You are on page 1of 10

MAKALAH SISTEM PERNAPASAN

UNIVERSAL PRECAUTION
RESPIRATORY TERAPY
(BATUK EFEKTIF, NAFAS DALAM)
FISIOTERAPI DADA
(FIBRASI, POSTURAL DRAINASE, PEMBERIAN O2, SUCTION
& NEBULIZER)

DISUSUN OLEH:
LELY PUJANINGSIH
MUTMAINAH
NILA RAHMAWATI
NINING SUGIHARTI
NURNANDA PANJI KURNIAWAN
RINA LIDIA NURSANTI
SLAMET BUDI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


PEMKAB JOMBANG
TAHUN AJARAN 2015/2016

UNIVERSAL PRECAUTION

Pengertian
Universal Precaution (Kewaspadaan universal) adalah langkah sederhana pencegahan infeksi
yang mengurangi resiko penularan dari patogen yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh
diantara pasien dan pekerja kesehatan.
Universal precautions (Kewaspadaan Universal) merujuk pada praktek, dalam kedokteran,
menghindari kontak dengan cairan tubuh pasien, dengan cara pemakaian barang seperti sarung
tangan medis, kacamata, dan perisai wajah. Praktek ini diperkenalkan pada 1985-88. [1] [2] Pada
tahun 1987, praktek Universal precautions telah disesuaikan dengan seperangkat aturan yang
dikenal sebagai isolasi zat tubuh. Pada tahun 1996, kedua praktik tersebut diganti dengan
pendekatan terbaru yang dikenal sebagai kewaspadaan standar (perawatan kesehatan). Saat ini
dan di isolasi, praktek Universal precautions memiliki makna sejarah.
B. Sejarah pentingnya Universal precautions
Di bawah Universal precautions semua pasien dianggap pembawa kemungkinan patogen melalui
darah. Pedoman yang direkomendasikan memakai sarung tangan ketika mengambil atau
penanganan darah dan cairan tubuh yang terkontaminasi dengan darah, memakai perisai hadapi
ketika ada bahaya percikan darah pada selaput lendir dan membuang semua jarum dan benda
tajam dalam wadah tahan tusukan.
Universal precautions dirancang untuk dokter, perawat, pasien, dan pekerja perawatan kesehatan
dukungan yang diperlukan untuk datang ke dalam kontak dengan pasien atau cairan tubuh. Ini
termasuk staf dan orang lain yang mungkin tidak datang ke dalam kontak langsung dengan
pasien.
C. Penggunaan
Universal precautions yang biasanya dilakukan dalam lingkungan di mana para pekerja terkena
cairan tubuh, seperti:
1. Darah
2. Semen
3. Sekresi vagina
4. synovial cairan
5. cairan ketuban
6. Cerebrospinal cairan
7. cairan pleura
8. peritoneal cairan
9. perikardial cairan

Cairan Tubuh yang tidak memerlukan tindakan pencegahan seperti:

1. Tinja
2. Nasal sekresi
3. Urine
4. Muntahan
5. Keringat
6. Dahak
7. Air liur
Universal precautions adalah teknik pengendalian infeksi yang dianjurkan mengikuti wabah
AIDS di tahun 1980-an. Setiap pasien diperlakukan sebagai jika tindakan pencegahan terinfeksi
dan karena itu dilakukan untuk meminimalkan risiko.
Pada dasarnya, Universal precautions kebiasaan kebersihan yang baik, seperti mencuci tangan
dan penggunaan sarung tangan dan hambatan lainnya, penanganan yang tepat pada jarum suntik
dan pisau bedah, dan teknik aseptik.
Peralatan
Pakaian pelindung seperti:
1. Gaun
2. Sarung tangan
3. Eyewear (kacamata)
4. Perisai wajah
D. Tambahan tindakan pencegahan
Pencegahan tambahan digunakan selain untuk kewaspadaan universal untuk pasien yang
diketahui atau diduga memiliki kondisi menular, dan bervariasi tergantung pada pengendalian
infeksi diperlukan pasien tersebut. Tindakan pencegahan tambahan tidak diperlukan untuk
infeksi melalui darah, kecuali ada komplikasi. Kondisi menunjukkan tindakan pencegahan
tambahan:
1. Prion penyakit (misalnya, penyakit Creutzfeldt-Jakob)
2. Penyakit dengan transmisi udara ditanggung (misalnya, TBC)
3. Penyakit dengan transmisi tetesan (misalnya, gondok, rubella, influenza, pertusis)
4. Transmisi melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan kulit kering (misalnya,
kolonisasi dengan MRSA) atau permukaan yang terkontaminasi atau kombinasi di atas.
E. Standard Kewaspadaan
1. Cuci tangan
2. Pakai sarung tangan saat menyentuh cairan tubuh, kulit tak utuh dan membran mukosa
3. Pakai masker, pelindung mata, gaun jika darah atau cairan tubuh mungkin memercik
4. Tutup luka dan lecet dengan plester tahan air
5. Tangani jarum dan benda tajam dengan aman
6. Buang jarum dan benda tajam dalam kotak tahan tusukan dan tahan air
7. Proses instrumen dengan benar
8. Bersihkan tumpahan darah dan cairan tubuh lain segera dan dengan seksama
9. Buang sampah terkontaminasi dengan aman
F. Prosedur pencegahan infeksi

1. Cuci tangan
Cuci tangan adalah cara pencegahan infeksi yang penting. Cuci tangan harus dilakukan dengan
benar , sebelum melakukan tindakan.
Sarana untuk cuci tangan :
a. Air mengalir
b. Sabun dan detergan
c. Larutan anti septic
Gambar Langkah Cuci Tangan
2. Alat pelindung diri (APD)
Adalah peralatan yang dirancang untuk melindungi pekerja dari kecalakaan atau penyakit yang
serius ditempat kerja akibat kontak dengan potensi bahaya. Jenis pelindung APD antara lain :
sarung tangan,masker (pelindung wajah), kacamata (pelindung mata), penutup kepala (kap),
gaun pelindung, alas kaki (pelindung kaki).
3. Pengelolaan alat bekas pakai
Bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan, atau untuk menjamin alat
tersebut dalam kondisi steril dan siap pakai. Penatalaksanaan pengelolaan alat bekas pakai
melalui 4 tahap kegiatan yaitu : dekontaminasi, pencucian, sterilisasi atau DTT, dan
penyimpanan.
4. Pengelolaan alat tajam
Penyebab utama HIV adalah terjadinya kecelakaan kerja seperti tertusuk jarum atau alat tajam
yang tercemar.
Membuang benda tajam
1. Buang jarum dan spuit segera setelah digunakan diwadah benda tajam yang tahan tusukan
2. Jangan isi wadah melebihi ketinggian tiga perempat penuh
3. Insinerasi wadah pembuang benda tajam
5. Pengelolaan limbah
Limbah rumah sakit atau di pelayanan kesehatan adalah limbah yang dihasilkan oleh seluruh
kegiatan rumah sakit dan limbah yang terbanyak adalah limbah infeksium yang memerlukan
penerangan khusus.
6. Dalam Universal Precaution Tidak direkomendasikan
a. Sterilisasi panas kering karena tergantung listrik & waktu yang lama
b. Sterilisasi kimia karena waktu yang lama & glutaraldehid-beracun
c. Merebus instrument karena merupakan bentuk dari DTT
d. Menyimpan instrumen dalam antiseptik cair karena tidak efektif
e. Membakar instrument tidak efektif

Pencegahan HIV Dalam Kondisi Darurat


Penyuntikan yang aman
1. Minimalkan kebutuhan menangani jarum dan spuit

2. Gunakan spuit dan jarum steril sekali pakai untuk setiap penyuntikan
3. Tangani spuit dan jarum dengan aman
4. Tata ruang kerja untuk mengurangi risiko cedera
5. Gunakan vial dosis tunggal sebagai ganti vial multi dosis
6. Jika vial adalah untuk multi dosis, hindari meninggalkan jarum di karet penutup vial
7. Setelah dibuka, simpan vial multi dosis di kulkas
8. Jangan menutup kembali jarum
9. Posisikan dan peringatkan pasien dengan benar untuk penyuntikan
10. Praktekkan pembuangan limbah tajam medis yang aman
Paparan Kerja: PPPK
1. Luka akibat jarum atau benda tajam yang sudah dipakai dan kulit terluka
a. Jangan dipijat atau digosok
b. Segera cuci dengan air dan sabun atau cairan chlorhexidine gluconate
c. Jangan gunakan cairan yang keras. Pemutih atau yodium akan mengiritasi luka
2. Percikan darah atau cairan tubuh pada kulit yang luka
a. Cuci segera. Jangan gunakan desinfektan yang kuat
3. Percikan pada mata
a. Airi mata segera dengan air atau normal saline
b. Miringkan kepala ke belakang dan minta teman menuangkan air atau normal saline
c. Jangan gunakan sabun atau desinfektan pada mata
4. Percikan pada mulut
a. Ludahkan segera
b. Basuh mulut dengan menyeluruh menggunakan air atau saline. Ulang beberapa kali
c. Jangan gunakan sabun atau desinfektan pada mulut
d. Laporkan kejadiaan dan minum PEP jika ada indikasi.
Memastikan transfusi darah aman dan rasional
1. Mengumpulkan darah hanya dari Donor sukarela yang tidak dibayar dengan risiko rendah
terkena infeksi yang ditularkan lewat transfusi (TTI) dan kriteria donor darah yang ketat
2. Memeriksa semua darah yang didonorkan untuk TTI, golongan darah dan kompatibilitas;
3. Pemakaian darah yang sesuai secara klinis dan pemakaian alternatif dan obat untuk
meminimalkan transfusi yang tidak perlu
4. Praktek Transfusi aman di tempat tidur dan pembuangan kantung, jarum dan tabung darah
yang aman.

ENGERTIAN
Kewaspadaan Universal merupakan (Universal Precaution) adalah kewaspadaan terhadap darah dan
cairan tubuh yang tidak membedakan perlakuan terhadap setiap pasien, dan tidak tergantung pada
diagnosis penyakitnya (kamus-medis) .
Kewaspadaan universal merupakan bagian dari upaya pengendalian infeksi di sarana pelayanan
kesehatan. Merupakan salah satu cara untuk mencegah penularan penyakit dari cairan tubuh, baik dari
pasien ke petugas kesehatan atau sebaliknya.
Dasar Kewaspadaan Universal ini meliputi pengelolaan alat kesehatan, cuci tangan guna mencegah
infeksi silang, pemakaian alat pelindung diantaranya sarung tangan untuk mencegah kontak dengan darah
serta cairan infeksius yang lain, pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan, serta
pengelolaan limbah (Depkes RI, 2003).
Dalam menggunakan Kewaspadaan Universal petugas kesehatan memberlakukan semua pasien sama,
tanpa memandang penyakit atau diagnosanya dengan asumsi bahwa risiko atau infeksi berbahaya.
Dalam semua sarana kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas dan praktek dokter gigi, tindakan yang
dapat mengakibatkan luka atau tumpahan cairan tubuh, atau penggunaan alat medis yang tidak steril,
dapat menjadi sumber infeksi penyakit tersebut pada petugas layanan kesehatan dan pasien lain. Jadi
seharusnya ada pedoman untuk mencegah kemungkinan penularan terjadi.

Pedoman ini disebut sebagai kewaspadaan universal. Harus ditekankan bahwa pedoman tersebut
dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV, tetapi yang tidak kalah penting
terhadap infeksi lain yang dapat berat dan sebetulnya lebih mudah menular.

B. KEWASPADAAN UNIVERSAL DI PELAYANAN KESEHATAN


a.

Penerapan Kewaspadaan Universal di Pelayaanan Kesehatan

Sebelum kewaspadaan universal pertama dikenalkan di AS pada 1987, semua pasien harus dites untuk
semua infeksi tersebut. Bila diketahui terinfeksi, pasien diisolasikan dan kewaspadaan khusus lain
dilakukan, misalnya waktu bedah.
Banyak petugas layanan kesehatan dan pemimpin rumah sakit masih menuntut tes HIV wajib untuk
semua pasien yang dianggap anggota kelompok berisiko tinggi infeksi HIV, misalnya pengguna narkoba
suntikan.
Karena akan sulit untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi atau tidak, petugas layanan kesehatan harus
menerapkan kewaspadaan universal secara penuh dalam hubungan dengan semua pasien, dengan
melakukan tindakan berikut:
Cuci tangan setelah berhubungan dengan pasienatau setelah membuka sarung tangan.
Segera cuci tangan setelah ada hubungan dengan cairan tubuh.
Menggunakan sarung tangan bila mungkin ada hubungan dengan cairan tubuh.
Menggunakan masker dan kacamata pelindung jika kemungkinan terdapat percikan cairan tubuh.
Buang jarum suntik dan alat tajam lain secara aman (yang sekali pakai, tidak boleh dipakai ulang).
Bersihkan tumapahan cairan tubuh dengan bahan yang cocok.
Patuhi standar sterilisasi alat medis.
Tangani semua bahan yang tercemar dengan cairan tubuh sesuai dengan prosedur.
Buang limbah sesuai dengan prosedur.
Penerapan Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan
cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit, baik yang berasal dari pasien maupun petugas
kesehatan. Prosedur Kewaspadaan Universal ini juga dapat dianggap sebagai pendukung progran K3 bagi
petugas kesehatan.
Dengan menerapkan KU, setiap petugas kesehatan akan terlindung secara maksimal dari kemungkinan
terkena infeksi penyakit yang ditularkan melalui darah/cairan tubuh, baik dari kasus yang terdiagnosis
maupun yang tidak terdiagnosis.

b.

Alasan Kewaspadaan Universal Sering Diabaikan

Ada banyak alasan mengapa kewaspadaan universal tidak diterapkan, termasuk :


Kurangnya pengetahuan petugas pelayan kesehatan
Kurang dana untuk menyediakan pasokan yang dibutuhkan, misalnya sarung tangan dan masker
Kurangnya pasokan pennyedia yang dibutuhkan

c.

Risiko jika Kewaspadaan Universal Kurang Diterapkan

Kewaspadaan universal diciptakan untuk melindungi terhadap kecelakaan yang dapat terjadi. Kecelakaan
yang paling umum adalah tertusuk jarum suntik, yaitu jarum suntik yang dipakai pada pasien menusuk
kulit seorang petugas layanan kesehatan.
Penelitian menunjukkan bahwa risiko penularan rata-rata dalam kasus pasien yang bersangkutan
terinfeksi HIV adalah kurang lebih 0,3%, dibandingkan dengan 3% untuk hepatitis C dan lebih dari 30%
untuk hepatitis B. Jika darah dari pasien yang terinfeksi mengenai selaput mukosa (misalnya masuk mata)
petugas layanan kesehatan, risiko penularan HIV adalah kurang lebih 0,1%. Walaupun belum ada data
tentang kejadian serupa dengan darah yang dicemar hepatitis B, risiko jelas jauh lebih tinggi.
Kewaspadaan Universal yang tidak sesuai dapat menghasilkan bukan hanya risiko pada petugas layanan
kesehatan dan pasien lain, tetapi juga peningkatan pada stigma dan diskriminasi yang dihadapi oleh
ODHA.
C.
CONTOH KASUS TERKAIT KEWASPADAAN UNIVERSAL DI PELYANAN
KESEHATAN
Contoh kasus yang ditemukan terkait penerapan kewaspadaan universal dalam pelayanan kesehatan
yaitu Infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terdapat dalam sarana kesehatan. Nosokomial berasal dari kata
Yunani nosocomium, yang berarti rumah sakit. Maka, kata nosokomial artinya "yang berasal dari rumah
sakit" kata infeksi cukup jelas artinya, yaitu terkena hama penyakit.
Menurut Patricia C Paren, pasien dikatakan mengalami infeksi nosokomial jika pada saat masuk belum
mengalami infeksi kemudian setelah dirawat selama 48-72 jam klien menjadi terinfeksi Infeksi
nosokomial bisa bersumber dari petugas kesehatan, pasien yang lain, alat dan bahan yang digunakan
untuk pengobatan maupun dari lingkungan rumah sakit.
Infeksi nosokomial mulai dengan penyebab (di bagian tengah gambar berikut), yang ada pada sumber.
Kuman keluar dari sumber melalui tempat tertentu, kemudian dengan cara penularan tertentu masuk ke
tempat tertentu di pasien lain. Karena banyak pasien di rumah sakit rentan terhadap infeksi (terutama
ODHA yang mempunyai sistem kekebalan yang lemah), mereka dapat tertular dan jatuh sakit tambahan.
Selanjutnya, kuman penyakit ini keluar dari pasien tersebut dan meneruskan rantai penularan lagi.
Pada 1847, seorang dokter bernama Ignaz Semmelweis bekerja di bagian kebidanan di sebuah rumah
sakit di Vienna, Austria. Semmelweis mengamati bahwa angka kematian di antara ibu di bangsal yang
dilayani oleh mahasiswa kedokteran tiga kali lebih tinggi dibandingkan bangsal yang dilayani oleh bidan.
Semmelweis mendalilkan bahwa hal ini terjadi karena mahasiswa langsung ke bangsal kebidanan setelah
belajar otopsi (bedah mayat), dan membawa infeksi dari mayat ke ibu yang melahirkan. Dia
memerintahkan dokter dan mahasiswa untuk mencuci tangannya dengan larutan klorin sebelum
memeriksakan ibu tersebut. Setelah aturan ini diterapkan, angka kematian menurun menjadi serupa
dengan bangsal yang dilayani oleh bidan.
Dengan masalah infeksi nosokomial menjadi semakin jelas, dicari kebijakan baru untuk menguranginya.
Solusi pertama pada 1877 adalah mendirikan rumah sakit khusus untuk penyakit menular.
Pengenalan sarung tangan lateks pada 1887 membantu mengurangi penularan. Tetapi dengan peningkatan
mortalitas (angka kematian) di 1960-an, Departemen Kesehatan di Amerika Serikat pada tahu 1970
mengeluarkan kebijakan untuk mengisolasikan semua pasien yang diketahui tertular infeksi menular.
Namun kebijakan ini kurang berhasil serta menimbulkan banyak masalah lain. Perhatian pada masalah ini
menjadi semakin tinggi dengan munculnya HIV pada 1985, kebijakan kewaspadaan universal dikenalkan
pada 1985.
Sesuai dengan kebijakan ini yang dikembangkan pada 1970, semua pasien yang diketahui terinfeksi
penyakit menular melalui tes wajib diisolasi. Kebijakan ini menentukan tujuh kategori isolasi berdasarkan
sifat infeksinya (daya menular, ganas, dll.). Kewaspadaan khusus (sarung tangan dsb.) dengan tingkat
yang ditentukan oleh kategori hanya dipakai untuk pasien ini.
Teknik isolasi mengurangi jumlah infeksi nosokomial, tetapi timbul beberapa tantangan:
v Peningkatan dalam jenis dan jumlah infeksi menular, sehingga semakin banyak tes harus dilakukan,
dan semakin banyak pasien harus diisolasi.

v Hasil tes sering diterima terlambat, sering setelah pasien pulang.


v Biaya sangat tinggi, bila semua orang dites untuk setiap infeksi
v Stigma dan diskriminasi meningkat bila hanya pasien yang dianggap berisiko tinggi dites untuk
menenkankan biaya.
v Hasil tes dapat negatif palsu (hasil negatif walau terinfeksi), terutama dalam masa jendela, dengan
akibat petugas layanan kesehatan kurang waspada.
v Sebaliknya hasil tes positif palsu (hasil positif walau tidak terinfeksi), dengan akibat kegelisahan untuk
pasien dan petugas layanan kesehatan .
v Perhatian pada hak asasi mengharuskan pasien memberi informed consent (disertai oleh konseling
untuk HIV).
Sejak AIDS diketahui, kebijakan baru yang bernama kewaspadaan universal (KU) dikembangkan.
Kebijakan ini menganggap bahwa setiap darah dan cairan tertentu lain dapat mengandung infeksi, tidak
memandang status sumbernya. Lagipula, semua alat medis harus dianggap sebagai sumber penularan, dan
penularan dapat terjadi pada setiap layanan kesehatan, termasuk layanan kesehatan gigi dan persalinan,
pada setiap tingkat (klinik dan puskesmas sampai dengan rumah sakit rujukan).
Harus ditekankan bahwa kewaspadaan universal dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap
penularan HIV tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat parah dan sebetulnya lebih
mudah menular, misalnya virus Hepatitis B dan C. Petugas layanan kesehatan harus menerapkan
kewaspadaan universal secara penuh dalam hubungan dengan semua pasien.
Kita biasanya menganggap cairan yang dapat menular HIV sebagai darah, cairan kelamin dan ASI saja.
Namun ada cairan lain yang dapat mengandung kuman lain, dan dalam sarana kesehatan, lebih banyak
cairan tubuh biasanya tersentuh. Contohnya, walaupun tinja tidak mengandung HIV, cairan berikut
mengandung banyak kuman lain nanah, cairan ketuban, cairan limfa, ekskreta (air seni, tinja).

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Kewaspadaan Universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga
kesehatan untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan
cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan.
Perawat sebagai petugas kesehatan yang memberikan pelayanan keperawatan dan melakukan prosedur
keperawatan baik yang invansive maupun non invansive untuk memenuhi kebutuhan passion akan kontak
langsung dengan darah atau cairan tubuh pasien.
Hal ini sangat berisiko terpapar infeksi yang secara potensial membahayakan jiwanya dan menjadi tempat
dimana agen infeksius dapat berkembang biak yang kemudian menularkan infeksi dari satu pasien ke
pasien lain. Oleh karena itu, tindakan Kewaspadaan Univeersal sangat penting dilakukan.
Jadi kita harus mengerti dasar pemikiran kewaspadaan universal dan terus menerus mengadvokasikan
untuk penerapannya. Kita harus mengajukan keluhan jika kewaspadaan universal diterapkan secara pilihpilih (kewaspadaan Odha) dalam sarana medis. Kita harus protes dan menolak bila ada tes HIV wajib
sebelum kita diterima di rumah sakit. Kita mungkin juga harus beradvokasi pada pemerintah daerah
melalui KPAD dan pada DPRD agar disediakan dana yang cukup untuk menerapkan kewaspadaan
universal dalam sarana medis pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

http://kbbi.web.id/infeksi
http://kamuskesehatan.com/arti/infeksi/
http://deaulfiah.wordpress.com/2013/10/15/pencegahan-infeksi/
http://www.diskes.baliprov.go.id/id/PENGENDALIAN-PENYAKIT-INFEKSI---PPI--PADAPELAYANAN-OBSTETRI-NEONATAL-EMERGENSI-DASAR--PONEDDiposkan oleh Desi Supriyanti di 20.32

You might also like