Professional Documents
Culture Documents
PERKEMIHAN (ASKEP)
10:33 AM
Kumpulan Askep
This ad zapped.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN :
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
Pendahuluan :
Masalah yang sering di alami seorang pria usia lanjut yang berhubungan
dengan sistem perkemihan adalah Benign Prostatic Hyperlasia (BPH).
Prostat adalah organ perkemihan yang sering mengalami neoplasma :
Benigna atau Maligna.
Masalah ini sering terjadi pada 50 % pria diatas usia 50 tahun, dan 75 %
pria di atas 70 tahun. Di Indonesia insiden ini akan banyak ditemukan
sehubungan dengan semakin banyaknya usia lanjut karena meningkatnya
usia harapan hidup. Dengan demikian akan banyak pula kasus ini tinggal
rawat di rumah sakit yang pada umumnya berindikasi pembedahan.
Pada kondisi ini, sebagai seorang perawat akan sering diperhadapkan
dengan masalah keperawatan yang terkait dengan kasus BPH terutama
yang berhubungan dengan tindakan pembedahan. Oleh karena itu
perawat perlu memiliki pengetahuan yang cukup untuk menangani klien
BPH khususnya dalam asuhan keperawatan perioperatif (pra bedah, intra
bedah, dan pasca bedah).
Etiologi :
BPH adalah pembesaran jaringan kelenjar prostat yang bersifat jinak.
Walaupun tidak diketahui secara pasti penyebabnya sebab bersifat
universal terjadi pada usia lanjut. Namun demikiandiperkirakan bahwa
peningkatan jumlah sel prostat sebagai hasil dari adanya perubahan
endokrin yang berhubungan dengan proses penuaan. Terjadinya
akumulasi dihydroxytestosteron (hormonm androgen utama dalam
kelenjar prostat), stimulasi estrogen, dan aktifitas hormon pertumbuhan
lokal lainnya dianggap berperan dalam terjadinya BPH (Lewis, Heitkemper
& Dirksen, 2000)
Demikian pula dengan faktor yang berhubungan dengan diet, pengaruh
inflamasi kronik, faktor sosial ekonomi, herediter, dan ras semuanya dapat
dipertimbangkan berperan dalam terjadinya BPH (Black & Jacobs, 1997).
Faktor Resiko :
BPH sering ditemukan pada seorang pria lanjut usia, oleh karena itu tidak
ada pencegahan utamanya. Pria dengan kastraksi atau yang mengalami
hypogonadism sebelum pubertas atau pada pria awal dewasa jarang
mengalami BPH. Insiden meningkat pada pria kulit hitam, dan kurang
pada pria Asia (Black & Jacobs, 1997).
Yang utama adalah deteksi dini merupakan pencegahan sekunder yang
terbaik. Deteksi dini diperlukan guna menangani secara cepat sehingga
mencegah terjadinya komplikasi yang berhubungan dengan obstruksi
saluran perkemihan bagian bawah.
Demam
Peminum alkohol
Infeksi
Hambatan pengosongan
Trah baring.
Beberapa obat dapat memicu terjadinya retensi, seperti obat yang
bersifat dekongestan, anticholinergic, dan antidepressant.
Pengkajian :
Kaji kemampuan klien mengosongkan kandung kemihnya. Kandung kemih
klien di palpasi kemungkinan adanya distensi kandung emih. Palpasi
dilakukan di area suprapubis. Jika klien tidak dapat berkemih dengan
sempurna, pertimbangkan kemungkinan pemasangan indwelling kateter.
Oleh karena itu kaji adanya kebutuhan pemasangan kateter.
Pada pengkajian pra-bedah, perhatikan pengkajian yang berhubungan
dengan aspek fisik dan psikososial. Kaji tingkat pengetahuan klien
sehubungan dengan pembedahan dan hasilnya. Oleh karena banyak jenis
tindakan pembedahan yang dapat dilakukan, jadi mungkin klien tidak
mengerti implikasi dari tindakan yang akan dilakukan.
implikasi dari tindakan yang diterima klien.
1. NDx : Ketakutan sehubungan dengan masalah yang dialami saat ini,
tindakan dan fungsi seksual
Tujuan : Klien akan dapat mengontrol ketakutannya ditandai dengan
pernyataan sehubungan dengan pemahamannya yang adekuat,
kemampuan untuk bertanya secara jelas, dan kemampuan untuk
berisitrahat dengan baik.
Implementasi :
2, NDx : Nyeri akut sehubungan dengan tindakan invasif/edema daerah
trauma. Ditandai dengan : Klien melaporkan nyeri, gelisah, murung,
perhatian terfokus, respon otonomi. pada dirinya, ketegangan otot.
Tujuan : Klien akan melaporkan bahwa nyeri terkontrol /berkurang.,
ditandai dengan :
- Klien nampak relaksasi.
- Tidur cukup.
- Tenang.
Implementasi :
- Kaji tingkat nyeri, radiasi, dan tanda-tanda vital.
Rasional : Semakin kearak skor yang tinggi semakin menunjukkan tingkat
nyeri hebat. Bila ditemukan peningkatan tanda-tanda vital menunjukkan
klien dalam kondisi stres akibat nyeri.
- Jelaskan pada klien terjadinya nyeri.
Rasional : Pemahaman yang keliru tentang nyeri akan meningkatkan
stress sehingga nyeri akan semakin meningkat intensitasnya.
- Kaji kemungkinan terjadinya distensi kandung kemih setelah
pembedahan.
Rasional : Distensi kandung kemih terjadi sebagai akibat sumbatan
bekuan darah pada saluran perkemihan. Peregangan kandung kemih akan
menyebabkan nyeri.
- Kolaborasi : Obat analgetik atau antispasmodik.
Rasional : Obat ini akan mengurangi nyeri dan mencegah terjadinya
spasme kandung kemih
- Berikan diet tinggi serat.
Rasional : Diet rendah serat akan mendorong klien mengedan saat
defekasi sehingga menimbulkan tarikan/regangan pada area jahitan atau
menyebabkan perdarahan.
3. NDx : Risiko terjadinya injury sehubungan dengan adanya pemasangan
kateter, irigasi atau drai pada suprapubis.
Tujuan : Klien akan bebas dari injury seperti adanya infeksi, sumbatan
kateter, atau injury akibat pemasangan kateter. Ditandai dengan ;
- Tidak ada demam.
- Laboratorium lekosit normal.
- Penyembuhan luka pembedahan baik.
- Katater berfungsi dengan baik.
- Tidakj ada perdarahan.
- Aliran urin lancar.
Implementasi :
- Kaji aliran urin melalui kateter.
Rasional : ketidaklancaran aliran urin melalui kater sebagai akibat adanya
sumbatan bekiuan darah pada lumen kateter.
- Lakukan irigasi kandung kemih melalui kateter.
Rasional : irigasi akan mempertahankan aliran lancar dan membersihkan
kandung kemih dari bekuan darah dan jaringan nekrotis lainnya sehingga
urin warna urin kembali normal, dan mencegah terjadinya overdistensi
kandung kemih yang dapat menyebabkan perdarahan.
- Berikan informasi kepada klien tentang pemasangan drain dan kateter.
Rasional : Kurangnya pengetahuan klien tentang tindakan yang dilakukan
akan memungkinkan klien menarik/memegang kateter/drain.
- Observasi keadaan luka pembedahan apakah ada tanda-tanda radang.
Rasional : Adanya edema, kemerahan pada permukaan kulit di area
pembedahan menunjukkan terjadinya infeksi skunder.
- Pertahankan tehnik aseptik terutama saat perawatan luka pembedahan,
hindari lakukan enema, rectal tube, atau pemasangan termometer rektal.
................................................................................................................
c. Fitoterapi
d. Hormonal a. Prostatektomi terbuka
b. Endourologi
- TURP
- TUIP
- TULP
c. Elektrovaporisasi a. TUMT
b. TUBD
c. Stent uretra
d. TUNA
Rencana pengobatan bergantung pada penyebab, keparahan obstruksi , dan kondisi pasien.
Jika pasien masuk rumah sakit dalam keadaan darurat karena tidak dapat berkemih, maka
kateterisasi segera dilakukan. Kateter yang lazim mungkin terlalu lunak dan lemas untuk
dimasukan melalui uretra kedalam kandung kemih.
Meskipun prostatektomi untuk membuang jaringan prostat yang mengalami hiperplastik
sering dilakukan, terdapat juga pengobatan lain. Pengobatan ini mencakup watch-ful
waiting, insisi prostat transuretral (TUIP), dilatasi balon, penyekat alfa, dan inhibitor 5-@reduktase. watch-ful waiting adalah pengobatan yang sesui bagi banyak pasien karena
kecenderungan progresi penyakit atau terjadi komplikasi tidak di ketahui. Pasien di pantau
secara periodik terhadap keparahan gejala, temuan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan uji
urologi diagnostik .terapi watchfull waiting ini di tunjukan untuk pasien BPH dengan skor
IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Pasien
tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya di beri penjelasan mengenai sesuatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhanya, misalanya 1) jangan mengkonsumsi kopi atu
alkohol setelah makan malam; 2) kurangi konsumsi makanan dan minuman yang mengiritasi
buli-buli (kopi atau cokelat); 3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin; 4) kurangi makan pedas dan asin; dan 5) jangan menahan kencing terlalu
lama
Penyekat reseptor alfa-1- adrenergik melemaskan otot halus kolum kandung kemih dan
prostat. Meskipun kemanjuran jangka panjang preparat ini tidak di ketahui, preparat ini benar
dapat menurunkan gejala pada banyak pasien. Riset tentang kegunaan jangka panjang
preparat ini terus di lakukan (Purnomo,2007).
b. Prosedur Pembedahan (Operatif)
Beberapa prosedur di gunakan untuk mengangkat kelenjar bagian prostat yang mengalami
hipertrofi: reseksi transuretral prostat, prostatektomi suprapubik, prostatektomi perineal , dan
prostatektomi retropubik. Pada prosedur ini, dokter bedah mengangkat semua jaringan yang
mengalami hiperplasia dan hanya meninggalkan bagian kapsul prostat. Pendekatan
transuretral adalah prosedur tertutup: tiga lainnya adalah prosedur terbuka( diperlukan insisi
bedah).
1) Reseksi Transuretral prostat (TUR atau TURP) adalah prosedur yang paling umum dan
dapat di lakukan melalui endoskopi. Instrumen bedah dan optikal dimasuka secara langsung
melalui uretra kedalam prostat, yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar
diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prosedur ini, yang tidak
memerlukan insisi , dan digunakan untuk kelenjar dalam ukuran yang beragam dan ideal bagi
pasien yang mempunyai resiko bedah yang buruk.
Pendekatan ini mempersingkat hari rawat. Namun demikian, sering timbul striktur , dan
mungkin diperlukan tindakan ulang. Prostatektomi trans uretral jarang menyebabkan
disfungsi efektif tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrograde karena pengangkatan
jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir
kearah belakang kedalam kandung kemih dan bukan melalui uretra.
2) Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
Pendekatan ini lebih perktis ketika pendekatan lainya tidak memungkinkan, dan sangat
berguna untuk biopsi terbuka. Pada periode pascaoperatif, luka bedah mudah terkontiminasi
karena insisi dilakukan dekat dengan rektum . lebih jauh lagi, inkontenensia, impotensi , atau
cedera rektal lebih mungkin menjadi komplikasi dari pendekatan ini.
3) Prostatektomi retropubik adalah teknik lain dan lebih umum di banding pendekatan
suprapubik. Dokter bedah membuat insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu
antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok
untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang hilang lebih
dapat di kontrol baik dan letak bedah lebih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi
dalam ruangan retropubis.
4) Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur lain untuk menangani BPH dengan cara
memasukan instrumen melalui uretra. Satu atau buah insisi dibuat pada prostat pada uretra
dan mengurangi konstriksi uretral. TUIP diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil
(30 gm atau kuarang ) dan aka efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Prosedur ini
dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi yang lebih rendah di
banding prosedur bedah prostat lainya (AHCPR, 1994). (Brunner & Suddarth, 2002b)
5) Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi
abdomen. Suatu insisidi buat kedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
Pendekatan demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan beberapa
komplikasi terjadi, meskipun kehilangan darah mungkin lebih banyak dibanding dengan
metode lainya. Kerugian lainya adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua
prosedur bedah abdomrn mayor.
c. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Pre-op prostatectomy
a) kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang tindakan pembedahan dengan jenis
tindakan pembedahan yang lain.
b) Informasikan klien untuk tindakan pembedahan tersebut, dengan di lakukannya
pemasangan kateter serta drainase untuk luka insisi. Kaji tingkat pengetahuan dengan
kecemasan klien post operatif dengan penambahan tindakan perawatan operatif.
c) Lakukan enema, dengan menggunakan 2% neomycin. Bilas perut sebelum dilkukan
operasi.
d) Informasikan kepada klien hasil akhir dari pembedahan dan efek dari perawatan jangka
panjang yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan sexsuality. (Lemone.P,2008).
2) Post-op Prostatektomi
a) monitor tanda-tanda vital untuk 24 jam pertama sesuai kebutuhan pasien yang mengalami
bedah prostat memepunyai resiko terjadinya perdarahan dan infeksi. tanda gejalanya bisa di
lihat dari peningkatan hasil dari observasi tanda-tanda vital.
b) memelihara intake dan output serta lakukan irigasi urin. Kaji frekuensi serta kepatenan
kateter dan drainase. Monitor warna dan karakter dari urine. Kateter yang tersumbat bisa
disebabkan adanya gumpalan darah yang tercampur dengan urine drainase sehingga bisa
meningkatan resiko terjadinya perdarahan.
c) kaji dan atur pasien yang mengalami nyeri adapun nyeri yang disebabkan : antara lain 1)
nyeri dengan adanya insisi; 2) blader spasme (kekakuan pada kandung kemih); 3) keram pada
abdominan dengan adanya gas di usus. Analgesik dan steroid anti inflamasi (NSAID) di
gunakan secara rutin untuk mengontrol adanya nyeri; 4) cegah terjadinya emboli dan
kompresi yang akan menyebabkan pasien mempunyai resiko mengalami tromboemboli, dan
membutuhkan pencegahan yang penting; 5) dorong pertahanan cairan intake 2-3 liter/ hari.
Meningkatkan tekanan cairan setelah kateter di lepas dan sehinga mengurangi resiko
terjadinya infeksi pada traktus urinarius. (Lemone.P,2008).
3) Perawatan post opertif TUR/ TURP
a) Pada 24 sampai 48 jam pertama, monitor adanya perdarahan menurut frankly kejadian ini
bisa dibuktikan apabila adanya darah pada output urine. Peningkatan blader spasme,
penurunan hemoglobin, hematokrit, takikardi dan hipotensi. Perdarhan post operatif
kemungkinan berasal dari arteri dan vena, dan mungkin adanya endapan, blader spasme dan
adanya obstruksi pada sistem drainase urine.
b) Intruksikan pemasangan three way kateter. Kateter dengan traksi, untuk tetap
mempertahankan kaki/ tungkai di gunakan kateter No 18 dan 22. dengan kateter three way
dimasukan balon 30-40 ml, pantau untuk tindakan TURP dengan memompakan balon turun
kedalam prostatik fosa dan kateter.
c) Kaji volume tekanan berlebihan dan hiponatremia, dengan tanda gejala hiponatremia,
himatokrit, hipertensi, bradikardi, nausea, dan kejang. Hasil gejala TURP dari irigasi tekanan
ini terjadi setelah pembedahan.
d) Kaji output setiap 1-2 jam untuk warna konsistensi perdarahan dan, bllader spasme. CBI
(Continous Bladder irigation ) Di gunakan untuk pencegahan adanya gumpalan darah yang
terobstruksi pada urin output. sumbatan itu bisa mengakibatkan terjadinya perdarahan.
(Lemone.P,2008).
6. Komplikasi Benigna Prostate Hiperpalasia
Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomi bergantung pada jenis pembedahan dan
mencakup hemoragi, pembentukan bekuan, obstruksi kateter, dan disfungsi seksual.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun prostatektomi perineal
dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat dihindari.
Pada kebanyakan kasus, aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu,
karena saat ini fossa prostatik telah sembuh, setelah ejakulasi, maka cairan seminal mengalir
kedalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin. (perubahan anatomis pada uretra
poterior menyebabkan ejakulasi retrograd). Vasektomi mungkin dilakukan selam pembedahan
untuk mencegah penyebaran infeksi dari uretra prostatik melalui vas deferens dan kedalam
epididimis. Setelah prostatektomi total (biasanya untuk kanker) hampir selalu terjadi
impotensi. Bagi pasien yang tidak ingin untuk kehilangan aktivitas seksualnya, implans
prostetik penis mungkin digunakan untuk membuat penis menjadi kaku guna keperluan
hubungan seksual (Brunner & Suddarth, 2002)
7. Masalah kolaboratif komplikasi potensial
Burnner and Suddarth, 2002 mengemukanan masalah kolaboratif berdasarkan pendapat
Capernito, adalah komplikasi fisiologis tertentu yang perawat pantau untuk mendeteksi
awaitan atau perubahan dalam status hemodinamik pasien. Perawat mengelola masalah
kolaboratif menggunakan intervensi program dokter dan program keperawatan untuk
meminimalkan komplikasi dari kejadian post op prostatektomi.
Masalah kolaboratif komplikasi yang sering terjadi pada pasien post-op BPH
a. Hemoragi dan syok
Hemoragik dapat terjadi karena kelenjar prostat yang mengalami hiperplastik sangat banyak
mengandung pembuluh darah, bahaya lansung setelah prostatektomi adalah pendarahan dan
syok. Pendarahan dapat terjadi dari jaring-jaring prostat. Pendarahan juga dapat
mengakibatkan pembentukan bekuan, yang kemudian menyumbat aliran urin. (Brunner &
Suddarth, 2002b).
Hemoragi diklasifikasikan menjadi 1) hemoragie primer, terjadi pada sesaat pembedahan; 2)
hemoragie intermediari, terjadi beberapa jam setelah pebedahan, merupakan kompensasi
tubuh terhadap kenaikan tekanan darah ketingkat normal akibat dari pembuluh darah yang
tidak terikan secara maksimal; 3) hemoragie sekunder, dapat terjadi beberapa waktu/hari
setelah pembedahan, dapat terjadi bila adanya infeksi atau erosi oleh selang darinase
(Brunner & Suddarth, 2002a).
Syok adalah komplikasi pasca operatif yang paling serius, syok dapat digambarkan suatu
sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor
utama yaitu, curah jantung, volume darah, dan tonus vasomotor perifer. Perfusi jaringan yang
tidak adekuat menyebabkan peningkatan glikolisis anaerobik dengan produksi banyak asam
laktat (Brunner & Suddarth, 2002b). Syok yang dapat terjadi pada pasien bedah adalah syok
hipovolemik dan syok neurogenik
Etiologi adalah kehilangan plasma: 1) luka bakar; 2) dermatitis eksfoliatif; 3) kehilangan
cairan dan elektrolit eksternal: muntah, diare, keringat, yang berlebihan, keadaan
hiperosmolar; 4) kehilangan cairan dan elektrolit Internal; pankreatitis, asites, obstruksi usus
dan dampak dari pembedahan.
Manifestasi klinik antara lain: 1) tekanan darah sistemik rendah dan takikardi; 2) puncak
tekanan darah sistolik 100 mmHg atau lebih dari 10% di bawah tekan darah yang telah
diketahui; 3) hipoperfusi perifer; 4) vasokontriksi; 5) kulit dingin, lembab dan sianosis; 6)
status mental terganggu, kebingungan, agitasi, koma; 7) oliguria, anuria;,0,5 ml/kg BB/jam;
asidosis metabolik.
Intervensi terhadap hemoragik dan syok di diharapkan pasien dalam keadaan normovolemik,
di tandai dengan keseimbangan M&H, FJ 100dpm (atau dalam rentang normal pasien), TD
90/60 mmHg (atau dalam rentang normal pasien) FP 20 kali/mnt, dan kulit hangat, kering,
dan warna normal.
Intervensi yang dapat dilaksanakan terhadap pasien post op BPH (Brunner & Suddarth,
2002b), meliputi:
1) Sekembalinya pasien dari ruang pemulihan, pantau TV setiap 15 menit selam 30 menit
pertama; jika stabil, periksa setiap 30 mnt selama 1 jam; dan kemudian setiap 4 jam selam 24
jam atau perkebijakan institusi. Waspadai peningkatan nadi, penurunan TD, diaforesis, pucat,
dan peningkatan pernafasan yang dapat terjadi pada hemoragi dan ancaman syok.
2) Pantau dan catat M&H setiap 8 jam. Kurangi jumlah cairan yang digunakan pada irigasi
kandung kemih dan haluran total.
3) Pantau darinase kateter dengan cermat selama 24 jam pertama. Perhatikan terhadap
drainase gelap yang tidak menjadi merah ke merahanmudaan atau drainase yang tetap kental
setelah irigasi, yang menendakan perdarahan vena dalam sisi operasi. Drinase harus menjadi
merah muda atau sedikit berdarah dalam 24 jam setelah pembedahan.
4) Waspadai drainase merah terang, kental setiap waktu, yang dapat terjadi pada perdarahan
arteri dalam sisi operasi.
5) Jangan mengukur suhu per rektal atau memasukan selang atau enema ke dalam rektum.
Instruksikan pasien untuk tidak mengejan saat defekasi atau duduk terlalu lama. Tindakan ini
dapat meningkatkan tekanan pada kapsul prostat dan dapat menimbulkan hemoragi.
Dapatkan pesanan dan berikan pelunak feses atau katartik sesui petunjuk.
6) Pantau pasien terhadap tanda koagulasi intravaskuler desimenata, yang dapat terjadi akibat
pelepasan sejumlah besar tromboplastin jaringan, yang dapat terjadi selam reseksi transuretral
prostat (TURP). Perhatiakan terhadap perdarahan aktif (merah gelap) tanpa bekuan dan
rembesan tidak biasanya dari semua sisi pungsi. Laporkan temuan yang bermakna dengan
segera jika ini terjadi. Untuk informasi lebih lanjut lihat koagulasi intravaskuler
desimenata. (Swearingen,RN.2001)
b. Infeksi/sepsis luka
Terjadinya infeksi pasca operatif diakibat oleh infasi bakteri atau mikroorganisme seperti
staphylococcus aureus, escherhia coli, proteus vulgaris, aerobacter aereo-genes dan
organisme lainnya ke dalam sirkulasi darah melalui luka operasi. Infeksi pasca operatif yang
sering terjadi adalah 1) Selulitis yaitu infeksi bakteri yang menyebar kedalam bidang
jaringan; 2) Limfangitis adalah penyebaran infeksi dari selulitis atau abses ke sistem limfatik;
3) Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (Brunner &
Suddarth, 2002a).
Infeksi setelah prostatektomi perineal kemungkinan untuk terjadi sangat besar, sehingga
dapat dihindari dengan cara: 1) balutan dapat ditahan di tempatnya dengan menggunakan tali
ganda, perban T-binder atau penyangga atletik yang mempunyai bantalan; tali melintang di
atas insisi untuk memberikan ketebalan ganda, dan kemudian tali di tarik pada setiap sisi
skrotum sampai garis pinggang dan diikatkan; 2) menghindari penggunaan termometer rektal,
selang rektal, dan enema karena dapat memberi resiko terhadap cedera dan pendarahan pada
fosa prostatik; 3 ) setelah jahitan perineal diangkat, perineum dibersihkan sesuai indikai; 4)
skrotum dilindungi dengan handuk ketika lampu pemanas digunakan untk meningkatkan
prosedur operasi yang lama dan rumit; 5) pasien genekologi dengan usia diatas 40 tahun
dengan faktor resiko tambahan (varises, infeksi, malignasi, obesitas); 6) pasien bedah neuro
(Brunner& Suddarth, 2002a).
Upaya yang diarahkan pada pencegahan pembentukan trombus berupa 1) latihan tungkai; 2)
dalam pengunaan strap tungkai jangan terlalu dikencangkan; 3) menghindari penggunaan
selimut yang digulung, bantal yang digulung, atau bentuk lainya untuk meninggikan tungkai
karena dapat menyumbat pembuluh darah dibawah lutut; 4) hindarkan pasien untuk duduk
ditepi tempat tidur dengan menggantukna kaki dalam waktu yang lama (Brunner& Suddarth,
2002a).
Intervensi keperawatan lebih difokuskan kepada pemantauan terhadap tenda-tanda
terbentuknya trombus (Capernito, 2001), intervensi ini meliputi:
1) Pantau status trombosis vena, perhatikan
a. Penurunan atau hilangnya nadi perifer, (Insufisiensi sirkulasi menyebabkan nyeri dan tidak
terabanya nadi perifer).
b. Rasa panas dan kemerhan atau kedinginan dan sianosis yang tidak biasanya ;(rasa panas
dan kemerahan yang tidak biasanya menandakan adanya suatu inflamasi; rasa dingin dan
sianosis memberikan indikasi adanya obstruksi vaskuler).
c. Peningkatan rasa nyeri pada kaki ;(rasa nyeri pada kaki disebabkan oleh hipoksia jaringan).
d. Nyeri dada tiba-tiba, peningkatan dispnea, takipnea (obstruksi sirkulasi pulmonal
menyebabkan nyeri dad tiba-tiba dan dispnea).
e. Tanda-tanda hormon positif;(tanda hormon dikatakan positif bila pada posisi dorsifleksi;
kaki terasa nyeri;rasa nyeri karena insufisiensi sirkulasi kurang).
2) Lakukan konsultasi dengan dokter untuk penggunaan stoking antiemboli atau alat penekan
pada bagian-bagian tertentu, penurunan posisi dekstran, atau pengobatan antikoagulasi bagi
klien-klien yang beresiko tinggi, serta Jelaskan kegunaan stoking antiemboli.(dengan
pemakian stoking menurunkan vena-vena yang statis melalui tekanan sedemikian rupa pada
pergelangan kaki dan betis).
3) Lakukan penilaian status hindrasi berdasarkan berat jenis urine, pemasukan/pengeluaran,
berat badan, dan osmolaritas serum. Berikan jangka waktu untuk memastikan hidrasi yang
adekuat.(peningkatan viskositas darah, koagulasi, dan penurunan curah jantung berperan
dalam pembentukan trombus).
4) Tinggikan ekstremitas yang sakit pada posisi di atas jantung (dengan posisi ini dapat
membantu menurunkan pembengkakan intertisial melalui peningkatan aliran balik balik
vena)
5) Berikan anjuran pada klien untuk menghindari rokok.(nikotin dapat menyebabkan
vasospasme).
6) Berikan pengobatan antikoagulasi yang ditentukan dokter dan pantau hasil koagulasi darah
setiap hari. (pemberian antikoagulan bertujuan dan menghindari terbentuknya trombosis
dengan cara memperlambat waktu pembekuan darah).
7) Pada klien yang menerima pengobatan antiloagulasi, pantau tanda-tanda dini dari
perdarahan abnormal.(mis, hematuria, perdarah gusi, ekomosis, petekie, epistaksis). Berikan
analgesik pada kaki yang sakit sesuai program.
d. Obstruksi kateter
Masalah kolaboratif kateter terobstruksi setelah reseksi prostat trans-uretral adalah kateter
harus lancar, kateter yang mengalami obstruksi menyebabkan distensi kapsul prostat dan
mengakibatkan hemoragi. Urosemid (lasix) mungkin diresepkan untuk meningkatkan urinasi
dan megawali diuresis pascaopertif, dengan demikian membantu untuk mempertahankan
patensi kateter (Brunner& Suddarth, 2002b).
Tindakan pencegahan agar tidak terjadi obstruksi kateter meliputi: a) abdomen bagian bawah
diamati untuk memastikan bahwa kateter tidak tersumbat, kandung kemih yang penuh akan
nampak bengkak membulat jelas diatas pubis; b) kantung drainase, balutan, dan letak insisi
diperiksa terhadap pendarahan, warna urin dicatat dan di dokumentasikan; perubahan warna
dari merah muda menjadi kekuning-kunigan menandakan penurunan perdarahan; c) tekanan
darah, nadi, dan pernafasan di pantau dan dibandingkan dengan nilai dasar dari tanda-tanda
vital praopertif untuk mendeteksi hipotensi. Perawat juga mengamati pasien terhadap adanya
perilaku gelisah, keringat dingin, pucat, dan setiap penurunan tekanan darah, dan peningkatan
frekuensi nadi (Brunner& Suddarth, 2002b).
Pelepasan kateter yang baik dan benar serta efektif dapat mengurangi masalah-masalah
kolaboratif, setelah kateter di lepaskan (biasanya ketika urin tampak jernih), urin dapat bocor
di sekitar luka selam beberapa hari pada pasien yang telah menjalani bedah perineal,
suprapubik, dan retropubik. Kateter sistostomi mungkin dilepaskan sebelum atau setelah
kateter uretral dilepaskan (Brunner& Suddarth, 2002b).
Inkontenensia derajat tertentu dapat terjadi setelah kateter dilepaskan dan pasien
diinformasikan bahwa hal ini kemungkinan akan hilang.karena kelenjar prostat yang
mengalami hiperplastik sangat banyak mengandung pembuluh darah, bahaya langsung
setelah prostatektomi adalah perdarahan dan syok. Perdarahan dapat terjadi dari jaring-jaring
(Brunner& Suddarth, 2002b).
...........................................................................................
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT
HYPERPLASIA (BPH) DI RUANG 17 RSSA MALANG
PENDAHULUAN
Dengan semakin canggihnya alat-alat kedokteran penunjang medis yang
dikembangkan saat ini, tindakan operasi Trans Urethral Reseksi Prostat
dipandang lebih menguntungkan baik bagi pasien maupun dokter bedah. Namun
tidak menutup kemungkinan timbulnya permasalahan antara lain: perdarahan
TUJUAN
1.
2.
a.
b.
c.
d.
e.
TINJAUAN TEORITIS
Pengukuran:
Ada 3 cara pengukuran besarnya hiperplasia prostat:
a.
0 1 cm
1 2 cm
: grade 0
: grade 1
2 3 cm
: grade 2
3 4 cm
: grade 3
>
: grade 4
1 cm
: normal
Sisa urine 0 50 cc
: grade 1
: grade 3
: grade 4
c.
Komplikasi:
a.
b.
c.
d.
Ffistula
Inkontinensia urine
Pemeriksaan Fisik:
a.
Urinolitis
b.
Urine culture
c.
Pemeriksaan fisik
Penatalaksanaan:
a.
Tindakan umum:
Prostatectom: grade 4
b.
Decomposation cordis
Malnutrisi berat
Pengkajian Keperawatan:
a.
b.
Eliminasi:
c.
d.
e.
f.
Seksualitas:
Pembesaran prostat
g.
Pengetahuan/pendidikan:
Riwayat adanya Ca dalam keluarga, hipertensi, penyakit gula.
Penggunaan obat anti hipertensi atau anti depressant, antibiotik untuk saluran
kencing, obat alergi.
nisi
LAPORAN PENDAHULUAN
Masalah Kesehatan : Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
: BPH adalah suatu neoplasma jinak (hiperplasia) yang menyertai kelenjar
prostat
Pat
ofisiologi
Masalah Keperawatan:
a.
Retensio urine
b.
Potensial infeksi
c.
Nyeri
d.
Kurang pengetahuan
e.
a.
b.
c.
d.
e.
Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan disfungsi
ginjal.
Intervensi dan Rasional:
1. Dx-1: Retensio urine yang berhubungan dengan pembesaran prostat.
Tindakan
Rasional
1.
2.
Tanyakan pasien
inkontinensia stress
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
.
Kolaborasi:
Berikan obat sesuai
indikasi: Antispasmodik,
contoh; oksibutinin klorida
(ditropan)
Kateterisasi untuk residu
urine dan biarkan kateter
tak menetap sesuai
indikasi
No
.
Tindakan
Rasional
1.
2.
3.
4.
5.
Pantau abdomen/kandung
kemih terhadap distensi
6.
7.
Tindakan
Kaji nyeri, perhatikan
lokasi, intensitas (skala 010) lamanya.
Rasional
Memberikan informasi untuk membantu
dalam menentukan pilihan/keefektifan
intervensi
2.
3.
4.
Berikan tindakan
Meningkatkan relaksasi, memfokuskan
kenyamanan, contoh pijatan kembali perhatian, dan dapat
punggung, membantu
meningkatkan kemampuan koping
pasien melakukan posisi
yang nyaman, mendorong
penggunaan relaksasi/
latihan nafas dalam,
aktivitas terapiutik
5.
Dorong menggunakan
rendam duduk,sabun
hangat untuk perineum
6.
Kolaborasi:
Berikan obat sesuai
indikasi: Narkotik, contoh
eperidin (Demerol)
Antibakterial, contoh
metenamin hipurat (hiprex)
Tindakan
Rasional
1.
2.
5. Dx-5
3.
4.
Anjurkan menghidri
makanan berbumbu, kopi,
alkohol, mengemudikan
mobil yang lama,
pemasukan cairan cepat
(terutama alkohol)
5.
6.
7.
8.
Diskusikan perlunya
pemberitahuan pada
perawat kesehatan lain
tentang diagnosa
9.
Tindakan
Rasional
1.
2.
Dorong peningkatan
pemasukan oral
berdasarkan kebutuhan
individu
3.
4.
5.
Kolaborasi
Awasi elektrolit, khususnya
natrium
Daftar Bacaan:
Doenges, Marilyn E., et. Al. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta
PENUTUP
Sebagai akhir dari pelaporan ini, penulis mengharapkan semoga makalah
ini bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan juga bagi rekan-rekan profesi
keperawatan dalam menjalankan tugas sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat. Kita menyadari bahwa saat ini profesi keperawatan sedang
mengembangkan kemampuan dan keterampilan dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Maka tidaklah berlebihan bila dalam memberikan pelayanan ini
menggunakan pendekatan proses keperawatan sebagai dasar dalam
memberikan pelayanan keperawatan. Semoga dengan tantangan yang ada, kita
mampu menghadapi tantangan tersebut dengan memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya terhadap masyarakat.
Daftar Bacaan:
Doenges, Marilyn E., et. Al. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta
Tucker,Susan Martin,et Al. (1997),Standar Perawatan Pasien: Proses
Keperawatan,Diagnosis, dan Evaluasi, EGC, Jakarta.
Sjamsuhidajat R.et. Al.(1997), Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.