You are on page 1of 33

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

DENGAN CEDERA KEPALA

I.

Konsep Dasar Cedera Kepala


A. Pengertian dari Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008).
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit
kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak
itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Ayu, 2010).
B. Etiologi dari Cedera Kepala
1.

Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah yang menyebabkan robeknya

otak. Misalnya tertembak peluru atau benda tajam.


Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
3.
Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan
2.

maupun yang bukan pukulan.


a. Kontak benturan. Biasanya terjadi karena suatu benturan atau tertabrak
b.
c.
d.
e.
f.

suatu objek.
Kecelakaan lalu lintas
Jatuh
Kecelakaan kerja
Serangan yang disebabkan karena olahraga
Perkelahian

C. Klasifikasi dari Cedera Kepala


1. Menurut Patologi
a. Cedera Kepala Primer

Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan gangguan


integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel di area tersebut, yang menyebabkan kematian sel.
b. Cedera Kepala Sekunder
Merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut yang
terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan TIK yang tidak terkendali,
meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan biokimia, dan perubahan hemodinamis serebral, iskemia serebral,
hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.
2. Menurut Jenis Cedera
a. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak
dan jaringan otak.
b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan gegar otak ringan
dan cedera serebral yang luas.
3. Menurut Berat Ringannya Berdasarkan GCS (Gasglow Coma Scale)
a. Cedera Kepala Ringan (Kelompok Risiko Rendah)
1. GCS 14-15.
2. Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30
menit.
3. Tidak ada fraktur tengkorak.
4. Tidak ada contusio serebral (hematoma).
5. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang.
6. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
7. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala.
8. Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
b. Cedera Kepala Sedang
1. GCS 9-13.
2. Kehilangan kesadaran lebih dari 30 menit atau kurang dari 24 jam
(konkusi).
3. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
4. Diikuti contusio serebral, laserasi, dan hematoma intrakranial.
5. Amnesia pasca trauma.

6. Muntah.
7. Kejang.
c. Cedera Kepala Berat
1. GCS 3-8.
2. Kehilangan kasadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
(penurunan kesadaran progresif).
3. Diikuti contusio serebral, laserasi, hematoma intrakranial.
4. Tanda neurologist fokal.
5. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur cranium.
4. Menurut Morfologi
a. Fraktur tengkorak

Kranium : linear/stelatum; depresi/non depresi;


terbuka/tertutup.
Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII.

b. Lesi intracranial

Fokal : epidural, subdural, intraserebral.


Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera
aksonal difus.

D. Kerusakan Bagian Otak Tertentu pada Cedera Kepala


Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berpfikir, emosi dan perilaku seseorang). Daerah
tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu,
lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
Berikut kerusakan yang terjadi berdasarkan lobus.
1. Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu).
Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah
tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus
frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang

terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya
tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai, dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas
yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan
perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka
menentang, kasar, dan kejam. Penderita mengabaikan akibat yang terjadi
akibat perilakunya.
2. Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari
bentuk, tekstur, dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
kemampuan matematika dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis
juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan
posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis
menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang
agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah
kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam
mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa
mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik
(misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung
atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan
sehari-hari lainnya.
3. Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi
dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis
sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan


pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus
temporalis sebelah kanan yang non-dominan akan mengalami perubahan
kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak
biasa, obsesif, dan kehilangan gairah seksual.
E. Patofisiologi dari Cedera Kepala (Muttaqin, 2008)
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang
berkaitan dengan suatu trauma yang relatif baru terjadi dan bersifat irreversible
untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi
pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari
lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun
telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab
utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan
pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita
cedera kepala traumatik berat.
Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah
kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala,
derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang
bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer
menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan
serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari
berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang
paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder

disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran
darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan
menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus
frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan
lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan
lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang
berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada
epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala
disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan
hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya
edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang
terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya
hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan
hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui
urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif.
Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan
pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau
sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena
kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada
lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada
lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap
ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan
batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakankerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala
neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula

oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam
yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi
respiratorik.
Cedera kepala yang terjadi waktu benturan, memungkinkan terjadinya
memar pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan
terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang menyebabkan hiperemia. Peningkatan salah satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar
karena tidak ada aliran cairan otak dan sirkulasi dalam otak, sehingga lesi akan
mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus meningkat akibatnya tekanan dalam
ruang kranium juga akan meningkat. Maka terjadilah penurunan aliran darah
dalam otak dan perfusi jaringan yang tidak adekuat, sehingga terjadi masalah
perubahan perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuat dapat menimbulkan
vasodilatasi dan edema otak. Edema akan menekan jaringan saraf sehingga terjadi
peningkatan tekanan intrakranial (Price, 2005). Dampak edema jaringan otak
terhadap sistem tubuh lain, antara lain :
1. Sistem Kardiovaskuler
Trauma kepala bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema
paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T,
P dan disritmia, vibrilisi atrium serta ventrikel takikardia. Akibat adanya
perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, di mana penurunan
tekanan vaskuler pembuluh darah arteriol berkontraksi. Aktivitas miokardium
berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work
di mana pembacaan CVP abnormal. Tidak adanya stimulus endogen saraf
simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa
menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan kerja
atrium kiri, sehingga tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan
tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah
terjadinya edema paru.
2. Sistem Respirasi
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau
hipertensi paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi. Terjadinya
pernafasan chynestoke dihubungkan dengan adanya sensitivitas yang mening-

kat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi


apneu. Konsenterasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah
karena terjadi vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida
akan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi vasokontriksi dan penurunan
CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan karbondioksida bertambah akibat
gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal
tersebut menyebabkan penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan
tingginya TIK.
Edema otak akibat trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio
otak terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang
mengandung protein yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial
otak normal tidak didapatkan. Edema otak terjadi karena penekanan pembuluh
darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak ini dapat menyebabkan kematian
otak (iskemia) dan tingginya TIK yang dapat menyebabkan terjadinya herniasi
dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan pada
medulla oblongata menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan
irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
3. Sistem Genito-Urinaria
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi
natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang
menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil
peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi cairan dan
natrium. Setelah tiga sampai 4 hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang
dan pasca trauma dapat timbul hiponatremia. Untuk itu, selama 3-4 hari tidak
perlu dilakukan pemberian hidrasi. Hal tersebut dapat dilihat dari haluaran
urin. Pemberian cairan harus hati-hati untuk mencegah TIK. Demikian pula
sangatlah penting melakukan pemeriksaan serum elektrolit. Hal ini untuk
mengantisipasi agar tidak terjadi kelainan pada kardiovaskuler.
Peningkatan hilangnya nitrogen adalah signifikan dengan respon
metabolic terhadap trauma, karena dengan adanya trauma tubuh memerlukan
energi untuk menangani perubahan-perubahan seluruh sistem tubuh. Namun
masukan makanan kurang, maka akan terjadi penghancuran protein otot

sebagai sumber nitrogen utama. Hal ini menambah terjadinya asidosis metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa. Dalam hal ini diperlukan
masukan makanan yang disesuaikan dengan perubahan metabolisme yang
terjadi pada trauma. Pemasukan makanan pada trauma kepala harus
mempertimbangkan tingkat kesadaran pasien atau kemampuan melakukan
reflek menelan.
4. Sistem Pencernaan
Setelah trauma kepala terdapat respon tubuh yang merangsang
aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung
untuk terjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk
mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk
menangani edema serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung adalah
terjadinya

peningkatan

ekskresi

asam

lambung

yang

menyebabkan

hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan


pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi
produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera ditangani, akan
menyebabkan perdarahan lambung.
5. Sistem Muskuloskeletal
Akibat utama dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan
tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan
pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control volunter
terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan
sehari hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur.
Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2
kelompok neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada
bagian posterior lobus frontalis yang disebut girus presentral atau strip
motorik. Di sini kedua bagian saraf itu bersinaps dengan kelompok neuronneuron motorik bawah yang berjalan dari batang otak atau medulla spinalis
atau otot-otot tertentu. Masing-masing dari kelompok neuron ini mentransmisikan informasi tertentu pada gerakan. Sehingga pasien akan menunjukan
gejala khusus jika ada salah satu dari jaras neuron ini cedera.
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang
otak, terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter.
Terdapat gangguan tonus otot dan penamilan postur abnormal, yang pada

saatnya dapat membuat komplikasi seperti peningkatan saptisitas dan kontraktur.


F.

Manifestasi Klinis dari Cedera Kepala


1. Cedera Kepala Ringan (CKR)
a. Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian
besar pasien mengalami penyembuhan total dalam jam atau hari.
b. Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya
berkurang dan cemas,kesulitan belajar dan kesulitan bekerja.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan
bahkan koma.
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan (Smeltzer dan Bare, 2002).
3. Cedera Kepala Berat (CKB)
a. Amnesia dan tidak dapat lagi mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

G.

Komplikasi dari Cedera Kepala


1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi
beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala.
Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya
cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera
kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40%
penderita yang memiliki luka tembus di kepala.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat)
biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering
diberikan kepada seseorang yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk
mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut selama
beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.
2. Afasia

Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu
memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan
fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis
di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena
stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek
dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan
biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis.
Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah
menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosis merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan
merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran
atau fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali
wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum
(misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut.
Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan.
Agnosia seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala atau stroke.
Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara
spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama
berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada
otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat
sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi
segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya

berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada


beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak
yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.
6. Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat
timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi perlu dilakukan
untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskuler untuk
mencegah hilangnya penglihatan yang permanent.
7. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan
sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi
volume.
8. Kejang Pasca Trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi
untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan risiko yang meningkat untuk
kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.
9. Edema Serebral dan Herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK. Puncak edema terjadi
72 Jam setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur
merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan di kranium
dikompensasi oleh tertekannya venosus dan cairan otak bergeser. Peningkatan
tekanan terus menerus menyebabkan aliran darah otak menurun dan perfusi
tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial dan menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong
hemusfer otak kebawah/lateral dan menekan di enchephalon dan batang otak,
menekan pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor, jalur saraf
corticospinal, serabut RES. Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan
pengatur akan gagal.
10. Defisit Neurologis dan Psikologis

Tanda awal penurunan fungsi neulorogis, yaitu : perubahan tingkat


kesadaran, nyeri kepala hebat, mual/muntah proyektil (tanda dari peningkatan
TIK).
H.

Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Menggunakan medan magnetik kuat dan frekuensi radio. Bila bercampur
gelombang yang dipancarkan tubuh, akan menghasilkan citra MRI yang dapat
digunakan unutk mendiagnosis tumor, infark atau kelainan lain di pembuluh
darah.
3. Angiografi serebral
Untuk menunjukkan kelainan lain sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan trauma. Digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan kelainan serebral vaskuler.
4. Angiografi Substraksi Digital
Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik komputerisasi untuk memperlihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang
dan jaringan lunak di sekitarnya.
5. ENG (Elektronistagmogram)
Pemeriksaan elektro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.
6. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6
jam dari saat terjadinya trauma.
7. EEG
Memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis yang
berkaitan dengan adanya lesi di kepala.
8. BAEK (Brain Audition Euoked Tomografi)
Untuk menentukan fungsi korteks dan batang otak.
9. Rontgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak.
10. GDA (Gas Darah Arteri)
Untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang meningkatkan TIK.

I.

Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memiliki
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera
kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menetapkan standar yang
disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang, dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara
lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/
environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan.
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematoma
intrakranial > 30 ml, midline shift > 5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur
tengkorak depres dengan kedalaman > 1 cm.
Penatalaksanaan Khusus:
1.

Cedera kepala ringan : Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila
memenuhi kriteria berikut:
a.

Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya


berjalan) dalam batas normal.

b.

Foto servikal jelas normal.

c.

Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama


24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian
gawat darurat jika timbul gejala perburukan.
Kriteria perawatan di rumah sakit:

a.

Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan.

b.

Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun.

c.

Adanya tanda atau gejala neurologia fokal.

d.

Adanya penyakit medis komorbid yang nyata.

e.

Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di


rumah.

2.

Cedera kepala sedang : Pasien yang menderita konkusi otak (komosio


otak), dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun
terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera
kepala sedang adalah minimal.

3.

Cedera kepala berat : Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital,
keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada
indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi.
Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat
intensif.
Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
Umumnya pasien dengan stupor atau koma (tidak dapat mengikuti
perintah karena kesadaran menurun), harus diintubasi untuk proteksi
jalan nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai PCO2 40 mmHg dan PO2 90-100
mmHg.
Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin lift atau
jaw trust.
Monitor tekanan darah
Jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan hemodinamik (hipotensi dan hipertensi), pemantauan paling baik dilakukan dengan kateter
arteri. Karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut,
maka tekanan arteri harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi
(<70 mmHg) dan hipertensi (>130 mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak dan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor
GCS < 8, bila memungkinkan.

Penatalaksanaan cairan
Hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang
diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas
tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W)
dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
Nutrisi
Cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
Temperatur badan
Demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif
dengan asetaminofen atau kompres dingin.
Antikejang
Fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari
intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan
setelah 7-10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil
pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan
risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid
hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut
(deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
Profilaksis trombosis vena dalam
Sepatu bot kompresif pneumatik dipakai pada pasien yang tidak
bergerak untuk mencegah terjadinya trombosis vena dalam pada
ekstrimitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli
paru. Heparin 5.000 unit subkutan setiap 12 jam dapat diberikan 72
jam setelah cedera pada pasien dengan imobilisasi lama, bahkan
dengan adanya perdarahan intrakranial.
Profilaksis ulkus peptic
Pasien dengan ventilasi mekanis atau koaglupati memiliki risiko
ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50
mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau
H2 antagonis lain atau inhibitor proton.

Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi


risiko meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea
cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan
risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
CT Scan lanjutan
Umumnya, scan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam setelah cedera
awal pada pasien dengan perdarahan intrakranial untuk menilai perdarahan yang progresif atau yang timbul belakangan. Namun, biaya
menjadi kendala penghambat.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Cedera Kepala


A. Pengkajian Keperawatan pada Klien dengan Cedera Kepala
1. Anamnesis
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sitem
persyarafan sehubungan dengan cedera kepala bergantung pada bentuk, lokasi,
jenis cedera, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
a.

Keluhan Utama
Sering menjadi alasan klien untuk menerima pertolongan
kesehatan tergantung seberapa jauh dampak dari trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat kece-lakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian, trauma langsung ke kepala. Pengkajian
yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS < 15%),
konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak,
lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret pada saluran pernapasan,

adanya likuor dari hidung dan telinga, serta kejang. Adanya penurunan
atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan di
dalam intracranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi.
Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan
koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien
(bila klien tidak sadar) tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan
penggunaan alcohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka
ngebut-ngebutan.
c.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit
jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator,
obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol berlebihan.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang men-derita
hipertensi dan diabetes melitus.
e.

Pengkajian Psikososiospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien
yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, berasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).

2.

Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-kelu-han
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara
persistem (B1-B4) dengan focus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.

Keadaan Umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala ringan, GCS : 13-15); cedera kepala sedang GCS : 9-12; cedera
kepala berat, bila CGS kurang atau sama dengan 8) dan terjadi perubahan
pada tanda-tanda vital.
a. B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari
perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan
hasil dari pemerikasaan fisik sistem ini akan didapatkan hasil seperti
dibawah ini.
1) Inspeksi didapat klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekwensi
pernapasan. Ekspansi dada : dinilai penuh atau tidak penuh dan
kesimetrisannya. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai:
retraksi dari otot-otot intercostal, subtrernal, pernapasan abdomen,
dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat respirasi). Pola napas
paradoksal dapat terjadi jika otot-otot intercostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
2) Pada palpasi, premitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain
akan didapatkan jika melibatkan trauma pada rongga thorak.
3) Pada perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan
melibatkan trauma pada thorak/hemathoraks.
4) Pada auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas ber-bunyi,
stridor, ronkhi, pada klien dengan peningkatan produksi secret, dan
kemampuan batuk yang menurun sering didapatkan pada klien cedera
kepala dengan penu-runan tingkat kesadaran koma.
5) Pada klien cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi pusat
pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan
biasanya klien dirawat di ruang perawatan intensif sampai kondisi
klien menjadi stabil. Pengkajian klien cedera kepala berat dengan
pemasangan

ventilator

keperawatan kritis.

secara

konprehensif

merupakan

jalur

Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis,


pengkajian pada inspeksi pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi
thoraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan kiri.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatka renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan
berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera kepala pada
beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah,
nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia. Frekwensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi brakikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menunjukan adanya
penurunan kadar hemoglobin dalam darah.
c.

B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
akibat pengaruh peningkatan tekanan intracranial yang disebabkan adanya
perdarahan baik bersifat hematom intraserebral, subdural, dan epidural.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemerik-saan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Pengkajian Tingkat Kesadaran
Tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem pernapasan. Beberapa
sistem digunakan untuk membuat peningkatan perubahan dalam
kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa sam-pai koma.
Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, lobus
frontal, dan hemisfer.
1) Status mental. Observasi penampilan, tingkah laku klien, nilai gaya
bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien cedera
kepala tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.

2) Fungsi intelektual. Pada beberapa keadaan klien cedera kepala


didapatkan penurunan dalam memori, baik jangka pendek maupun
jangka panjang.
3) Lobus frontal. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis di
dapatkan jika trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada
lobus frontal kapasitas memori, atau kerusakan fungsi intelektual
kontikal yang lebih tinggi. Disfungsi ini dapat ditunjukan dalam lapang
perhatian terbatas, kesullitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang
motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi
dalam program rehabilitasi mereka. Masalah psikologis lain juga umum
terjadi dan dimanifestasikan oleh emosi yang labil bermusuhan
frekwensi, dendam, dan kurang kerjasama.
4) Hemisfer. Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemi-parese
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh kee sisi yang
berlawanan tersebut. cedera kepala yang hemisfer kiri, mengalami
hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang
pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan mudah frustasi.
Pengkajian Saraf Kranial
Pengkajian ini meliputi pengkajian saraf kranial I-XII.
a.

Saraf I : Pada beberapa keadaan cedera kepala di area yang merusak


fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada fungsi

b.

penciuman/anasmea unilateral atau bilateral.


Saraf II : Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan
menurunkan lapang pandang dan mengganggu fungsi saraf optikus.
Perdarahan di ruang intrakranial, terutama hemo-ragia sub araknoidal,
dapat disertai perdarahan di retina. Anomali pembuluh darah didalam
otak dapat bermanifestasi juga di fundus. Akan tetapi, dari segala
macam kelainan di dalam ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat

c.

di-cerminkan pada fundus.


Saraf III, IV, dan VI : Gangguan mengangkat kelopak mata terutama
pada klien dengan trauma yang merusak rongga orbita. Pada kasuskasus trauma kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus

dianggap sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada
penyinaran. Tanda dini herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak
bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot okular akal menyusul pada
tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat aniso-skoria, bukan
midriasis, melainkan miosis yang bergande-ngan dengan pupil yang
normal pada sisi lain, maka pupil yang miotik adalah abnoirmal. Miosis
ini disebakan oleh lesi di lobus frontalis ipsilateral yang mengelola
pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal menjadi
d.

tidak aktif, sehingga pupil tidal berdilatasi melain-kan berkonstriksi.


Saraf V : Pada beberapa keadaan cedera kepala menye-babkan paralisis
saraf trigeminus, didapatkan penurunan ke-mampuan koordinasi

e.
f.

gerakan mengunyah.
Saraf VII : Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
Saraf VIII : Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala
ringan biasanya tidak diadapatkan apabila trauma yang terjadi tidak

g.

melibatkan saraf vestibulo koklearis.


Saraf IX dan X : Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan

h.

membuka mulut.
Saraf XI : Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobi-litas klien
cukup baik serta tidak ada atrofi otot sterno-kleidomastoideus dan

i.

trapezius.
Saraf XII : Indera pengecap mengalami perubahan.
Pengkajian Sistem Motorik
Pada inspeksi umum, didapatkan hemiplegia karena lesi pada
sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi

a.
b.

tubuh, adalah tanda lain.


Tonus otot : Didapatkan menurun samapai hilang.
Kekuatan otot : Pada penilaian ini dengan menggunakan tingkat

kekuatan otot didapatkan tingkat 0.


c. Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami gangguan
karena hemiparese dan hemiplegia.
Pengkajian Refleks
Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon normal.

Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis


sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks
fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
Pengkajian Sistem Sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terjadi ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual
karena gangguan jaras sensori primer diantara mata dan korteks visual.
Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau
lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada klien dengan
hemiplegia kiri.
d. B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karak-teristik
urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada
ginjal. Setelah cedera kepala, klien mungkin mengalami inkontinensia
urine karena konfusi, kemampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan sistem perkemihan karena
kerusakan kontrol motorik dan postural.
e.

B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual, dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungakan dengan peningkatan produksi asam lambung sehing-ga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi

konstipasi

akibat

penurunan

peristaltik

usus.

Adanya

inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologi


luas.

f. B6 (Bone)

Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh


ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit : warna kebiruan menunjuk-kan adanya

sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir, dan membran


mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada
klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya
hipoksemia.
3.

Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnistik yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala, meliputi hal-hal di bawah ini :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

CT-scan (dengan tanpa kontraksi)


MRI
Angiografi Serebral
EEG berkala
Foto Rontgen
PET
Pemeriksaan CFS
Kadar elektrolit
Skrining toksitologi
Analisa Gas Darah

B. Diagnosis Keperawatan pada Pasien dengan Cedera Kepala


Menurut Nurarif (2013) dalam Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC, beberapa masalah yang mungkin muncul
pada pasien dengan cedera kepala, yaitu :
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas.
3. Hambatan mobilitas fisik.
4. Nyeri akut.
5. Defisit perawatan diri.
6. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh.
7. Risiko infeksi.
8. Risiko perdarahan
C. Perencanaan Keperawatan
Menurut Nurarif (2013) dalam Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC, beberapa intervensi yang bisa dilakukan
pada pasien dengan cedera kepala, yaitu :
N
o.

Diagnosa
Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil


(NOC)

Intervensi (NIC)

Risiko
ketidakefektif
an perfusi
jaringan
serebral
berhubungan
dengan edema
serebral/peny
umbatan
aliran darah

NOC :
NIC :
- Circulation Status
Intra Cranial Pressure (ICP) Monitoring
- Tissue Prefusion : Cerebral (Monitor Tekanan Intra Kranial)
1. Berikan informasi kepada keluarga.
Kriteria Hasil :
2. Set alarm.
Mendemonstrasikan status
3. Monitor tekanan perfusi serebral.
sirkulasi yang ditandai
4. Catat respon pasien terhadap stimuli.
dengan :
5. Monitor tekanan intrakranial pasien dan
- Tekanan systole dan diastole
respon neurologi terhadap aktivitas.
dalam rentang yang
6. Monitor jumlah drainage cairan serebrospinal.
diharapkan.
7. Monitor intake dan output cairan.
- Tidak ada ortostatik
8. Restrain pasien jika perlu.
hipertensi.
9. Monitor suhu dan angka WBC.
- Tidak ada tanda-tanda
10. Kolaborasi pemberian antibiotik.
peningkatan tekanan
11. Posisikan pasien pada posisi semifowler.
intrakranial (tidak lebih dari 12. Minimalkan stimuli dari lingkungan.
15 mmHg).
Mendemonstrasikan
Peripheral Sensation Management (Manajemen
kemampuan kognitif yang
Sensasi Perifer)
ditandai dengan :
1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya
- Berkomunikasi dengan jelas
peka terhadap panas/dingin/ tajam/tumpul.
dan sesuai dengan
2. Monitor adanya paretese.
kemampuan.
3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi
- Menunjukkan perhatian,
kulit jika ada lesi atau laserasi.
konsentrasi, dan orientasi.
4. Gunakan sarung tangan untuk proteksi.
- Memproses informasi.
5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan
- Membuat keputusan dengan
punggung.
benar.
6. Monitor kemampuan BAB.
Menunjukkan fungsi sensori
7. Kolaborasi pemberian analgetik.
motori cranial yang utuh :
8. Monitor adanya tromboplebitis.
tingkat kesadaran mambaik,
9. Diskusikan mengenai penyebab perubahan
tidak ada gerakan-gerakan
sensasi.
involunter.

Ketidakefektif NOC :
an bersihan
- Respiratory Status :
jalan nafas
Ventilation
- Respiratory Status :
Definisi :
Airway patency
Ketidakmampu - Aspiration Control
an untuk
membersihkan Kriteria Hasil :
sekresi atau
- Mendemonstrasikan batuk
obstruksi dari
efektif dan suara nafas yang
saluran
bersih, tidak ada sianosis dan
pernafasan
dyspneu (mampu
untuk
mengeluarkan sputum,
mempertahank
mampu bernafas dengan

NIC :
Airway Suction
1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning.
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah
suctioning.
3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang
suctioning.
4. Minta klien nafas dalam sebelum suction
dilakukan.
5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk
memfasilitasi suction nasotrakeal.
6. Gunakan alat yang steril setiap melakukan
tindakan.
7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas

an kebersihan
jalan nafas.
Batasan
Karakteristik
:
- Dispneu
- Penurunan
suara nafas
- Orthopneu
- Cyanosis
- Kelainan
suara nafas
(rales,
wheezing)
- Kesulitan
berbicara
- Batuk, tidak
efektif atau
tidak ada
- Mata
melebar
- Produksi
sputum
- Gelisah
- Perubahan
frekuensi
dan irama
nafas
3

Gangguan
Pertukaran gas

mudah, tidak ada pursed


lips).
- Menunjukkan jalan nafas
yang paten (klien tidak
merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam
rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal).
- Mampu mengidentifikasikan
dan mencegah faktor yang
dapat menghambat jalan
nafas.

dalam setelah kateter dikeluarkan dari


nasotrakeal.
8. Monitor status oksigen pasien.
9. Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan
suction.
10. Hentikan suction dan berikan oksigen apabila
pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan
saturasi O2, dll.
Airway Management
1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift
atau jaw thrust bila perlu.
2. Posisikan pasien untuk memaksimal-kan
ventilasi.
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
jalan nafas buatan.
4. Pasang mayo bila perlu.
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu.
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction.
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
tambahan.
8. Lakukan suction pada mayo.
9. Berikan bronkodilator bila perlu.
10. Berikan pelembab udara kassa basah NaCl
lembab.
11. Atur intake untuk cairan mengopti-malkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2.

NOC :
NIC :
Respiratory Status : Gas Airway Management
Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift
exchange
Definisi :
Respiratory
Status
:
atau jaw thrust bila perlu
Kelebihan atau
ventilation
Posisikan pasien untuk memaksimalkan
kekurangan
Vital Sign Status
ventilasi
dalam
Kriteria Hasil :
Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
oksigenasi dan
Mendemonstrasikan
jalan nafas buatan
atau
peningkatan ventilasi dan Pasang mayo bila perlu
pengeluaran
oksigenasi yang adekuat
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
karbondioksida
Memelihara kebersihan Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
di dalam
paru paru dan bebas dari
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
membran
tanda
tanda
distress
tambahan
kapiler alveoli
pernafasan
Lakukan suction pada mayo
Mendemonstrasikan
Batasan
batuk efektif dan suara Berika bronkodilator bial perlu
karakteristik :
nafas yang bersih, tidak Barikan pelembab udara
Gangguan
ada sianosis dan dyspneu Atur intake untuk cairan mengoptimalkan

penglihatan
Penurunan
CO2
Takikardi
Hiperkapnia
Keletihan
somnolen
Iritabilitas
Hypoxia
kebingungan
Dyspnoe
nasal faring
AGD Normal
sianosis
warna kulit
abnormal
(pucat,
kehitaman)
Hipoksemia
hiperkarbia
sakit kepala
ketika bangun
frekuensi dan
kedalaman
nafas abnormal
Defisit
perawatan
diri
Definisi :
Gangguan
kemampuan
untuk
melakukan
ADL pada diri.
Batasan
Karakteristik
:
Ketidakmampu
an untuk
mandi,
ketidakmampu
an untuk
berpakaian,
ketidakmampu
an untuk

(mampu mengeluarkan
keseimbangan.
sputum, mampu bernafas Monitor respirasi dan status O2
dengan mudah, tidak ada
pursed lips)
Respiratory Monitoring
Tanda tanda vital dalam Monitor rata rata, kedalaman, irama dan
rentang normal
usaha respirasi
Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan,
penggunaan otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal
Monitor suara nafas, seperti dengkur
Monitor pola nafas : bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot
Catat lokasi trakea
Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan
paradoksis)
Auskultasi suara nafas, catat area penurunan /
tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
Tentukan
kebutuhan
suction
dengan
mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan
napas utama
auskultasi suara paru setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya

NOC :
- Self care : Activity of Daily
Living (ADLs)
Kriteria Hasil :
- Klien terbebas dari bau
badan.
- Menyatakan kenyamanan
terhadap kemampuan untuk
melakukan ADLs.
- Dapat melakukan ADLS
dengan bantuan.

NIC :
Self Care Assistane : ADLs
1. Monitor kemampuan klien untuk perawatan
diri yang mandiri.
2. Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu
untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias,
toileting dan makan.
3. Sediakan bantuan sampai klien mampu secara
utuh untuk melakukan self-care.
4. Dorong klien untuk melakukan aktivitas
sehari-hari yang normal sesuai kemampuan
yang dimiliki.
5. Dorong untuk melakukan secara mandiri,
tetapi beri bantuan ketika klien tidak mampu
melakukannya.
6. Ajarkan klien/keluarga untuk mendorong
kemandirian, untuk memberikan bantuan
hanya jika pasien tidak mampu untuk
melakukannya.
7. Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai
kemampuan.
8. Pertimbangkan usia klien jika mendorong

makan,
ketidakmampu
an untuk
toileting.
Risiko
NOC :
ketidakseimba - Termoregulation
ngan suhu
tubuh
Kriteria Hasil :
- Suhu kulit normal.
Definisi :
- Suhu badan 36.0-37,0oC.
Risiko
- TTV dalam batas normal.
kegagalan
- Hidrasi adekuat.
mempertahank - Tidak menggigil.
an suhu tubuh - Gula darah DBN.
dalam batas
normal.

Risiko infeksi

NOC :
- Immune Status
Definisi :
- Knowledge : Infection
Peningkatan
Control
risiko
Risk control
masuknya
Kriteria Hasil :
organisme
- Klien bebas dari tanda dan
patogen.
gejala infeksi.
- Mendeskripsikan proses
penularan penyakit, faktor
yang mempengaruhi
penularan serta
penatalaksanaannya.
- Menunjukkan kemampuan
untuk mencegah timbulnya
infeksi.
- Jumlah leukosit dalam batas
normal.
- Menunjukkan perilaku hidup
sehat.

pelaksanaan aktivitas sehari-hari.

NIC :
Temperature Regulation (Pengaturan Suhu)
1.
Monitor suhu minimal tiap 2 jam.
2.
Rencanakan monitoring suhu secara
kontinyu.
3.
Monitor TD, nadi, dan RR.
4.
Monitor warna dan suhu kulit.
5.
Monitor tanda-tanda hipertermi dan
hipotermi.
6.
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi.
7.
Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya
kehangatan tubuh.
8.
Ajarkan pada pasien cara mencegah
keletihan akibat panas.
9.
Diskusikan tentang pentingnya pengaturan
suhu dan kemungkinan efek negatif dari
kedinginan.
10.
Beritahukan tentang indikasi terjadinya
keletihan dan penanganan emergency yang
diperlukan.
11.
Ajarkan indikasi dari hipotermi dan
penanganan yang diperlukan.
12.
Berikan anti piretik jika perlu.
NIC :
Infection Control (Kontrol Infeksi)
1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien
lain.
2. Pertahankan teknik isolasi.
3. Batasi pengunjung bila perlu.
4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
tangan saat berkunjung dan setelah
berkunjung meninggalkan pasien.
5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci
tangan.
6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
tindakan kperawatan.
7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
pelindung.
8. Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat.
9. Ganti letak IV perifer dan line central dan
dressing sesuai dengan petunjuk umum.
10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing.

11. Tingktkan intake nutrisi.


12. Berikan terapi antibiotik bila perlu.

Risiko
perdarahan
Definisi :
Risiko
menurunnya
volume darah
yang mungkin
mempengaruhi
status kesehata
n.
Faktor Risiko
:
- Aneurisma
- Sirkumsisi
- Kurang
pengetahuan
- Koagulopati
intravascular

NOC :
Blood Lose Severity
Blood Coagulation
Kriteria Hasil :
1. Tidak ada hematuria dan
hematemesis, kehilangan
darah yang terlihat.
2. Tekanan darah sistole dan
diastole dalam batas
normal.
3. Tidak ada perdarahan
pervagina.
4. Tidak ada distensi
abdominal.
5. Hemoglobin dan
hematokrit dalam batas
normal.
6. Plasma, PT, PTT dalam
batas normal.

Infection Protection (Proteksi terhadap Infeksi)


1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
lokal.
2. Monitor hitung granulosit, WBC.
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi.
4. Batasi pengunjung.
5. Saring pengunjung terhadap penyakit
menular.
6. Partahankan teknik aspesis pada pasien yang
berisiko.
7. Pertahankan teknik isolasi k/p.
8. Berikan perawatan kuliat pada area epidema.
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase.
10. Inspeksi kondisi luka/insisi bedah.
11. Dorong masukkan nutrisi yang cukup.
12. Dorong masukan cairan.
13. Dorong istirahat.
14. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik
sesuai resep.
15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi.
16. Ajarkan cara menghindari infeksi.
17. Laporkan kecurigaan infeksi.
18. Laporkan kultur positif.
NIC :
Bleeding Precautions
1. Monitor ketat tanda-tanda perdarahan.
2. Catat nilai Hb dan HT sebelum dan sesudah
terjadinya perdarahan.
3. Monitor nilai lab (koagulasi) yang meliputi
PT, PTT, trombosit.
4. Monitor TTV ortostatik.
5. Pertahankan bed rest selama perdarahan aktif.
6. Kolaborasi dalam pemberian produk darah
(platelet atau fresh frozen plasma).
7. Lindungi pasien dari trauma yang dapat
menyebabkan perdarahan.
8. Hindari mengukur suhu lewat rectal.
9. Hindari pemberian aspirin dan anticoagulant.
10. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake
makanan yang banyak mengandung vitamin
K.
11. Hindari terjadinya konstipasi dengan
menganjurkan untuk mempertahankan intake

- Riwayat
jatuh
- Gangguan
gastrointesti
nal (contoh:
penyakit
gastric ulcer,
polip,
varises)
- Gangguan
fungsi hati
(contoh:
sirosis dan
depatitis)
- Koagulopati
yang
melekat
(contoh:
trombositop
enia)
- Komplikasi
postpartum
(contoh:
atoni
postpartum,
plasenta
yang
tertahan)
- Komplikasi
kehamilan
(contoh:
plasenta
previa,
kehamilan
mola, ruptur
plasenta)
- Trauma
- Efek
samping
pengobatan
(pembedaha
n,
pengobatan,
pemberian
platelet
karena
kekurangan
produksi

cairan yang adekuat dan pelembut feses.


Bleeding Reduction
1. Identifikasi penyebab perdarahan.
2. Monitor trend tekanan darah dan parameter
hemodinamik (CVP, pulmonary
capillary/artery wedge pressure)..
3. Monitor status cairan yang meliputi intake dan
output.
4. Monitor penentu pengiriman oksigen ke
jaringan (PaO2, SaO2 dan level Hb dan cardiac
output).
5. Pertahankan patensi IV line.
Bleeding Reduction : Wound
1. Lakukan manual pressure (tekanan) pada area
perdarahan.
2. Gunakan ice pack pada area perdarahan.
3. Lakukan pressure dressing (perban yang
menekan) pada area luka.
4. Tinggikan ekstremitas yang perdarahan.
5. Monitor ukuran dan karakteristik hematoma.
6. Monitor nadi distal dari area yang luka atau
perdarahan.
7. Instruksikan pasien untuk menekan area luka
pada saat bersin atau batuk.
8. Instruksikan pasien untuk membatasi
aktivitas.
Bleeding Reduction : Gastrointestinal
1. Observasi adanya darah dalam sekresi cairan
tubuh: emesis, feces, urine, residu lambung,
dan drainase luka.
2. Monitor complete blood count dan leukosit.
3. Kolaborasi dalam pemberian terapi: lactulose
atau vasopressin.
4. Lakukan pemasangan NGT untuk memonitor
sekresi dan perdarahan lambung.
5. Lakukan bilas lambung dengan NaCl dingin.
6. Dokumentasikan warna, jumlah dan
karakteristik feses.
7. Hindari pH lambung yang ekstrem dengan
kolaborasi pemberian antacids atau histamine
blocking agent.
8. Kurangi faktor stres.
9. Pertahankan jalan napas.
10. Hindari penggunaan anticoagulant.
11. Monitor status nutrisi pasien.

darah,
kemoterapi)

12. Berikan cairan intra vena.


13. Hindari penggunaan aspirin dan ibuprofen.

DAFTAR PUSTAKA

Morton, Gallo, Hudak. 2012. Keperawatan Klinis Volume 1 & 2 Edisi 8. Jakarta :
EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Nurarif & Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action Publishing.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Volume 3. Jakarta : EGC.

Denpasar, 2 Desember 2016


Mengetahui
Pembimbing Praktik

_______________________________
NIP.

Mahasiswa

Putu Santika Dewi


NIM. P07120213027

Mengetahui
Pembimbing Akademik

NIP.

You might also like