You are on page 1of 33

Asuhan Keperawatan GANGGUAN SISTEM

PERKEMIHAN (ASKEP)
10:33 AM
Kumpulan Askep
This ad zapped.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN :
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
Pendahuluan :
Masalah yang sering di alami seorang pria usia lanjut yang berhubungan
dengan sistem perkemihan adalah Benign Prostatic Hyperlasia (BPH).
Prostat adalah organ perkemihan yang sering mengalami neoplasma :
Benigna atau Maligna.
Masalah ini sering terjadi pada 50 % pria diatas usia 50 tahun, dan 75 %
pria di atas 70 tahun. Di Indonesia insiden ini akan banyak ditemukan
sehubungan dengan semakin banyaknya usia lanjut karena meningkatnya
usia harapan hidup. Dengan demikian akan banyak pula kasus ini tinggal
rawat di rumah sakit yang pada umumnya berindikasi pembedahan.
Pada kondisi ini, sebagai seorang perawat akan sering diperhadapkan
dengan masalah keperawatan yang terkait dengan kasus BPH terutama
yang berhubungan dengan tindakan pembedahan. Oleh karena itu
perawat perlu memiliki pengetahuan yang cukup untuk menangani klien
BPH khususnya dalam asuhan keperawatan perioperatif (pra bedah, intra
bedah, dan pasca bedah).
Etiologi :
BPH adalah pembesaran jaringan kelenjar prostat yang bersifat jinak.
Walaupun tidak diketahui secara pasti penyebabnya sebab bersifat
universal terjadi pada usia lanjut. Namun demikiandiperkirakan bahwa
peningkatan jumlah sel prostat sebagai hasil dari adanya perubahan
endokrin yang berhubungan dengan proses penuaan. Terjadinya
akumulasi dihydroxytestosteron (hormonm androgen utama dalam
kelenjar prostat), stimulasi estrogen, dan aktifitas hormon pertumbuhan
lokal lainnya dianggap berperan dalam terjadinya BPH (Lewis, Heitkemper
& Dirksen, 2000)
Demikian pula dengan faktor yang berhubungan dengan diet, pengaruh
inflamasi kronik, faktor sosial ekonomi, herediter, dan ras semuanya dapat
dipertimbangkan berperan dalam terjadinya BPH (Black & Jacobs, 1997).
Faktor Resiko :
BPH sering ditemukan pada seorang pria lanjut usia, oleh karena itu tidak
ada pencegahan utamanya. Pria dengan kastraksi atau yang mengalami
hypogonadism sebelum pubertas atau pada pria awal dewasa jarang
mengalami BPH. Insiden meningkat pada pria kulit hitam, dan kurang
pada pria Asia (Black & Jacobs, 1997).
Yang utama adalah deteksi dini merupakan pencegahan sekunder yang
terbaik. Deteksi dini diperlukan guna menangani secara cepat sehingga
mencegah terjadinya komplikasi yang berhubungan dengan obstruksi
saluran perkemihan bagian bawah.

Sebaiknya pemeriksaan prostat sudah dilakukan pada usia 40 tahun.


Pathophysiology :
Pembesaran prostat yang bersifat junak adalah peningkatan secara
abnormal jumlah sel normal(hyperlasia) dalam prostat, agaknya juga
terjadi pembesaran sel-sel prostat(hypertrophy).
Kelenjar periurethral yang mengalami hiperplasi pada usia lanjut yang
secara bertahap bertumbuh dan menekan pada sekeliling jaringan prostat
yang normal yang mendorong kelenjar kedepan, dan membentuk kapsul.
Komplikasi yang mungkin terjadi akibat pembesaran prostat termasuk
hambatan aliran urin dan juga akan mengakibatkan terjadinya urinary
reflux (backward flow) yang akan menyebabkan dekompensasi
uretrovesical junction.
Akibat dekompensasi menyebabkan peningkatan tekanan kandung kemih
yang lama, menipisnya dinding kandung kemih akibat peregangan dan
memudahkan terjadinya infeksi kandung kemih atau terbentuknya batu
kandung kemih.
Akibat tekanan kandung kemih, ureter akan mengalami tekanan dan
obstruksi sehingga dapat menyebabkan hydroureter dan selanjutnya
dapat menyebabkan hydronephrosis,akibatnya piala ginjal dan kaliks akan
mengalami distensi dan jaringan parenkim ginjal akan mengalami atrofi.
Selanjutnya obstruksi yang terjadi bila berlangsung lama atau mengalami
reflux akan menyebabkan terjadinya insufisensi renal.
Manifestasi Klinik :
BPH biasanya terjadi secara perlahan-lahan sehingga dalam
perkembangannya kadang-kadang tidak dirasakan sebagai gangguan.
Perlu diketahui bahwa pada usia lanjut, akan terjadi peningkatan frekuensi
berkemih. Bila seseorang mengeluh bahwa jumlah dan kekuatan aliran
urin tidak terjadi secara normal, maka patut dicurigai terjadinya BPH dan
perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut.
Pada BPH, aliran urin berkurang derasnya, nampak aliran melemah dan
kadang-kadang hanya menetes. Klien akan merasakan kurang puas dalam
berkemih. Mungkin pula terdapat darah dalam urin.
Akibat pembesaran prostat, akan sangat berbahaya terjadinya obstuksi
perkemihan yang komplit dan terjadi retensi. Retensi dapat dipicu oleh :

Demam
Peminum alkohol
Infeksi
Hambatan pengosongan
Trah baring.
Beberapa obat dapat memicu terjadinya retensi, seperti obat yang
bersifat dekongestan, anticholinergic, dan antidepressant.

Obstruksi dapat menyebabkan nyeri yang sangat sehingga perlu segera


dilakukan pemasangan kateter.
Beberapa upaya untuk mengkaji BPH :
Lakukan pemeriksaan fisik secara umum , termasuk digital rectal
examination (DRE).
Pemeriksaan laboratorium : Darah, urine, dan fungsi ginjal.
X-ray termasuk intravenous pyelogram dan cystosgraphy
prosedur tindakan lain : misalnya kakaterisasi dan cystoscopy.
Komplikasi :
Klien BPH akan meningkatkan resiko infeksi saluran kemih akibat kandung
kemih tidak mengalami pengosongan sempurna yang disebabkan oleh
adanya obstruksi sebagian atau total pada bagian proksimal uretra. Urin
residu akan merupakan lingkungan yang baik sebagai tempat
berkembang biaknya bakteri.
Batu dapat teerbentuk sebagai akibat terjadinya alkalinization dari urine
residu. Robekanpembuluh darah akibat peregangan yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya hematuria. Peningkatan tekanan pada kandung
kemih akan menyebabkan dinding kandung kemih mengalami peregangan
dan menyebabkan terbentuknya divertikula.
Komplikasi yang sangat serius akibat retensi urin adalah disfungsi
kandung kemih, hydroureter, kerusakan jaringan parenkim ginjal akibat
hydronephrosis, dan terjadi pyelonephritis. Dan komplikasi di atas dapat
menyebabkan gagal ginjal.
Tindakan medik :
Tujuan penanganan medik yaitu memperbaiki aliran urin dari kandung
kemih, mengurangi/menghilangkan gejala-gejala, dan mencegah atau
menangani komplikasi akibat BPH.
Apabila ditemukan klien berindikasi peningkatan obstruksi
urethra,dilakukan tindakan penanganan sesuai dengan indikasi. Berbagai
tindakan sebagai pilihan penanganan BPH dapat dikategorikan dalam
tindakan pengobatan, nonsurgical invasive (invasif tanpa tindakan
pembedahan, dan surgical invasive (tindakan invasif dengan
pembedahan).
1. Terapi Pengobatan :
Pemberian hormon dapat mengurangi/menghambat pertumbuhan
jaringan melalui penghambatan hormon adrogen. Pengobatan dilakukan
secara kontinu. Efek samping dari pengobatan ini adalah disfungsi ereksi,
dimana ditemukan 10 % dari klien mengalami penurunan
libido( Lewis,Heitkemper & Dirksen, 2000).
Pengobatan herbal dapat digunakan untuk klien BPH.
2. Nonsurgical Invasive :
Pemasangan indwelling kateter secara temporer dapat digunakan untuk
mengurangi gejala. Pemasangan kateter dalam waktu yang lama agar
dihindari guna mencegah terjadinya risiko infeksi. Pemasangan Ballon
dilatasi dalam uretra untuk meregangkan uretra sehingga aliran urin
menjadi bebas dan lancar. Tindakan pemasangan ballon ini merupakan
tindakan yang tidak permanen (bersifat sementara).
3. Surgical Therapy :

Tindakan pembedahan dilakukan guna mnengatasi adanya obstruksi urin


akibat BPH. Bagian dari kelenjar prostat yang menyebabkan obstruksi
dilakukan pengangkatan yang disebutProstatectomy. Indikasi
prostatectomy adalah sebagai berikut ;
Bagian atas saluran kemih mengalami dilatasi (hydroureter,
hydronephrosis) dan adanya gangguan fungsi ginjal.
Nyeri yang hebat.
Total urinary obstruction.
Pengobatan yang diberikan kurang berespon.
Adanya batu kandung kemih, sebagai bukti adanya obstruksi yang lama
sehubungan dengan BPH dan adanya infeksi.
Obstruksi yang lama dengan adanya hydroureter dan hydronephrosis
yang mengganggu fungsi ginjal.
Hematuria yang lama dan hebat.
Menurunnya kualitas hidup sebagai akibat BPH.
Retensi urinary yang kronik.
Adanya infeksi saluran kemih yang berulang-ulang.
Penanganan Pra-Bedah :
Tujuan persiapan klien pra-bedah adalah mempertahankan output urin
dan mencegah komplikasi.
Klien yang mengalami retensi akut memerlukan tindakan pembedahan.
Biasanya pada kondisi ini perlu dipertimbangkan pemasangan kateter.
Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat jaringan prostat
yang membesar, yaitu :
Transurethral resection of the prostat (TURP).
Suprapubic prostatectomy.
Retropubic prostatectomy.
Perineal prstatectomy.
Prosedur di atas ditentukan oleh ukuran dari prostat dan kondisi umum
kesehatan klien.
a. Transurethral Resection of the Prostate (TURP) adalah tinmdakan yang
sering dilakukan dengan mengangkat sebagian prostat. Tidak dilakukan
insisi eksternal, karena dilakukan melalui resectoscope melalui uretra dan
dilaukan kauter pada jaringan prostat.. Setelah dilakukan tindakan ini
melalui three-way indwelling catheter dimasukkan cairan steril sebanyak
30 60 ml guna hemostasis dan memfasilitasi aliran urin. Irigasi kandung
kemi dilakukan 24 jan pertama guna mencegah obstruksi bekuan darah.
Tindakan ini digunakan bila klien mengalami pembesaran prostat sedang.
Keuntungan tindakan ini adalah tidak dilakukan insisi eksternal dan tidak
menyebabkan gangguan disfungsi seksual (gangguan ereksi), dan tidak
mengakibatkan inkontinen yang lama.
Kerugiannmya yaitu dengan tidak seluruhnya jaringan prostat diangkat
akan memebrikan potensi untuk mengalami kembali hyperplasia, dan
dapat terjadi kanker prostat.
b. Transurethral Incision of the Prostat (TUIP).
Dilakukan pada klien dengan risiko tinggi, juga pada obstruksi ringan, atau
pada klien usia yang masih mudah. Insisi dilakukan kedalam jaringan
prostat guna mengurangi obstruksi pada bagian leher kandung kemih.
Insisi dapat dibuat secara unilateral atau bilateral. Dilakukan monitor

output urin dan kemungkinan hematuria yang dilakukan pada 24 jam


pertama melalui indwelling kateter.
c. Suprapubic Resection.
Pengangkat massa jaringan dilakukan secara luas (diatas 60 g) yang biasa
dilakukan pada kanker prostat. Insisi dilakukan dibagian bawah garis
tengah abdomen melalui kandung kemih sampai pada bagian depan
prostat. Tindakan ini dengan menggangkat seluruh kelenjar dan
selanjutnya uretra dijahitkan pada kandung kemih. Setelah pembedahan,
dipasang kateter pada bagian suprapubis yang dipasang melalui insisi
abdominal yang bertujuan untuk mencegah terjadinya terkanan pada
ahitan dan menungkin untuk penyembuhan kandung kemih. Indwelling
kateter dipasang kedalam kandung kemih melalui urethra guna mencegah
terjadinya striktur. Dilakukan irigasi kandung kemih pada 24 jam pertama.
Tindakan ini berisiko terjadinya infeksi saluran kemih, spasme kandung
kemih, dan perdarahan.
d. Retropubic Resection
Digunakan untuk mengangkat secara radikal yang dilakukan pada kanker
prostat. Insisi pada bagian bawah garis abdomen sampai pada kelenjar
prostat. Setelah pembedahan, dipasang indwelling kateter yang dipasang
melalui urethra kedalam kandung kemih. Dipasang drain pada daerah
insisi abdomen guna mengeluarkan cairan melalui area tersebut. Pada
tindakan ini tidak dilakukan insisi kandung kemih. Prosedur ini berisiko
terjadinya perdarahan. Pada klien yang kegemukan, agak sulit dilakukan
reseksi suprapubis dan retropubis.
e. Perineal Resection.
Tindakan ini jarang dilakukan, tetapi dilakukan pada kanker prostat. Insisi
dibuat melalui antara skrotum dan anus. Oleh karena kemungkinan dapat
meluas ke area rektum maka klien sebelumnya dilakukan huknah, diberi
antibiotik, dan diet rendah serat. Setelah pembedahan dipasang
indwelling kateter melalui urethra. Dipasang drain pada daerah
insisi.Dilakukan pergantian balutan setiap kali defekasi guna mencegah
terjadinya infeksi pada daerah insisi.
Kerugian : Walaupun semua tindakan berisiko disfungsi ereksi, tetapi
tindakan Perineal Resection merupakan insiden tertinggi, inkontinen urin,
risiko infeksi karena berdekatan dengan anus.
Asuhan Keperawatan pada Klien BPH:
Perawat sangat berkepentingan dalam asuhan keperawatan klien, karena
pada umumnya klien BPH tinggal rawat di rumah sakit karena dilakukan
pembedahan. Fokus asuhan keperawatan terutama pada pra-bedah dan
pasca-bedah.
Pengkajian Keperawatan :
Data objektif dan data subjektif harus dikumpulkan dari klien BPH, yaitu :
Data Subjektif :
- Informasi tentang status kesehatan : Pengobatan : testosteron dan
estrogen yang diberikan pada klien sebagai pengobatan BPH.
- Persepsinya tentang kesehatan : pengetahuan sehubungan dengan BPH,
kurang minum, pola eliminasi : berkemih yang mendesak (uninary
urgency), aliran urin yang lemah, merasa tidak sempurna dalam
berkemih, urin menetes, retensi urin, inkontinen, nocturia

- Persepsi kognitif : dysuria, merasa kurang nyaman pada kandung kemih.


- Reprodusi/Seksual : Kecemasan tentang disfungsi seksual.
Data Objektif :
- Umumnya terjadi pada pria lanjut usia.
- Adanya distensi kandungkemih teraba pada palpasi, dan teraba adanya
pembesaran pada prostat (dilakukan pemeriksaan rektal).
- Ditemukan pembesaran prostat pada ultrasonography, pada
pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekosit, bakteri, atau
hematuria, meningkatnya BUN dan kreatinin serum .
Asuhan Keperawatan sebelum pembedahan :
Pengkajian :
Klien mungkin secara samar-samar mengetahui tentang mengapa kelenjar
prostat membesar, dan klien mungkin merasa ketakutan sehubungan
dengan pengkajian/test dan hasilnya. Hati-hati menjelaskan setiap bagian
dari proses pengakajian yang dilakukan. Bila perlu perlihatkan pada
klien/keluarganya gambar organ reproduksi dan kelenjar prostat dan
jelaskan pengaruh adanya pembesaran prostat dengan ekresi urin.
Tanyakan pada klien manifestasi klinik yang terjadi pada klien termasuk
pola berkemih, adanya urgency, frequency, menurunnya atau terjadinya
gangguan aliran urin, hambatan berkemih, dan nocturia. Tanyakan juga
kemungkinan adanya hematuria.
1. NDx : Retensi urin berhubungan dengan Pembesaran prostat/obstruksi
urethra.
Tujuan : Klien akan bebas dari gejala-gejala BPH ditandai dengan : tidak
ditemukan adanya Frequency, urgency, hesitancy, aliran yang melemah,
retensi, atau nocturia.
Implementasi ;
- Observasi kekuatan aliran urin.
Rasional : Aliran yang melemah, menunjukkan adanya obstruksi pada
saluran perkemihan bagian bawah.
- Lakukan perkusi/palpasi area suprapubis.
Rasional : Distensi kandung kemih dapat dirasakan pada area suprapubis.
- Monitor vital sign, observasi kemungkinan hipertensi, edema perifer,
perobahan kesadaran.
Rasional : Kehilangan fungsi ginjal akan menghasilkan penurunan
eliminasi cairan dan akumulasi zat-zat toksik.
- Berikan rendaman hangat bila ada indikasi.
Rasional : Memungkinkan relaksasi otot, menurnkan edema, dan dapat
mendorong terjadinya pengosongan.
- Pasang indwelling kateter sesuai indikasi.
Rasional : Indwelling kateter sebagai alat memperetahankan aliran urin
dari kandung kemih secara adekuat/lancar.
2. NDx : Nyeri akut sehubungan dengan adanya iritasi mukosa sebagai
akibat adanya distensi kandung kemih
Tujuan : Klien akan melaporkan nyeri terkontrol/berkurang, ditandai
dengan ;
- Klien nampak relaksasi.
- Tidur cukup.
- Melaporkan nyeri hilang/berkurang.

- Vital sgn dalam batas normal.


Implementasi :
- Kaji adanya nyeri.
Rasional : Nyeri akibat obstruksi saluran kemih dirasakan pada area
sekitar kandung kemih/suprapubis.
- Lakukan tindakan relaksasi misalnya deep breathing exercise atau
pengalihkan perhatian dengan memberikan aktifitas yang bervariasi.
Rasional : Meningkatnya relaksasi, mengalihkan perhatian akan
meningkatkankemampuan koiping klien.
- Gunakan rendaman air hangat terutama pada daerah genitalia dan
sekitarnya.
Rasional : Rangsang hangat akan mengakibatkan vasodilatasi, sehingga
akan terjadi relaksasi.
- Pertahankan tirah baring .
Rasional : Nyeri akan meningkatkan stres sehingga penggunaan energi
akan meningkatkan. Energi diperlukan untuk mendorong
kekuatan/desakan pengeluaran urin.
- Pasang indwelling kateter.
Rasional : Mengeluarkan urin akan mengurangi distensi kandung kemih
dan mencegah kegelisahan klien.
- Diskusikan dengan dokter tentang pemberian obat :
- Golongan narkotik
Rasional : Memberikan relaksasi fisik dan mental.
- Antibiotik
Rasional : Mencegah adanya bakteri dalam saluran kemih.
3, NDx : Kurangnya pengetahuan sehubungan dengan kurangnya
informasi/pemahaman tentang penyakit, manifestasinya, dan tindakan.
Tujuan : Klien akan meningkat pengetahuannya tentang penyaki,
manifestasi dan tindakan yang dilakukan, yang ditandai dengan :
- Klien menunjukkan kepatuhan dalam menjalani tindakan/pengobatan.
- Klien pernyataan klien mendukung tindakan yang diberikan.
- Klien mampu menjelaskan kembali tentang pengetahuan, manfestasi
penyakit dan tindakan yang dilakukan.
Implementasi :
- Dorong klien untuk mengungkapkan ketakutannya/perasaannya dan
keprihatinannya.
Rasional : Klien merasa diberi perhatian serius, klien yakin perawat akan
membantu dengan baik.
- Berikan informasi bahwa penyakit ini bukan akibat hubungan seksual.
Rasional ; Informasi yang adekuat akan mengurangi kecemasannya.
- Sarankan:untuk menghindari minuman yang beralkohol/stimulan.
Rasional : Stimulan akan meningkatkan GFR sehingga produk urin akan
meningkat sehingga distensi kandung kemih akan bertambah.
- Diskusikan dengan dokter tentang pemberian informasi mengenai
penyakit dan tindakannya.
Rasional : Pemahaman yang keliru tentang penyakit dan
tindakannya/pengobatan akan meningkatkan kecemasannya atau kurang
kooperatif dalam tindakan yang dilakukan.
Asuhan Keperawatan Perioperatif :

Pengkajian :
Kaji kemampuan klien mengosongkan kandung kemihnya. Kandung kemih
klien di palpasi kemungkinan adanya distensi kandung emih. Palpasi
dilakukan di area suprapubis. Jika klien tidak dapat berkemih dengan
sempurna, pertimbangkan kemungkinan pemasangan indwelling kateter.
Oleh karena itu kaji adanya kebutuhan pemasangan kateter.
Pada pengkajian pra-bedah, perhatikan pengkajian yang berhubungan
dengan aspek fisik dan psikososial. Kaji tingkat pengetahuan klien
sehubungan dengan pembedahan dan hasilnya. Oleh karena banyak jenis
tindakan pembedahan yang dapat dilakukan, jadi mungkin klien tidak
mengerti implikasi dari tindakan yang akan dilakukan.
implikasi dari tindakan yang diterima klien.
1. NDx : Ketakutan sehubungan dengan masalah yang dialami saat ini,
tindakan dan fungsi seksual
Tujuan : Klien akan dapat mengontrol ketakutannya ditandai dengan
pernyataan sehubungan dengan pemahamannya yang adekuat,
kemampuan untuk bertanya secara jelas, dan kemampuan untuk
berisitrahat dengan baik.
Implementasi :
2, NDx : Nyeri akut sehubungan dengan tindakan invasif/edema daerah
trauma. Ditandai dengan : Klien melaporkan nyeri, gelisah, murung,
perhatian terfokus, respon otonomi. pada dirinya, ketegangan otot.
Tujuan : Klien akan melaporkan bahwa nyeri terkontrol /berkurang.,
ditandai dengan :
- Klien nampak relaksasi.
- Tidur cukup.
- Tenang.
Implementasi :
- Kaji tingkat nyeri, radiasi, dan tanda-tanda vital.
Rasional : Semakin kearak skor yang tinggi semakin menunjukkan tingkat
nyeri hebat. Bila ditemukan peningkatan tanda-tanda vital menunjukkan
klien dalam kondisi stres akibat nyeri.
- Jelaskan pada klien terjadinya nyeri.
Rasional : Pemahaman yang keliru tentang nyeri akan meningkatkan
stress sehingga nyeri akan semakin meningkat intensitasnya.
- Kaji kemungkinan terjadinya distensi kandung kemih setelah
pembedahan.
Rasional : Distensi kandung kemih terjadi sebagai akibat sumbatan
bekuan darah pada saluran perkemihan. Peregangan kandung kemih akan
menyebabkan nyeri.
- Kolaborasi : Obat analgetik atau antispasmodik.
Rasional : Obat ini akan mengurangi nyeri dan mencegah terjadinya
spasme kandung kemih
- Berikan diet tinggi serat.
Rasional : Diet rendah serat akan mendorong klien mengedan saat
defekasi sehingga menimbulkan tarikan/regangan pada area jahitan atau
menyebabkan perdarahan.
3. NDx : Risiko terjadinya injury sehubungan dengan adanya pemasangan
kateter, irigasi atau drai pada suprapubis.

Tujuan : Klien akan bebas dari injury seperti adanya infeksi, sumbatan
kateter, atau injury akibat pemasangan kateter. Ditandai dengan ;
- Tidak ada demam.
- Laboratorium lekosit normal.
- Penyembuhan luka pembedahan baik.
- Katater berfungsi dengan baik.
- Tidakj ada perdarahan.
- Aliran urin lancar.
Implementasi :
- Kaji aliran urin melalui kateter.
Rasional : ketidaklancaran aliran urin melalui kater sebagai akibat adanya
sumbatan bekiuan darah pada lumen kateter.
- Lakukan irigasi kandung kemih melalui kateter.
Rasional : irigasi akan mempertahankan aliran lancar dan membersihkan
kandung kemih dari bekuan darah dan jaringan nekrotis lainnya sehingga
urin warna urin kembali normal, dan mencegah terjadinya overdistensi
kandung kemih yang dapat menyebabkan perdarahan.
- Berikan informasi kepada klien tentang pemasangan drain dan kateter.
Rasional : Kurangnya pengetahuan klien tentang tindakan yang dilakukan
akan memungkinkan klien menarik/memegang kateter/drain.
- Observasi keadaan luka pembedahan apakah ada tanda-tanda radang.
Rasional : Adanya edema, kemerahan pada permukaan kulit di area
pembedahan menunjukkan terjadinya infeksi skunder.
- Pertahankan tehnik aseptik terutama saat perawatan luka pembedahan,
hindari lakukan enema, rectal tube, atau pemasangan termometer rektal.
................................................................................................................

Konsep dan ASKEP Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)


Posted on January 2, 2012 by herodessolution
Konsep dan ASKEP Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)

Benigna Prostate Hiperplasia


1. Pengertian Benigna Prostate Hiperpalasia
Ada banyak pasien dengan usia di atas 50 tahun kelenjar prostatnya mengalami pembesaran ,
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi
orifisium uretra. Kondisi ini di kenel sebgai hiperplasia prostate jinak (BPH), perbesaran atau
hipertrofi prostat. BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan
penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di tas usia 60 tahun
(Brunner & Suddarth, 2002).
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior bulibuli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu
uretra pars prostatika dan menyebebkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. Menurut
Purnomo, 2007 kelenjar prostat di bagi dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer, zona
sentral, zona transional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretra. Sebagian besar

hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional;sedngkan pertumbuhan karsinoma prostat


berasal dari zona perifer.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testoteron, yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan berubah menjadi metabolit aktif dihidrotestoteron (DHT)
dengan bantuan enzim 5@- reduktase. Dihidrotestoteron inilah yang secara langsung
memacum-RNA di dalm sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang
memacu pertumbuhan kelenjar prostat.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini dialami
oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pri yang berusia 80 tahun.
Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga
menimbulkan gangguan miksi. (Purnomo,2007)
2. Etiologi Benigna Prostate Hiperpalasia
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat;
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitanya dengan
peningkatan kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa
hipotesis yang di duga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah: a) teori
dihidrotetstoteron, b) danya ketidak seimbangan antara estrogen-testoteron, c) interaksi antar
sel stroma dan sel epitel prostat, d) berkurangnya kematian sel (apoptosis) dan, e) teori stem
sel (Purnomo,2007).
3. Gambaran Klinis Benigna Prostate Hiperpalasia
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa
rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui
colok dubur, harus di perhatikan konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak
konsistensinya kenyal). Adakah asimetris, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat
di raba. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba benjolan yang konsistensinya
lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat asimetris dengan bagian yang lebih keras. Dengan
colok dubur dapat juga di ketahui batu prostat bila teraba krepitasi.
Derajat berat obstruksi dapat di ukur dengan menentukan jumlah sisa urine setelah miksi
spontan. Sisa urin di tentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan
kateterisasi. Sisa urin dapat pula di ketahui dengan melakukan ultrasonografi kandungkemih
setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc baisanya di anggap sebagai batas untuk indikasi
melakukan intevensi pada hipertrofi prostat.
Derajat berat obstruksi dapat pula di ukur dengan mengukur pancaran kemih rata-rata 10-12
ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran
menurun antara 6-8 ml/detik. Sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau
kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi infravesikal tidak dapat di bedakan dengan
pengukuran pancaran kemih.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga menggangu faal ginjal
karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolitiasis. Tindakan untuk menentukan
diagnosa penyebab obstruksi maupunmenentukan kemungkinan penyulit harus di lakukan
secar teratur.(Sjamsuhidajat, 2007)

4. Patofisiologi Benigna Prostate Hiperpalasia


Biasanya di temukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi dan
iritasi. Gejala dan tanda obstuksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada
permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah,
dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi di sebabkan hipersensitivitas otot detrusor
berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit di tahan, dan disuria. Gejala
obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal
berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Gejala dan tanda ini di beri skor untuk menentukan berat keluhan klinis.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi
masih di temukan sisa urin di dalam kandung kemih. Dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir
miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga
penderita tidak mampu lagi miksi.karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat vesiak
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila
tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari pada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi
inkontenensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidrouretra,
hidronefrosis, dan gagal ginjal. Prosese kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada
waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia
atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu
ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula
menyebabkan sistisis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis (Sjamsuhidajat,
2007).
5. Penatalaksanaan Benigna Prostate Hiperpalasia
a. Penatalaksanaan Medikamentosa
Adapun tujuan dari pengobatan/terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah: a) memperbaiki
keluhan miksi; b) meningkatkan kualitas hidup; c) mengurangi obstruksi infravesika; d)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal; e) mengurangi volume residu urin
setelah miksi; f) mencegah progresifitas penyakit
Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa dengan tujuan mengurangi resistensi otot
polos prostat sebagi komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan
penghambat adrenergik alfa ( adrenergik alfa blocer) dan, mengurangi volume prostat sebagi
komponen stastik dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron / dihidotestosteron
( DHT) melalui penghambat 5@-reduktase. Selain kedua cara di atas, sekarang banyak di
pakai terapi menggunakan fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas
(Purnomo, 2007).
Tabel pilihan terapi pada hiperplasia prostat benigna
Observasi Medikamentosa Operasi Invasif minimal
Watchfull waiting a. Penghambat adrenergik-@
b. Penghambat reduktase-@

c. Fitoterapi
d. Hormonal a. Prostatektomi terbuka
b. Endourologi
- TURP
- TUIP
- TULP
c. Elektrovaporisasi a. TUMT
b. TUBD
c. Stent uretra
d. TUNA
Rencana pengobatan bergantung pada penyebab, keparahan obstruksi , dan kondisi pasien.
Jika pasien masuk rumah sakit dalam keadaan darurat karena tidak dapat berkemih, maka
kateterisasi segera dilakukan. Kateter yang lazim mungkin terlalu lunak dan lemas untuk
dimasukan melalui uretra kedalam kandung kemih.
Meskipun prostatektomi untuk membuang jaringan prostat yang mengalami hiperplastik
sering dilakukan, terdapat juga pengobatan lain. Pengobatan ini mencakup watch-ful
waiting, insisi prostat transuretral (TUIP), dilatasi balon, penyekat alfa, dan inhibitor 5-@reduktase. watch-ful waiting adalah pengobatan yang sesui bagi banyak pasien karena
kecenderungan progresi penyakit atau terjadi komplikasi tidak di ketahui. Pasien di pantau
secara periodik terhadap keparahan gejala, temuan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan uji
urologi diagnostik .terapi watchfull waiting ini di tunjukan untuk pasien BPH dengan skor
IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Pasien
tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya di beri penjelasan mengenai sesuatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhanya, misalanya 1) jangan mengkonsumsi kopi atu
alkohol setelah makan malam; 2) kurangi konsumsi makanan dan minuman yang mengiritasi
buli-buli (kopi atau cokelat); 3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin; 4) kurangi makan pedas dan asin; dan 5) jangan menahan kencing terlalu
lama
Penyekat reseptor alfa-1- adrenergik melemaskan otot halus kolum kandung kemih dan
prostat. Meskipun kemanjuran jangka panjang preparat ini tidak di ketahui, preparat ini benar
dapat menurunkan gejala pada banyak pasien. Riset tentang kegunaan jangka panjang
preparat ini terus di lakukan (Purnomo,2007).
b. Prosedur Pembedahan (Operatif)
Beberapa prosedur di gunakan untuk mengangkat kelenjar bagian prostat yang mengalami
hipertrofi: reseksi transuretral prostat, prostatektomi suprapubik, prostatektomi perineal , dan
prostatektomi retropubik. Pada prosedur ini, dokter bedah mengangkat semua jaringan yang
mengalami hiperplasia dan hanya meninggalkan bagian kapsul prostat. Pendekatan
transuretral adalah prosedur tertutup: tiga lainnya adalah prosedur terbuka( diperlukan insisi
bedah).
1) Reseksi Transuretral prostat (TUR atau TURP) adalah prosedur yang paling umum dan
dapat di lakukan melalui endoskopi. Instrumen bedah dan optikal dimasuka secara langsung
melalui uretra kedalam prostat, yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar

diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prosedur ini, yang tidak
memerlukan insisi , dan digunakan untuk kelenjar dalam ukuran yang beragam dan ideal bagi
pasien yang mempunyai resiko bedah yang buruk.
Pendekatan ini mempersingkat hari rawat. Namun demikian, sering timbul striktur , dan
mungkin diperlukan tindakan ulang. Prostatektomi trans uretral jarang menyebabkan
disfungsi efektif tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrograde karena pengangkatan
jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir
kearah belakang kedalam kandung kemih dan bukan melalui uretra.
2) Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
Pendekatan ini lebih perktis ketika pendekatan lainya tidak memungkinkan, dan sangat
berguna untuk biopsi terbuka. Pada periode pascaoperatif, luka bedah mudah terkontiminasi
karena insisi dilakukan dekat dengan rektum . lebih jauh lagi, inkontenensia, impotensi , atau
cedera rektal lebih mungkin menjadi komplikasi dari pendekatan ini.
3) Prostatektomi retropubik adalah teknik lain dan lebih umum di banding pendekatan
suprapubik. Dokter bedah membuat insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu
antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok
untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang hilang lebih
dapat di kontrol baik dan letak bedah lebih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi
dalam ruangan retropubis.
4) Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur lain untuk menangani BPH dengan cara
memasukan instrumen melalui uretra. Satu atau buah insisi dibuat pada prostat pada uretra
dan mengurangi konstriksi uretral. TUIP diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil
(30 gm atau kuarang ) dan aka efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Prosedur ini
dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi yang lebih rendah di
banding prosedur bedah prostat lainya (AHCPR, 1994). (Brunner & Suddarth, 2002b)
5) Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi
abdomen. Suatu insisidi buat kedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
Pendekatan demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan beberapa
komplikasi terjadi, meskipun kehilangan darah mungkin lebih banyak dibanding dengan
metode lainya. Kerugian lainya adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua
prosedur bedah abdomrn mayor.
c. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Pre-op prostatectomy
a) kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang tindakan pembedahan dengan jenis
tindakan pembedahan yang lain.
b) Informasikan klien untuk tindakan pembedahan tersebut, dengan di lakukannya
pemasangan kateter serta drainase untuk luka insisi. Kaji tingkat pengetahuan dengan
kecemasan klien post operatif dengan penambahan tindakan perawatan operatif.
c) Lakukan enema, dengan menggunakan 2% neomycin. Bilas perut sebelum dilkukan
operasi.
d) Informasikan kepada klien hasil akhir dari pembedahan dan efek dari perawatan jangka
panjang yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan sexsuality. (Lemone.P,2008).

2) Post-op Prostatektomi
a) monitor tanda-tanda vital untuk 24 jam pertama sesuai kebutuhan pasien yang mengalami
bedah prostat memepunyai resiko terjadinya perdarahan dan infeksi. tanda gejalanya bisa di
lihat dari peningkatan hasil dari observasi tanda-tanda vital.
b) memelihara intake dan output serta lakukan irigasi urin. Kaji frekuensi serta kepatenan
kateter dan drainase. Monitor warna dan karakter dari urine. Kateter yang tersumbat bisa
disebabkan adanya gumpalan darah yang tercampur dengan urine drainase sehingga bisa
meningkatan resiko terjadinya perdarahan.
c) kaji dan atur pasien yang mengalami nyeri adapun nyeri yang disebabkan : antara lain 1)
nyeri dengan adanya insisi; 2) blader spasme (kekakuan pada kandung kemih); 3) keram pada
abdominan dengan adanya gas di usus. Analgesik dan steroid anti inflamasi (NSAID) di
gunakan secara rutin untuk mengontrol adanya nyeri; 4) cegah terjadinya emboli dan
kompresi yang akan menyebabkan pasien mempunyai resiko mengalami tromboemboli, dan
membutuhkan pencegahan yang penting; 5) dorong pertahanan cairan intake 2-3 liter/ hari.
Meningkatkan tekanan cairan setelah kateter di lepas dan sehinga mengurangi resiko
terjadinya infeksi pada traktus urinarius. (Lemone.P,2008).
3) Perawatan post opertif TUR/ TURP
a) Pada 24 sampai 48 jam pertama, monitor adanya perdarahan menurut frankly kejadian ini
bisa dibuktikan apabila adanya darah pada output urine. Peningkatan blader spasme,
penurunan hemoglobin, hematokrit, takikardi dan hipotensi. Perdarhan post operatif
kemungkinan berasal dari arteri dan vena, dan mungkin adanya endapan, blader spasme dan
adanya obstruksi pada sistem drainase urine.
b) Intruksikan pemasangan three way kateter. Kateter dengan traksi, untuk tetap
mempertahankan kaki/ tungkai di gunakan kateter No 18 dan 22. dengan kateter three way
dimasukan balon 30-40 ml, pantau untuk tindakan TURP dengan memompakan balon turun
kedalam prostatik fosa dan kateter.
c) Kaji volume tekanan berlebihan dan hiponatremia, dengan tanda gejala hiponatremia,
himatokrit, hipertensi, bradikardi, nausea, dan kejang. Hasil gejala TURP dari irigasi tekanan
ini terjadi setelah pembedahan.
d) Kaji output setiap 1-2 jam untuk warna konsistensi perdarahan dan, bllader spasme. CBI
(Continous Bladder irigation ) Di gunakan untuk pencegahan adanya gumpalan darah yang
terobstruksi pada urin output. sumbatan itu bisa mengakibatkan terjadinya perdarahan.
(Lemone.P,2008).
6. Komplikasi Benigna Prostate Hiperpalasia
Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomi bergantung pada jenis pembedahan dan
mencakup hemoragi, pembentukan bekuan, obstruksi kateter, dan disfungsi seksual.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun prostatektomi perineal
dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat dihindari.
Pada kebanyakan kasus, aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu,
karena saat ini fossa prostatik telah sembuh, setelah ejakulasi, maka cairan seminal mengalir
kedalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin. (perubahan anatomis pada uretra
poterior menyebabkan ejakulasi retrograd). Vasektomi mungkin dilakukan selam pembedahan

untuk mencegah penyebaran infeksi dari uretra prostatik melalui vas deferens dan kedalam
epididimis. Setelah prostatektomi total (biasanya untuk kanker) hampir selalu terjadi
impotensi. Bagi pasien yang tidak ingin untuk kehilangan aktivitas seksualnya, implans
prostetik penis mungkin digunakan untuk membuat penis menjadi kaku guna keperluan
hubungan seksual (Brunner & Suddarth, 2002)
7. Masalah kolaboratif komplikasi potensial
Burnner and Suddarth, 2002 mengemukanan masalah kolaboratif berdasarkan pendapat
Capernito, adalah komplikasi fisiologis tertentu yang perawat pantau untuk mendeteksi
awaitan atau perubahan dalam status hemodinamik pasien. Perawat mengelola masalah
kolaboratif menggunakan intervensi program dokter dan program keperawatan untuk
meminimalkan komplikasi dari kejadian post op prostatektomi.
Masalah kolaboratif komplikasi yang sering terjadi pada pasien post-op BPH
a. Hemoragi dan syok
Hemoragik dapat terjadi karena kelenjar prostat yang mengalami hiperplastik sangat banyak
mengandung pembuluh darah, bahaya lansung setelah prostatektomi adalah pendarahan dan
syok. Pendarahan dapat terjadi dari jaring-jaring prostat. Pendarahan juga dapat
mengakibatkan pembentukan bekuan, yang kemudian menyumbat aliran urin. (Brunner &
Suddarth, 2002b).
Hemoragi diklasifikasikan menjadi 1) hemoragie primer, terjadi pada sesaat pembedahan; 2)
hemoragie intermediari, terjadi beberapa jam setelah pebedahan, merupakan kompensasi
tubuh terhadap kenaikan tekanan darah ketingkat normal akibat dari pembuluh darah yang
tidak terikan secara maksimal; 3) hemoragie sekunder, dapat terjadi beberapa waktu/hari
setelah pembedahan, dapat terjadi bila adanya infeksi atau erosi oleh selang darinase
(Brunner & Suddarth, 2002a).
Syok adalah komplikasi pasca operatif yang paling serius, syok dapat digambarkan suatu
sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor
utama yaitu, curah jantung, volume darah, dan tonus vasomotor perifer. Perfusi jaringan yang
tidak adekuat menyebabkan peningkatan glikolisis anaerobik dengan produksi banyak asam
laktat (Brunner & Suddarth, 2002b). Syok yang dapat terjadi pada pasien bedah adalah syok
hipovolemik dan syok neurogenik
Etiologi adalah kehilangan plasma: 1) luka bakar; 2) dermatitis eksfoliatif; 3) kehilangan
cairan dan elektrolit eksternal: muntah, diare, keringat, yang berlebihan, keadaan
hiperosmolar; 4) kehilangan cairan dan elektrolit Internal; pankreatitis, asites, obstruksi usus
dan dampak dari pembedahan.
Manifestasi klinik antara lain: 1) tekanan darah sistemik rendah dan takikardi; 2) puncak
tekanan darah sistolik 100 mmHg atau lebih dari 10% di bawah tekan darah yang telah
diketahui; 3) hipoperfusi perifer; 4) vasokontriksi; 5) kulit dingin, lembab dan sianosis; 6)
status mental terganggu, kebingungan, agitasi, koma; 7) oliguria, anuria;,0,5 ml/kg BB/jam;
asidosis metabolik.
Intervensi terhadap hemoragik dan syok di diharapkan pasien dalam keadaan normovolemik,
di tandai dengan keseimbangan M&H, FJ 100dpm (atau dalam rentang normal pasien), TD

90/60 mmHg (atau dalam rentang normal pasien) FP 20 kali/mnt, dan kulit hangat, kering,
dan warna normal.
Intervensi yang dapat dilaksanakan terhadap pasien post op BPH (Brunner & Suddarth,
2002b), meliputi:
1) Sekembalinya pasien dari ruang pemulihan, pantau TV setiap 15 menit selam 30 menit
pertama; jika stabil, periksa setiap 30 mnt selama 1 jam; dan kemudian setiap 4 jam selam 24
jam atau perkebijakan institusi. Waspadai peningkatan nadi, penurunan TD, diaforesis, pucat,
dan peningkatan pernafasan yang dapat terjadi pada hemoragi dan ancaman syok.
2) Pantau dan catat M&H setiap 8 jam. Kurangi jumlah cairan yang digunakan pada irigasi
kandung kemih dan haluran total.
3) Pantau darinase kateter dengan cermat selama 24 jam pertama. Perhatikan terhadap
drainase gelap yang tidak menjadi merah ke merahanmudaan atau drainase yang tetap kental
setelah irigasi, yang menendakan perdarahan vena dalam sisi operasi. Drinase harus menjadi
merah muda atau sedikit berdarah dalam 24 jam setelah pembedahan.
4) Waspadai drainase merah terang, kental setiap waktu, yang dapat terjadi pada perdarahan
arteri dalam sisi operasi.
5) Jangan mengukur suhu per rektal atau memasukan selang atau enema ke dalam rektum.
Instruksikan pasien untuk tidak mengejan saat defekasi atau duduk terlalu lama. Tindakan ini
dapat meningkatkan tekanan pada kapsul prostat dan dapat menimbulkan hemoragi.
Dapatkan pesanan dan berikan pelunak feses atau katartik sesui petunjuk.
6) Pantau pasien terhadap tanda koagulasi intravaskuler desimenata, yang dapat terjadi akibat
pelepasan sejumlah besar tromboplastin jaringan, yang dapat terjadi selam reseksi transuretral
prostat (TURP). Perhatiakan terhadap perdarahan aktif (merah gelap) tanpa bekuan dan
rembesan tidak biasanya dari semua sisi pungsi. Laporkan temuan yang bermakna dengan
segera jika ini terjadi. Untuk informasi lebih lanjut lihat koagulasi intravaskuler
desimenata. (Swearingen,RN.2001)
b. Infeksi/sepsis luka
Terjadinya infeksi pasca operatif diakibat oleh infasi bakteri atau mikroorganisme seperti
staphylococcus aureus, escherhia coli, proteus vulgaris, aerobacter aereo-genes dan
organisme lainnya ke dalam sirkulasi darah melalui luka operasi. Infeksi pasca operatif yang
sering terjadi adalah 1) Selulitis yaitu infeksi bakteri yang menyebar kedalam bidang
jaringan; 2) Limfangitis adalah penyebaran infeksi dari selulitis atau abses ke sistem limfatik;
3) Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (Brunner &
Suddarth, 2002a).
Infeksi setelah prostatektomi perineal kemungkinan untuk terjadi sangat besar, sehingga
dapat dihindari dengan cara: 1) balutan dapat ditahan di tempatnya dengan menggunakan tali
ganda, perban T-binder atau penyangga atletik yang mempunyai bantalan; tali melintang di
atas insisi untuk memberikan ketebalan ganda, dan kemudian tali di tarik pada setiap sisi
skrotum sampai garis pinggang dan diikatkan; 2) menghindari penggunaan termometer rektal,
selang rektal, dan enema karena dapat memberi resiko terhadap cedera dan pendarahan pada
fosa prostatik; 3 ) setelah jahitan perineal diangkat, perineum dibersihkan sesuai indikai; 4)
skrotum dilindungi dengan handuk ketika lampu pemanas digunakan untk meningkatkan

penyembuhan (Brunner & Suddarth, 2002b).


Infeksi saluran kemih dan epididimitis adalah komplikasi yang mungkin setelah
prostatektomi. Pasien dikaji terhadap kejadianya; dan diberikan antibiotik sesuai yang
diresepkan (Brunner & Suddarth, 2002b).
Selain itu infeksi luka merupakan penyebab terjadinya demam pasca bedah dan morbiditas
pasien; sehingga pemeriksaan luka juga komponen penting pemeriksaan pasca bedah bagi
demam. Sepsis luka dapat tampil dalam 24 jam setelah operasi jika organisme penyebabanya
sterptokokus atau klostridium, infeksi yang karna organisme terkhir sangat serius, mis
mionekrosis klostridium (gangren gas) dapat cepat berkembang dengan akibat buruk. Tetapi
biasanya lebih lazim demam akibat infeksi luka timbul setelah hari keempat pasca bedah,
karna masa inkubasi yang agak lebih lam diperlukan untuk gram negatif usus atau
kontaminan stafilokokus eksogen-endogen yang sering menyebabkan untuk mencapai tingkat
bermakna (Brunner & Suddarth, 2002b).
Intervensi keperawatan yang dilaksanakan lebih difokuskan kepada pemantauan terhadapa
tanda-tanda terjadinya infeksi (Carpenito, 2001), meliputi:
1) Pantau TV pasien dan status mental pada interval sering terhadap iindikator tahap awal
(hangat) dari syok septik. Selama 24 jam pertama setelah pembedahan, waspadai suhu 38,340C, yang terjadi pada infeksi karna penigkatan aktifitas metabolik dan pelepasan pirogen.
Juga kaji terhadap peningkatan FP dan FJ sedang dan penurunan TD. Tanda sirkulasi klasik
dari kolaps terjadi pada tahap lanjut (dingin) dari syok septik: penurunan tajam dari FJ
(mekanisme kompensasi untuk memperthankan curah jantung), dan penurunan FP( karna
depersi pusat pernapasan). Status mental berubah menjadi perilaku tidak tepat, perubahan
kepribadian, gelisah, peningkatan letergi, dab disorentasi menandakan hipoksia karena
penurunan perfusi serebral.
2) Pantau kulit pasien terhadap kemerahan dan hangat, yang merupakan tanda dini dari syok
septik karna vasodilatasi. Pada tahap dingin dari syok septik, kulit menjadi dingin dan pucat
karena vasokontriksi terus menerus.
3) Pantau haluaran urin pasien tehadap penurunan dan peningkatan konsentrasi (berat jenis
normal 1,010-1,020).
4) Beritahu dokter dengan segera jika syok septik dicurigai. siapkan untuk hal berikut ini bila
terjadi syok septik: infus IV (mis, ringer laktat atau saline normal); pemberian oksigen;
spesimen untuk darah lengkap; GDA; dan nilai elektrolit, dan pemberian antibiotik.
c. Trombosis
Trombosis vena adalah suatu kondisi yang menggambarkan individu yang mengalami
pembentukan bekuan vena karena statis darah, cedera dinding pembendungan darah, atau
perubahan koagulasi. Pasien yang menjalani prostatektomi mempunyai insidens tinggi untuk
mengalami trombosis vena profunda. Trombosis vena profunda (TVP) adalah trombosis pada
vena yang letaknya dalam dan bukan superfisial, komplikasi serius dari TVP adalah
embolisme pulmunari dan sindrom pascaflebitis. (Brunner& Suddarth, 2002b).
Pasien secara pasca operatif yang beresiko tinggi terhadap TVP adalah: 1) pasien ortopedik
yang menjalani bedah panggul, dan bedah ekstremitas bawah lainnya; 2) pasien urologi yang
menjalanai protatektomi trans-uretral dan pasien lebih tua yang menjnalani bedah urologi; 3)
pasien bedah umum yang berusia diatas 40 tahun, kegemukan, malignasi, atau yang menjanai

prosedur operasi yang lama dan rumit; 5) pasien genekologi dengan usia diatas 40 tahun
dengan faktor resiko tambahan (varises, infeksi, malignasi, obesitas); 6) pasien bedah neuro
(Brunner& Suddarth, 2002a).
Upaya yang diarahkan pada pencegahan pembentukan trombus berupa 1) latihan tungkai; 2)
dalam pengunaan strap tungkai jangan terlalu dikencangkan; 3) menghindari penggunaan
selimut yang digulung, bantal yang digulung, atau bentuk lainya untuk meninggikan tungkai
karena dapat menyumbat pembuluh darah dibawah lutut; 4) hindarkan pasien untuk duduk
ditepi tempat tidur dengan menggantukna kaki dalam waktu yang lama (Brunner& Suddarth,
2002a).
Intervensi keperawatan lebih difokuskan kepada pemantauan terhadap tenda-tanda
terbentuknya trombus (Capernito, 2001), intervensi ini meliputi:
1) Pantau status trombosis vena, perhatikan
a. Penurunan atau hilangnya nadi perifer, (Insufisiensi sirkulasi menyebabkan nyeri dan tidak
terabanya nadi perifer).
b. Rasa panas dan kemerhan atau kedinginan dan sianosis yang tidak biasanya ;(rasa panas
dan kemerahan yang tidak biasanya menandakan adanya suatu inflamasi; rasa dingin dan
sianosis memberikan indikasi adanya obstruksi vaskuler).
c. Peningkatan rasa nyeri pada kaki ;(rasa nyeri pada kaki disebabkan oleh hipoksia jaringan).
d. Nyeri dada tiba-tiba, peningkatan dispnea, takipnea (obstruksi sirkulasi pulmonal
menyebabkan nyeri dad tiba-tiba dan dispnea).
e. Tanda-tanda hormon positif;(tanda hormon dikatakan positif bila pada posisi dorsifleksi;
kaki terasa nyeri;rasa nyeri karena insufisiensi sirkulasi kurang).
2) Lakukan konsultasi dengan dokter untuk penggunaan stoking antiemboli atau alat penekan
pada bagian-bagian tertentu, penurunan posisi dekstran, atau pengobatan antikoagulasi bagi
klien-klien yang beresiko tinggi, serta Jelaskan kegunaan stoking antiemboli.(dengan
pemakian stoking menurunkan vena-vena yang statis melalui tekanan sedemikian rupa pada
pergelangan kaki dan betis).
3) Lakukan penilaian status hindrasi berdasarkan berat jenis urine, pemasukan/pengeluaran,
berat badan, dan osmolaritas serum. Berikan jangka waktu untuk memastikan hidrasi yang
adekuat.(peningkatan viskositas darah, koagulasi, dan penurunan curah jantung berperan
dalam pembentukan trombus).
4) Tinggikan ekstremitas yang sakit pada posisi di atas jantung (dengan posisi ini dapat
membantu menurunkan pembengkakan intertisial melalui peningkatan aliran balik balik
vena)
5) Berikan anjuran pada klien untuk menghindari rokok.(nikotin dapat menyebabkan
vasospasme).
6) Berikan pengobatan antikoagulasi yang ditentukan dokter dan pantau hasil koagulasi darah
setiap hari. (pemberian antikoagulan bertujuan dan menghindari terbentuknya trombosis
dengan cara memperlambat waktu pembekuan darah).
7) Pada klien yang menerima pengobatan antiloagulasi, pantau tanda-tanda dini dari
perdarahan abnormal.(mis, hematuria, perdarah gusi, ekomosis, petekie, epistaksis). Berikan
analgesik pada kaki yang sakit sesuai program.

d. Obstruksi kateter
Masalah kolaboratif kateter terobstruksi setelah reseksi prostat trans-uretral adalah kateter
harus lancar, kateter yang mengalami obstruksi menyebabkan distensi kapsul prostat dan
mengakibatkan hemoragi. Urosemid (lasix) mungkin diresepkan untuk meningkatkan urinasi
dan megawali diuresis pascaopertif, dengan demikian membantu untuk mempertahankan
patensi kateter (Brunner& Suddarth, 2002b).
Tindakan pencegahan agar tidak terjadi obstruksi kateter meliputi: a) abdomen bagian bawah
diamati untuk memastikan bahwa kateter tidak tersumbat, kandung kemih yang penuh akan
nampak bengkak membulat jelas diatas pubis; b) kantung drainase, balutan, dan letak insisi
diperiksa terhadap pendarahan, warna urin dicatat dan di dokumentasikan; perubahan warna
dari merah muda menjadi kekuning-kunigan menandakan penurunan perdarahan; c) tekanan
darah, nadi, dan pernafasan di pantau dan dibandingkan dengan nilai dasar dari tanda-tanda
vital praopertif untuk mendeteksi hipotensi. Perawat juga mengamati pasien terhadap adanya
perilaku gelisah, keringat dingin, pucat, dan setiap penurunan tekanan darah, dan peningkatan
frekuensi nadi (Brunner& Suddarth, 2002b).
Pelepasan kateter yang baik dan benar serta efektif dapat mengurangi masalah-masalah
kolaboratif, setelah kateter di lepaskan (biasanya ketika urin tampak jernih), urin dapat bocor
di sekitar luka selam beberapa hari pada pasien yang telah menjalani bedah perineal,
suprapubik, dan retropubik. Kateter sistostomi mungkin dilepaskan sebelum atau setelah
kateter uretral dilepaskan (Brunner& Suddarth, 2002b).
Inkontenensia derajat tertentu dapat terjadi setelah kateter dilepaskan dan pasien
diinformasikan bahwa hal ini kemungkinan akan hilang.karena kelenjar prostat yang
mengalami hiperplastik sangat banyak mengandung pembuluh darah, bahaya langsung
setelah prostatektomi adalah perdarahan dan syok. Perdarahan dapat terjadi dari jaring-jaring
(Brunner& Suddarth, 2002b).
...........................................................................................
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT
HYPERPLASIA (BPH) DI RUANG 17 RSSA MALANG

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN


BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA (BPH)
DI RUANG 17 RSSA MALANG

PENDAHULUAN
Dengan semakin canggihnya alat-alat kedokteran penunjang medis yang
dikembangkan saat ini, tindakan operasi Trans Urethral Reseksi Prostat
dipandang lebih menguntungkan baik bagi pasien maupun dokter bedah. Namun
tidak menutup kemungkinan timbulnya permasalahan antara lain: perdarahan

dan syock, sidroma TUR, infeksi,gangguan drainase urine dan inkontinensia


erine. Mengingat permasalahan tersebut profesi keperawatan harus
mengembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya serta memiliki dedikasi
yang tinggi dalam melaksanakan tugas sehingga mampu mengimbangi teknologi
kedokteran yang makin maju. Untuk itu diperlukan strategi yang tapat agar
dapat menjawab tantangan tersebut. Metode yang sedang dikembangkan oleh
propesi keperawatan adalah dengan pendekatan proses keperawatan, dimana
proses keperawatan merupakan pengintegrasian keterampilan, intelektual,
hubungan antar prbadi dan teknik dari seorang perawat.

TUJUAN
1.

Tujuan Umum: Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada klien


dengan gangguan sistem perkemihan, khususnya klien dengan BPH

2.

Tujuan Khusus: Mahasiswa mampu:

a.

Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan BPH.

b.

Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan BPH.

c.

Menyusun perencanaan tindakan keperawatan pada pasien dengan BPH

d.

Melakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan BPH.

e.

Mengevaluasi tindakan keperawatan pada pasien dengan BPH.

TINJAUAN TEORITIS

Pengukuran:
Ada 3 cara pengukuran besarnya hiperplasia prostat:
a.

Rectal grading yaitu dengan rectal toucher diperkirakan


beberapa cm prostat yang menonjol ke dalam rectum yang
dilakukan, sebaliknya pada saat buli-buli kosongan.
Gradasi ini adalah:

0 1 cm
1 2 cm

: grade 0

: grade 1

2 3 cm

: grade 2

3 4 cm

: grade 3

>

: grade 4

1 cm

Pada grade 3-4 batas prostat tidak teraba. Prostat fibratik


teraba lebih kecil dari normal.
b. Clinica grading, dalam hal ini urine menjadi patokan pada
pagi hari. Pada pagi hari setelah bangun, pasien disuruh
kencing sampai selesai, kemudian dimasukkan kateter ke
dalam buli-buli untuk mengukur sisa urine.
Sisa urine 0 cc

: normal

Sisa urine 0 50 cc

: grade 1

Sisa urine 50 - 150 cc : grade 2


Sisa urine > 150 cc

: grade 3

Tidak bisa kencing

: grade 4

c.

Intra urethral grading, dengan alat penodoscope dapat


diukur/dilihat berapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam
lumen uretra

Grade 1: Clinical grading sejak berbulan-bulan, bertahun-tahun, mengeluh kalau


kencing tidak lampas, pancaran lemah, nacturia
Grade 2: Bila miksi terasa panas, sakit disuria
Grade 3: Gejala-gejala makin berat
Grade 4: Buli-buli penuh, disuria, overflow inkontinen. Bila overflow inkontinensia
dibiarkan dengan adanya infeksi dapat terjadi urosepsis berat. Pasien menggigil,
panas 40 41 0C, kesadaran menurun

Komplikasi:
a.

Urinary tractus infection.

b.

Retensi urine akut

c.

Obstruksi dengan dilatasi uretra, hydronefrosis dan gangguan fungsi ginjal

d.

Bila operasi bisa

Impotensi, kerusakan nervus pudendik

Hemorargia pasien bedah

Ffistula

Strikurra pasien beda

Inkontinensia urine

Pemeriksaan Fisik:
a.

Urinolitis

b.

Urine culture

c.

Pemeriksaan fisik

Penatalaksanaan:
a.

Tindakan umum:

Prostatectom: grade 4

Trans urethral resection of the prostat (TRUP): grade 1

b.

Kontra indikasi: Orang tua

Decomposation cordis

Infark jantung baru

Malnutrisi berat

Dalam keadaan koma

Tekanan darah sistolik 200 260 mmHg

Pengkajian Keperawatan:
a.

Sirkulasi: peningkatan tekanan darah (efek lebih lanjut pada ginjal)

b.

Eliminasi:

Penurunan kekuatan kaliber berkemih.

Ketidakmampuan pengosongan kandung kemih, sering berkemih

Nocturia, dysuria, hematuria.

Duduk dalam mengosongan kandung kemih.

Kekambuhan UTI, riwayat batu (urinary statis)

Konstipasi (penonjolan prostat ke ructum)

c.

Masa abdomen bagian bawah, hernia inguinal, hemorroid/akibat peningkatan


abdominal pada saat pengosongan kandung kemih
Makanan/cairan:

Anoreksia, nausea, muntah.

Kehilangan BB yang mendadak

d.

Nyeri/nyaman: suprapubik, panggul, nyeri belakang tajum, intens (pada


prostatitis akut), nyeri pinggang belakang.

e.

Rasa aman: Demam

f.

Seksualitas:

Perhatikan pada efek dari kondisinya/terapi kemampuan seksual.

Takut beser kencing selama kegiatan intim

Penurunan kontraksi ejakulasi

Pembesaran prostat

g.

Pengetahuan/pendidikan:
Riwayat adanya Ca dalam keluarga, hipertensi, penyakit gula.
Penggunaan obat anti hipertensi atau anti depressant, antibiotik untuk saluran
kencing, obat alergi.

nisi

LAPORAN PENDAHULUAN
Masalah Kesehatan : Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
: BPH adalah suatu neoplasma jinak (hiperplasia) yang menyertai kelenjar
prostat

Pat

ofisiologi

Masalah Keperawatan:
a.

Retensio urine

b.

Potensial infeksi

c.

Nyeri

d.

Kurang pengetahuan

e.

Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan


Diagnosa Keperawatan

a.
b.
c.

Retensio urine yang berhubungan dengan pembesaran prostat


Potensial infeksi yang berhubungan dengan penggunaan kateter dan atau retensi
urine.
Nyeri yang berhubungan dengan retensi urine akut

d.

Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang proses


penyakit.

e.

Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan disfungsi
ginjal.
Intervensi dan Rasional:
1. Dx-1: Retensio urine yang berhubungan dengan pembesaran prostat.

Tujuan: Retensio urine tidak terjadi dengan kriteria:


Berkemih dengan jumlah yang adequate tanpa distensi kandung kemih
Jumlah volume residu urin kurang dari 75 hingga 100 ml dengan tidak adanya
tetesan atau kelebihan aliran/urine
Intervensi dan rasional:
No
.

Tindakan

Rasional

1.

Dorong pasien untuk


berkemih setiap 2 - 4 jam
dan bila tiba-tiba dirasakan

Memenimalkan restensi urine distensi


belebihan pada kandung kemih

2.

Tanyakan pasien
inkontinensia stress

Tekanan uretral tinggi menghambat


pengosongan kandung kemih atau
dapat menghambat perkemih sampai
tekanan abdominal meningkat cukup
untuk mengeluarkan urine secara tidak
sadar

3.

Observasi aliran urin,


perhatian ukuran dan
kekuatan.

Berguna untuk mengevaluasi obstruksi


dan pilihan intervensi

4.

Awasi dan catat waktu dan


jumlah tiap berkemih.
Perhatikan Penurunan
haluaran urin dan
perubahan berat jenis

Retensi urin meningkatkan tekanan


dalam saluran perkemihan atas yang
dapat mempengaruhi fungsi ginjal.
Adanya defisit aliran darah ke ginjal
mengganggu kemampuannya untuk
memfilter dan mengkonsentrasi
substansi.

5.

Perkusi atau palpasi area


supra pubik

Distensi kandung kemih dapat dirasakan di


area supra pubik

6.

Dorong masukan cairan


sampai 3.000 ml/hari
(dalam toleransi jantung
bila diindikasikan)

Peningkatan aliran cairan


mempertahankan perfusi ginjal dan
membersihkan ginjal dan kandung
kemih dari pertumbuhan bakteri.

7.

Awasi tanda vital dengan


ketat. Observasi hipertensi,
edema perfier, perubahan
mental. Timbang berat
badan tiap hari.
Pertahankan pemasukan
dan pengeluaran akurat

Kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan


Penurunan eliminasi cairan dan
Akumulasi sisa toksik: dapat berlanjut
ke penurunan ginjal total

8.

Berikan atau dorong


kateter dan perawatan
perinial

Menurunkan resiko infeksi asenden.

9.

Berikan rendam duduk


sesuai indikasi

Meningkatkan relaksasi otot, Penurunan


edema, dan dapat meningkatkan upaya
berkemih

10
.

Kolaborasi:
Berikan obat sesuai
indikasi: Antispasmodik,
contoh; oksibutinin klorida
(ditropan)
Kateterisasi untuk residu
urine dan biarkan kateter
tak menetap sesuai
indikasi

Menghilangkan spasme kandung kemih


sehubungan dengan iritasi oleh kateter.
Menghilangkan/mencegah retensi urine
dan mengesam-pingkan adanya striktur
uretral. Catatan: Dekompresi kandung
kemih harus dilakukan dengan
menambah 200 ml untuk mencegah
hematuria (ruptur pembuluh darah pada
mukosa kandung kemih yang terlalu
distensi) dan pingsan (stimulasi otomik
berlebihan). Kateter coude diperlukan
karena ujung lengkung memudahkan
pasase selang melalui uretra prostat

2. Dx-2: Potensial infeksi yang berhubungan dengan penggunaan kateter dan


atau retensi urine.
Tujuan: Infeksi tidak terjadi dengan kriteria:
- Suhu dalam rentang normal
-

Urin jernih, warna kuning tanpa bau

Tidak terjadi distensi kandung kemih


Intervensi dan Rasional

No
.

Tindakan

Rasional

1.

Periksa suhu tiap 4 jam dan


laporkan jika di atas 38,50C

Mengetahui kenaikan suhu dan


mencegah keadaan penyakit yang lebih
serius

2.

Tuliskan karakter urine,


laporkan bila keruh dan bau
busuk

Mendeteksi kelainan lebih lanjut

3.

Bila ada kateter uretral,


pertahankan sistem
drainase gravitasi tertutup

Menghindari reflek bail urine, yang


dapat memasukan bakteri ke dalam
kandung kemih

4.

Gunakan teknik steril untuk


kateterisasi intermiten
selama perawatan di
rumah sakit

Mencegah pemasukan bakteri dan


infeksi/sepsis lebih lanjut

5.

Pantau abdomen/kandung
kemih terhadap distensi

Distensi kandung kemih akan


mengakibatkan lemahnya tonus otot
mosukulus detrusor sehingga terjadi
episode retensio urinaria akut

6.

Pantau dan laporkan tanda


dan gejala ISK (Infeksi
Saluran Kemih), lakukan
tindakan untuk mencegah
ISK.

7.

Gunakan teknik cuci tangan


yang baik, ajarkan dan
anjurkan pasien untuk
melakukan hal yang sama.

Menghilangkan kontak dengan kuman


penyakit, dan memandirikan klien
dalam perawatan diri

3. Dx-3: Nyeri yang berhubungan dengan retensi urine akut


Tujuan: Nyeri hilang atau terkontrol dengan kriteria:
- Klien tampak rileks
-

Mampu untuk tidur/istirahat dengan tepat


Intervensi dan rasional:
No
.
1.

Tindakan
Kaji nyeri, perhatikan
lokasi, intensitas (skala 010) lamanya.

Rasional
Memberikan informasi untuk membantu
dalam menentukan pilihan/keefektifan
intervensi

2.

Plester selang drainase


pada paha dan kateter
pada abdomen (bila traksi
tidak diperlukan)

Mencegah Penarikan kandung kemih


dan erosi pertemuan penis skrotal

3.

Pertahankan tirah bring bila


diindikasikan

Tirah baring mungkin diperlukan pada


awl selama fase retensi akut. Namun
ambulasi dini dapat memperbaiki pola
berkemih normal dan menghilangkan
nyeri kolik

4.

Berikan tindakan
Meningkatkan relaksasi, memfokuskan
kenyamanan, contoh pijatan kembali perhatian, dan dapat
punggung, membantu
meningkatkan kemampuan koping
pasien melakukan posisi
yang nyaman, mendorong
penggunaan relaksasi/
latihan nafas dalam,
aktivitas terapiutik

5.

Dorong menggunakan
rendam duduk,sabun
hangat untuk perineum

6.

Kolaborasi:
Berikan obat sesuai
indikasi: Narkotik, contoh
eperidin (Demerol)

Antibakterial, contoh
metenamin hipurat (hiprex)

Antispamodik dan sedatif


kandung kemih contoh,
flavoksat (urispas):
oksibuttinin (Dipropan)

Meningkatkan relaksasi otot

Diberikan untuk menghilangkan nyeri


berat, memberikan relaksasi mental dan
fisik
Menurunkan adanya bakteri dalam
traktus urinarius juga yang dimasukkan
melalui sistem drainase.
Menghilangkan kpekaan kandung
kemih.

4. Dx-4: Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi


tentang proses penyakit
Tujuan : Klien/orang terdekat paham terhadap proses penyakit atau prognosis, gejala yang
perlu dilaporkan ke dokter dan perawatan di rumah, dan instruksi evaluasi:
mendemonstrasikan pengukuran haluaran urine dan kateterisasi sendiri bila
diperlukan.
Intervensi dan rasional:
No
.

Tindakan

Rasional

1.

Kaji ulang proses penyakit


dan pengalaman pasien

Memberikan dasar pengetahuan dimana


pasien dapat membuat pilihan informasi
terapi

2.

Dorong menyatakan rasa


takut/ perasaan dan
perhatian

Membantu pasien mengalami perasaan


dapat merupakan rehabilitasi vital

5. Dx-5

3.

Berikan informasi bahwa


kondisi tidak ditularkan
secara seksual

Mungkin merupakan ketakutan yang


tidak dibicarakan

4.

Anjurkan menghidri
makanan berbumbu, kopi,
alkohol, mengemudikan
mobil yang lama,
pemasukan cairan cepat
(terutama alkohol)

Dapat menyebabkan iritasi prostat


dengan masalah kongesti. Peningkatan
tiba-tiba pada aliran urine dapat
menyebabkan distensi kandung kemih
dan kehilangan tonus kandung kemih,
mengakibatkan episode retensi urinaria
akut

5.

Bicrakan masalah seksual,


contoh bahwa selama
periode akut prostatitis,
koitus dihindari tetapi
mungkin membantu dalam
pengobatan kronis

Aktivitas seksual dapat meningkatkan


nyeri selama episode akut tetapi dapat
memberikan suatu masse pada adanya
penyakit kronis

6.

Berikan informasi tentang


anatomi dasar seksual.
Dorong pertanyaan dan
tingkatkan dialog tentang
masalah

Memiliki informasi tentang anatomi


membantu pasien memahami implikasi
tindakan lanjut, sesuai dengan efek
penampilan seksual

7.

Kaji ulang tanda/gejala


yang memerlukan evaluasi
medik, contoh urine keruh,
berbau, Penurunan
haluaran urine,
ketidakmampuan untuk
berkemih, adanya
demam/menggigil.

Intervensi cepat dapat mencegah


komplikasi lebih serius

8.

Diskusikan perlunya
pemberitahuan pada
perawat kesehatan lain
tentang diagnosa

Menurunkan resiko terapi tidak tepat,


contoh penggunaan dekongestan,
antikolinergik, dan antidepresan
meningkatkan retensi urine dan dapat
mencetuskan episode akut

9.

Beri penguatan pentingnya


evaluasi medik untuk
sedikitnya 6 bulan setahun,
termasuk pemeriksaan
rektal urinalisa

Hipertrofi berulang dan atau infeksi


(disebabkan oleh organisme yang sama
atau berbeda) tidak umum dan akan
memerlukan perubahan terapi untuk
mencegah komplikasi serius

: Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan


disfungsi ginjal

Tujuan : Mempertahankan hidrasi adequat dengan kriteria:


-

Tanda-tanda vital stabil

Nadi perifer teraba

Pengisian kapiler baik

Membran mukosa lembab


Intervensi dan rasional:
No
.

Tindakan

Rasional

1.

Awasi keluaran dengan


hati-hati, tiap jam bila
diindikasikan. Perhatikan
keluaran 100-200 ml/jam

Diuresis cepat dapat menyebabkan


kekurangan volume total cairan, karena
ketidakcukupan jumlah natrium
diabsorpsi dalam tubulus ginjal

2.

Dorong peningkatan
pemasukan oral
berdasarkan kebutuhan
individu

Pasien dibatasi pemasukan oral dalam


upaya mengontrol gejala urinaria,
homeostatic pengurangan cadangan
dan peningkatan resiko dehidrasi/
hipovolemia

3.

Awasi TD, nadi dengan


sering. Evaluasi pengisian
kapilar dan membran
mukosa oral

Memampukan deteksi dini/intervensi


hopvolemik sistemik

4.

Tingkatkan tirah baring


dengan kepala tinggi

Menurunkan kerja jantung,


memudahkan homeostasis sirkulasi

5.

Kolaborasi
Awasi elektrolit, khususnya
natrium

Berikan cairan IV (garam


faal hipertonik) sesuai
kebutuhan.

Bila pengumpulan cairan terkumpul dari


area ekstraselular, natrium dapat
mengikuti perpindahan, menyebabkan
hiponatremia
Menggantikan kehilangan cairan dan
natrium untuk mencegah/memperbaiki
hipovolemia

Daftar Bacaan:
Doenges, Marilyn E., et. Al. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta

Tucker,Susan Martin,et Al. (1997),Standar Perawatan Pasien: Proses


Keperawatan,Diagnosis, dan Evaluasi, EGC, Jakarta.
Sjamsuhidajat R.et. Al.(1997), Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.

PENUTUP
Sebagai akhir dari pelaporan ini, penulis mengharapkan semoga makalah
ini bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan juga bagi rekan-rekan profesi
keperawatan dalam menjalankan tugas sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat. Kita menyadari bahwa saat ini profesi keperawatan sedang
mengembangkan kemampuan dan keterampilan dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Maka tidaklah berlebihan bila dalam memberikan pelayanan ini
menggunakan pendekatan proses keperawatan sebagai dasar dalam
memberikan pelayanan keperawatan. Semoga dengan tantangan yang ada, kita
mampu menghadapi tantangan tersebut dengan memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya terhadap masyarakat.

Daftar Bacaan:
Doenges, Marilyn E., et. Al. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta
Tucker,Susan Martin,et Al. (1997),Standar Perawatan Pasien: Proses
Keperawatan,Diagnosis, dan Evaluasi, EGC, Jakarta.
Sjamsuhidajat R.et. Al.(1997), Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.

You might also like