You are on page 1of 4

POSTMODERNISME DALAM SASTRA

Postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi
dengan budaya rendah, antara penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang
selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional. Dengan demikian,
posmodern secara umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala bidang
(Jean Baudrillard dalam Munir Fuady, 2005: 98);
Postmodernisme erat kaitannya dengan sosiologi sastra, pendekatan sosiologis sangat
dipertimbangkan pada era postmodernisme. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya
hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang
dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang adalah
anggota masyarakat itu sendiri, c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam
masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfatkan kembali oleh masyarakat. Sehingga
semangat yang dibagun postmodernisme dan sosiologi dalam dunia sastra saling berkaitan
karena memiliki objek penelitian yang sama yaitu masyarakat dan segala sesuatu yang dihasilkan
masyarakat itu sendiri
Ada beberapa asumsi yang memunculkan postmodernisme sebagai sesuatu yang sangat
penting bagi kehidupan masyarakat sosial, antara lain: 1) postmodernisme adalah pergerakan ide
yang menggantikan ide-ide zaman modern (yang mengutamakan rasio, objektivitas, dan
kemajuan); 2) postmodernisme memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan
sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam agama, penyiaran seni dan
budaya
Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah
tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang mengedepankan
reason, nature, happiness, progress, dan liberty sepintas telah menghasilkan kemajuan yang
pesat dalam bidang seni dan budaya bahkan sastra. Namun kenyataan yang terjadi modernisme
memberikan dampak negatif bagi kehidupan sosial masyarakat. Rasionalitas modern gagal
menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan
semua masalah manusia. Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia untuk
beristirahat dan menikmati hidup.
Sastra modernisme mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai
struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dipahami secara universal.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dengan postmodernisme yang menganggap bahwa makna
tidaklah terdapat dalam teks, melainkan muncul dari masing-masing pribadi yang membaca teks.
Secara tidak langsung, hal ini menyatakan bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya
atas pemaknaan teks yang ditulisnya karena semua orang boleh membaca teks tersebut dan
memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing.
Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya pada realitas.
Pemaknaan sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh masing-masing individu. Tidak ada
standar tertentu untuk memaknai atau memahami suatu hal. Makna tidak lagi bernilai objektif,
dalam pengertian dapat diterima secara universal. Pemaknaan menjadi subjektif, dan pemaknaan
subjektif menjadi kebenaran bagi pribadi yang bersangkutan. Cukup banyak pengaruh yang
dimunculkan oleh postmodernisme dalam berbagai aspek kehidupan yaitu memberikan

penghargaan besar terhadap alam dan mendorong kebangkitan golongan tertindas atau kelas
sosial yang termarjinalkan.
Kritik Merlyn terhadap Karya Sastra
Pendekatan yang dilakukan Merlyn mewakili suatu pendekatan terhadap sastra yang
memusatkan perhatian kepada karya itu sendiri dalam menafsirkan karya sastra.
Menurut aliran ini, penafsiran atas karya sastra pertama-tama haruslah menurut data yang
terdapat dalam karya sastra itu sendiri. Jadi, yang menjadi sasaran kritikus sastramenurut
kelompok iniadalah analisa kesastraan, yang kemudian berdasarkan data kesastraan itu
memberikan penilaiannya.. Kelompok ini mempergunakan pendekatan ilmiah dalam
menafsirkan teks. bagi mereka, setiap penafsiran atau penilaian harus dapat dicek dan didukung
dan diperkuat bukti-bukti.
Kelompok Merlyn tidak banyak menaruh perhatian secara sistematik bagi komunikasi
sastra, yang mereka tuntut adalah otonomi karya sastra, yang menjadi titik balik mereka adalah
situasi membaca bukan menulis. Terdapat sebuah teks sastra yang digumuli oleh pembaca.
Merlyn memperhatikan ciri-ciri yang khas bagi sastra. Yang menjadi sasaran seorang
kritikus ialah analisa kesastraan lalu dengan bertumpu pada analisa itu, kemudian memberikan
penilaiannya. Cara Max Havelaar, karya Multatuli itu, disusun dan bagian-bagiannya kait
mengait, menentukan nilai sastranya. Yang merupakan criteria dalam penafsiran itu ialah
kesatuan karya, serta konsistensi psikologi dalam komposisi, gaya dan psikologi.
Bagi kelompok Merlyn itu, sebuah karya sastra didekati dengan tepat bila kita
mempergunakan analisa structural. Menurut definisi mereka struktur itu ialah cara yang unik
segala aspek bentuk dan isi kait-mengait. Kebertautan yang unik itu dapat kita temukan dengan
mengadakan close reading, yaitu cara membaca yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa setiap
bagian teks menduduki tempat di dalam seluruh struktur sehingga kait-mengait secara logika.
Teori struktural memiliki prinsip-prinsip dasar yaitu diantaranya:
a. Karya sastra merupakan sesuatu yang otonom atau berdiri sendiri .
b. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun karya sastra .
c. Makna sebuah karya sastra hanya dapat diungkapkan atas jalinan atau keterpaduan antarunsur.

Teori struktural memandang teks sastra sebagai satu struktur dan antar
unsurnya merupakan satu kesatuan yang utuh, terdiri dari unsur-unsur yang
saling terkait, yang membangun satu kesatuan yang lengkap dan bermakna.
Menurut Abrams, teori struktural adalah bentuk pendekatan yang obyektif
karena pandangan atau pendekatan ini memandang karya sastra sebagai
suatu yang mandiri. Ia harus dilihat sebagai obyek yang berdiri sendiri, yang
memiliki dunia sendiri, oleh sebab itu kritik yang dilakukan atas suatu karya
sastra merupakan kajian intrinsik semata.
Efek sebuah karya sastra ditentukan oleh apa yang dapat diperbuat dari pembaca dengan
teks itu. Bagi seorang pembaca sebuah karya sastra penting bila ketegangannya sendiri,
termasuk masalah-masalah yang hidup dalam kesadarannya, ditampakkan dalam karya itu, yang
buat situasi si pembaca, tetapi yang dapat dihayatinya.

Pendekatan Semiotik
Dalam kajian sastra, pendekatan semiotik memandang sebuah karya sastra sebagai sebuah sistem
tanda.Secara sistematik, semiotik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem
lambang, dan proses-proses perlambangan.
Pendekatan ini memandang fenomena sosial dan budaya sebagai suatu sistem tanda. Tanda
tersebut hadir juga dalam kehidupan sehari misal: bendera putih di depan gang, maka orang
akan berpikir ada salah satu keluarga yang sedang ada yang berduka. contoh lain
adalah mendung: orang akan berpikir hujan akan segera turun sebentar lagi. Tentu saja untuk
memahaminya dibutuhkan pengetahuan tentang latarbelakang sosial-budaya karya sastra tersebut
dibuat.
Tanda, dalam pendekatan ini terdiri dari dua aspek yaitu: penanda (hal yang menandai sesuatu)
dan petanda (referent yang diacu).

You might also like