Professional Documents
Culture Documents
I.
Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah yang menyebabkan robeknya
suatu objek.
Kecelakaan lalu lintas
Jatuh
Kecelakaan kerja
Serangan yang disebabkan karena olahraga
Perkelahian
6. Muntah.
7. Kejang.
c. Cedera Kepala Berat
1. GCS 3-8.
2. Kehilangan kasadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
(penurunan kesadaran progresif).
3. Diikuti contusio serebral, laserasi, hematoma intrakranial.
4. Tanda neurologist fokal.
5. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur cranium.
4. Menurut Morfologi
a. Fraktur tengkorak
b. Lesi intracranial
terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya
tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai, dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas
yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan
perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka
menentang, kasar, dan kejam. Penderita mengabaikan akibat yang terjadi
akibat perilakunya.
2. Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari
bentuk, tekstur, dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
kemampuan matematika dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis
juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan
posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis
menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang
agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah
kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam
mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa
mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik
(misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung
atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan
sehari-hari lainnya.
3. Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi
dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis
sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.
disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran
darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan
menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus
frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan
lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan
lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang
berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada
epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala
disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan
hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya
edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang
terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya
hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan
hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui
urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif.
Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan
pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau
sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena
kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada
lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada
lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap
ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan
batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakankerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala
neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula
oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam
yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi
respiratorik.
Cedera kepala yang terjadi waktu benturan, memungkinkan terjadinya
memar pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan
terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang menyebabkan hiperemia. Peningkatan salah satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar
karena tidak ada aliran cairan otak dan sirkulasi dalam otak, sehingga lesi akan
mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus meningkat akibatnya tekanan dalam
ruang kranium juga akan meningkat. Maka terjadilah penurunan aliran darah
dalam otak dan perfusi jaringan yang tidak adekuat, sehingga terjadi masalah
perubahan perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuat dapat menimbulkan
vasodilatasi dan edema otak. Edema akan menekan jaringan saraf sehingga terjadi
peningkatan tekanan intrakranial (Price, 2005). Dampak edema jaringan otak
terhadap sistem tubuh lain, antara lain :
1. Sistem Kardiovaskuler
Trauma kepala bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema
paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T,
P dan disritmia, vibrilisi atrium serta ventrikel takikardia. Akibat adanya
perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, di mana penurunan
tekanan vaskuler pembuluh darah arteriol berkontraksi. Aktivitas miokardium
berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work
di mana pembacaan CVP abnormal. Tidak adanya stimulus endogen saraf
simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa
menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan kerja
atrium kiri, sehingga tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan
tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah
terjadinya edema paru.
2. Sistem Respirasi
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau
hipertensi paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi. Terjadinya
pernafasan chynestoke dihubungkan dengan adanya sensitivitas yang mening-
sebagai sumber nitrogen utama. Hal ini menambah terjadinya asidosis metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa. Dalam hal ini diperlukan
masukan makanan yang disesuaikan dengan perubahan metabolisme yang
terjadi pada trauma. Pemasukan makanan pada trauma kepala harus
mempertimbangkan tingkat kesadaran pasien atau kemampuan melakukan
reflek menelan.
4. Sistem Pencernaan
Setelah trauma kepala terdapat respon tubuh yang merangsang
aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung
untuk terjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk
mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk
menangani edema serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung adalah
terjadinya
peningkatan
ekskresi
asam
lambung
yang
menyebabkan
G.
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu
memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan
fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis
di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena
stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek
dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan
biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis.
Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah
menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosis merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan
merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran
atau fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali
wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum
(misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut.
Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan.
Agnosia seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala atau stroke.
Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara
spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama
berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada
otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat
sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi
segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya
Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Menggunakan medan magnetik kuat dan frekuensi radio. Bila bercampur
gelombang yang dipancarkan tubuh, akan menghasilkan citra MRI yang dapat
digunakan unutk mendiagnosis tumor, infark atau kelainan lain di pembuluh
darah.
3. Angiografi serebral
Untuk menunjukkan kelainan lain sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan trauma. Digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan kelainan serebral vaskuler.
4. Angiografi Substraksi Digital
Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik komputerisasi untuk memperlihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang
dan jaringan lunak di sekitarnya.
5. ENG (Elektronistagmogram)
Pemeriksaan elektro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.
6. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6
jam dari saat terjadinya trauma.
7. EEG
Memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis yang
berkaitan dengan adanya lesi di kepala.
8. BAEK (Brain Audition Euoked Tomografi)
Untuk menentukan fungsi korteks dan batang otak.
9. Rontgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak.
10. GDA (Gas Darah Arteri)
Untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang meningkatkan TIK.
I.
Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memiliki
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera
kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menetapkan standar yang
disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang, dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara
lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/
environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan.
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematoma
intrakranial > 30 ml, midline shift > 5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur
tengkorak depres dengan kedalaman > 1 cm.
Penatalaksanaan Khusus:
1.
Cedera kepala ringan : Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila
memenuhi kriteria berikut:
a.
b.
c.
a.
b.
c.
d.
e.
2.
3.
Cedera kepala berat : Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital,
keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada
indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi.
Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat
intensif.
Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
Umumnya pasien dengan stupor atau koma (tidak dapat mengikuti
perintah karena kesadaran menurun), harus diintubasi untuk proteksi
jalan nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai PCO2 40 mmHg dan PO2 90-100
mmHg.
Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin lift atau
jaw trust.
Monitor tekanan darah
Jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan hemodinamik (hipotensi dan hipertensi), pemantauan paling baik dilakukan dengan kateter
arteri. Karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut,
maka tekanan arteri harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi
(<70 mmHg) dan hipertensi (>130 mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak dan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor
GCS < 8, bila memungkinkan.
Penatalaksanaan cairan
Hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang
diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas
tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W)
dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
Nutrisi
Cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
Temperatur badan
Demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif
dengan asetaminofen atau kompres dingin.
Antikejang
Fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari
intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan
setelah 7-10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil
pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan
risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid
hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut
(deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
Profilaksis trombosis vena dalam
Sepatu bot kompresif pneumatik dipakai pada pasien yang tidak
bergerak untuk mencegah terjadinya trombosis vena dalam pada
ekstrimitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli
paru. Heparin 5.000 unit subkutan setiap 12 jam dapat diberikan 72
jam setelah cedera pada pasien dengan imobilisasi lama, bahkan
dengan adanya perdarahan intrakranial.
Profilaksis ulkus peptic
Pasien dengan ventilasi mekanis atau koaglupati memiliki risiko
ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50
mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau
H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
Keluhan Utama
Sering menjadi alasan klien untuk menerima pertolongan
kesehatan tergantung seberapa jauh dampak dari trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran.
adanya likuor dari hidung dan telinga, serta kejang. Adanya penurunan
atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan di
dalam intracranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi.
Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan
koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien
(bila klien tidak sadar) tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan
penggunaan alcohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka
ngebut-ngebutan.
c.
Pengkajian Psikososiospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien
yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, berasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
2.
Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-kelu-han
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara
persistem (B1-B4) dengan focus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Keadaan Umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala ringan, GCS : 13-15); cedera kepala sedang GCS : 9-12; cedera
kepala berat, bila CGS kurang atau sama dengan 8) dan terjadi perubahan
pada tanda-tanda vital.
a. B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari
perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan
hasil dari pemerikasaan fisik sistem ini akan didapatkan hasil seperti
dibawah ini.
1) Inspeksi didapat klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekwensi
pernapasan. Ekspansi dada : dinilai penuh atau tidak penuh dan
kesimetrisannya. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai:
retraksi dari otot-otot intercostal, subtrernal, pernapasan abdomen,
dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat respirasi). Pola napas
paradoksal dapat terjadi jika otot-otot intercostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
2) Pada palpasi, premitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain
akan didapatkan jika melibatkan trauma pada rongga thorak.
3) Pada perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan
melibatkan trauma pada thorak/hemathoraks.
4) Pada auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas ber-bunyi,
stridor, ronkhi, pada klien dengan peningkatan produksi secret, dan
kemampuan batuk yang menurun sering didapatkan pada klien cedera
kepala dengan penu-runan tingkat kesadaran koma.
5) Pada klien cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi pusat
pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan
biasanya klien dirawat di ruang perawatan intensif sampai kondisi
klien menjadi stabil. Pengkajian klien cedera kepala berat dengan
pemasangan
ventilator
keperawatan kritis.
secara
konprehensif
merupakan
jalur
B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
akibat pengaruh peningkatan tekanan intracranial yang disebabkan adanya
perdarahan baik bersifat hematom intraserebral, subdural, dan epidural.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemerik-saan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Pengkajian Tingkat Kesadaran
Tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem pernapasan. Beberapa
sistem digunakan untuk membuat peningkatan perubahan dalam
kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa sam-pai koma.
Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, lobus
frontal, dan hemisfer.
1) Status mental. Observasi penampilan, tingkah laku klien, nilai gaya
bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien cedera
kepala tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
b.
c.
dianggap sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada
penyinaran. Tanda dini herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak
bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot okular akal menyusul pada
tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat aniso-skoria, bukan
midriasis, melainkan miosis yang bergande-ngan dengan pupil yang
normal pada sisi lain, maka pupil yang miotik adalah abnoirmal. Miosis
ini disebakan oleh lesi di lobus frontalis ipsilateral yang mengelola
pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal menjadi
d.
e.
f.
gerakan mengunyah.
Saraf VII : Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
Saraf VIII : Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala
ringan biasanya tidak diadapatkan apabila trauma yang terjadi tidak
g.
h.
membuka mulut.
Saraf XI : Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobi-litas klien
cukup baik serta tidak ada atrofi otot sterno-kleidomastoideus dan
i.
trapezius.
Saraf XII : Indera pengecap mengalami perubahan.
Pengkajian Sistem Motorik
Pada inspeksi umum, didapatkan hemiplegia karena lesi pada
sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi
a.
b.
B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual, dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungakan dengan peningkatan produksi asam lambung sehing-ga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi
konstipasi
akibat
penurunan
peristaltik
usus.
Adanya
f. B6 (Bone)
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnistik yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala, meliputi hal-hal di bawah ini :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Diagnosa
Keperawatan
Intervensi (NIC)
Risiko
ketidakefektif
an perfusi
jaringan
serebral
berhubungan
dengan edema
serebral/peny
umbatan
aliran darah
NOC :
NIC :
- Circulation Status
Intra Cranial Pressure (ICP) Monitoring
- Tissue Prefusion : Cerebral (Monitor Tekanan Intra Kranial)
1. Berikan informasi kepada keluarga.
Kriteria Hasil :
2. Set alarm.
Mendemonstrasikan status
3. Monitor tekanan perfusi serebral.
sirkulasi yang ditandai
4. Catat respon pasien terhadap stimuli.
dengan :
5. Monitor tekanan intrakranial pasien dan
- Tekanan systole dan diastole
respon neurologi terhadap aktivitas.
dalam rentang yang
6. Monitor jumlah drainage cairan serebrospinal.
diharapkan.
7. Monitor intake dan output cairan.
- Tidak ada ortostatik
8. Restrain pasien jika perlu.
hipertensi.
9. Monitor suhu dan angka WBC.
- Tidak ada tanda-tanda
10. Kolaborasi pemberian antibiotik.
peningkatan tekanan
11. Posisikan pasien pada posisi semifowler.
intrakranial (tidak lebih dari 12. Minimalkan stimuli dari lingkungan.
15 mmHg).
Mendemonstrasikan
Peripheral Sensation Management (Manajemen
kemampuan kognitif yang
Sensasi Perifer)
ditandai dengan :
1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya
- Berkomunikasi dengan jelas
peka terhadap panas/dingin/ tajam/tumpul.
dan sesuai dengan
2. Monitor adanya paretese.
kemampuan.
3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi
- Menunjukkan perhatian,
kulit jika ada lesi atau laserasi.
konsentrasi, dan orientasi.
4. Gunakan sarung tangan untuk proteksi.
- Memproses informasi.
5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan
- Membuat keputusan dengan
punggung.
benar.
6. Monitor kemampuan BAB.
Menunjukkan fungsi sensori
7. Kolaborasi pemberian analgetik.
motori cranial yang utuh :
8. Monitor adanya tromboplebitis.
tingkat kesadaran mambaik,
9. Diskusikan mengenai penyebab perubahan
tidak ada gerakan-gerakan
sensasi.
involunter.
Ketidakefektif NOC :
an bersihan
- Respiratory Status :
jalan nafas
Ventilation
- Respiratory Status :
Definisi :
Airway patency
Ketidakmampu - Aspiration Control
an untuk
membersihkan Kriteria Hasil :
sekresi atau
- Mendemonstrasikan batuk
obstruksi dari
efektif dan suara nafas yang
saluran
bersih, tidak ada sianosis dan
pernafasan
dyspneu (mampu
untuk
mengeluarkan sputum,
mempertahank
mampu bernafas dengan
NIC :
Airway Suction
1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning.
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah
suctioning.
3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang
suctioning.
4. Minta klien nafas dalam sebelum suction
dilakukan.
5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk
memfasilitasi suction nasotrakeal.
6. Gunakan alat yang steril setiap melakukan
tindakan.
7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas
an kebersihan
jalan nafas.
Batasan
Karakteristik
:
- Dispneu
- Penurunan
suara nafas
- Orthopneu
- Cyanosis
- Kelainan
suara nafas
(rales,
wheezing)
- Kesulitan
berbicara
- Batuk, tidak
efektif atau
tidak ada
- Mata
melebar
- Produksi
sputum
- Gelisah
- Perubahan
frekuensi
dan irama
nafas
3
Gangguan
Pertukaran gas
NOC :
NIC :
Respiratory Status : Gas Airway Management
Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift
exchange
Definisi :
Respiratory
Status
:
atau jaw thrust bila perlu
Kelebihan atau
ventilation
Posisikan pasien untuk memaksimalkan
kekurangan
Vital Sign Status
ventilasi
dalam
Kriteria Hasil :
Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
oksigenasi dan
Mendemonstrasikan
jalan nafas buatan
atau
peningkatan ventilasi dan Pasang mayo bila perlu
pengeluaran
oksigenasi yang adekuat
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
karbondioksida
Memelihara kebersihan Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
di dalam
paru paru dan bebas dari
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
membran
tanda
tanda
distress
tambahan
kapiler alveoli
pernafasan
Lakukan suction pada mayo
Mendemonstrasikan
Batasan
batuk efektif dan suara Berika bronkodilator bial perlu
karakteristik :
nafas yang bersih, tidak Barikan pelembab udara
Gangguan
ada sianosis dan dyspneu Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
penglihatan
Penurunan
CO2
Takikardi
Hiperkapnia
Keletihan
somnolen
Iritabilitas
Hypoxia
kebingungan
Dyspnoe
nasal faring
AGD Normal
sianosis
warna kulit
abnormal
(pucat,
kehitaman)
Hipoksemia
hiperkarbia
sakit kepala
ketika bangun
frekuensi dan
kedalaman
nafas abnormal
Defisit
perawatan
diri
Definisi :
Gangguan
kemampuan
untuk
melakukan
ADL pada diri.
Batasan
Karakteristik
:
Ketidakmampu
an untuk
mandi,
ketidakmampu
an untuk
berpakaian,
ketidakmampu
an untuk
(mampu mengeluarkan
keseimbangan.
sputum, mampu bernafas Monitor respirasi dan status O2
dengan mudah, tidak ada
pursed lips)
Respiratory Monitoring
Tanda tanda vital dalam Monitor rata rata, kedalaman, irama dan
rentang normal
usaha respirasi
Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan,
penggunaan otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal
Monitor suara nafas, seperti dengkur
Monitor pola nafas : bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot
Catat lokasi trakea
Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan
paradoksis)
Auskultasi suara nafas, catat area penurunan /
tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
Tentukan
kebutuhan
suction
dengan
mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan
napas utama
auskultasi suara paru setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya
NOC :
- Self care : Activity of Daily
Living (ADLs)
Kriteria Hasil :
- Klien terbebas dari bau
badan.
- Menyatakan kenyamanan
terhadap kemampuan untuk
melakukan ADLs.
- Dapat melakukan ADLS
dengan bantuan.
NIC :
Self Care Assistane : ADLs
1. Monitor kemampuan klien untuk perawatan
diri yang mandiri.
2. Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu
untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias,
toileting dan makan.
3. Sediakan bantuan sampai klien mampu secara
utuh untuk melakukan self-care.
4. Dorong klien untuk melakukan aktivitas
sehari-hari yang normal sesuai kemampuan
yang dimiliki.
5. Dorong untuk melakukan secara mandiri,
tetapi beri bantuan ketika klien tidak mampu
melakukannya.
6. Ajarkan klien/keluarga untuk mendorong
kemandirian, untuk memberikan bantuan
hanya jika pasien tidak mampu untuk
melakukannya.
7. Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai
kemampuan.
8. Pertimbangkan usia klien jika mendorong
makan,
ketidakmampu
an untuk
toileting.
Risiko
NOC :
ketidakseimba - Termoregulation
ngan suhu
tubuh
Kriteria Hasil :
- Suhu kulit normal.
Definisi :
- Suhu badan 36.0-37,0oC.
Risiko
- TTV dalam batas normal.
kegagalan
- Hidrasi adekuat.
mempertahank - Tidak menggigil.
an suhu tubuh - Gula darah DBN.
dalam batas
normal.
Risiko infeksi
NOC :
- Immune Status
Definisi :
- Knowledge : Infection
Peningkatan
Control
risiko
Risk control
masuknya
Kriteria Hasil :
organisme
- Klien bebas dari tanda dan
patogen.
gejala infeksi.
- Mendeskripsikan proses
penularan penyakit, faktor
yang mempengaruhi
penularan serta
penatalaksanaannya.
- Menunjukkan kemampuan
untuk mencegah timbulnya
infeksi.
- Jumlah leukosit dalam batas
normal.
- Menunjukkan perilaku hidup
sehat.
NIC :
Temperature Regulation (Pengaturan Suhu)
1.
Monitor suhu minimal tiap 2 jam.
2.
Rencanakan monitoring suhu secara
kontinyu.
3.
Monitor TD, nadi, dan RR.
4.
Monitor warna dan suhu kulit.
5.
Monitor tanda-tanda hipertermi dan
hipotermi.
6.
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi.
7.
Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya
kehangatan tubuh.
8.
Ajarkan pada pasien cara mencegah
keletihan akibat panas.
9.
Diskusikan tentang pentingnya pengaturan
suhu dan kemungkinan efek negatif dari
kedinginan.
10.
Beritahukan tentang indikasi terjadinya
keletihan dan penanganan emergency yang
diperlukan.
11.
Ajarkan indikasi dari hipotermi dan
penanganan yang diperlukan.
12.
Berikan anti piretik jika perlu.
NIC :
Infection Control (Kontrol Infeksi)
1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien
lain.
2. Pertahankan teknik isolasi.
3. Batasi pengunjung bila perlu.
4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
tangan saat berkunjung dan setelah
berkunjung meninggalkan pasien.
5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci
tangan.
6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
tindakan kperawatan.
7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
pelindung.
8. Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat.
9. Ganti letak IV perifer dan line central dan
dressing sesuai dengan petunjuk umum.
10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing.
Risiko
perdarahan
Definisi :
Risiko
menurunnya
volume darah
yang mungkin
mempengaruhi
status kesehata
n.
Faktor Risiko
:
- Aneurisma
- Sirkumsisi
- Kurang
pengetahuan
- Koagulopati
intravascular
NOC :
Blood Lose Severity
Blood Coagulation
Kriteria Hasil :
1. Tidak ada hematuria dan
hematemesis, kehilangan
darah yang terlihat.
2. Tekanan darah sistole dan
diastole dalam batas
normal.
3. Tidak ada perdarahan
pervagina.
4. Tidak ada distensi
abdominal.
5. Hemoglobin dan
hematokrit dalam batas
normal.
6. Plasma, PT, PTT dalam
batas normal.
- Riwayat
jatuh
- Gangguan
gastrointesti
nal (contoh:
penyakit
gastric ulcer,
polip,
varises)
- Gangguan
fungsi hati
(contoh:
sirosis dan
depatitis)
- Koagulopati
yang
melekat
(contoh:
trombositop
enia)
- Komplikasi
postpartum
(contoh:
atoni
postpartum,
plasenta
yang
tertahan)
- Komplikasi
kehamilan
(contoh:
plasenta
previa,
kehamilan
mola, ruptur
plasenta)
- Trauma
- Efek
samping
pengobatan
(pembedaha
n,
pengobatan,
pemberian
platelet
karena
kekurangan
produksi
darah,
kemoterapi)
DAFTAR PUSTAKA
Morton, Gallo, Hudak. 2012. Keperawatan Klinis Volume 1 & 2 Edisi 8. Jakarta :
EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Nurarif & Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action Publishing.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Volume 3. Jakarta : EGC.
_______________________________
NIP.
Mahasiswa
Mengetahui
Pembimbing Akademik
NIP.