratam kepada PT
Mentari.
Hanum sebagai pimpinan cabang Bank Syariah Arrania di Batam
telah menganalisis bahwa piutang tersebut tidak berisiko karena
kebenaran kontrak jal beli kedua belah pihak telah diperiksa oleh
Hanum. Dia kemudian menyetujui untuk memberikan fasilitas
Hiwalah kepada PT Mentari dengan biaya administrasi sebesar Rp.
1.500.000,-.
Berikut merupakan jurnal yang dibuat oleh Bank Syariah Arrania
untuk merealisasikan akad tersebut:
a. Pada saat realisasi piutang hiwalah
(Dr) Piutang Hiwalah
Rp. 30.000.000,(Cr) Kas/ Rek. PT. Mentari
Rp. 30.000.000,b. Pada saat mengakui pendapatan jasa hiwalah
(Dr) Kas/Rek. PT. Mentari
Rp. 30.000.000,(Cr) Pendapatan jasa Hiwalah
Rp. 30.000.000,Catatan : jika dana yang digunakan untuk memberi
pembiayaan hiwalah merupakan bagian dari dana milik
pemegang rekening mudharabah maka LKS wajib
membagihasilkan pendapatan jasa yang diperoleh dari
pembiayaan hiwalah.
c. Pada saat PT Mentari mengembalikan piutang hiwalah
(Dr) Kas/Rek. PT. Mentari
Rp. 30.000.000,(Cr) Piutang Hiwalah
Rp.
30.000.000,C. RAHN
1. Konsep Dasar
Sabiq, Sayyid (1987) dalam Sudarsono (2003: 72-73)
menjelaskan bahwa menurut bahasanya rahn adalah tetap
dan lestari, seperti juga dinamai al habsu, artinya penahanan,
seperti dikatakan nimatun rahinah, karunia yang tetap dan
lestari. Teknisnya rahn adalah menahan salah satu harta milik
si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
19

demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk


dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah
semacam jaminan utang atau gadai (Antonio, 2001). Tujuan
rahn adalah untuk memberi jaminan pembayaran kembali
kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Adapun barang yang digadaikan wajib oleh nasabah harus
memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: 1.) milik nasabah
sendiri; 2.) jelas ukuran, sifat dan nilainya ditentukan
berdasarkan nilai riil pasar; dan 3.) dapat dikuasai namun
tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
2. Landasan Fiqh dan Fatwa DSN tentang Akad Rahn
a). Landasan Al Quran dan Al Hadis
1. Al Quran
jika kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang) (QS Al Baqarah:283).
2. Al Hadis
Aisyah RA berkata Rasulullah SA membeli makan dari
seorang Yahudi dan menjamin kepadanya baju besi (HR
Bukhari dan Muslim).
b). Fatwa DSN tentang Akad Rahn
1. Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang RAHN
Beberapa ketentuan yang diatur dalam fatwa ini, antara
lain sebagai berikut:
Pertama : Hukum
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai
jaminan hutang dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan
ketentuan sebagai berikut.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk
menahan Marhun (barang) sampai semua hutang Rahin
(yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin, pada
prinsipnya, Marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh
Murtahin
kecuali
seizing
Rahin,
dengan
tidak
mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu
20

sekedar
pengganti
biaya
pemeliharaan
dan
perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya
menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga
oleh Murtahin, sedangkan biaya pemeliharaan dan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun
tidak boleh ditentukan berdasarkan nilai pinjaman.
5. Penjualan Marhun
1. Apabila jatuh tempo, maka Murtahin
harus
memperingatkan Rahin untuk segera melunasi
hutangnya.
2. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi
hutangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi
melalui lelang sesuai syariah.
3. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi
hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan
yang belum dibayar serta biaya penjualan.
4. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
1. Fatwa DSN No.: 26/DSN-MUI/III/2002 tentang RAHN EMAS
Beberapa ketentuan yang diatur dalam fatwa ini,
antara lain sebagai berikut:
a. Rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn
(lihat Fatwa DSN nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang
Rahn)
b. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun)
ditanggung oleh penggadai. (Rahin)
c. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya
didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata
diperlukan.
d. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan
berdasarkan akad ijarah.
3. Teknis Perbankan/ Lembaga Keuangan Syariah
Sudarsono (2003 : 69) menjelaskan tentang ketentuan umum
dan teknis penerapan rahn dalam praktik perbankan syariah
adalah sebagai berikut:
1. Melalui bank, nasabah dapat menggunakan barang
tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai
dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang
21

digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus


bertanggung jawab.
2. Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan
penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim.
3. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut
dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi
kewajibannya, maka kelebihan tersebut menjadi milik
nasabah.
4. Bila hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya,
nasabah menutupi kekurangannya.
4. Pengakuan dan Pengukuran Rahn
PSAK Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah dan
PSAK Syariah belum mengatur tentang transaksi rahn
sehingga penulis menggunakan asumsi sederhana untuk
menjelaskan logika jurnal dalam transaksi rahn berdasarkan
pedoman dari Tim Pengembang Perbankan Syariah IBI.
5. Aplikasi dan Ilustrasi
Ibu Ratna sebagai ibu rumah tangga memerlukan biaya
mendesak dalam menghadapi tahun ajaran baru. Untuk itu Bu
Ratna bersedia mengadaikan cincin emas itu dapat ditebus
kembali pada saat suaminya menerima bonus akhir tahun. Bu
ratna meminta fasilitas rahn pada cabang Bank Syariah
Indonesia yang dekat dengan komplek perumhannya. Lima
buah cincin Ibu Ratna erkadar emas 18 Karat dengan berat
12,2 gram dinilai dengan petugas bank syariah seharga Rp.
700.000,- dan bank syariah bersedia memberikan pinjaman
senilai Rp. 550.000,- dengan jaminan 5 buah cincin tersebut.
Pinjaman ini berlaku selam 4 bulan dengan biaya
penyimpanan selama 4 bulan sebesar Rp.10.000,- dan biaya
asuransi Rp. 5.000,-. Sekiranya sampai tanggal tempo Bu
Ratna tidak memperpanjang pinjamannya dan tidak dapat
melunasi pinjamannya maka dengan seizin Bu Ratna bank
syariah akan menjual barang jaminan tersebut. Bila harga jual
lebih dari Rp. 550.000,- maka kelebihan itu akan dikembalikan
kepada Bu Ratna.
Catatan : untuk fasilitas Rahn, tidak diperlukan analisa
khusus oleh karena nasabah datang dengan membawa
barang/emas yang akan digadaikan dan jumlah pinjaman
yang diberikan oleh bank lebih kecil dari nilai pasar
tersebut. Berapa besar pinjaman yang dapat diberikan oleh
bank dibandingkan dengan jaminan emas yang diserahkan,
22

hal ini semuanya bergantung pada kebijakan bank syariah


tersebut.
a. Pada saat mencairkan dana rahn Rp. 550.000,(Dr) Piutang Rahn
Rp. 550.000,(Cr) Kas
Rp. 550.000,b. Pada saat menerima biaya peminjaman Rp. 10.000,(Dr) Kas
Rp. 10.000,(Cr) pendapatan Rahin
Rp. 10.000,c. Pada saat menerima biaya asuransi Rp. 5.000,(Dr) Kas
Rp. 5.000,(Cr) Rekening Asuransi
Rp. 5.000,d. Pada saat pelunasan pinjaman
(Dr) Kas
Rp. 5.000,(Cr) Piutang Rahn
Rp. 5.000,-

D. Letter Of Credit Syariah


Bank tidak hanya mengandalkan sumber penerimaan
utamanya dari penyaluran kredit melainkan juga dari jasa-jasa
yang diberikan. Penerimaan atau income yang berasal dari
pemberian jasa-jasa ini dalam perbankan disebut sebagai feebased income. Bentuk jasa-jasa ini selalu mengalami
perkembangan dari waktu kewaktu. Salah satu jasa yang
ditawarkan oleh bank adalah letter of credit. (Pandia, 2005:194).
Letter of Credit (L/C) yang biasa disingkat dengan L/C
dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Surat Kredit
Berdokumen. L/C merupakan salah satu jasa yang ditawarkan
oleh bank dalam rangka pembelian suatu barang, berupa
penangguhan pembayaran pembelian oleh pembeli (importir)
sejak L/C dibuka sampai dengan jangka waktu tertentu sesuai
perjanjian. (Budisantoso, 2006:128).
Kasmir menilai Leter of Credit (L/C) adalah jasa bank yang
diberikan kepada masyarakat untuk memperlancar arus barang
(ekspor-impor) termasuk dalam negeri (antar pulau). Dimana L/C
berguna untuk menampung dan menyelesaikan kesulitankesulitan yang diemban pembeli (importir) maupun penjual
(eksportir) dalam transaksi jual beli yang dilakukannya. Lebih
lanjut Kasmir mendefinisikan L/C adalah suatu pernyataan dari
bank atas permintaan nasabah (importir) untuk menyediakan dan
23

membayar sejumlah uang tertentu untuk kepentingan pihak


ketiga (penerima L/C atau eksportir). (Kasmir, 2002:152).
Akan tetapi mekanisme transaksi L/C impor maupun L/C
ekspor konvensional yang merupakan salah satu jasa perbankan
dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Penentuan
biaya pelaksanaan L/C yang kurang transparan dan adanya unsur
bunga demi keuntungan bank terkait pemberian fasilitas
pinjaman bagi importir yang tidak mempunyai dana yang cukup
di bank merupakan suatu hal yang bertentangan dengan prinsip
syariah. Maka untuk memenuhi prinsip tersebut, dan dalam
rangka memenuhi kebutuhan masyarakat untuk penerapan
prinsip syariah dalam kegiatan bisnis, termasuk dalam
perdagangan internasional kemudian muncul L/C dalam
perbankan syariah yang berbasis syariah, yaitu L/C impor dan
ekspor syariah.
Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional tentang L/C
Impor Syariah, maka pelaksanaan L/C impor syariah dapat
menggunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qard, Murabahah,
Salam/Istisna, Mudarabah, Musyarakah, dan Hawalah. Untuk L/C
ekspor syariah dalam pelaksanaannya dapat menggunakan akadakad: Wakalah bil Ujrah, Qard, Mudarabah, Musyarakah, dan alBai. (Fatwa DSN, 2003:211-232).
L/C syariah terbagi menjadi dua, L/C impor syariah dan L/C
ekspor syariah. Disebutkan dalam Kodifikasi Produk Perbankan
Syariah yang dibuat oleh Bank Indonesia (BI), L/C impor syariah
adalah surat pernyataan akan membayar kepada eksportir
(beneficiary) yang diterbitkan oleh bank (issuing bank) atas
permintaan importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu
sesuai dengan prinsip syariah. (Fatwa DSN, 2003:217).
Sedangkan L/C ekspor syariah adalah surat pernyataan akan
membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk
memfasilitasi
perdagangan
ekspor
dengan
pemenuhan
persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah. (Fatwa DSN,
2003:228).Berdasarkan Fatwa No.34/DSN-MUI/IX/2002, ketentuan
akad-akad untuk Letter of Credit (L/C) Impor yang sesuai dengan
syariah dapat digunakan beberapa bentuk:
2. Akad Wakalah bil Ujrah, dengan ketentuan:
a. Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga
pembayaran barang yang diimpor;
24

b. Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah


untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;
c. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan
dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.

2. Akad Wakalah bil Ujrah dan Qard, dengan ketentuan:


a. Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk
pembayaran harga barang yang diimpor;
b. Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah
untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;
c. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan
dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase;
d. Bank memberikan dana talangan (qard) kepada importir
untuk pelunasan pembayaran barang impor.

3. Akad Murabahah dengan ketentuan:


a. Bank bertindak selaku pembeli yang mewakilkan kepada
importir untuk melakukan transaksi dengan eksportir;
25

b. Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh


bank saat dokumen diterima (at sight) dan/atau tangguh
sampai dengan jatuh tempo (usance);
c. Bank menjual barang secara murabahah kepada
importir, baik dengan pembayaran tunai maupun cicilan.
d. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan
diperhitungkan sebagai harga perolehan barang.
4. Akad Salam/Istisna dan Murabahah, dengan ketentuan:
a. Bank melakukan akad Salam atau Istishna dengan
mewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi
tersebut.
b. Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh
bank;
c. Bank menjual barang secara murabahah kepada
importir, baik dengan pembayaran tunai maupun cicilan.
d. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan
diperhitungkan sebagai harga perolehan barang.
5. Akad Wakalah bil Ujrah dan Mudarabah, dengan ketentuan:
a. Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank
untuk melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran.
b. Bank dan importir melakukan akad Mudharabah, dimana
bank bertindak selaku shahibul mal menyerahkan modal
kepada importir sebesar harga barang yang diimpor

6. Akad Musyarakah, dengan ketentuan:


Bank dan importir melakukan akad Musyarakah, dimana
keduanya menyertakan modal untuk melakukan kegiatan impor
barang.
26

7. Dalam hal pengiriman barang telah terjadi, sedangkan


pembayaran belum dilakukan, akad yang digunakan adalah:

Alternatif I : Wakalah bil Ujrah dan Qard, dengan ketentuan:


a. Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk
pembayaran harga barang yang diimpor;
b. Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk
pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;
c. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam
bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase;
d. Bank memberikan dana talangan (qard) kepada nasabah untuk
pelunasan pembayaran barang impor
Alternatif II: Wakalah bil Ujrah dan Hawalah, dengan ketentuan:
a. Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk
pembayaran harga barang yang diimpor;
b. Importir dan Bank melakukan akad Wakalah untuk pengurusan
dokumen-dokumen transaksi impor;
c. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam
bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase;
d. Hutang kepada eksportir dialihkan oleh importir menjadi
hutang kepada Bank dengan meminta bank membayar kepada
eksportir senilai barang yang diimpor. (Fatwa DSN, 2003: 218).

Sedangkan dalam Fatwa no.35/DSN-MUI/IX/2002, ketentuan


akad-akad untuk Letter of Credit (L/C) Ekspor yang sesuai dengan
syariah dapat berupa:
1. Akad Wakalah bil Ujrah, dengan ketentuan:
a. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
27

b. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank


penerbit L/C (issuing bank), selanjutnya dibayarkan kepada
eksportir setelah dikurangi ujrah;
c. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan
dalam bentuk nominal, bukan dalam
bentuk prosentase.

2. Akad Wakalah bil Ujrah dan Qard, dengan ketentuan:


a. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor
b. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank
penerbit L/C (issuing bank)
c. Bank memberikan dana talangan (Qard) kepada nasabah
eksportir sebesar harga barang ekspor
d. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan
dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase
e. Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan
sesuai kesepakatan dalam akad.
f. Antara akad Wakalah bil Ujrah dan akad Qard, tidak
dibolehkan adanya keterkaitan.

3. Akad Wakalah bil Ujrah dan Mudarabah, dengan ketentuan:


28

a. Bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang


dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang
dipesan oleh importir;
b. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
c. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank L/C
(issuing bank).
d. Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan
pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh
tempo (usance);
e. Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuing bank) dapat
digunakan untuk:
- Pembayaran ujrah;
- Pengembalian dana mudharabah;
- Pembayaran bagi hasil
f. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan
dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.

4. Akad Musyarakah, dengan ketentuan:


a. Bank memberikan kepada eksportir sebagian dana yang
dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang
dipesan oleh importir;
b. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
c. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank
penerbit L/C (issuing bank);
d. Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan
pada saat dokumen diterima (sight) atau pada saat jatuh
tempo (usance);
e. Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuing bank) dapat
digunakan untuk:
- Pengembalian dana Musyarakah;
- Pembayaran bagi hasil.
29

5. Akad al-Bai (Jual Beli) dan Wakalah, dengan ketentuan:


a. Bank membeli barang dari eksportir;
b. Bank menjual barang kepada importir yang diwakili
eksportir;
c. Bank membayar kepada eksportir setelah pengiriman
barang kepada importir;
d. Pembayaran oleh bank penerbit L/C (issuing bank) dapat
dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada
saat jatuh tempo.
Pada bank konvensional L/C dimasukkan sebagai Non-cash
Loan dan disebut sebagai fee-based income (penerimaan yang
berasal dari pemberian jasa non-pembiayaan atau investasi).
Begitu juga dalam bank syariah L/C dimasukkan sebagai jasa,
yaitu produk jasa bank syariah. Proses terbentuknya L/C dalam
bank syariah sedikit banyak sama dengan proses terbentuknya
L/C dalam bank konvensional. Hanya saja dalam proses
terbentuknya L/C dalam bank syariah transaksinya harus sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah itu sendiri.
Dilihat dari proses terjadinya L/C tersebut maka dapat
dikatakan bahwa L/C juga merupakan pengalihan penanggungan
risiko dari penjual dan pembeli yang kemudian diemban oleh
pihak bank. Dari itu untuk mengantisipasi risiko yang diemban
maka bank penerbit mewajibkan kepada importir untuk
menyerahkan sejumlah uang sebagai jaminan sebesar 10% dari
nilai L/C, juga menyerahkan agunan tambahan dari importir
(pemohon L/C). (Budisantoso, 2006:129).
Tetapi dalam aplikasinya L/C tidak hanya sebagai
pelayanan jasa, L/C juga dapat berubah menjadi produk
pembiayaan, yaitu kredit biasa. Sebagaimana diuangkapkan oleh
Adiwarman A. Karim, Letter of Credit (L/C) dalam bank syariah
termasuk produk pembiayaan, yaitu pembiayaan Letter of Credit
(L/C) impor atau ekspor syariah. Secara definitif yang dimaksud
dengan L/C adalah pembiayaan yang diberikan dalam rangka
memfasilitasi transaksi impor atau ekspor nasabah. (Karim,
2008:252).
Perubahan L/C khususnya L/C impor dari pelayanan jasa
menjadi
produk
pembiayaan
bank
(bank
memberikan
pembiayaan kepada nasabah), lebih dikarenakan ada dua
kemungkinan penyelesaian kewajiban dalam L/C. Hal ini dapat
diilustrasikan sebagai berikut:
30

Kemungkinan I:
Importir membayar lunas tepat waktu kepada bank penerbit
- Agunan tambahan dikembalikan kepada pembeli
- Proses L/C selesai
Kemungkinan II:
Importir (pembeli) tidak dapat membayar tepat waktu kepada
bank penerbit (jatuh tempo), maka berubah menjadi pembiayaan
bank.
Kalau dilihat dari kedua kemungkinan penyelesaian
kewajiban dalam L/C tersebut, maka kemungkinan I merupakan
bentuk L/C yang sesungguhnya, yaitu pelayanan jasa. Disini bank
memberikan jasa kepada importir dan akan memperoleh fee dari
jasa yang ditawarkan tersebut. Sedangkan kemungkinan II
merupakan bentuk L/C yang telah berubah menjadi produk
pembiayaan. Disini bank tidak memperoleh fee tapi akan
memperoleh keuntungan dari pembiayaan yang ditawarkan,
yaitu keuntungan dalam jual beli yang dilakukan oleh importir
dan eksportir.
Dari penjelasan tersebut di atas tidak tepat rasanya kalau
L/C impor dan ekspor syariah menggunakan akad mudharabah
dan atau musyarakah (bagi hasil), sebagaimana Fatwa DSN-MUI
yang telah dijelaskan di atas. Karena L/C diterbitkan dalam akad
jual beli antara importir dengan eksportir (antar Negara), dan
juga L/C merupakan produk jasa dalam perbankan, bukan dalam
akad bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) antara importir
dengan eksportir, bukan juga akad bagi hasil antara nasabah
(importir) dengan bank.
Maka dari itu untuk mengurangi resiko masing-masing
pihak, mengingat pembukaan L/C juga terjadi karena adanya jual
beli antar Negara, bukan terjadi karena kesepakatan untuk
berbagi hasil antara importir dan eksportir, maka aplikasi dalam
bank syariah tapatnya hanya ada dua akad yang sesuai dengan
esensi dari Leter of Credit (Surat Kredit Berdokumen), yaitu akad
Wakalah bil Ujrah dan akad Murabahah
E. Kartu Pembayaran (Card)
Syariah Card diperlukan dalam rangka memberikan
kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah dalam
31

melakukan transaksi dan penarikan tunai, Bank Syariah


dipandang perlu menyediakan sejenis kartu kredit yaitu alat
pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan
untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari
suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan
atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban
pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh
penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan
pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang
disepakati secara angsuran. Berikut ketentuan Fatwa DSN yang
berkaitan dengan hal tersebut:
1. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 54/DSN-MUI/V/2006
tentang Syariah Card sebagai berikut:
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti kartu kredit
yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada)
antara para pihak berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
diatur dalam fatwa ini.
b. Para pihak sebagaimana diatur dalam butir a adalah pihak
penerbit kartu (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (hamil
al-bithaqah), dan penerima kartu (merchant, tajir atau qabil
al-bithaqah).
c. Membership
fee
(rusum
al-udhwiyah)
adalah
iuran
kenaggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari
pemegang kartu sebagai imbalan izin menggunakan kartu
yang pembayarannya berdasarkan kesepakatan.
d. Merchant fee adalah fee yang diberikan oleh merchant kepada
penerbit
kartu
sehubungan
dengan
transaksi
yang
menggunakan kartu sebagai upah / imbalan (ujrah samsarah),
pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil aldayn).
e. Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas
untuk penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud).
f. Tawidh adalah ganti rugi terhadap biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan
pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah
jatuh tempo.
g. Denda keterlambatan (late charge) adalah denda akibat
keterlambatan pembayaran yang akan diakui sebagai dana
sosial.
Kedua : Hukum
32

Syariah Card diperbolehkan dengan ketentuan sebagaimana


diatur dalam fatwa ini.
Ketiga : Ketentuan Akad
Akad yang dapat digunakan untuk Syariah Card adalah:
a. Kafalah: dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil)
bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua
kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara
Pemegang Kartu dengan Merchant, dan atau penarikan tunai
dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas
pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah
kafalah).
b. Qardh : dalam hal ini penerbit kartu adalah pemberi pinjaman
(muqridh) kepada pemegang kartu (muqtaridh) melalui
penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit Kartu.
c. Ijarah : dalam hal ini penerbit kartu adalah penyedia jasa
sistem pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang kartu
atas ijarah ini. Pemegang kartu dikenakan membership fee.
Keempat : Ketentuan tentang batasan Syariah Card:
a. Tidak boleh menimbulkan riba.
b. Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau
maksiat.
c. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara
lain dengan cara menetepkan pagu.
d. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial
untuk melunasi pada waktunya.
e. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan
syariah.
Kelima : Ketentuan Fee:
a. Iuran Keanggotaan
Penerbit kartu berhak menerima iuran keanggotaan termasuk
perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai
imbalan izin penggunaan fasilitas kartu.
b. Merchant Fee (Ujrah)
Penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek
transaksi atau pelayanan sebagai upah / imbalan (ujrah
samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn).
c. Fee Penarikan Uang Tunai

33

Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum


sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan
fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
d. Fee Kafalah
Penerbit kartu boleh menerima fee dari pemegang kartu atas
pemberian Kafalah.
e. Semua bentuk fee tersebut diatas harus ditetapkan pada saat
akad aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk
merchant fee.
Keenam: Ketentuan Tawidh dan Denda
a. Tawidh
Penerbit Kartu dapat mengenakan tawidh, yaitu ganti rugi
terhadap biaya biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit
kartuakibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar
kewajibannya yang telah jatuh tempo.
b. Denda Keterlambatan
Penerbit kartu dapat mengenakan denda keterlambatan
pembayaran yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
Dengan demikian pemegang kartu kredit syariah akan
dikenakan annual membership fee atau iuran tahunan atas dasar
akad ijarah dan juga akan dikenakan monthly membership
fee atau iuran bulanan atas dasar akad kafalah. Iuran bulanan ini
nilainya tetap setiap bulan dan nilainya didasarkan atas nilai
plafond kartu kredit syariah nasabah yang bersangkutan. Kalau di
kartu kredit konvensional tidak ada iuran bulanan, Namun
nasabah akan dikenakan bunga atas setiap transaksi yang
dilakukan.
Misalnya nasabah yang plafondnya Rp 10 juta dalam kartu
kredit syariah nasabah tersebut akan dikenakan iuran bulanan Rp
250 ribu. Agar kartu kredit syariah ini tetap menarik dimata
pemegang
kartu
maka
bank
akan
memberikan cash
rebate atau cash reward sesuai dengan pola transaksi yang
dilakukan oleh nasabah. Sehingga jika nasabah menggunakan
kartu kredit syariah untuk pembelanjaan, maka bank akan
memberikan cash rebate atau cash reward atas dasar pola
pembelanjaan dan pembayarannya. Dengan demikian dalam
kartu kredit syariah ini tidak ada instrumen bunga. Kalau dalam
kartu kredit konvensional, nasabah akan langsung dikenakan
bunga yang nilainya 3-4% per bulan atas transaksi yang
dilakukannya.
34

Dalam kartu kredit syariah, nasabah dapat melakukan


penarikan tunai melalui ATM dengan akad qard. Karena tidak
menggunakan instrument bunga, maka nasabah tidak akan
dikenakan bunga, namun dikenakan fee atas pelayanan dan
penggunaan fasilitas ATM yang besarnya fee tidak dikaitkan
dengan jumlah penarikan. Nasabah yang menarik uang di ATM
sebesar Rp 1 juta, fee yang dikenakan dapat sama dengan yang
menarik Rp 500 ribu. Kalau di kartu kredit konvensional, setiap
penarikan di ATM akan dikenakan biaya administrasi dan bunga
sampai dengan 4% yang dihitung secara harian dari jumlah yang
ditarik di ATM.
Perbedaan lain dengan kartu kredit konvensional adalah
perlakukan pengenaan denda bagi nasabah yang mengalami
keterlambatan dalam pembayaran kartu yang jatuh tempo dan
atau pemakaian kartu yang melampaui batas limit. Jika dalam
kartu kredit konvensional denda keterlambatan dapat diakui
seluruhnya sebagai sumber pendapatan bank, bahkan
merupakan sumber pendapatan yang cukup besar, maka dalam
kartu kredit syariah jika nasabah dikenakan denda, maka denda
tersebut tidak boleh diakui sebagai pendapatan bank, namun
harus diberlakukan sebagai dana sosial. Bank hanya boleh
mengakui biaya penagihan (tawidh) yang nilainya sesuai dengan
kerugian riil yang terjadi akibat penagihan yang dilakukan oleh
bank. Misalnya dalam penagihan, bank menghubungi nasabah
melalui telepon atau mendatanginya, maka biaya riil yang akibat
penagihan ini dapat dibebankan kepada nasabah. Teknik dalam
penagihannya pun harus memperhatikan aspek syariah, tidak
boleh sama dengan kartu kredit konvensional.
Jika dalam kartu kredit konvensional tidak ada pembatasan
dalam penggunaannya asal masih dibawah plafond limitnya,
nasabah boleh sesuka hati melakukan pembelanjaan termasuk
belanja barang yang non halal, seperti minuman keras, dsb. Maka
dalam kartu kredit syariah nasabah tidak diperkenankan untuk
melakukan transaksi yang tidak sesuai syariah. Lalu bagaimana
bank bisa mengetahui atau mengontrol bahwa pemegang kartu
benar-benar melakukan transaksi yang tidak bertentangan
dengan syariah, mengingat mesin EDC-nya masih jadi satu
dengan kartu kredit konvensional.
Memang untuk kartu kredit syariah idealnya kita memiliki
global provider syariah serta mempunyai mesin EDC sendiri yang
ditempatkan di merchant-merchant, sehingga penggunaan kartu
35

kredit syariah akan benar-benar syariah. Namun mengingat


investasi yang sangat tinggi maka untuk saat ini aturan ini akan
dituangkan pada saat nasabah mengisi aplikasi kartu kredit
syariah,
dimana
nasabah
membuat
pernyataan
untuk
menggunakan kartu kredit untuk transaksi yang diperbolehkan
secara syariah. Jika nasabah belanja barang yang non halal
menggunakan kartu kredit, maka menjadi tanggungan pihak
nasabah.

BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
Kesimpulan yang kami dapat dari penyusunan makalah ini, kami
mengambil kesimpulan jika dalam Bank Konvensional Fee Based
Income sering diartikan sebagai pendapatan non-bunga oleh khalayak
36

maka dalam perbankan syariah bisa diartikan sebagai pendapatan non


bagi hasil. Sehingga, fee based income merupakan pendapatan yang
diperoleh dari jasa-jasa bank, jumlah pendapatan bergantung pada
jumlah pemanfaatan dari jasa layanan bank oleh nasabah, bukan pada
prinsip bagi hasil.
Jadi, Fee Based Income pada intinya sama halnya seperti bank
konvensioanl yaitu jasa-jasa layanan bank pada umumnya,
namunperbedaan yang terlihat yakni pada akad dan peraturan syariah
yang melekat pada jasa-jasa layanan perbankan syariah.

DAFTAR PUSTAKA
Sofyan S. Harahap, Wiroso, Muhammad Yusuf, Akuntansi
Perbankan Syariah (LPFE: Jakarta, 2010)
Wiroso, SE, MBA., Produk Perbankan Syariah (LPFE: Jakarta,
2011)
37

Nurhayati, Sri , Wasilah. 2009. Akuntansi Syariah di Indonesia.


Jakarta: Salemba Empat
http://depoysweet.blogspot.com/2013/04/pengertian-fee-based
income.html
http://ulfiroyarohmatika.blogspot.com/2013/06/perbankansyariah.html
http://kommoes.wordpress.com/2014/02/28/makalah-pengertiandan jenis-akad-akad-lainnya-by-dwi-cahya-nuranda/

38

You might also like