You are on page 1of 15

ASUHAN KEPERAWATAN DILIRIUM PADA LANSIA

KEPERAWATAN GERONTIK

Di susun Oleh :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Khoirul Anam
Dewi Ainun Rosida
Noor Ani Anakoda
Indriana Narista Nanda
Lusiana Agus Susanti
Mia Dwi Rachmawati

201410300511042
201410300511047
201410300511048
201410300511050
201410300511051
201410300511057

DIPLOMA III KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Setiap gangguan kognitif dapat menyebabkan kebingungan,
misalnya berkurangnya kejelasan dan koherensi fikiran, persepsi,
pengertian, atau tindakan. Bingung merupakan gambaran pertama dari
gangguan kognitif yang diperhatikan oleh anggota keluarga atau
pemeriksa. Keadaan bingung akut adalah sindroma umum yang terdiri
dari gangguan global dari fungsi kognitif yang disertai dengan deficit
perhatian dan kesadaran. Gangguan kognitif biasanya meliputi
orientasi berubah, persepsi abnormal, penalaran yang terganggu dan
ingatan yang lemah. Delirium adalah suatu keadaan mental yang
abnormal yang dicirikan oleh adanya disorientasi, ketakutan iritabilitas,
salah persepsi terhadap stimulasi sensorik dan sering kali disertai dengan
halusinasi visual.
Prevalensi delirium pada awal rawatan rumah sakit berkisar antara
14-24%, dan kejadian delirium yang timbul selama masa rawat di RS
berkisar antara 6-56% di antara populasi umum rumah sakit. Delirium
timbul pada 15-53% pasien geriatri pasca- operasi dan 70-87% pasien
yang dirawat di ruang rawat intensif. Delirium dijumpai pada hingga 60%
pasien rumah-rawat atau kondisi perawatan pasca-akut, dan hingga 83%
pasien pada akhir hidupnya. Walaupun prevalensi delirium secara
keseluruhan pada komunitas hanya berkisar 1-2%, namun prevalensi
meningkat seiring bertambahnya umur, hingga 14% pada pasien berusia
85 tahun atau lebih. Lebih lanjut, pada 10-30% pasien geriatri yang
datang ke departemen gawat darurat, delirium merupakan gejala yang
menggambarkan kondisi membahayakan jiwa.1 Di Indonesia, prevalensi
delirium di ruang rawat akut geriatri RSCM adalah 23% (tahun 2004),
sedangkan insidensnya mencapai 17% pada pasien rawat inap. Sindrom
delirium mempunyai dampak buruk, tidak saja karena meningkatkan
risiko kematian sampai 10 kali lipat, namun juga karena memperpanjang

masa rawat serta meningkatkan kebutuhan perawatan dari petugas


kesehatan dan pelaku rawat.
Tingkah laku yang demikian biasanya menempatkan penderita
disuatu alam yang tak berhubungan dengan lingkunganya, bahkan kadang
pasien sulit mengenali dirinya sendiri. Biasanyadelirium menimbulkan
delusi seperti alam mimpi yang kompleks, sistematis serta berlanjut
sehingga taka da kontak sama sekali dengan lingkunganya serta
secara psikologis tidak mungkin dicapai oleh pemeriksaanya.Penderita
umumnya menjadi talkative, bicaranya keras, offensive, curiga,agitatif.
Keadaan ini timbulnya cepat dan jarang berlangsung lebihh dari 4-7
harinamun salah persepsi dan halusinasinya dapat berlangsung sampai
berminggu-minggu terutama pada penderita alkoholik atau penderita yang
berkaitan dengan penyakit vaskuler kolagen. Keadaan delirium biasanya
tampil pada gangguan toksik dan metabolic susunan saraf seperti
keracunan atropine yang akut, sindroma putusobat, gagal hati akut,
ensefalitis, penyakit vaskuler kolagen.Dalam delirium seseorang individu
mengalami kesulitan dalam menggerakkan,memusatkan, mengalihkan
dan mempertahankan perhatian. Beberapa simtom yang penting untuk
didiagnosis

sebagai

delirium

yaitu

gangguan

perseptual,

pembicaraantidak koheran, insomnia atau mengantuk pada siang hari,


aktivitas psikomotor meningkat atau menurun, dan disorientasi dan
gangguan ingatan ( Sarason &Sarason, 1993)
Delirium merupakan penyakit yang umum dan ditemukan pada
lebih dari 10% pasien berusia 65 tahun yang dirujuk ke rumah sakit.
Delirium dapat terjadi sebagaiakibat kondisi otak yang akut atau kronis.
Ada empat penyebab delirium yaitu penyakit otak, penyakit atau infeksi
dari bagian tubuh lain yang mempengaruhi otak,intoksikasi, putus dari zat
yang menjadi ketergantungan individu. Kejadian deliriumsangat tinggi
pada orang-orang yang sudah tua dan tidak diketahui apa sebabnyamereka
mengalami delirium yang sangat tinggi selain hanya di ketahui
bahwafrekuensi penyakit otak organic dan penyakit sistemik meningkat
pada usia tua
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apa yang dimaksud dengan delirium?

1.2.2. Bagaimana etiologi delirium?


1.2.3. Bagaimana patofisiologi delirium?
1.2.4. Bagaimana manifestasi klinis delirium?
1.2.5. Bagaimana pemeriksaan diagnostic delirium?
1.2.6. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis dari delirium?
1.2.7. Bagaimana asuhan keperawatan pada delirium?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan kepada
pasiendengan delirium.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui dan memahami definisi delirium
b. Mengetahui dan memahami etiologi delirium
c. Mengetahui dan memahami patofisiologi delirium
d. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis delirium
e. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik delirium
f. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dan prognosis
dari delirium
g. Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan
delirium
1.4. Manfaat
a. Mahasiswa mengetahui definisi delirium.
b. Mahasiswa mengetahui etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
pemeriksaandiagnostik, dan penatalaksanaan, serta prognosis dari
delirium
c. Mahasiswa mengetahui dan mampu menerapkan asuhan
keperawatan pada kliendengan delirium.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Delirium adalah gangguan mental serius yang menyebabkan
penderita mengalami kebingungan parah dan berkurangnya kesadaran
terhadap lingkungan sekitar. Pada fase awal, delirium akan berkembang
cukup cepat, dari beberapa jam sampai beberapa hari.
Delirium, suatu kondisi akut penurunan perhatian dan disfungsi
kognitif, merupakan sindrom klinis yang umum, mengancam hidup, dan
dapat dicegah. Umumnya terjadi pada individu berusia 65 tahun atau
lebih.1 Delirium sering disebut keadaan kebingungan akut dimulai
dengan kebingungan dalam berfikir, yang kebingungan tersebut akan
berkembang menjadi disorientasi dan perubahan tingkat kesadaran
samapai aktivitas yang berlebihan . Berfikir menjadi kacau, rentang
perhatian secara nyata memendek, halusinasi, waham, ketakutan, ansietas,
dan paranoia . Pasien ini akan muda terganggu dengan tingkat aktivitas
yang berbeda setiap hari. Keadaan ini merupakan kegawatan medis sebab
dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen.
2.2. Etiologi
Factor predisposisi:
a. Demensia
b. Umur lanjut
c. Kecelakaan otak seperti stroke, penyakit Parkinson
d. Gangguan penglihatan dan pendengaran
e. Ketidak mampuan fungsional
f. Ketergantungan alcohol
g. Isolasi social
h. Depresi
i. Riwayat delirium post-operative sebelumnya
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Penyebabnya bisa
berasal dari penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik, intoksikasi
akut (reaksi putus obat) dan zat toksik. Penyebab delirium terbanyak
terletak diluar sistem saraf pusat,misalnya gagal ginjal dan hati. Secara
lengkap dan lebih terperinci penyebab delirium berasal dari:

Penyebab Intrakranial :
a. Epilepsi dan keadaan paska kejangTrauma otak (terutama gegar
otak)
b. Infeksi
c. Meningitis
d. Ensefalitis NeoplasmaGangguan vaskular
Penyebab Ekstrakranial :
a. Obat-obatan (meggunakan atau putus obat) dan racun
b. Obat antikolinergik
c. Antikonvulsan
d. Obat antihipertensi
e. Obat antiparkinson
f. Obat antipsikosis
g. Glikosida jantung
2.3. Patofisiologi
Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan
mempengaruhi berbagai bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru
menunjukkan defisiensi jalur kolinergik dapat menyebabkan penyebab
delirium. Delirium yang diakibatkan oleh penghentian substansi seperti
alkohol, benzodiazepin, atau nikotin dapat dibedakan dengan delirium
karena penyebab lain. Pada delirium akibat penghentian alkohol terjadi
ketidak seimbangan mekanisme inhibisi dan eksitasi pada sistem
neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara reguler dapat menyebabkan
inhibisi reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi reseptor
GABA-A

(gamma

aminobutyric

acid-A).

Disinhibisi

serebral

berhubungan dengan perubahan neurotransmiter yang memperkuat


transmisi dopaminergik dan noradrenergik, adapun perubahan ini
memberikan manifestasi karakteristik delirium, termasuk aktivasi
simpatis dan kecenderungan kejang epileptik. Pada kondisi lain,
penghentian

benzodiazepin

menyebabkan

delirium

melalui

jalur

penurunan transmisi GABA-ergik dan dapat timbul kejang epileptik.


Delirium yang tidak diakibatkan karena penghentian substansi timbul
melalui berbagai mekanisme, jalur akhir biasanya melibatkan defisit
kolinergik

dikombinasikan

dengan

hiperaktivitas

dopaminergik.

Perubahan transmisi neuronal yang dijumpai pada delirium melibatkan


berbagai mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:
a. Efek Langsung Beberapa substansi memiliki efek langsung pada
sistem neurotransmiter, khususnya agen antikolinergik dan
dopaminergik.

Lebih

lanjut,

gangguan

metabolik

seperti

hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat langsung mengganggu


fungsi neuronal dan mengurangi pembentukan atau pelepasan
neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada wanita dengan
kanker payudara merupakan penyebab utama delirium.
b. Inflamasi Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar
otak, seperti penyakit inflamasi, trauma, atau prosedur bedah.
Pada beberapa kasus, respons inflamasi sistemik menyebabkan
peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi mikroglia
untuk memproduksi reaksi inflamasi pada otak. Sejalan dengan
efeknya yang merusak neuron, sitokin juga mengganggu
pembentukan dan pelepasan neurotransmiter. Proses inflamasi
berperan menyebabkan delirium pada pasien dengan penyakit
utama di otak (terutama penyakit neurodegeneratif).
c. Stres Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk
melepaskan lebih banyak noradrenalin, dan aksis hipotalamus,
pituitari,

adrenokortikal

untuk

melepaskan

lebih

banyak

glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia dan menyebabk


an kerusakan neuron.
2.4. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala utama
a. Kesadaran berkabut
b. Hipersensitivitas terhadap cahaya dan suara
c. Kesulitan mempertahankan atau mengalihkan perhatian
d. Disorientasi
e. Ilusi
f. Halusinasi
g. Perubahan kesadaran yang berfluktuasi
Gejala neurologis
a. Disfasia
b. Disartria
c. Tremor

d. Asteriksis pada ensefalopati hepatikum dan uremiaKelainan


motorik
2.5. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan, meliputi:


a. Anamnesa terutama riwayat medis menyeluruh, termasuk
penggunaan obat-obatan atau medikasi.
b. Pemeriksaan fisik lengkap terutama dilakukan secara rutin pada
pasien yangrawat inap.
c. Pemeriksaan neurologis, termasuk status mental, tes perasaan
(sensasi), berpikir (fungsi kognitif), dan fungsi motorik.
Pemeriksaan status kognitif mencakup:
1) Tingkat kesadaran
2) Kemampuan berbahasa
3) Memori
4) Apraksia
5) Agnosia dan gangguan citra tubuh
Pemeriksaan penunjang berupa:
a. Uji darah
Tujuannya untuk memeriksa adanya gangguan organik,memeriksa
komplikasi fisik akibat gangguan psikiatri untuk menemukan
gangguan metabolik. Uji darah serologis, biokimia,endokrin dan
hematologis yang harus dilakukan termasuk :
1) Pemeriksaan darah lengkap
2) Urea dan elektrolit
3) Uji fungsi tiroid
4) Uji fungsi hati
5) Kadar vitamin B12 dan asam folat
6) Serologi sifilis
b. Uji urin
c. Skrining obat terlarang dalam urine perlu dilaksanakanuntuk
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

memeriksa penyalahgunaan zat psikoaktif yang samar


Elektroensefalogram (EEG)
X-ray dada
CT scan kepala
MRI scan Kepala
Analisis cairan serebrospinal (CSF)
Kadar obat, alkohol (toksikologi)
Uji genetik untuk menyelidiki orang dengan disabilitas belajar

(retardasi mental).
2.6. Penatalaksanaan

Tujuan utama adalah mengobati gangguan dasar yang menyebabkan


delirium. Tujuan pengobatan yang penting lainnya adalah memberikan
bantuan fisik, sensorik, dan lingkungan. Dua gejala utama dari delirium
yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis dan
insomnia. Obat yang terpilih untuk psikosis adalah haloperidol ( Haldol ),
suatu obat antipsikotik golongan butirofenon, dosis awal antara 2- 10 mg
IM, diulang dalam satu jam jika pasien tetap teragitasi, segera setelah
pasien tenang, medikasi oral dalam cairan konsentrat atau bentuk tablet
dapat dimulai, dosisoral kira-kira 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan dosis
parenteral. Dosis harian efektif total haloperidol 5 - 50 mg untuk sebagian
besar pasien delirium. Droperidol (Inapsine) adalah suatu butirofenon
yang tersedia sebagai suatu formula intravena alternatif, monitoring EKG
sangat penting pada pengobatan ini. Insomnia diobati dengan golongan
benzodiazepin dengan waktu paruh pendek, contohnya, hidroksizine
(Vistaril) dosis 25 - 100 mg. Selain itu penatalaksanaan lain dari pasien
dengan delirium yaitu:
a. Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di samping faal
otak dibantuagar tidak terjadi kerusakan otak yang menetap.
b. Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan tekanan
darah), bila perlu diberi stimulansia.
c. Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi
dehidrasi. Hati-hatidengan sedativa dan narkotika (barbiturat,
morfin) sebab kadang-kadang tidak menolong, tetapi dapat
menimbulkan efek paradoksal, yaitu klien tidak menjadi tenang,
tetapi bertambah gelisah.
Penatalaksanaan Klinis
Pertama, kondisi medis diperbaiki seoptimal mungkin. Sampai
kondisi baik, pemantauan harus tetap dilakukan untuk mempertahankan
kesehatan dan keselamatan pasien, termasuk observasi rutin, perawatan
konsisten, menenangkan dengan penjelasan sederhana secara berulang.
Mengurangi ketegangan jiwa diperlukan oleh pasien dengan agitasi tinggi
meskipun pengalaman
cenderung

menunjukkan

mengalami peningkatan

bahwa pada beberapa


agitasi.

Rangsangan

pasien

eksternal

diperkecil. Pasien delirium sangat sensitif terhadap efek samping obat, jadi

pengobatan yang tidak perlu harus dihentikan termasuk golongan hipnotiksedatif (contoh benzodiazepin). Pasien dengan agitasi tinggi ditenangkan
dengan dosis rendah obat antipsikotik potensi tinggi (contoh :haloperidol,
thiothixene). Obat dengan efek anti kolinergik seperti klorpomazine,
tioridazin di hindari karena dapat memperburuk atau memperpanjang
delirium. Kenyataannya, tingkat antikolinergik plasma yang memicu
delirium ditemukan pada pasien-pasien bedah. Bila sedasi diperlukan
gunakan dosis rendah benzodiazepin dengan kerja singkat seperti
oxazepam, lorazepam.
2.7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat muncul pada pasien gangguan kognitif delirium
adalah sebagai berikut:
a. Hilangnya kemampuan untuk berfungsi atau merawat diri
b. Kehilangan kemampuan untuk berinteraksi
c. Perburukan menjadi stupor atau koma
d. Efek samping dari obat yang digunakan untuk mengobati
gangguan
e. Cedera aksidental akibat kesadaran pasien yang berkabut atau
hendayakoordinasi atau karena penggunaan alat pengekang yang
tidak perlu

ASKEP PASIEN DILIRIUM


I.

Pengkajian
1. Identitas
Identitas klien meliputi Nama, umur, jenis kelamin, suku
bangsa/latar belakang kebudayaan, status sipil, pendidikan,
pekerjaan dan alamat.
2. Keluhan utama
Keluhan utama atau sebab utama yang menyebabkan klien datang
berobat (menurut klien dan atau keluarga). Gejala utama adalah
kesadaran menurun.
3. Faktor predisposisi
Menemukan gangguan jiwa yang ada sebagai dasar pembuatan
diagnosis serta menentukan tingkat gangguan serta
menggambarkan struktur kepribadian yang mungkin dapat
menerangkan riwayat dan perkembangan gangguan jiwa yang
terdapat pada pasien. Dari gejala-gejala psikiatrik tidak dapat
diketahui etiologi penyakit badaniah itu, tetapi perlu dilakukan
pemeriksaan intern dan nerologik yang teliti. Gejala tersebut lebih
ditentukan oleh keadaan jiwa premorbidnya, mekanisme
pembelaan psikologiknya, keadaan psikososial, sifat bantuan dari
keluarga, teman dan petugas kesehatan, struktur sosial serta ciriciri kebudayaan sekelilingnya. Gangguan jiwa yang psikotik atau
nonpsikotik yang disebabkan oleh gangguan jaringan fungsi otak.
Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit
badaniah yang terutama mengenai otak (meningoensephalitis,
gangguan pembuluh darah otak, tumor otak dan sebagainya) atau
yang terutama di luar otak atau tengkorak (tifus, endometriasis,
payah jantung, toxemia kehamilan, intoksikasi dan sebagainya).
4. Pemeriksaan fisik
Kesadaran yang menurun dan sesudahnya terdapat amnesia. Tensi

menurun, takikardia, febris, BB menurun karena nafsu makan yang


menurun dan tidak mau makan.
5. Psikososial
a. Genogram Dari hasil penelitian ditemukan kembar monozigot
memberi pengaruh lebih tinggi dari kembar dizigot .
b. Konsep diri
Gambaran diri, tressor yang menyebabkan berubahnya
gambaran diri karena proses patologik penyakit.
Identitas, bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan
individu.
Peran, transisi peran dapat dari sehat ke sakit, tidak sesuaian
antara satu peran dengan peran yang lain dan peran yang ragu
deman individu tidak tahun dengan jelas perannya, serta peran
berlebihan sementara tidak mempunyai kemampuan dan
sumber yang cukup.
Ideal diri, keinginan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan
kemampuan yang ada.
Harga diri, ketidakmampuan dalam mencapai tujuan sehingga
klien merasa harga dirinya rendah karena kegagalannya.
c. Hubungan sosial
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang
disingkirkan atau kesepian, yang selanjutnya tidak dapat diatasi
sehingga timbul akibat berat seperti delusi dan halusinasi.
Konsep diri dibentuk oleh pola hubungan sosial khususnya
dengan orang yang penting dalam kehidupan individu. Jika
hubungan ini tidak sehat maka individu dalam kekosongan
internal. Perkembangan hubungan sosial yang tidak
menyebabkan kegagalan individu untuk belajar
mempertahankan komunikasi dengan orang lain, akibatnya
klien cenderung memisahkan diri dari orang lain dan hanya

terlibat dengan pikirannya sendiri yang tidak memerlukan


kontrol orang lain. Keadaan ini menimbulkan kesepian, isolasi
sosial, hubungan dangkal dan tergantung.
d. Spiritual
Keyakinan klien terhadap agama dan keyakinannya masih kuat.
tetapi tidak atau kurang mampu dalam melaksanakan
ibadahnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
6. Status mental
1. Penampilan klien tidak rapi dan tidak mampu untuk merawat
dirinya sendiri.
2. Pembicaraan keras, cepat dan inkoheren.
3. Aktivitas motorik, Perubahan motorik dapat di manifestasikan
adanya peningkatan kegiatan motorik, gelisah, impulsif,
manerisme, otomatis, steriotipi.
7. Alam perasaan
Klien nampak ketakutan dan putus asa.
8. Emosi.
Interaksi selama wawancara
Sikap klien terhadap pemeriksa kurang kooperatif, kontak mata
kurang.
9. Persepsi
Persepsi melibatkan proses berpikir dan pemahaman emosional
terhadap suatu obyek. Perubahan persepsi dapat terjadi pada satu
atau kebiuh panca indera yaitu penglihatan, pendengaran,
perabaan, penciuman dan pengecapan. Perubahan persepsi dapat
ringan, sedang dan berat atau berkepanjangan. Perubahan persepsi
yang paling sering ditemukan adalah halusinasi.
10. Proses berpikir
Klien yang terganggu pikirannya sukar berperilaku baiki,
tindakannya cenderung berdasarkan penilaian pribadi klien
terhadap realitas yang tidak sesuai dengan penilaian yang umum
diterima.

Penilaian realitas secara pribadi oleh klien merupakan penilaian


subyektif yang dikaitkan dengan orang, benda atau kejadian yang
tidak logis.(Pemikiran autistik). Klien tidak menelaah ulang
kebenaran realitas. Pemikiran autistik dasar perubahan proses pikir
yang dapat dimanifestasikan dengan pemikian primitf, hilangnya
asosiasi, pemikiran magis, delusi (waham), perubahan linguistik
(memperlihatkan gangguan pola pikir abstrak sehingga tampak
klien regresi dan pola pikir yang sempit.
11. Tingkat kesadaran
Kesadran yang menurun, bingung. Disorientasi waktu, tempat dan
orang.
12. Memori
Gangguan daya ingat yang baru saja terjadi ) kejadian pada
beberapa jam atau hari yang lampau) dan yang sudah lama
berselang terjadi (kejadian beberapa tahun yang lalu).
13. Tingkat konsentrasi
Klien tidak mampu berkonsentrasi
14. Kemampuan penilaian
II.

Gangguan ringan dalam penilaian atau keputusan.


DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang kurang, status emosional yang meningkat.
2. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan kemauan yang
menurun.
3. Kurangnya interaksi sosial (isolasi sosial) berhubungan dengan

III.

sistem pendukung yang tidak adekuat.


INTERVENSI
1. Dx pertama
a) Monitor masukan dan jumlah kalori sesuai kebutuhan.
b) Jelaskan pentingnya nutrisi yang cukup bagi kesehatan dan
proses penyembuhan.
c) Sertakan keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari,
seperti makan dan kebutuhan fisiologis lainnya.
2. Dx kedua
a) Dukungan klien untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari
sesuai dengan tingkat kemampuan klien.

b) Dukung kemandirian klien, tetapi beri bantuan klien saat


kurang mampu melakukan beberapa kegiatan.
c) Perlihatkan secara konkrit, bagaimana melakukan kegiatan
yang menurut klien sulit untuk dilakukan.
3. Dx ketiga
a) Ciptakan lingkungan terapuetik :
-bina hubungan saling percaya (menyapa klien dengan rama
memanggil nama klien, jujur, tepat janji, empati dan
menghargai )
- tingkatkan kontak klien dengan lingkungan sosial.
b) Orientasikan klien pada waktu, tempat, dan orang.
c) Perlihatkan penguatan positif pada klien, temani klien untuk
memperlihatkan dukungan selama aktivitas kelompok yang
mungkin merupakan hal yang sukar bagi klien.

You might also like