You are on page 1of 21

UNTUK MEMENUHI TUGAS SEMESTER PENDEK

EMERGENCY NURSING
GUNUNG MELETUS

Oleh :
Kelompok 5
Palupi Desanti N

(125070207131002)

Dwi Kurnia Sari

(135070201111003)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang banyak memiliki gunung
berapi, baik yang aktif maupun yang tidak aktif, di darat atau di laut.
Gunung berapi di Indonesia terbentang dari barat ke timur dari Sumatera,
Jawa hingga Laut Banda. Semua gunung itu berada dalam satu
rangkaian Busur Sunda. Selain itu, gunung berapi terdapat di Sulawesi
Utara, Halmahera, dan lainnya. Karena satu rangkaian, mekanisme
masing-masing gunung pun kurang lebih sama atau karakternya kurang
lebih sama juga.
Gunung Berapi secara umum didefinisikan sebagai sebuah sistem
saluran fluida yang terdiri atas batuan cair bersuhu tinggi yang memiliki
struktur memanjang dari kedalaman lapisan atmosfer kurang lebih 10 km
hingga permukaan bumi. Gunung berapi juga memiliki kumpulan endapan
material yang keluar saat terjadinya letusan. Material tersebut meliputi
abu dan batuan dengan berbagai ukuran (Mayasari, 2015).
Selama masa hidupnya, gunung berapi memiliki kondisi atau
keadaan yang terus berubah dari waktu ke waktu, terkadang masuk
kondisi tidur yang mana suatu gunung berapi namun tidak menunjukan
aktivitas sama sekali selama puluhan hingga ratusan tahun. Namun
disatu kondisi gunung akan kembali aktif dan meletus dengan dahsyat
seperti yang terjadi pada gunung Sinabung, Sumatera Utara yang terakhir
kali meletus pada tahun 1600an dan pada tahun 2010 kembali aktif serta
akhirnya meletus pada tahun 2013 hingga sekarang aktivitas letusan-nya
masih

berlangsung. Sementara

itu

untuk

letusan

gunung

berapi

merupakan suatu aktivitas vulkanik yang sering disebut dengan istilah


erupsi. Bisa dikatakan hampir semua aktivitas letusan gunung berapi
selalu berkaitan dengan zona kegempaan aktif, hal ini terjadi akibat
hubungan antar batas lempeng yang memiliki tekanan yang sangat tinggi
dan bersuhu lebih dari 1000C sehingga dapat melelehkan material
bebatuan di sekitarnya dan menjadi Magma (Mayasari, 2015).
Gunung meletus, terjadi akibat endapan magma di dalam perut
bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Dari letusan-

letusan seperti inilah gunung berapi terbentuk. Letusannya yang


membawa abu dan batu menyembur dengan keras sejauh radius 18 km
atau lebih, sedang lavanya bisa membanjiri daerah sejauh radius 90 km.
Letusan gunung berapi bisa menimbulkan korban jiwa dan harta benda
yang besar sampai ribuan kilometer jauhnya dan bahkan bisa
mempengaruhi putaran iklim di bumi ini.
B. TUJUAN
1. Mengetahui bencana gunung meletus secara umum.
2. Mengetahui cara penanggulangan sebelum terjadi bencana gunung
meletus.
3. Mengetahui cara penanggulangan saat terjadi bencana gunung
meletus.
4. Mengetahui cara penanggulangan setelah terjadi bencana gunung
meletus.
5. Mengetahui peran perawat pada penanggulangan bencana (sebelum,
saat terjadinya, dan setelah bencana).
6. Membuat asuhan keperawatan pada klien didaerah yang terkena
bencana gunung meletus.
7. Mengetahui penanggulangan bencana di dalam dan luar negeri.

BAB II
PEMBAHASAN

A. BENCANA GUNUNG MELETUS


3

Menurut

Departemen

Kesehatan

RI

bencana

adalah

peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan


ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan
pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga
memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. Bencana (disaster)
menurut WHO adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan,
gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat
kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang
memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
Indonesia merupakan negara yang jumlah gunung apinya sangat
banyak. Tidak kurang dari 130 gunung api aktif atau 13-17% dari jumlah
seluruh gunung api yang ada di dunia, terdapat di Indonesia. Karena
banyaknya gunung api, maka Indonesia rawan dari bencana letusan
gunung api. Sejak tahun 1.000 tahun tercatat lebih dari 1.000 letusan dan
memakan korban manusia tidak kurang dari 175.000 jiwa. Letusan
gunung Tambora pada tahun 1815 dan gunung Krakatau pada tahun
1883 merupakan dua di antara letusan yang paling hebat yang telah
memakan banyak korban.
Selain membawa bencana, gunung berapi merupakan sumber
pembawa kemakmuran. Tanah yang subur selalu menutupi tubuhnya.
Oleh karena itu, penduduk selalu tertarik untuk menetap dan mendekati
gunung berapi, walaupun tempat tersebut diketahuinya berbahaya. Di
sinilah terletak permasalahan gunung berapi di Indonesia, disatu pihak
merupakan sumber bencana, tapi di lain pihak merupakan sumber
kesejahteraan. Karena kondisi tersebut, maka penanggulangan bencana
gunung berapi tidak hanya terpusat pada gunung berapi, tetapi
masyarakat sekitar gunung berapi yang kadang tidak mudah untuk
dievakuasi. Alasannya selain karena keterikatan dengan rumah dan lahan
pertanian, juga karena adanya kepercayaan tertentu terhadap gunung
berapi. Jadi penanggulangannya juga mencakup aspek sosial budaya.
Fase-Fase Bencana
Menurut Barbara, 1995 (dalam Ferry Effendi dan Makhfudli, 2009), ada
tiga fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu fase pre-impact, impact,
dan post-impact.
1. Fase pre-impact
Merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi
didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada
4

fase inilah persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan


warga masyarakat.
2. Fase impact
Merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat
dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup
(survive). Fase impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan
bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3. Fase post-impact
Merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase
darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada
fungsi komunitas normal. Secara umum, dalam fase post-impact ini
pada korban akan mengalami tahap respons psikologis mulai dari
penolakan (denial), marah (angry), tawar-menawar (bargaining),
depresi (depression), hingga penerimaan (acceptance).
Dampak Letusan Gunung Berapi
Berikut ini adalah dampak letusan gunung berapi baik yang positif
maupun negatif:
1. Dampak Negatif
Berikut adalah penjelasan mengenai dampak negatif mengenai
letusan gunung berapi:
a. Asap dan debu yang banyak keluar saat sebelum ataupun
sesudah letusan dapat menyebabkan ISPA bagi masyarakat yang
tinggal didekat lokasi bencana.
b. Dengan meletusnya gunung berapi, maka otomatis segala
aktivitas penduduk menjadi lumpuh sehingga ekonomi tidak
berjalan dengan semestinya
c. Lava dan Lahar akan merusak semua yang dilaluinya seperti
hutan, sungai, lahan pertanian maupun pemukiman penduduk.
d. Karena lahar merusak hutan sekitar maka akan mempengaruhi
ekosistem hayati wilayah tersebut.
e. Terjadinya pencemaran udara karena saat terjadi letusan, gunung
berapi
f.

mengeluarkan

debu

dan

gas

gas

beracun

yang

mengandung Sulfur dioksida, Hidrogen sulfida, Nitrogen dioksida.


Mengganggu pariwisata yang terdapat pada titik tertentu yang
mana sebelum terjadinya bencana menjadi tujuan destinasi
wisata. Dengan letusan gunung berapi, beberapa lokasi wisata

ditutup sehingga menghambat laju ekonomi.


2. Dampak Positif
Berikut adalah penjelasan mengenai dampak positif pada letusan
gunung berapi:
5

a. Saat terjadi letusan, banyak batu batu berbagai ukuran yang


dimuntahkan gunung yang mana dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar sebagai bahan bagunan.
b. Besarnya volume material vulkanik selama letusan berlangsung
ternyata membawa berkah tersendiri bagi masyarakat sekitar
karena memiliki profesi baru yakni sebagai penambang pasir.
c. Tanah tanah sekitar gunung yang terkena material letusan akan
semakin subur, tentu saja hal ini sangat menguntungkan para
petani dimana mereka tidak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk
membeli pupuk.
d. Setelah gunung meletus, biasanya muncul mata air makdani yaitu
mata air yang kaya dengan kandungan mineral.
e. Selain itu muncul pula sumber air panas/ geyser baru secara
bertahap dan periodik, hal ini tentu saja dapat dimanfaatkan
f.

masyarakat untuk kesehatan kulit.


Pada wilayah yang sering terjadi letusan gunung berapi sangat
potensial untuk dijadikan pembangkit listrik tenaga panas bumi
yang tentu saja bernilai ekonomis.

B. PENANGGULANGAN SEBELUM BENCANA GUNUNG MELETUS


Beberapa persiapan yang harus dilakukan dalam menghadapi letusan
gunung api antara lain:
1. Mengenali tanda-tanda bencana, karakter gunung api dan ancamanancamannya;
2. Membuat peta ancaman, mengenali daerah ancaman, daerah aman;
3. Membuat sistem peringatan dini;
4. Mengembangkan Radio komunitas untuk penyebarluaskan informasi
status gunung api;
5. Mencermati dan memahami Peta Kawasan Rawan gunung api yang
diterbitkan oleh instansi berwenang;
6. Membuat perencanaan penanganan bencana;
7. Mempersiapkan jalur dan tempat pengungsian yang sudah siap
dengan bahan kebutuhan dasar (air, jamban, makanan, pertolongan
pertama) jika diperlukan;
8. Mempersiapkan kebutuhan dasar dan dokumen penting;
9. Memantau informasi yang diberikan oleh Pos Pengamatan gunung
api (dikoordinasi oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi). Pos pengamatan gunung api biasanya mengkomunikasikan
perkembangan status gunung api lewat radio komunikasi.
6

C. PENANGGULANGAN SAAT TERJADI BENCANA GUNUNG MELETUS


Penanganan yang harus di lakukan pada saat terjadi gunung meletus
atau becana.
1. Mengetahui lokasi bencana dari informasi yang di dapat, dan harus
memperhatikan hal-hal berikut.
a. Lengkapi semua informasi. Dan klasifikasi kebenaran berita
b. Bila benar berita di laporkan sesuai ketentuan (alur pelaporan)
c. Berita distribusikan untuk kordinasi dengan unit kerja terkait
(persiapan tim)
d. Puskodalmet di bentuk (aktifkan organisasi kerangka/ organisasi
tugas yang sudah ditetapkan saat preparednees)
e. Sistem Komunikasi memegang peran penting
2. Tugas pengendalian fasilitas dan logistic seperti:
a. Mampu mengetahui dan menyiapkan kebutuhan semua unit kerja
(fasilitas Puskodal, fasilitas dan logistik di lapangan)
b. Menyiapkan dan berkoordinasi dgn sektor lain dalam penyiapan
kebutuhan korban (RS lapangan, shektering pengungsi, jamban,
air bersih, transportasi tim dan korban)
c. Mampu mengelola semua bantuan logistik dari hasil koordinasi
atau bantuan
d. Lokasi bencana tindakan yang harus di lakukan
1) Lakukan seleksi korban
2) Untuk memberikan prioritas pelayanan
3) Gunakan Label/Tag
4) Penyelamatan dan mengefaluasi korban maupun harta benda
5) Memenuhi kebutuhan dasar
6) Penyelamatan, serta pemulihan sarana dan prasarana
7) Perlindungan
8) Pengurusan pengungsi
3. Yang sebaiknya dilakukan oleh setiap orang jika terjadi letusan
gunung api antara lain:
a. Hindari daerah rawan bencana seperti lereng gunung, lembah,
b.
c.
d.
e.

aliran sungai kering dan daerah aliran lahar;


Hindari tempat terbuka, lindungi diri dari abu letusan;
Masuk ruang lindung darurat;
Siapkan diri untuk kemungkinan bencana susulan;
Kenakan pakaian yang bisa melindungi tubuh, seperti baju lengan

f.

panjang, celana panjang, topi dan lainnya;


Melindungi mata dari debu, bila ada gunakan pelindung mata
seperti kacamata renang atau apapun yang bisa mencegah

masuknya debu ke dalam mata;


g. Jangan memakai lensa kontak;
h. Pakai masker atau kain untuk menutupi mulut dan hidung
7

i.

Saat turunnya abu gunung api usahakan untuk menutup wajah


dengan kedua belah tangan.

D. PENANGGULANGAN

SETELAH

TERJADI

BENCANA

GUNUNG

MELETUS
Penyelenggaraan penanggulanagan bencana pada tahap pasca bencana
yaitu:
1. Rehabilitasi
a. Perbaikan lingkungan daerah bencana.
b. Perbaikan prasarana dan sarana umum.
c. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat.
d. Pemulihan social psikologis.
e. Pelayanan kesehatan
f. Rekonsiliasi dan resolusi konflik
g. Pemulihan social ekonomi budaya
h. Pemulihan keamanan dan ketertiban
i. Pemulihan fungsi pemerintahan, dan
j. Pemulihan fungsi pelayanan public.
2. Rekonstruksi
a. Pembangunan kembali prasarana dan sarana
b. Pembangunan kembali sarana social masyarakat
c. Pembangkitan kembali kehidupan social budaya masyrakat
d. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan
peralatan yang lebih baik
e. Partisipasi dan peran

serta

lembaga

dan

organisasi

kemasyarakatan dunia usaha dan masyarakat.


f. Peningkatan kondisi social, ekonomi, dan budaya
g. Peningkatan fungsi pelayanan public, dan
h. Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
E. PERAN PERAWAT DALAM TANGGAP BENCANA
1. Peran perawat pada pra-bencana:
a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan

bagi

tenaga

kesehatan dalam penanggulangan ancaman bencana untuk setiap


fasenya.
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintah, organisasi
lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi
persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat.
c. Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk
meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana
yang meliputi hal-hal berikut.
1) Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut)
2) Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti
menolong anggota keluarga yang lain.
8

3) Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan


membawa persediaan makanan dan penggunaan air yang
aman.
4) Perawat juga dapat memberikan beberapa alamat dan nomor
telepon darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit, dan
ambulans.
5) Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan
atau posko-posko bencana.
6) Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat
dibawa seperti pakaian seperlunya, radio portable, senter
beserta baterainya dan lainnya.
7) Bersama tim dokter, menyiapkan kebutuhan rumah sakit
lapangan dan tim ambulans
8) Berdiskusi bersama tim dokter tentang penyakit yang timbul
akibat

bencana

sehingga

dapat

mempersiapkan

obat-

obatan/alat kesehatan yang sesuai.


2. Peran Perawat dalam intra bencana:
a. Bertindak cepat
b. Melakukan pertolongan pertama
c. Menentukan status korban berdasarkan triase
d. Merujuk pasien segera yang memerlukan fasilitas kesehatan yang
lebih lengkap.
e. Do not promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun
dengan pasti, dengan maksud memberikan harapan yang besar
pada para korban selamat.
f. Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan.
g. Koordinasi dan menciptakan kepemimpinan (coordination and
create leadership).
h. Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang terkait dapat
mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing,
biasanya untuk jangka waktu 30 bulan pertama.
3. Peran perawat pada pasca bencana:
a. Perawat berkerja sama dengan tenaga kesehatan lain dalam
memberikan

bantuan

kesehatan

kepada

korban

seperti

pemeriksaan fisik, wound care secara menyeluruh dan merata


pada daerah terjadi bencana.
b. Saat terjadi stres psikologis yang terjadi dapat terus berkembang
hingga terjadi post-traumatic stress disorder (PTSD) yang
merupakan sindrom dengan tiga kriteria utama yaitu trauma pasti
dapat dikenali, individu mengalami gejala ulang traumanya melalui
flashback, mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang memacunya
9

dan individu akan menunjukkan gangguan fisik, perawat dapat


berperan sebagai konseling.
c. Perawat bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja
sama dengan unsur lintas sektor menangani masalah kesehatan
masyarakat

pasca-gawat

darurat

serta

mempercepat

fase

pemulihan menuju keadaan sehat dan aman.


d. Perawat dapat melakukan pelatihan-pelatihan keterampilan yang
difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang
bergerak dalam bidang itu. Sehingga diharapkan masyarakat di
sekitar daerah bencana akan mampu membangun kehidupannya
kedepan lewat kemampuan yang dimilikinya.
(Ferry dan Makhfudli, 2009).
Keperawatan bencana bertujuan untuk memastikan bahwa
perawat mampu untuk mengidentifikasi, mengadvokasi dan merawat
dampak dari semua fase bencana termasuk didalamnya adalah
berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan kesiapsiagaan bencana.
Perawat harus mempunyai ketrampilan teknis dan pengetahui tentang
epidemiologi, fisiologi, farmakologi, struktur budaya dan social serta
masalah psikososial sehingga dapat membantu dalam kesiapsiagaan
bencana dan selama bencana sampai dengan tahap pemulihan (ICN,
2009). Perawat bersama dengan dokter merupakan ujung tombak
kesehatan pada saat bencana terjadi selama dalam kondisi kritis dan
gawat darurat (Zarea, dkk., 2014). Perawat dapat memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat baik yang bersifat kegawat daruratan
maupun berkelanjutan seperti perawatan neonatal, pendidikan dan
penyuluhan kepada masyarakat, mengidentifikasi penyakit dan imunisasi
serta intervensi pada saat kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana
(Savage & Kub, 2009).
Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada
instansi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan
keperawatan tersebut juga sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap
bencana.
Perawat

tidak

hanya

dituntut

memiliki

pengetahuan

dan

kemampuan dasar praktek keperawatan saja, lebih dari itu, kemampuan


tanggap bencana juga sangat di butuhkan saat keadaan darurat. Hal ini
diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa terjun memberikan
pertolongan dalam situasi bencana.
10

Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita


lebih banyak melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan
pertolongan lebih dahulu dibandingkan dengan perawat, walaupun ada itu
sudah terkesan lambat.

F. ASUHAN KEPERAWATAN EMERGENCY


TRIASE Lapangan
Triase lapangan merupakan proses memilih atau mengkaji korban
bencana berdasarkan beratnya cidera dan besarnya kemungkinankorban
untuk diselamatkan dengan tindakan medis.
Klasifikasi Triase Nato
T1.

Klasifikasi Triase dengan Kode

Konvensional
Pembedahan segera:

menyelamatkan
tubuh.

jiwa

Waktu

Kualitas

atau

operasi

Warna
untuk Merah/darurat: prioritas 1: pasien kritis
anggota yang dapat hidup dengan intervensi,
minimal.

keberhasilan

tidak memerlukan personil dan sumber

hidup daya dalam jumlah yang berarti.

diharapkan baik
Kuning/urgen:

prioritas

2:

korban

T2. Ditunda: pembedahan memakan mempunyai kemungkinan tetap hidup


banyak

waktu.

terancam
stabilisasi

Jiwa

olen

korban

penundaan
keadaan

tidak dan kondisinya tetap stabil selama

operasi beberapa jam dengan dilakukannya


korban, tindakan stabilisasi.

meminimalkan efek penundaan.


Hijau/non urgensi: prioritas 3: cidera
T3. Minimal: cidera ringan ditangani

ringan yang dapat diatasi oleh petugas

oleh staf dengan pekatihan minimal.

dengan pelatihan minimal dan dapat


menunggu

sampai

korban

cidera

lainnya selesai ditangani.

Biru/urgensi bervariasi: prioritas 2/3:


T4. Ekspektan:

cidera serius dan

korban dengan cidera berat yang


11

multiple. Penanganan kompleks dan diperkirakan tidak akan bertahan hidup


memakan

waktu.

memerlukan

banyak

Penangan kecuali bila dilakukan tindakan dengan


personil

dan segera.

sumber daya.

Warna biru kadang-kadang digunakan


untuk

menggantikan

warna

hitam

karena banyak petugas mengalami


kesulitan dalam menempati korban
kedalam

kategori

pasien

yang

memerlukan terapi paliatif saja.

Hitam/ekspektan:

tidak

terdapat

prioritas yang nyata. Korban menderita


cidera

hebat

dengan

kecil

kemungkinan untuk hidup atau korban


sudah meninggal. Prioritas yang harus
dilkaukan hanyalah tindakan untuk
memberikan

kenyamanan

kepada

orang yang sedang berada dalam


proses kematian.

Asuhan Keperawatan Pasca Bencana Secara Umum


1. Pengkajian awal terhadap korban bencana,yang mencakup :
a. Keadaan jalan napas, apakah terdapat sumbatan napas. Sifat
pernapasan dengan cepat, lambat, tidak teratur.
b. Sistem Kardiovaskular, meliputi tekanan darah tinggi atau rendah,
nadi cepat atau lemah.
c. Sistem muskuloskletal, seperti luka, trauma, fraktur.
d. Tingkat kesedaran, composmentis - coma.
2. Pertolongan darurat
Evaluasi melalui sistem triaget sesuai dengan urutan Prioritas.
a. Atasi masalah jalan napas, atur posisi (semi fowler, fowler tinggi),
bebaskan jalan nafas dari sumbatan, berikan oksigen sesuai
kebutuhan, awasi pernapasan.
12

b. Atasi perdarahan, bersihkan luka dari kotoran dan benda asing,


desinfektan luka, biarkan darah yang membeku, balut luka.
c. Fraktur atau trauma, imobilisasi dengan memakai spalak, balut.
d. Kesadaran terganggu, bebaskan jalan napas, awasi tingkat
kesadaran dan tanda vital
3. Rujukan segera ke puskesmas/rumah sakit
Dengan menyiapkan ambulans dan melakukan komunikasi sentral ke
pusat rujukan.
(Kissanti, 2012).

Kasus Asuhan Keperawatan


Gn. Merapi meletus sejak 7 hari yang lalu. Tn. S, 50 tahun mendatangi
seorang perawat di posko pengungsian Gn. Merapi. Tn. S mengatakan
sudah 5 hari ini batuk berdahak namun dahak sulit dikeluarkan. Lalu ia
juga mengatakan bahwa dadanya sesak dan sulit untuk bernapas.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik oleh perawat, didapatkan data TD:
120/80 mmHg, S: 35,5oC, Nadi: 80 x/menit, RR: 26 x/menit, ronkhi
diseluruh lapang paru, klien tampak terengah-engah. Sejak Gn. Merapi
meletus Tn. S tidak memakai masker karena ia menganggap memakai
masker akan bertambah sesak.
ANALISA DATA
Data

Etiologi
Gn. Meletus

DS:
Klien

mengatakan

batuk berdahak dan


dahak
dikeluarkan

sulit

Masalah Keperawatan
Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Napas

Mengeluarkan asap

Klien tidak memakai


masker

DO:

RR 26 x/mnt

Batuk berdahak

Ronkhi + | +

13

Dahak tidak dapat


keluar

Ketidakefektifan
bersihan jalan napas
Gn. Meletus

DS:
Klien

mengatakan

dadanya sesak dan

Ketidakefektifan

Pola

Napas

Mengeluarkan asap

sulit untuk bernapas

Klien tidak memakai

DO:

masker

RR 26 x/mnt
Klien

tampak

Menghirup asap terus-

terengah-engah

menerus

Dada sesak

Ketidakefektifan Pola
Napas

1. Diagnosa keperawatan 1 : Bersihan jalan nafas tidak efektif


Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan,


sekret dapat dikeluarkan.

NOC

: Status Pernapasan: Ventilasi

KH

Menunjukkan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih

Tidak ada dipsneu

Sekret dapat keluar

NIC

: Pengelolaan Jalan Napas.

a. Kaji frekuensi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada


b. Auskultasi area paru, catat area penurunan udara
c. Bantu pasien latihan nafas dalam dan melakukan batuk efektif
d. Berikan posisi semifowler dan pertahankan posisi anak
e. Lakukan penghisapan lendir sesuai indikasi, jika diperlukan.
f.

Kaji vital sign dan status respirasi.

14

g. Kolaborasi pemberian oksigen dan obat bronkodilator serta


mukolitik ekspektoran
2. Diagnosa keperawatan 2 : Ketidakefektifan Pola Napas
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan


selama 3 x 24 jam diharapkan pasien bisa
bernafas dengan lega

Kriteria Hasil

Respirasi 20x/mnt

Pasien tidak terengah-engah dalam bernafas

Pasien tampak rileks

NIC

a. Berikan terapi oksigen


Rasional : membantu mencukupi kebutuhan oksigen
b. Observasi TTV, terutama respirasi tiap 4 jam sekali
Rasional : membantu mengevaluasi perkembangan pola nafas
c. Kolaborasi medis untuk pemberian obat golongan epinefrin
Rasional : membantu pembuluh kapiler dilatasi

G. JURNAL KEPERAWATAN
1. Pengalaman Perawat dalam Melakukan Penilaian Cepat Kesehatan
Kejadian Bencana pada Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung
Kelud Tahun 2014 di Kabupaten Malang (Studi Fenomenologi)
Jurnal penelitian memiliki tujuan untuk mengidentifikasi makna
pengalaman

perawat

dalam

melakukan

Rapid

Health

Assessment/RHA pada tanggap darurat bencana erupsi Gunung


Kelud tahun 2014 di Kabupaten Malang. RHA atau penilaian cepat
kesehatan kejadian bencana sangat diperlukan dalam kondisi
bencana yang sering terjadi yang disebabkan oleh alam. RHA sendiri
berisi data-data mengenai jenis bencana, lokasi bencana, dampak
bencana, kondisi korban, kondisi sanitas lingkungan penampungan,
upaya yang telah dilakukan, kemungkinan kejadian luar biasa yang
akan terjadi serta kesiapan logistik dan bantuan yang mungkin segera
diperlukan. Partisipan yang mengikuti penelitian ini sebanyak 5 orang
15

perawat yang terdiri dari 3 orang perawat yang bekerja di Dinas


Kesehatan Kabupaten Malang dan 2 orang perawat yang bekerja di
Puskesmas Ngantang. Tehnik pengambilan data melalui wawancara
selama 30-50 menit dengan menggunakan alat perekam berbasis
android. Tempat wawancara dilakukan di rumah dan kantor partisipan
sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.
Dari penelitian tersebut didapatkan hasil sebagai berikut:
a. Perawat tidak siap dalam pengisian RHA
Partisipan mengungkapkan bahwa tidak siap akan format yang
dibawanya,

tidak

ingat

untuk

membawa

format

maupun

pencatatan yang apa adanya. Partisipan lain mengungkapkan


keraguannya dalam pengisi data karena tidak adanya informasi
yang jelas dari masyarakat.
b. Perawat merasakan kurangnya kerjasama tim
Kurangnya kerjasama tim disebabkan karena perawat banyak
melakukan tupoksi orang lain dan perawat sering bekerja
sendirian tanpa adanya tim lain dalam melakukan pengkajian
serta kurangnya koordinasi antar anggota tim.
c. Perawat merasa kurang memahami dalam pengisian format
Partisipan juga mengemukakan bahwa kurang mengetahui
kegunaan format yang diisi, mereka hanya mengisi saja sesuai
dengan format yang ada.
d. Perawat mengalami permasalahan dalam pengumpulan data
Di dalam pengkajian ditemukan ketidakjelasan data dimana
didapati data yang tidak pasti, data yang terekam ulang, data yang
hanya sebuah estimasi sampai dengan informasi yang tidak jelas
mengenai keadaan kesehatan selama bencana erupsi Gunung
Kelud tahun 2014.
e. Perawat mengalami kendala dalam koordinasi rujukan antar
wilayah
Rujukan antar wilayah ini terkendala pada masalah koordinasi
yang lama, misal ditingkat kebijakan terutama adalah koordinasi
untuk rujukan pelayanan kesehatan antar wilayah.
f.

Perawat mengalami hambatan dalam melakukan penilaian

16

Hambatan yang terjadi banyak disebabkan karena adanya jalur


komunikasi yang terputus, gangguan alat komunikasi (telepon
mati, hp tidak ada signal), gangguan alat penerangan (listrik
padam), serta gangguan transportasi (ambulance tidak dapat
digunakan dan transportasi yang tidak memadai).
g. Perawat merasakan adanya konflik tugas dalam pengisian RHA
Perawat mengerjakan tugas selain sebagai tim RHA. Tugas lain
yang dikerjakan oleh perawat ada di semua lini dimana selain
perawat melakukan rapid health assessment perawat juga
melakukan rapid assessment mulai dari assessment awal sampai
dengan perencanaan, mengurusi pengungsi, bertugas mengganti
tugas sanitarian maupun surveilans. Partisipan juga mempunyai
pekerjaan lain sehingga perawat melakukan double job dan kerja
perawat juga semakin banyak.
h. Harapan perawat untuk optimalisasi RHA.
Perawat mempunyai harapan untuk terwujudnya optimalisasi
dalam pelaksanaan penilaian RHA
Masih banyak yang harus diperbaiki dalam menjalankan RHA.
Proses penilaian cepat kesehatan atau RHA pada bencana, perawat
masih sangat kurang optimal. Dilihat dari segi persiapan perawat,
kerjasama tim maupun pada saat pengumpulan data serta kurangnya
koordinasi baik lintas program, lintas sektor maupun antar wilayah
maka perawat memiliki harapan untuk peningkatan dalam optimalisasi
RHA

dengan

kompetensi

melakukan

perawat.

pelatihan-pelatihan

Dengan

adanya

dan

peningkatan

pelatihan-pelatihan

dan

peningkatan kompetensi tersebut akan membuat perawat lebih


terbiasa dengan adanya RHA, dan juga dapat membentuk kerjasama
tim yang sangat baik.

2. Nurses

Competencies

in

Disaster

Nursing:

Implications

for

Curriculum Development and Public Health


Jurnal penelitian ini memiliki tujuan untuk mengeksplorasi
kompetensi-kompetensi apa saja yang dibutuhkan perawat Hongkong

17

dalam keperawatan bencana. Pemilihan peserta diambil dari perawat


yang bekerja di medis/bedah, perawatan kritis, dan kesehatan
masyarakat. Metode penelitiannya menggunakan wawancara focus
kepada 15 orang perawat dan pengisian secara tertulis kepada 30
perawat. Wawancara focus untuk mengeksplorasi kompetensi dan
pengetahuan keperawatan bencana dengan pertanyaan minimal atau
informasi dengan dipandu. Peserta diberi penjelasan tentang apa
yang

diperlukan

dalam

keperawatan

bencana

di

awal

sesi

wawancara. Pengisian secara tertulis dimana perawat yang sebagai


peserta diminta untuk menuliskan kompetensi keperawatan apa saja
yang diperlukan dalam empat tahap bencana.
Penelitian menunjukkan bahwa perawat tidak menyadari peran
mereka dalam mempersiapkan masyarakat atau populasi yang rentan
terjadi bencana. Agar siap dan kompeten untuk bencana, semua
perawat harus dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan
untuk

perawatan

bencana

melalui

pendidikan

dan

pelatihan.

Keperawatan Bencana belum ditetapkan sebagai topik inti/subjek


untuk dimasukkan dalam keperawatan program di Hong Kong.
Penemuan dalam penelitian ini memberikan gambaran yang
lebih jelas dari persiapan perawat yang tidak memadai untuk
bencana, dalam menyediakan pendidik perawat dan panduan untuk
menggambarkan program pendidikan khusus dibuat untuk perawat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perawat Hong Kong memiliki
beberapa pemahaman yang dibutuhkan kompetensi dalam fase
persiapan,

respon,

dan

pemulihan

serta

pencegahan

dalam

perawatan bencana. Bahkan, ICN telah disarankan dalam kerangka


keperawatan bencana yang lebih banyak perhatian diperlukan
berkaitan dengan perencanaan dan persiapan, serta pemahaman
tentang proses manajemen bencana secara keseluruhan. Hal ini
tercermin dari meskipun ada cukup banyak penelitian telah berfokus
pada penanggulangan bencana, ada juga beberapa penelitian yang
dilakukan di Hong Kong pada kesiapan bencana keluarga dengan
anak muda dan orang tua di Hong Kong. Untuk perawatan pasca-

18

bencana, penelitian juga mengeksplorasi pengalaman perawat China


setelah Sichuan gempa penyelamatan.
Dalam beberapa jurnal penelitian di Indonesia, peneliti secara
umum eksplorasi tentang skill dan pengalaman dalam penanganan
keberawatan bencana. Dimana pengalaman banyak dan skill yang
baik akan memberikan pelayanan yang baik pula. Jurnal penelitian ini
dapat diaplikasikan di Indonesia dimana eksplorasi selain pelatihan
atau

pengalaman,

juga

diperlukan

untuk

eksplorasi

tingkat

pengetahuan mengenai kompetensi-kompetensi apa saja yang


diperlukan untuk penanganan dalam keperawatan bencana. Dengan
demikian, perawat mampu memahami apa saja target kompetensi
yang harus dimiliki oleh perawat dalam penanganan keperawatan
bencana.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Gunung meletus terjadi akibat endapan magma di dalam perut
bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Dari letusanletusan seperti inilah gunung berapi terbentuk. Bencana gunung meletus
ini bisa menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar sampai
ribuan kilometer jauhnya dan bahkan bisa mempengaruhi putaran iklim di
bumi ini. Bencana tersebut menjadi tiga fase, fase pre-impact, fase impact
dan fase pasca impact. Bencana ini juga memiliki dampak positif dan
negatif.
Keperawatan bencana bertujuan untuk memastikan bahwa
perawat mampu untuk mengidentifikasi, mengadvokasi dan merawat
dampak dari semua fase bencana termasuk didalamnya adalah
berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan kesiapsiagaan bencana.
Perawat harus mempunyai ketrampilan teknis dan pengetahui tentang
epidemiologi, fisiologi, farmakologi, struktur budaya dan social serta

19

masalah psikososial sehingga dapat membantu dalam kesiapsiagaan


bencana dan selama bencana sampai dengan tahap pemulihan.
Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada
instansi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan
keperawatan tersebut juga sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap
bencana. Perawat tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan dan
kemampuan dasar praktek keperawatan saja, lebih dari itu, kemampuan
tanggap bencana juga sangat di butuhkan saat keadaan darurat. Hal ini
diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa terjun memberikan
pertolongan dalam situasi bencana.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita
lebih banyak melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan
pertolongan lebih dahulu dibandingkan dengan perawat, walaupun ada itu
sudah terkesan lambat.

B. SARAN
Sebagai seorang calon perawat diharapkan bisa turut andil dalam
melakukan kegiatan tanggap bencana. Sekarang tidak hanya dituntut
mampu memiliki kemampuan intelektual namun harus memilki jiwa
kemanusiaan melalui aksi siaga bencana. Seorang perawat juga harus
bisa bekerja dalam sebuah tim dan mengerjakan sesuai kompetensi
masing-masing di dalam tim tersebut.

20

DAFTAR PUSTAKA
Alice and Olivia, 2014. Nurses Competencies in Disaster Nursing:
Implications for Curriculum Development and Public Health.
International Journal of Environmental Research and Public
Health. Online (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles) diakses
pada tanggal 31 Juli 2016 pukul 15.00 WIB.
Azizah, Yati Nur., dkk. 2015. Pengalaman Perawat dalam Melakukan
Penilaian Cepat Kesehatan Kejadian Bencana pada Tanggap
Darurat Bencana Erupsi Gunung Kelud Tahun 2014 di Kabupaten
Malang (Studi Fenomenologi). Jurnal Ilmu Keperawatan, Vol: 3,
No. 2, November 2015. Malang: FKUB.
Doenges. 2002. Rencana Asuhan keperawatan. Edisi 3. EGC: Jakarta.
Effendi, Ferry., Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas
Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Hughes F., Grigg M., Fritsch K. & Calder S. 2007. Psychosocial
Response in Emergency Situations The Nurses Role.
International Nursing Review 54, 1927.
Keliat, B.A. Dkk. 2006. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa Dalam
Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Modul IC CMHN.
Jakarta: FIKUI.
Kissanti, A. 2012. Panduan Lengkap Pertolongan Pertama pada Darurat
Klinis. Yogyakarta: Araska.
Mayasari, 2015. Penyebab Gunung Meletus dan Akibatnya. Online
(http://ilmugeografi.com/ilmu-bumi/gunung/penyebab-gunungmeletus) diakses pada tanggal 28 Juli 2016 pukul 10:16 WIB.
Nandi, 2006. Vulkanisme. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Savage, C., & Kub, J. 2009. Public health and nursing: A natural
partnership. International Journal of Environmental Research and
Public Health, 6, 2843-2848.
Suliswati. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
EGC.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.
Zarea, K., S. Beiranvand, et al. 2014. "Disaster Nursing in Iran:
Challenges and Opportunities." Elsevier: 7.
21

You might also like