You are on page 1of 28

FIKIH PELATIHAN MUHAMMADIYAH

AMALIAH IBADAH PRAKTIS DALAM PERSPEKTIF MUHAMMADIYAH

PANITIA & IMAM TRAINING

BAITUL ARQOM DOSEN DAN KARYAWAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER


TAHUN 2016

KATA PENGANTAR
Kalimat yang menyatakan bahwa Al-Quran berfungsi sebagai petunjuk bagi umat
manusia merupakan pernyataan dari Al-Quran sendiri 1 yang bersifat Mutawatir2 dan Qothi.3
Konsekuensinya, segala problem kehidupan termasuk masalah amaliah ibadah praktis harus
merujuk pada Al-Quran dan Hadis. Oleh karena itu, wahyu turun berangsur-angsur dalam
waktu 23 tahun4 untuk merespon problem kemanusiaan saat itu. Jika dianalisis dari sejarah
hidup nabi SAW, Beliau lahir pada Senin 12 Robiul Awwal/23 April 571 M5 menerima wahyu
yang pertama kali pada Senin 21 Ramadhan/10 Agustus 610 M6 dan wafat pada Senin 12
Robiul Awwal 11H/634 M.7 Jika saat ini kita di tahun 2016, maka sudah 1382 tahun wahyu
itu terhenti dengan kewafatan nabi Muhammad. Dengan terhentinya wahyu tersebut masalah
dan semua problem hidup bukan berarti ikut berhenti, justru makin banyak dan komplek.
Bersandar pada Al-Quran dan Hadis saja tentu akan mengalami kesulitan, karena problem
saat ini tidaklah sama dengan problem masa lalu.
Dengan demikian, perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk menemukan sebuah
hukum yang tidak dijelaskan secara terperinci di dalam Al-Quran dan Hadis, namun tetap
menggunakan Al-Quran dan Hadis sebagai pedomannya. Upaya ini dikenal sebagai tindakan
Ijtihad dengan berdasar pada indikasi dalil naqli, pertama : Q.S. An-Nisa : 59 :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul-Nya, dan Ulil Amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
1

Lihat Q.S. Al-Baqoroh : 2.


Mutawatir maksudnya dituturkan oleh orang banyak kepada orang banyak dan mereka tidak mungkin sepakat
untuk berdusta. Lihat Prof. Dr. Rachmat Syafei, M.A. Ilmu Ushul Fiqih Pustaka Setia, 2007. Bandung. hal.
50 dan 54.
3
Qothi maksudnya bersifat tegas dan jelas. Ibid. hal. 56.
4
Tepatnya menurut Syaikh Muhammad Al-Khudhari Bek 22 tahun 2 bulan 22 hari. Dalam periodisasi sejarah,
wahyu tersebut terbagi 2, yaitu fase Makkiyah (wahyu yang turun saat nabi Muhammad masih di Mekkah)
selama 13 tahun (tepatnya 12 tahun 5 bulan 13 hari) dan fase Madaniyah (wahyu yang turun saat nabi
Muhammad sudah di Madinah) selama 10 tahun (tepatnya 9 tahun 9 bulan 9 hari). Lihat Prof. Dr. H.
Muhammad Amin Suma, S.H; M.A; M.M. Ulumul Quran PT Raja Grafindo Persada, 2013. Jakarta. hal.
275-277.
5
Penulis menetapkan data lahir ini berdasar sumber Buku Pintar Sejarah Islam , karya Qosim A. Ibrahim,
Zaman, 2014. hal 21-22, serta atas pertimbangan keumuman persepsi mayoritas masyarakat. Tentang bulan,
tanggal dan hari kelahiran Nabi Muhammad itu sesungguhnya para ulama tarikh banyak berselisih pendapat.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hari tanggal kelahiran Nabi itu adalah Senin, 12 Robiul Awwal
sebagian ulama lain berpendapat tanggal 9. Menurut pentahkikan seorang ahli falak, Syekh Mahmud Fasya alFalaky adalah pada tanggal 9. Lihat Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad dalam Moenawar Chalil, Gema
Insani, 2001. Jakarta. hal 67-68.
6
Lihat Siroh Nabawiyah, dalam Shafiyyur Rohman, 2005. Riyadh. Hal. 83. Mengenai turunnya wahyu yang
pertama ini juga terjadi perbedaan, ada yang berpendapat pada Senin 17 Ramadhan/6 Agustus 610 M.
( Moenawar, hal 110).
7
Shafiyyur Rohman, Hal. 599.
2

beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
Dan kedua : hadis tentang Muadz :
Dari Muadz : sesungguhnya Rosululloh mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda,
bagaimana nanti anda memberikan keputusan ? Aku memberi keputusan dengan
kitabulloh (Al-Quran). Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabulloh ? maka dengan
sunnah Rosululloh (Al-Hadis). bagimana jika tidak ada dalam sunnah Rosululloh ?
Aku akan berusaha dengan pendapatku dan Aku tidak akan menyerah. Lalu Rosululloh
menepuk dadanya dan bersabda, segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan
Rosululloh.(HR. Ahmad, Abu dawud dan Tirmidzi).8
Ayat dan hadis inilah yang menjadi landasan bagi gerakan pengkajian dan pembaharuan
pemikiran

hukum

terhadap

segala

problematika

kehidupan,

termasuk

gerakan

Muhammadiyah.
Dalam perjalanan sejarah pemikirannya, hukum islam merupakan suatu kekuatan
yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya gerakan pemikiran hukum
islam mulai dari masa Khulafaur Rosyidin yang dimotori oleh Umar bin Khotob, era Tabiin
yang dimotori oleh Ibrahim An-Nakhoi hingga munculnya madzhab fiqh pada era Tabiit
Tabiin, sekelas Abu Hanifah (80-150H/696-767M), Malik bin Anas (93-179H/712-789M),
Imam Syafii (150-204H/767-822M), dan Ahmad bin Hanbal (164-241H/780-855M).9
Dengan berlalunya waktu, perkembangan hukum islam yang progresif itu akhirnya mengarah
pada penutupan pintu ijtihad oleh sebagian ulama pada abad ke-13 M.10 Pendapat mengenai
pintu ijtihad telah tertutup tersebut menjadi polemik dan kontroversial. Di kalangan madzhab
Hambali dan golongan Syiah berpendapat bahwa ijtihad tidak pernah tertutup dan tidak ada
seorangpun yang berhak menutupnya. Kecenderungan pendapat yang menyatakan bahwa
aktivitas ijtihad telah tertutup, seperti yang di pegangi oleh kalangan orientalis perlu di
cermati dan di kritik secara tajam. Pendapat seperti itu perlu di sanggah kebenarannya.
Terhadap pendapat-pendapat yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup ini, oleh Wael B.
Hallaq telah dibantah dengan argumen historis&akademis. 11 Bahkan Jalaludin as-Suyuti (w.

Lihat Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I. Pengantar Ilmu Fiqih, Pena Salsabila, 2013. Surabaya. Hal. 120-122.
Lihat juga Dr.H.Sutrisno, M.H.I. Metodologi Pemikiran Hukum Islam, Pustaka Radja, 2014. Jember. Hal. 89.
9
Lihat Dr.H.Sutrisno, M.H.I. Metodologi, hal 136.
10
Lihat Dr. Mohammad Hefni, M.Ag. Para Pemikir Hukum Islam Kontemporer, Pena Salsabila, 2013.
Surabaya. hal 2.
11
Lihat wael B.Halleq was the gate of ijtihad closed ? International Journal of Middle East Studies 1984.
Dalam Dr.H.Sutrisno, M.H.I. Metodologi, hal 136-137.

911 H/1505 M) memberikan kritik tajam bagi mereka yang melestarikan taqlid dan menutup
ijtihad.
Keadaan ini menimbulkan kegelisahan intelektual di kalangan pemikir islam
sehingga mengantarkan pada kesadaran akan pentingnya pembukaan kembali pintu ijtihad.
Gerakan membuka kembali ijtihad di mulai abad ke-18 M, disebut gerakan pembaharuan
hukum islam. Gerakan pembaharuan tersebut telah melahirkan tokoh-tokoh pembaharuan
yang terkenal seperti Sayyid Ahmad Khan di India (w. 1898) Jamaludin al-Afgani, dan
Muhammad Abduh (1265 H/1848 M). Isu yang di kedepankan oleh mereka adalah membuka
pintu ijtihad yang sebelumnya tertutup dan penolakannnya terhadap taqlid.12 Bagi Jamaludin
al-Afgani (1839-1897 M) pintu ijtihad masih terbuka.13 Namun, sekitar seabad sebelumnya
Muhammad bin Abdul Wahab (1115-1206 H/1703-1792 M) telah berpendapat bahwa taqlid
pada ulama tidak di benarkan dan pintu ijtihad terbuka/tidak tertutup.14 Jadi bisa disimpulkan
bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pelopor pertama pendobrakan pintu ijtihad walaupun
pada akhirnya muncul stigmatisasi sebagai gerakan Salafi atau gerakan puritan-konservatif
kepadanya.15
Ijtihad merupakan ruh kehidupan, menutup pintu ijtihad sama halnya dengan
membuat stagnasi dalam kehidupan. Jika ijtihad dihentikan atau seakan-akan tertutup, maka
lenyaplah warisan peradaban yang pernah gemilang itu. Pada titik inilah kelahiran Majelis
Tarjih yang dimiliki Organisasi Muhammadiyah sebagai wadah/Majelis untuk berijtihad
secara kolektif patut untuk diapresiasi. K.H. Ahmad dahlan yang dalam sejarahnya
bersentuhan pemikiran dengan tokoh-tokoh pembaharu yang mendobrak tertutupnya pintu
Ijtihad akhirnya mampu membuat perubahan dan pencerdasan kepada umat hingga hari
ini, khususnya di Indonesia. Tidak heran jika kemudian Carl Whiterington menyatakan
bahwa Kyai Dahlan sesungguhnya bukanlah ulama, melainkan pragmatikus agama.16
Dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT)17, di lembar ke-4 sebelum daftar isi
ditulis firman Allah :
12

Lihat Dr. Mohammad Hefni, M.Ag. Para Pemikir hal. 2. Dan Dr.H.Sutrisno, M.H.I. Metodologi,
hal. 93.
13
Lihat Arbiyah lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Bulan Bintang, 1993. Jakarta.
Hal. 114. Dan Lihat Prof. Dr. H. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Bulan Bintang, 1988.
Jakarta. hal. 55.
14
Lihat Prof. Dr. H. Risan Rusli, M.A. Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam, Radja Grafindo Persada,
2013. Jakarta. Hal. 8.
15
Salafi dimaknai sebagai golongan yang mengikuti 3 generasi islam pertama, yaitu para sahabat, generasi
Tabiin (para pengikut sahabat), dan Tabiit Tabiin (para pengikut Tabiin). Masa 3 generasi kaum salaf
tersebut dalam hitungan sejarah islam tidak lebih dari sekitar 300 tahun sejak masa Nabi. lihat Dr. Haedar
Nashir, Islam Syariat, Mizan, 2013. Bandung. Hal. 148 dan 154.
16
K.H. AR Fachruddin, Mengenal & Menjadi Muhammadiyah, UMM Press, 2009. Malang. Hal. xvi.
17
Terbitan Suara Muhammadiyah Yogyakarta, cetakan ke-xxxi, September 2015.


Hanya sesungguhnya sambutan orang-orang mukmin itu apabila diajak kepada Allah dan
utusannya untuk menegakkan hukum diantara mereka, berkata : kami mendengar dan
kami mengikut. Dan mereka itulah yang berbahagia.18
Dan di cover belakang bertuliskan firman allah :

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah
datang keterangan yang jelas kepada mereka.19
2 ayat ini mengindikasikan bahwa seluruh warga Muhammadiyah harus menaati dan
mengikuti hasil keputusan Majelis tarjih sebagai representasi ijtihad kolektif di tubuh
Muhammadiyah, dan dilarang berselisih lagi terhadap apa yang tertuang oleh Majelis Tarjih
yang terumuskan dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT).
Penulis berkewajiban mengucapkan terima kasih kepada semua panitia Baitul
Arqom Dosen dan karyawan yang diadakan pada 21-23 April di Igir-Igir Cakru, khususnya
juga kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Jember, karena atas kerja sama merekalah
buku panduan praktis ini dapat terbentuk. Penulis menyadari tentu banyak kekurangan
disana-sini, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif amat kami harapkan
demi sempurnanya buku panduan ini.
Jember, 17 April 2016
Penulis,

Idris Mahmudi, Amd.Kep; M.Pd.I.


Imam Training

1. Thoharoh20
A. Wudlu
Syarat syahnya shalat diantaranya adalah suci dari hadast besar dan kecil. Mensucikan
diri dari hadast kecil dapat dilakukan dengan berwudlu dengan air bersih dan suci, tidak
18

Q.S. An- Nur : 51.


Q.S. Ali Imron : 105).
20
Dikutib dari web resmi PP Muhammadiyah : http://www.muhammadiyah.or.id/content-184-det-foto-peragatata-cara-berwudlu.html. diambil Sabtu, 16 April 2016 jam 10.45.
19

mengandung kotoran yang dapat menimbulkan penyakit. Menghilangkan hadast kecil


dapat juga dilakukan dengan tayamum apabila tidak ada air, karena sakit atau dalam
keadaan darurat,
Adapun tatacara berwudlu adalah sebagai berikut ;
1) Mengucapkan bismillahirrahmannirrahim serta

niat

dalam

hati

untuk

membersihkan hadast kecil karena Allah semata dan berharap kepada Allah agar dosadosa kita diampuni.
2) Membasuh telapak tangan tiga kali sambil membersihkan sela jari-jari tangan
3) Berkumur sambil menghisap air ke dalam hidung (bila tidak berpuasa) tiga kali.
Gunakan telapak tangan kanan dalam memasukkan air ke mulut/hidung. Pada waktu
berkumur hendaknya sambil membersihkan gigi (menggosok gigi)
4) Membasuh muka tiga kali sambil membersihkan kotoran yang ada di sudut mata dan
jenggot (jika berjenggot). Adalah suatu kebaikan apabila dapat melebihkan bagian
muka yang dibasuh.
5) Membasuh kedua tangan sampai siku-siku. Mulailah tangan kanan tiga kali kemudian
tangan kiri tiga kali
6) Mengusap kepala dengan air tiga kali, mulai dari ubun-ubun dari tengkuk ke ubunubun
7) Mengusap kedua telinga luar dan dalam yang merupakan terusan dari mengusap
kepala.
8) Membasuh kedua kaki minimal sampai mata kaki. Mulailah dengan membasuh kaki
kanan tiga kali kemudian kaki kiri tiga kali. Usahakan sela-sela jari kaki juga
dibersihkan, demikian juga kuku jari-jari kaki
9) Berdoa seperti berikut :

Foto-foto Visualisasi Wudlu:

1.

Membasuh telapak tangan

2.

Berkumur sambil memasukkan air ke


dalam hidung

3.

Membasuh muka 3 kali

4.

Membasuh kedua tangan hingga siku

5.

7.

Mengusap kepala dengan air 3 kali

6.

Mengusap kedua telinga luar dan dalam

7. Membasuh kedua kaki (kanan dan kiri 3


kali)
B. Tayamum
Tayamum dapat menggantikan wudlu dalam keadaan tertentu. Cara bertayamum adalah :
1) Membaca basmalah (bismillahirrahmannirrahim)
2) Meletakkan kedua telapak tangan kepada benda atau tempat yang berdebu bersih
3) Kedua telapak tangan tersebut dihirup atau ditapukkan kemudian diusapkan ke muka
4) Kedua telapak tangan, tangan kiri mengusap punggung telapak tangan kanan, dan
sebaliknya tangan mengusap punggung telapak tangan kiri
Catatan :

1) Urutan nomor-nomor di atas harus dilakukan dengan tertib


2) Wudlu atau tayamum menjadi batal apabila : ada sesuatu yang keluar dari dua jalan
(persunatan dan dubur), bersentuhan dengan lain jenis (setubuh), menyentuh
kemaluan, tidur nyenyak dengan posisi miring.
Foto-foto Visualisasi Tayamum:

1.

Meletakkan kedua telapak tangan pada


benda

2.

Meniup atau menepukkan kedua


telapak tangan

3.

Mengusap muka

4.

Tangan kiri mengusap punggung


telapak kanan dan sebaliknya

C. Mandi Wajib (Junub)


Apabila selesai mengadakan hubungan seksual (bersetubuh) atau keluar mani karena
mimpi atau karena yang lain, atau baru selesai haid/nifas bagi orang perempuan, disebut
hadast besar. Apabila hendak shalat, maka diwajibkan mandi besar dengan cara sebagai
berikut :
1) Mulailah dengan membaca basmalah, sambil berniat karena Allah
2) Membasuh kedua telapak tangan
3) Membasuh kemaluan dan sekitarnya sampai bersih
4) Berwudlu
5) Menyiramkan air ke seluruh tubuh sambil membersihkan bagian anggota tubuh. Bagi
Anda yang tidak dapat menggunakan air dingin karena rematik atau yang lain, maka
airnya dapat dihangatkan terlebih dahulu.

2. Sholat
A. Tata Cara Sholat21
21

Diambil dari Web nya PP Muhammadiyah.

1. Niat

2. Takbiratul Ihram

3. Membaca doa iftitah


.

4. Membaca taawwud
5. Membaca basmallah

6. Membaca Surat Al-Fatihah


.

. . . .
....

7. Membaca Tamin
8. Membaca surat
9. Takbir untuk rukuk

10. Rukuk

Itidal

11.

Sujud

12.

Duduk antara dua sujud

13.

Sujud yang kedua

14.

15. bangun dari sujud dan meneruskan jumlah rokaat jika masih rokaat pertama hingga
selesai.
16. Duduk Tasyahud awal atau Tasyahud akhir
.





. .

. .
.

17. Salam

B. Sholat Jama dan Qoshor


a. Definisi Jama

Yang dimaksud dengan men-jama sholat ialah menyatukan dua sholat atau
mengerjakan dua sholat ke dalam satu waktu. Sholat yang boleh disatukan atau dijama
ialah sholat dzuhur dengan ashar serta sholat maghrib dengan Isya. Tidak boleh
menyatukan sholat shubuh dengan dzuhur atau menyatukan sholat ashar dengan
maghrib atau sholat isya dengan shubuh. Jama ada 2, yaitu Jama Taqdim dan Jama
Takhir. Jama taqdim ialah mengerjakan dua sholat pada satu waktu, dimana sholat
yang waktunya belakangan, dikerjakan dengan sholat yang waktunya lebih dulu,
misalnya jika sholat dzuhur dan ashar dikerjakan di waktu zhuhur atau sholat maghrib
dengan isya dikerjakan di waktu maghrib. Sedangkan jama takhir ialah mengerjakan
dua sholat pada satu waktu dimana sholat yang waktunya lebih dulu dikerjakan pada
saat sholat yang waktunya kemudian, misalnya sholat dzuhur dengan ashar dikerjakan
di waktu ashar atau sholat maghrib dengan isya dikerjakan di waktu isya.
b. Definisi Qoshor
Menurut Jumhur ulama (kesepakatan ulama) arti qoshor ialah meringkas sholat yang
semula 4 rokaat menjadi 2 rokaat. Misalnya sholat Dzuhur atau Ashar yang seharusnya
4 rokaat, hanya dikerjakan 2 rokaat saja. Sholat yang boleh diqoshor adalah sholat
yang 4 rokaat. Sedangkan sholat maghrib yang 3 rokaat tidak boleh diqoshor menjadi 2
rokaat. Jadi keringanan qoshor ini hanya berlaku bagi sholat yang 4 rokaat.
c. Syarat Berlakunya Jama dan Qoshor
Sholat Jama dan qoshor boleh dilakukan apabila :
1. Anda dalam status bepergian (musafir) dalam keadaan aman
2. Dalam keadaan sibuk berperang.
3. Dalam urusan yang yang amat sangat penting / tidak dapat ditinggalkan.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam ayat berikut :
Apabila kamu berjalan di muka bumi, maka tidak ada halangan bagi mu untuk mengqoshor sholat, jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya orangorang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi mu.22
Sedangkan dalam keadaan takut diserang atau berperang, selain boleh juga mengqoshor sholatnya, juga ada keringanan-keringanan lainnya. Untuk kondisi perang, ada
tata cara sholat tersendiri yang sering disebut sebagai sholat khauf, yang tercantum
dalam Q.S. Al-Baqoroh : 238-239 dan Q.S. An-Nisaa : 102
Syarat berlakunya sholat jama dan qoshor adalah :
1. Perjalanan yang dilakukannya bukan dalam rangka maksiyat
22

Q.S. An-Nisaa : 101.

2. Perjalanannya berjarak jauh.


3. Bukan dalam rangka meng-qodho sholat (menebus sholat yang terlupa/terlewat)
4. Berniat sholat qoshor ketika takbirotul ihrom.
d. Salah Paham Dengan Pengertian Musafir
Sebagian orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan musafir itu ialah berada di atas
kendaraan, atau sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat. Sedangkan bila telah
mencapai tempat yang dituju, maka tidak lagi disebut musafir. Berdasarkan pemahaman
seperti ini, banyak orang yang menyangka bahwa menjama sholat dan meng-qoshor
sholat hanya boleh dilakukan apabila kita berada di perjalanan dan belum mencapai
tempat tujuan.
Sebagai contoh, seseorang yang bermuqim di Jakarta, sedang bepergian ke Bandung.
Ketika tiba waktu sholat Dzuhur, ia sedang berada di Puncak. Maka ia sholat dzuhur
dijama dengan sholat ashar di Puncak. Ketika tiba waktu maghrib, ia sudah berada di
Bandung, maka ia kembali melaksanakan sholat seperti biasa, yaitu tidak dijama dengan
sholat Isya. Ia berpikir bahwa setelah tiba di tempat tujuan, tidak boleh lagi menjama
sholatnya.
Cerita di atas adalah salah satu contoh kesalahpahaman mengenai definisi musafir. Status
musafir adalah kondisi dimana seseorang tidak berada pada daerah tempat ia bermuqim,
baik sedang dalam perjalanan, di atas kendaraan, maupun telah sampai di tempat tujuan.
Jadi, apabila kita menyatakan bahwa diri kita bermuqim di Jakarta, maka ketika kita
berada di kota lain selain Jakarta, maka status kita adalah musafir, dan berhak menjama
qoshor sholat kita. Pendapat ini berdasarkan hadits berikut :
Anas r.a. berkata : Kami bepergian bersama Nabi s.a.w. dari Madinah menuju Mekkah,
maka beliau selalu sholat qoshor dua rokaat sehingga kembali ke Madinah.23
Dalam riwayat lain lebih lanjut Yahya bin Abi Ishaq bertanya kepada Anas : Berapa
lama kamu tinggal di Mekkah ? Dijawab : sepuluh hari.
Dari riwayat hadits di atas dapat kita pahami bahwa Rasulullah setelah hijrah ke Madinah
menyatakan diri berstatus muqim di Madinah. Oleh karenanya ketika Rasulullah pergi ke
Mekkah selama 10 hari, beliau berstatus musafir, Sehingga selama beliau di Mekkah, tetap
melakukan sholat qoshor.
Berkata Ibnul Qoyyim: Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari dan terus mengqashar
salat nya. 24
23

H.R. Bukhori Muslim dalam Alulu wal Marjan Jilid 1 No 401.


H.R. Ahmad No. 14172. Abu Daud No. 1235. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5260, Abdu bin
Humaid dalam Musnadnya No. 1139, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 4335. Ibnu Hibban No. 546,

24

Dari Ibnu Abbas r.a.: Rasulullah SAW melaksanakan salat safarnya 19 hari, yaitu salat
dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, salat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari,
maka kami salat dengan sempurna.25
Hal ini berbeda dengan pendapat kebanyakan orang jaman sekarang ini yang memahami
safar adalah kondisi di atas kendaraan saja dan ketika sudah sampai di tempat tujuan tidak
boleh menjama dan meng-qoshor sholat. Jelas ini adalah kesalahpahaman umat akan
makna dari istilah safar yang sering diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagai
sedang bepergian atau sedang dalam perjalanan.
Abdullah bin Umar Ra. beerkata : Saya sholat di Mina bersama Nabi SAW dua rokaat
(qoshor) juga bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman. Tapi kemudian Utsman sholat
empat rokaat.26
Selanjutnya ada keterangan bahwa Utsman tidak qoshor karena merasa bukan musafir
dengan alasan beliau kawin di Mekkah.
Hafsh bin Ubaidillah mengatakan bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam selama dua
tahun dan terus mengerjakan qashar sebagaimana shalatnya musafir. Menurut Anas bin
Malik, para sahabat Nabi bermukim di daerah Ramhurmuz selama tujuh bulan dan tetap
mengqashar shalat. Berkata Al-Hasan, Aku pernah bermukim bersama Adurrahman bin
Samurah di kota Kabul selama dua tahun, dan dia terus mengqashar shalatnya. Ibrahim
An-Nakhaiy. juga pernah mengatakan bahwa para sahabat pernah bermukim di Ray
selama satu tahun atau lebih dan di Sijistan selama dua tahun, tetap mengqashar shalat.
Ibnu Umar r.a. pernah tinggal di Azarbaijan selama enam bulan dan tetap mengqahar
sebab terhalang oleh salju
Jadi seseorang berstatus muqim atau tidak, silakan ditetapkan oleh pribadi masing-masing.
Misalnya boleh saja seseorang menyatakan diri muqim berdasarkan KTP yang dimiliki.
Atau seseorang menyatakan diri muqim di sebuah kota ketika ia sudah tinggal di kota itu
selama lebih dari 1 bulan. Atau dia menyatakan diri muqim di kota itu karena banyak
sanak keluarganya di kota itu atau alasan-alasan lainnya.
Para ahli ilmu berbeda pendapat dalam waktu menetap/muqim, Sufyan Ats Tsauri dan
penduduk Kufah berpendapat, mereka membatasi waktunya dengan lima belas hari,
mereka mengatakan jika sepakat untuk menetap selama lima belas hari maka shalatnya
harus sempurna, sedangkan Al AuzaI berkata jika sepakat untuk menetap selama dua
Mawarid Azh Zhaman. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat Bukhari Muslim.
(Tahqiq Musnad Ahmad No. 14172).
25
H.R. Bukhari.
26
H.R. Bukhari Muslim dalam Alulu wal Marjan Jilid 1 No 402.

belas hari maka shalatnya harus sempurna, adapun Imam Malik bin Anas, Syafii dan
Ahmad berkata, apabila sepakat untuk menetap selama empat hari maka shalatnya harus
sempurna. kemudian ahli ilmu sepakat bahwa seorang musafir boleh mengqashar
shalatnya selagi tidak ada keinginan untuk menetap, sekalipun dia tinggal bertahun tahun.
Mengenai jauhnya jarak bepergian, agar memenuhi syarat dinyatakan berstatus musafir,
ada berbagai pendapat ulama sbb :
Pendapat Pertama
Apabila sudah keluar dari batas kota, ini adalah pendapat Ibnu Mundzir. Berkata Imam
Ibnul Mundzir, Aku tidak menemukan sebuah keterangan pun bahwa Nabi s.a.w.
mengqashar dalam bepergian, kecuali setelah keluar dari (batas kota) Madinah.
Pendapat Kedua
Apabila jauhnya perjalanan 3 mil atau 1 farsakh atau sekitar 5,5 Km maka sudah boleh
menjamak qoshor sholat jika bepergian lebih dari 5,5 Km. Yahya bin Yazid bertanya
kepada Anas bin Malik mengenai mengqashar shalat. Ia menjawab,Rasulullah
mengerjakan shalat dua rakaat (qashar) jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau satu
farsakh.27
Pendapat Ketiga
Apabila jauhnya perjalanan 3 farsakh (= 25,92 Km). Pendapat ini berdasarkan hadits
berikut :
Dari Syubah, katanya : Saya telah bertanya kepada Anas tentang meng-qoshor sholat,
jawabnya : apabila Rasulullah SAW berjalan sejauh tiga farsakh, ia meng-qoshor sholat
sholatnya menjadi dua rokaat.28
Pendapat keempat
yaitu apabila telah melakukan perjalanan sejauh 60 80 km. Pendapat ini berdasarkan
pada hadits :
Tidak dijinkan seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian untuk
bepergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya29
Menurut sebagian orang, hadits di ataslah yang menjadi batasan yang disebut bepergian
jauh, yaitu jika berjalan sehari semalam, sehingga kurang lebih 60 80 km yaitu sejauh
perjalanan naik unta sehari semalam. Tapi pendapat ini kurang beralasan, karena hadits di
atas tidak berhubungan dengan masalah menjama atau meng-qoshor sholat melainkan
berkaitan dengan keharusan wanita bepergian didampingi dengan mahramnya.
27

H.R Muslim.
H.R. Ahmad & Muslim.
29
H.R. Jamaah kecuali Nasai.
28

Pendapat kelima
yaitu apabila telah melakukan perjalanan sejauh 4 burd atau 86 km. Ibnu Umar dan Ibnu
Abbas mengqashar shalat dan berbuka puasa jika jarak tempuh sudah empat burd (16
farsakh = 88,656 Km). Dr. Yusuf Qardhawi menyebutkan dalam fatwanya :
Menurut sebagian besar Mazhab, jarak perjalanan yang membolehkan seseorang
mengqoshor sholat dan berbuka puasa adalah 84 km )
Menurut Dr. Salim Segaf Al-Djufri, pendapat ini berdasarkan hadits berikut :
Dari Ibnu Abbas berkata dari Rasulullah s.a.w. bersabda : Wahai penduduk Mekah
janganlah kalian mengqoshor sholat kurang dari 4 burd yaitu jarak dari Mekah ke
Asfaan30
Mengenai jarak 4 burd terdapat keterangan dari Atsar sahabat :
Adalah Ibnu Umar ra. Dan Ibnu Abbas ra. Mengqoshor sholat dan berbuka puasa
(karena musafir) pada perjalanannya yang menempuh jarak 4 burd yaitu 16 farsakh)
Jadi mereka yang menganut pendapat mengqoshor sholat pada jarak 80 km megikuti
sahabat Ibnu Umar dan Abbas ra. Mereka meng-qoshor sholat dan berbuka puasa jika
berada dalam radius jarak 4 burd yaitu 16 farsakh (1 farsakh = 5541 m = 5,5 Km, maka 1
burd = 16 farsakh = 88,656 km)
Pendapat Ketujuh
Apabila perjalanan lebih dari 498 km. Hal ini berdasarkan hadits yang mengisahkan
bahwa Nabi selalu mengqoshor sholatnya selama berada di Mekkah. Sedangkan jarak
Madinah ke Mekkah adalah 498 km.
Anas r.a. berkata : Kami pergi bersama Nabi dari Madinah ke Mekkah, maka beliau
selalu sholat qoshor dua rakaat dua rakaat hingga kembali ke Madinah31
Abdullah bin Umar ra. berkata : Saya pernah sembahyang di Mina bersama Nabi SAW
dua rakaat (qoshor) pernah juga bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman pada permulaan
khilafahnya.32
Catatan : Jarak Madinah ke Mina 502 km.
Pendapat Kedelapan
Apabila melalui 4 pos atau 2 marhalah. Pendapat ini dikemukakan oleh Jalaludin AsSuyuthi dalam tafsir Jalalain. Mungkin pada jaman Imam Suyuthi hidup, jalur perjalanan
itu pada jarak tertentu dijaga oleh pos-pos. Sedangkan tidak ada penjelasan berapa jarak
antar pos tersebut. Mereka yang mendasarkan diri pada pendapat ini, akan meng-qoshor
30

H.R. Thabrani dan Daruqutni.


H.R. Bukhari Muslim dalam Alulu wal Marjan No. 401.
32
H.R. Bukhari Muslim dalam Alulu wal Marjan No. 402.
31

sholat jika telah melewati batas kota. Tapi pendapat ini kurang kuat, karena jika batas kota
yang menjadi patokan, maka range nya sangat variatif.
e. Sholat Jama
Rasulullah s.a.w. pernah menjama sholat dalam status muqim (di Madinah), tidak dalam
status musafir. Ketika itu Rasulullah menjama sholat karena ada urusan yang sangat
penting/genting. Seperti diungkapkan dalam hadits berikut :
Ibnu Abbas r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. pernah menjama sholat dzuhur dengan
ashar dan maghrib dengan isya di Madinah tanpa disebabkan faktor takut diserang
(khauf) atau hujan. Beliau ditanya apa sebabnya, lalu beliau menjawab : agar tidak
menyulitkan umatnya33
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas ini maka Mazhab Imam Ahmad bin Malik (Maliki) dan
ulama-ulama mazhab Hambali membolehkan orang yang sangat sibuk dengan sebuah
urusan yang mendesak dan sangat penting untuk menjama sholatnya. Tapi tidak boleh
meng-qoshor (Jadi jama saja bukan jama qoshor, karena jama qoshor hanya dibolehkan
dalam status musafir). Hanya saja Dr. Yusuf Qardhowi memberikan catatan bahwa hal ini
tidak boleh dijadikan kebiasaan. Hal ini hanya dilakukan jika benar-benar urusannya
sangat penting dan tidak dapat ditinggalkan. Dr. Yusuf Qardhowi memberikan contoh
apabila seorang dokter sedang menjalankan operasi, dan ternyata operasinya sangat rumit
dan memakan waktu lama sehingga melewati waktu sholat. Dokter tersebut tidak boleh
meninggalkan

pasien

dalam

keadaan

operasinya

belum

selesai,

karena

akan

membahayakan jiwa si pasien. Dalam situasi demikian, maka si-dokter boleh menjama
sholatnya.
Allah dan Rasulnya lebih menyukai jika keringanan (rukhshoh) yang telah disediakan oleh
Allah tersebut dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan dalil-dalil sebagai berikut :
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu34
Dan Dia sekali-sekali tidak menjadikan untukmu dalam agama ini suatu kesempitan35
Rasulullah selalu memilih yang termudah dalam urusan agama, sepanjang hal tersebut
bukan merupakan dosa36

33

H.R. Muslim.
Q.S. Al-Baqarah : 185.
35
Q.S. Al-Hajj : 78.
36
H.R. Muslim.
34

Sebaik-baik umatku ialah apabila dia safar (bepergian) dia berbuka puasa dan mengqoshor sholatnya, dan jika berbuat kebaikan merasa gembira tetapi bila melakukan
keburukan beristighfar37
Cara melakukan jama baik itu jama taqdim maupun jama takhir, ialah dengan cara
didahului dengan adzan dan iqomat, lalu sholat seperti biasa (atau qoshor 2 rokaat),
setelah selesai satu sholat, kemudian langsung iqomat lagi, disambung dengan sholat
berikutnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah :
Telah mengabarkan kepadaku Ibrahim bin Harun dia berkata; telah menceritakan
kepada kami Hatim bin Ismail dia berkata; telah menceritakan kepada kami Jafar bin
Muhammad dari bapaknya bahwasanya Jabir bin Abdullah berkata; Rasulullah s.a.w.
berangkat hingga ke Muzdalifah, lalu shalat Maghrib dan Isya dengan satu kali adzan
dan dua iqamah tanpa ada shalat apapun di antara keduanya.38
Namun dalam hadits lain diceritakan bahwa Rasulullah s.a.w. menjamak dengan satu
iqomah saja.
Telah mengabarkan kepada kami Ali bin Hujr dia berkata; telah memberitakan kepada
kami Syarik dari Salamah bin Kuhail dari Said bin Jubair dari Ibnu Umar dia berkata;
Kami bersama Nabi s.a.w. di Muzdalifah, kemudian beliau mengumandangkan adzan
lalu iqamah dan shalat Maghrib bersama kami, lalu beliau berkata, Shalat (tanpa
iqomah). Kemudian beliaupun shalat Isya dua rakaat bersama kami. Aku bertanya
kepada Ibnu Umar, Shalat apa ini? dia menjawab Beginilah dahulu kami shalat
bersama Rasulullah s.a.w., di tempat ini.39
Dari hadits di atas kita ketahui bahwa di antara dua sholat tersebut tidak boleh diselingi
sholat sunnah apapun.
f. Sholat Iftitah, Tahajud dan Witir
Shalat lail adalah shalat sunat yang biasa dilakukan oleh Nabi saw pada waktu malam hari.
Menurut Muhammadiyah shalat lail disebut juga shalat tahajjud, witir, qiyamul-lail dan
qiyamu Ramadhan.40
Shalat lail disebut shalat tahajjud karena shalat tersebut dilaksanakan setelah bangun tidur.
Disebut shalat witir karena dalam melaksanakan shalat tersebut diakhiri dengan witir
(bilangan ganjil). Disebut qiyamul-lail karena shalat tersebut dilaksanakan hanya pada
37

H.R. At-Thabrani.
H.R. Nasai No. 650. Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.
39
H.R. Nasai No. 651. Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.
40
lihat HPT hal. 341.
38

waktu malam. Disebut qiyamu Ramadhan karena shalat tersebut dilakukan pada bulan
Ramadhan dan istilah yang sering digunakan untuk shalat lail di bulan Ramadhan adalah
shalat tarawih, karena dalam shalat malam tersebut dilaksanakan dengan bacaan yang
bagus dan lama dan setelah empat rakaat pertama dan kedua ada istirahat sebentar.

.


"Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Apabila salah
seorang dari kamu akan melakukan shalat lail, hendaklah memulai (membuka) shalatnya
dengan dua rakaat yang ringan-ringan.41
Sholat ini disebut sholat iftitah42 dengan cara sebagaimana putusan Tarjih Muhammadiyah
yang disidangkan pada hari Rabu, 26 Rajab 1428 H/10 Agustus 2007 M.43
Dalam HPT hal. 342 disebutkan bahwa pada rakaat pertama dari shalat khafifatain setelah
takbiratul ihram hendaklah membaca:
.
Dengan beralasan pada dalil no. 19 hal. 350 yang redaksinya sebagai berikut:
:


( : ) )
Dari uraian di atas jelas bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Ath-Thabrany dalam kitab
al-Ausath, ia mengatakan dalam kitab Majma az-Zawaid: bahwa perawinya orang-orang
terpercaya.
Setelah dibuka kembali kitab Majma az-Zawaid yang dijadikan rujukan oleh HPT,
ternyata ada perbedaan redaksi teks matan hadis yang dikemukan oleh HPT dengan apa
yang terdapat dalam kitab Majma az-Zawaid wa Manba' al-Fawaid dan kitab al-Mujam
al-Ausath. Dalam kitab Majma az-Zawaid wa Manba al-Fawaid, karangan Nuruddin Ali
bin Abi Bakar al-Haisamy, Jilid 2 hal. 107, redaksinya sebagai berikut:
41


Sholat iftitah boleh dikerjakan munfarid ataupun berjamaah. Jika berjamaah, sesuai hadis dari Ibnu Abbas
imam membacanya dengan keras/jahr yang didengar jamaahnya. Lihat Drs. Agung Danarta, M.Ag. Shalat
Tahajud & Shalat Tarawih Menurut Rasulullah, Penerbit Suara Muhammadiyah, 2013. Yogyakarta. hal. 2425.
43
Dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT) beberapa hadits Nabi saw yang dijadikan dasar dalam HPT
tentang persoalan ini (hal. 346-352), dan dapat disimpulkan bahwa:
1. Shalat malam diawali dengan dua rakaat yang ringan-ringan (rak'atain khafifatain).
2. Beberapa tuntunan dalam tata cara pelaksanaan shalat iftitah tersebut adalah :
a. Adanya bacaan doa iftitah pada rakaat pertama dalam shalat khafifatain (baca diktum putusan No. 19
hal. 342 dengan berdasarkan dalil No. 19 hal. 350).
b. Bacaan yang dibaca pada tiap-tiap rakaat, yaitu pada rakaat pertama setelah membaca doa iftitah
dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah, sedang pada rakaat kedua hanya membaca surat alFatihah (baca diktum putusan No. 20 hal. 342 dengan berdasarkan dalil No. 20 hal. 350).
42




[ ] .
dalam kitab al-Mujam al-Ausath karangan ath-Thabrany, redaksinya sebagai berikut:




.
Doa iftitah yang terdapat dalam teks matan hadis kitab Majma az-Zawaid wa Manba
al-Fawaid sama persis redaksinya, dan apabila kita membandingkan teks hadis Nabi
saw yang terdapat dalam HPT dan kitab Majma az-Zawaid tersebut, ada beberapa
perbedaan. Kalau teks hadis yang terdapat dalam kitab Majma az-Zawaid tersebut
dijadikan dasar, maka teks hadis yang terdapat dalam HPT hendaknya disesuaikan
dengan teks hadis yang terdapat dalam kedua kitab tersebut karena dalam teks tersebut
ada beberapa lafaz tambahan, yaitu al-Mulk, al-Izzati dan ada kekurangan, yaitu lafaz
Allah, setelah lafaz Subhana.
Jadi, do'a iftitah yang dibaca pada shalat dua rakaat khafifatain tersebut adalah :
.
Maha suci Allah yang memiliki kerajaan, kekuasaan, kebesaran, dan keagungan.44
Untuk jumlah dan cara sholat tahajud/lail adalah :













"Diriwayatkan dari Abu Salamah Ibn Abdul Rahman bahwa ia bertanya kepada Aisyah
ra bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadlan. Aisyah menjawab: Baik di
bulan Ramadlan ataupun bukan bulan Ramadlan Rasulullah saw melakukan shalat (lail)
tidak lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat; dan jangan ditanyakan
tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Kemudian shalat lagi empat
rakaat; (demikian pula) jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang
beliau lakukan. Lalu beliau shalat tiga rakaat."45
44

bacaan ini juga dianggap dalilnya lebih shohih dan lebih akurat oleh Drs. Agung Danarta, M.Ag. (Sekretaris
PP Muhammadiyah Jakarta). Lihat Shalat Tahajud & Shalat Tarawih Menurut Rasulullah, Penerbit Suara
Muhammadiyah, 2013. Yogyakarta. hal. 19-20.
45

:
1874 dan :


1219 : .

Pada sholat witir dengan 3 rokaat, surat yang dibaca pada rokaat pertama adalah al-ala,
rokaat kedua adalah al-kafirun, dan rokaat ketiga adalah al-Ikhlas, sesuai hadis :
Ubay bin Kaab menceritakan bahwa Rosulullah pada sholat witir membaca sabbihisma
robbikal ala dan qul ya ayyuhal kafirun dan qul huwallahu ahad. Lalu jika ia telah
membaca salam, lalu membaca subhaanal malikil quddus 3 x dengan memanjangkan dan
menyaringkan suaranya pada bacaan yang ketiga.46
g. Bolehkah Sholat Tahajud dan Duha Berjamaah ?
Sebuah Riwayat dari Itban bin Malik dalam Fathul Baari sebagai berikut :







Ada riwayat dari Imam Ahmad dari jalur Az Zuhriy, dari Mahmud bin Ar Robi, dari
Itban bin Malik, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu wa alaihi wa sallam
pernah shalat Dhuha di rumahnya, lalu para sahabat berada di belakang beliau
shallallahu alaihi wa sallam, lalu mereka mengikuti shalat yang beliau shallallahu
alaihi wa sallam lakukan.47
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya. Ibnu Hajar mengatakan
bahwa hadits ini dikeluarkan pula oleh Muslim dari riwayat Ibnu Wahb dari Yunus dalam
hadits yang cukup panjang, tanpa menyebut shalat Dhuha. Al Haitsami mengatakan
bahwa para perowinya adalah perowi yang shahih.48 Syaikh Syuaib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sebagaimana syarat Bukhari-Muslim.
Mayoritas ulama ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara
berjamaah ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam
pernah melakukan dua cara ini, namun yang paling sering dilakukan adalah secara
sendirian (munfarid). Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah
melakukan shalat bersama Hudzaifah; bersama Anas, ibunya dan seorang anak yatim;
beliau juga pernah mengimami para sahabat di rumah Itban bin Malik; beliau pun pernah
melaksanakan shalat bersama Ibnu Abbas.49
An Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih), beliau
rahimahullah mengatakan,
46

Membaca sebanyak 3 kali, lalu membaca Diriwayatkan oleh An-Nasai


(Sunan, qiyamul lail wa tathowwu al-nahar : 1681, 1713, 1714, 1715, 1721, 1730, 1731, 1732, 1733), dan
Ahmad Bin Hanbal (Musnad Ahmad, Musnad Al-Makiyyin : 14813, 14816). Hadis ini berkualitas shohih.
Lihat Drs. Agung Danarta, M.Ag. Shalat Tahajud & Shalat Tarawih Menurut Rasulullah, Penerbit Suara
Muhammadiyah, 2013. Yogyakarta. hal. 51-52 dan hal. 79-80.
47
Fathul Baari, 4/177, Mawqi Al Islam, Asy Syamilah.
48
Majma Az Zawa-id, 2/278, Darul Fikr, Beirut, cetakan 1412 H.
49
Al Maqsuah Al Fiqhiyyah, Bab Shalat Jamaah, point 8, 2/9677, Multaqo Ahlul Hadits, Asy Syamilah.

:



Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjamaah. Namun pilihan yang paling bagus
adalah dilakukan sendiri-sendiri (munfarid) kecuali pada beberapa shalat khusus seperti
shalat ied, shalat kusuf (ketika terjadi gerhana), shalat istisqo (minta hujan), begitu pula
dalam shalat tarawih menurut mayoritas ulama.50
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berpendapat :


.
Apabila seseorang melaksanakan shalat sunnah terus menerus secara berjamaah, maka
ini adalah sesuatu yang tidak disyariatkan. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah
tersebut kadang-kadang secara berjamaah, maka tidaklah mengapa karena terdapat
petunjuk dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengenai hal ini seperti shalat malam
yang beliau lakukan bersama Ibnu Abbas.51 Sebagaimana pula beliau pernah melakukan
shalat bersama Anas bin Malik radhiyallahu anhu dan anak yatim di rumah Ummu
Sulaim,52 dan masih ada contoh lain semisal itu.53
Jika shalat sunnah secara berjamaah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini
diperbolehkan karena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas bersama
anak yatim di belakang Nabi shallallahu alaihi wa sallam secara berjamaah,54 beliau
mengatakan :




.

50

Syarh Muslim, 3/105, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi Al Islam, Asy Syamilah.
Hadits muttafaq alaih.
52
Hadits muttafaq alaih. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Ash Sholah, Bab Ash Sholah alal Hashir (380)
dan Muslim dalam Al Masaajid, Bab Bolehnya shalat sunnah secara berjamaah 266 (658).
53
Majmu Fatawa wa Rosa-il Ibnu Utsaimin, 14/231, Asy Syamilah.
54
Dalam satu hadits dikisahkan :

:




Dari Anas bin Malik, bahwa neneknya Mulaikah pernah mengundang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
karena hidangan yang aku buat. Beliau pun memakannya, setelah itu beliau bersabda: "Berdirilah kalian, aku
akan mengimami untuk kalian." Anas bin Malik berkata; "Aku lalu berdiri menuju sebuah tikar yang
warnanya telah menghitam, karena sekian lama dipakai, lalu kuperciki dengan air, saementara Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam berdiri diatasnya. Aku lalu membuat shaff bersama seorang anak yatim yang
berada di belakang beliau dan seorang wanita tua di belakang kami. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
kemudian shalat dua raka'at mengimami kami, selanjutnya beliau beranjak pergi. (Shahih Muslim, no.658).
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelasakan bahwa hadits diatas merupakan dalil kebolehan
mengerjakan sholat sunat secara berjama'ah. Selain itu hadits diatas menunjukkan bahwa Nabi mengerjakan
sholat sunat berjama'ah dengan tujuan untuk mengajarkan cara mengerjkan sholat secara langsung.
51

Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di
sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan
bahwa jika shalat sunnah secara berjamaah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka
ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu alaihi wa sallam
(yang bertugas untuk memberi contoh pada umatnya).55

BIOGRAFI PENULIS
Nama

: Idris Mahmudi,Amd.Kep; S.Pd.I.

TTL

: Jember, 8 Juni 1982.

Alamat

: Karanganyar Ambulu.

Status

: Menikah dengan dikaruniai 2 putri.

Pekerjaan

: Perawat-Akupunturis & dosen UNMUH Jember.

HP

: 081336385486 / 081559919182

RIWAYAT PENDIDIKAN
SD

55

: SDN Karang anyar 6, lulus Th. 1995.

SMP

: MTs. Maarif Ambulu, lulus Th. 1998.

SMA

: SPK DEPKES Jember, lulus Th. 2001.

Kalimat dalam kurung merupakan penjelasan dari penulis. Berdasar pada hasil pembahasan Majelis Tarjih
PDM Kota Yogyakarta, meskipun tidak ada larangan mengenai shalat lail secara berjamaah, tetapi kalau
dilakukan secara rutin dan direncanakan tidak ada praktik dari Nabi saw dan para shahabat. Yang ditemukan
dalam beberapa hadits adalah Nabi saw shalat lail sendiri, lalu ada shahabat yang mengikuti di belakangnya,
Nabi saw tidak melarang dan tidak pula menganjurkan. Jadi, sebaiknya shalat lail dikerjakan sendiri-sendiri.
Boleh sesekali secara berjamaah dalam rangka tarbiyah (pendidikan). Dan perlu diketahui, tidak ada
ketentuan dari Nabi bahwa shalat lail secara berjamaah dikerjakan hanya pada waktu-waktu tertentu. Seperti:
adanya anggapan bahwa harus berjamaah kalau mau shalat lail pada malam nisfu syaban, tiap bulan sekali
dalam acara muhadsabah, dan acara-acara tertentu lainnya.

Pendidikan Tinggi

: DIII AKPER UNMUH Jember, lulus Th. 2004.


S1 FAI UNMUH Jember, lulus Th 2009.
S2 PPI STAIN Jember, lulus Th. 2014.

RIWAYAT ORGANISASI
Ketua IMM Komisariat Asy-Syifa AKPER UNMUH Jember (Th. 2002-2003).
Ketua LSKA PC-IMM Kab. Jember (Th. 2003-2004)
Sekretaris Majelis Tabligh PCM Sumbersari (Periode : 2005-2010).
Anggota DIKDASMEN PDM Kab. Jember (Periode 2015-2020).
KARYA YANG TELAH TERBIT : buku Panduan Lengkap Seks Islami ditinjau
dari segi Al-Quran, Hadis dan Medis.
Penerbit Dianloka Pustaka.

You might also like