You are on page 1of 3

Ia yang merindukan kesetaraan

Oleh : Rizky Ulfaidah

Kesetaraan meliliki makna liniear dengan kesamaan, dalam hal ini Kesetaraan gender, emansipasi dan
feminisme merupakan satu kesatuan yang mempunyai tujuan penyamaan hak-hak antara perempuan dan
laki-laki, penyamarataan disini mencakup segala bidang , baik dalam bidang politik, ekonomi,
pendidikan, maupun agama dengan tidak menghilangkan kodrat masing-masing, tujuan utama
penyetaraan gender ini agar tidak adanya diskriminasi dan intimidasi kaum laki-laki maupun perempuan.
Berbicara emansipasi, tak jauh jauh ingatan kita langsung tertuju pada perempuan jepara Raden Ajeng
Kartini, sekitar abad -18 Indonesia pada masa itu masih kental dengan budaya dan adat jawanya, bahwa
perempuan pada masa itu dikungkung, dikurung di dalam kandang keluarganya.
anak anak gadis setiap hari pergi meninggalkan rumah untuk belajar disekolah sudah merupakan
pelanggaran besar terhadap adat istiadat negeri kami. Untuk diketahui, adat di negeri kami melarang
keras para anak gadis pergi ke luar rumah apalagi sampai pergi ke tempat lain, tidak boleh ( Habis
gelap terbitlah terang , hal 9 surat kepada Nona E.H. Zeehandelaar- Jepara, 25 Mei 1899). Sungguh
perlakuan yang tidak mencerminkan adanya keadilan, perempuan termarginalkan, pendidikan hanya
diperuntunkan kepada kaum laki-laki, sedang kaum perempuan hanya diibaratkan sebatas boneka
bernyawa. Dengan cita-citanya yang luhur dan semangat juang yang tinggi R.A Kartini ingin
menghilangkan budaya dan adat jawa yang sudah memasyarakat tersebut. Melalui media surat
menyuratnya dengan Nona E.H. Zeehandelaar di belanda, kartini muda mulai melontarkan keluh
kesahnya, hingga terkumpullah surat-surat kartini dalam sebuah buku berjudul Habis gelap terbitlah
terang yang sampai saat ini beredar luas di kalangan masyarakat.
Jauh sebelum abad dimana kartini berjuang, pada jaman purbakala tepatnya pada era primitive perempuan
hanya menjadi hewan-hewanan laki-laki terbukti pada masa itu ketika manusia hidup di hutan belantara
dengan berburu sebagai mata pencaharian utamanya, perempuan selalu tertindas oleh kaum laki-laki
dimana pelecehan sexual mulai terjadi, dengan seenaknya laki-laki berganti pasangan satu sama lain
setelahnya perempuan itu ditinggalkan layaknya kotoran, betapa menanggung akibat yang sangat berat,
dari mengandung tanpa suami dan melahirkan tanpa seorang ayah bagi anaknya, begitulah pada jaman
partiarchat ( sebutan bagi jaman per-bapak-an ) yang terjadi kala itu.
Dengan berotasinya waktu, mata pencaharian yang awalnya berburu hewan di hutan kini berubah menjadi
bercocok tanam atas inisiatif perempuan, awalnya ketika laki-laki berburu ke hutan, perempuan yang
tugas nya hanya berdiam di suatu tempat mulai berpikir untuk bercocok tanam, tak hanya itu kini
perempuan mulai membuat tempat tinggal yang tetap, dan di masa inilah merupakan kejayaan bagi kaum
perempuan, dimana kaum laki-laki tidak lagi berperan penting, disebutlah masa matriarchat dimana kaum
perempuan menghegemoni lebih dari pada kaum laki-laki. Perlu diingat, perempuan pernah mengalami
masa kejayaan yang cukup lama di masa-nya.

Berbicara perempuan memang tak ada habisnya, seperti yang di katakan bapak proklamator dalam buku
sarinah hal 10 bahwasanya, Nabi Muhammad SAW bersabda : Perempuan itu tiang negeri, manakala
rusak perempuan, maka rusaklah negeri. Apabila dibenturkan dengan jaman kekinian era -20 saat ini,
perempuan jauh pesat mengalami perubahan yang progresif, dari bidang pendidikan perempuan sudah
memiliki kursi yang setara dengan kaum laki-laki, dalam hal ini perempuan bebas menuntut pendidikan,
bebas tanpa ada sekat sekat tertentu. Tak ubahnya dalam bidang politik, bisa dilihat Sistem pemerintahan
di Indonesia tidak hanya di duduki oleh kaum laki-laki, 20% perempuan memiliki peran dalam bidang
perpolitikan Indonesia, seperti contoh di ranah rantau pendidikan saya saat ini , Jember sebagai kota
pendalungan dipimpin oleh bupati perempuan dr.Faida, tak hanya lingkup pemerintahan daerah, di
lingkup pemerintah pusat-pun Indonesia pernah dikepalai oleh seorang perempuan sebut saja Puteri
proklamator kita Megawati soekarnoputri, dan masih banyak lainnya contoh perempuan perempuan yang
menduduki kursi perpolitikan Indonesia.
Polemik-polemik yang masih hangat dalam ingatan yang menimpa ibu pertiwi adalah kasus LGBT yang
masih jadi trend utama, kasus ini melahirkan histeria publik, kontroversi tidak hanya terjadi di dunia
online dan diskusi-diskusi bahkan mereka memilih untuk turun jalan, stigma-stigma negatif pun banyak
bermunculan, anehnya semua diskursus LGBT tidak mendorong pada pencaharian yang sungguhsungguh, namun justru memperkuat hujatan-hujatan buruk terhadapnya. Banyak kasus-kasus yang terjadi
negeri ini, Dalam keterkaitan dengan maraknya poligami di Indonesia , apakah sudah memenuhi
penyamarataan gender dengan banyaknya kasus poligami ? sedang di telinga kita jarang sekali terdengar
kasus poliandri bahkan sangat asing kata poliandri di Negara ini, atau karena perempuan dianggap lemah
dalam hal tulang punggung keluarga sehingga di Negara ini jarang bahkan tidak adanya kasus poliandri ?
sudahkah keadilan tercipta ?
Mari kawan asah terus pisau analisa kita agar terus berpikir kritis rasional..
Mari kobarkan lagi semangat kita !!!
MERDEKA !!!!

You might also like