Professional Documents
Culture Documents
Anggota kelompok 5:
Deni Chandra
Eka susianilda
Kufrayanti
Neldawati
Rizka Lestari
Wafida Husni
Yesi marlina
Yulia Gusti
Dosen Pembimbing:
Visti Delfina, S.ST
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul Asuhan kebidanan Pada Ibu hamil
Dengan HIV. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok
mata kuliah kegawatdaruratan program study D-IV kebidanan Stikes Fort De
Kock Bukittinggi.
Selain itu, penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini
banyak kekurangan dan banyak kesalahan. Oleh karena itu dimohon kritik dan
sarannya.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
..............................................................................
..............................................................................
2
3
..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................
5
6
6
6
7
..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................
8
10
12
13
20
22
HIV/AIDS
..............................................................................
1. Tinnjauan fisiologis
..............................................................................
2. Perubahan
yang
28
30
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Ruang Lingkup
D. Tujuan Penulisan
E. Manfaat
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep dasar ibu hamil
dengan HIV/AIDS
1. Definisi
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Manifesi klinis
5. Stadium HIV
6. Penanganan
B. Kehamilan
dengan
terjadi
3. Penanganan
4. Pengkajian
BAB III
Tinjauan Kasus
..............................................................................
..............................................................................
32
43
....
........................................................................
54
....
. .
....
BAB IV
Pembahasan
BAB V
Penutup
....
........................................................................
61
65
.....
DAFTAR PUSTAKA
.... ..................................................................
...........
66
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehamilan pada manusia diawali oleh konsepsi, yaitu proses fertilisasi atau
pembuahan telur oleh sebuah sel sperma dan berlangsung rata-rata 266 hari (38
minguu) dari konsepsi, atau 40 minggu dari permulaan siklus menstruasi terakhir
(Neil A. Campbel, 2007). Masa ini juga merupakan tahap penyesuaian sebelum
memasuki masa menjadi seorang ibu. Sehingga penting sekali dilakukannya
konseling, terutama pada ibu hamil yang dideteksi dengan HIV/AIDS.
Acquired Imunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala
penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah sistem kekebalan tubuhnya
dirusak oleh virus HIV ( Human Imunodeficiensy Virus). HIV/AIDS telah
menimbulkan
kekhawatiran
dikarenakan
prognosisnya
yang
buruk
dan
5.775 kasus baru dengan 34.287 kasus kumulatif HIV di seluruh Indonesia.
Kondisi tersebut menunjukkan pentingnya implementasi program prevention of
mother to child transmission of HIV (PMTCT) yang bertujuan untuk
menyelamatkan ibu dan bayi dari infeksi HIV. Program PMTCT dapat berjalan
dengan baik bila didukung sepenuhnya oleh tenaga kesehatan, salah satunya
bidan. Bidan bertugas memberi KIE untuk meningkatkan pengetahuan ibu akan
penularan HIV dari ibu positif HIV ke anaknya.
Pada ibu hamil dengan HIV, hal yang perlu diperhatikan adalah resiko
penularan terhadap janin. Pada penderita HIV, selama perjalanan penyakitnya
akan mengalami penurunan kondisi tubuh jika tidak mendapatkan pemantauan
dan penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan. Selain penularan terhadap
janin, komplikasi lain yang ditimbulkan adalah kejadian abortus dan IUGR.
Selain adanya pengaruh fisik terhadap ibu dan bayi, terdapat hal lain yang
penting dan harus dipertimbangkan oleh tenaga kesehatan ketika memberikan
asuhan adalah kondisi psikologis ibu yang kemungkinan akan mengalami cemas,
depresi, dilema serta khawatir akan kesehatan bayinya. Oleh karena itu, konseling
sangat bermanfaat untuk memberikan informasi dan nasehat kepada pasangan usia
subur terutama memperhatikan faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi hasil
akhir kehamilan, wanita yang bersangkutan diberi nasihat tentang resiko yang ada
pada dirinya dan diberikan suatu strategi untuk mengurangi atau mengeliminasi
pengaruh infeksi HIV pada dirinya dan yang terpenting adalah mencegah
penularan terhadap bayinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka dirumuskan
masalah sebagai berikut: Bagaimana Penerapan Asuhan Kebidanan pada ibu hamil
dengan HIV/AIDS dii RSUD Sijunjung.
C. Ruang Lingkup
Dengan adanya kasus HIV dalam penyusunan makalah ini penulis membatasi tentang
Asuhan Kebidanan Pada ibu hamil dengan HIV di RSUD Sijunjung
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
hamil
dengan
HIV/AIDS
menurut
Mahasiswa mampu :
Melakukan pengkajian data subyektif dan obyektif
pemikiran
varney
dan
c
d
E. Manfaat Penulisan
1 Bagi Penulis
b Dapat mengerti, memahami dan menerapkan asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan
HIV.
c
Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman khususnya tentang ibu hamil dengan
HIV.
Dapat meningkatkan ketrampilan dalam memberikan asuhan kebidanan terutama pada
a
b
Dapat meningkatkan mutu pelayanan terutama bagi ibu hamil dengan anemia ringan.
Dapat mengevaluasi asuhan kebidanan yang telah diberikan pada ibu hamil dengan
anemia ringan.
Bagi Institusi
Dapat mengevaluasi sejauh mana mahasiswa menguasai asuhan kebidanan pada ibu
Bagi Masyarakat
Dapat memahami dan mengerti tentang tanda dan gejala anemia ringan pada ibu
hamil.
Dapat melakukan deteksi dini dan cara pencegahan anemia ringan pada ibu hamil
dengan HIV.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Ibu Hamil dengan HIV/AIDS.
1 Definisi
Acquired Immuno-deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sindroma gejala
penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu yang terjadi akibat menurunnya
system kekebalan tubuh oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
(Duarsa 2005 dalam Daili, 2008). Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah
virus yang menyebabkan AIDS, yang merupakan keluarga retrovirus (Depkes RI,
2004).
Berdasarkan strukturnya HIV termasuk family retrovirus yang termasuk dalam
virus RNA. HIV tergolong ke dalam kelompok retrovirus karena kemampuannya
mengkopi cetak biru materi genetik dari sel-sel manusia yang ditumpanginya.
Virus HIV ini pertama kali ditemukan oleh Dr. Luc Montagnier dkk dari Institut
Pasteur Prancis. Kemudian pada bulan Juli tahun 1994, Dr. Robert Gallo dari
lembaga kanker menemukan virus baru dari seorang penderita AIDS yang diberi
nama HTLV-III (Human T limfotropik virus tipe III). Virus ini terus berkembang
dengan nama HIV.
Definisi dari CDC tentang AIDS adalah mereka semua yang dinyatakan
mengidap infeksi HIV dengan jumlah CD4 limfosit T < 0,2 x 109 /l.
Terdapat 2 jenis HIV, yaitu :
1. HIV-1 mendominasi seluruh dunia dan bermutasi dengan sangat mudah.
Keturunan yang berbeda-beda dari HIV-1 juga ada, mereka dikategorikan dalam
kelompok dan sub jenis (clades). Terdapat 2 kelompok yaitu kelompok M dan O.
Dalam kelompok M terdapat sekurang-kurangnya 10 sub jenis yang dibedakan
secara turun temurun. Ini adalah sub jenis A-J. Sub jenis B kebanyakan ditemukan
di Amerika, Jepang, Australia. Sub jenis C ditemukan di Afrika Selatan dan India.
2. HIV-2 semula merata di Afrika Barat. Terdapat banyak kemiripan antara HIV-1
dan HIV-2, contohnya adalah bahwa keduanya menular dengan cara yang sama,
keduanya dihubungkan dengan infeksi oportunistik dan AIDS yang serupa. Pada
orang yang terinfeksi HIV-2, ketidakmampuan menghasilkan kekebalan tubuh
terlihat berkembang lebih lambat.
HIV-1 merupakan jenis yang lebih virulent dan lebih mudah menular, dan
merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia. Acquired
Immuno Deficiency Syndrom (AIDS) sebagai suatu penyakit yang lebih banyak
disebabkan
oleh Human
Imumunedeficiency
Virus
type
1 (HIV-1).
HIV
menyerang sistem imun tubuh dengan menyerbu dan menghancurkan jenis sel
darah putih tertentu, yang sering disebut dalam berbagai nama seperti sel T
pembantu (helper T Cell), sel T4 atau sel CD4. Sel CD4 ini juga diberi julukan
sebagai panglima dari sistem imun. CD4 mengenali patogen yang menyerang dan
memberi isyarat pada sel darah putih lainnya untuk segera membentuk antibodi
yang dapat mengikat patogen tersebut. Sesudah diikat, patogen itu dilumpuhkan
dan diberi ciri untuk selanjutnya dihancurkan. Lalu CD4 kemudian memanggil
lagi jenis sel darah putih lainnya sel T algojo ( killer T Cell), untuk memusnahkan
sel yang telah ditandai tadi.
HIV mampu melawan sel CD4. dengan menyerang dan mengalahkan sel CD4,
maka HIV berhasil melumpuhkan kelompok sel yang justru amat diandalkan
untuk menghadapi HIV tersebut beserta dengan kuman-kuman jenis lainnya.
Itulah sebabnya HIV membuat tubuh menjadi sangat rentan terhadap infeksi
kuman-kuman lainnya dan jenis-jenis kanker yang umumnya dapat dikendalikan.
Tanpa adanya sistem imun yang efektif, penyakit-penyakit ikutan ini, yang lazim
disebut infeksi oportunistik, merajelela dan berakibat dengan kematian. Jumlah
sel normal CD4 dalam sirkulasi darah kita adalah sekitar 800 hingga 1200 per
mililiter kubik darah. Selama tahun-tahun pertama infeksi HIV jumlah ini masih
dapat dipertahankan. Orang yang tertular HIV pada mulanya tidak merasakan dan
tidak kelihatan sakit selama sel CD4-nya masih dalam jumlah lumayan. Barulah
sesudah kira-kira 5 tahun jumlah sel CD4 ini mulai menurun hingga kira-kira
separuhnya.. Pada tahap ini banyak penderita yang belum menujukkan gejalagejala penyakit. Sesudah jumlah sel CD4 ini kurang dari 200 per mililiter kubik
per darah, mulailah penderita memperlihatkan berbagai gejala penyakit yang
nyata (Hutapea, 2003).
Berdasar hal tersebut maka penderita AIDS di masyarakat digolongkan dalam 2
kategori yaitu :
- Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita
AIDS positif)
- Penderita yang mengidap HIV tetapi belum menunjukkan gejala klinis
(penderita AIDS negatif)
2. Etiologi
kulit tertusuk jarum atau benda tajam yang tercemar oleh darah seorang
yang terinfeksi HIV adalah sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan HIV
akibat paparan bahan yang tercemar HIV ke membran mukosa atau kulit
yang mengalami erosi adalah 0,09%.
3.Patofisiologi
Denominator umum pada penyakit klinis AIDS adalah imunosupresi berat,
terutama imunitas seluler yang menyebabkan timbulnya berbagai infeksi
oportunistik dan neoplasma, limfosit yang berasal dari timus-limfosit T-yang
secara fenotipe didefinisikan oleh antigen permukaan CD4 adalah sasaran utama.
CD4 berfungsi sebagai reseptor virus. Untuk infeksi, dibutuhkan dua ko-reseptor
virus, dan dua reseptor kemokin-CCR5 dan CXCR4-telah diketahui melakukan
peran ini (Kahn dan Walker 1998 dalam Cunningham et al, 2005). Setelah terjadi
fusi sel-virus, HIV akan melepaskan single strand RNA (ssRNA) ke dalam
sitoplasma sel pejamu, maka terjadi transkripsi terbalik (reserve transcription) dari
satu untai-tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. Dengan
demikian, DNA virus dapat diintegrasikan ke dalam DNA sel seumur hidup sel
tersebut. Setelah terintegrasi dengan kromosom pejamu, maka dua untai DNA
sekarang menjadi provirus. Provirus menghasilkan RNA messenger (mRNA),
yang meninggalkan inti sel dan masuk ke dalam sitoplasma. Protein-protein virus
dihasilkan
dari
mRNA
yang
lengkap
dan
telah
mengalami
splicing
Setelah infeksi awal, kadar viremia biasanya berkurang sampai mencapai pada
suatu titik patokan (set point). Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat
diturunkan oleh sistem imun tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu
sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan virus baru dan upaya eliminasi
oleh respon imun. Titik keseimbangan disebut set point dan amat penting karena
keganasan. Hitung CD4 yang kurang dari 200 dianggap definitif untuk diagnosis
AIDS.
Panjangnya waktu dari mulai terinfeksi HIV sampai menunjukkan gejala yang
terkait dengan sistem penurunan kekebalan tubuh akan tergantung dari kondisi
sistem kekebalan tubuh seseorang dan usaha yang dilakukannya. WHO
memperkirakan 60% orang dewasa yang mengidap HIV akan berkembang
menjadi AIDS dalam waktu 12-13 tahun setelah terinfeksi HIV. Seseorang yang
terinfeksi HIV akan memasuki tahap AIDS sangat tergantung dari gizi yang
dikonsumsi, dan obat-obatan yang membentuk proses pertahanan tubuh.
Penelitian WHO menunjukkan beberapa faktor yang berpengaruh dalam
perkembangan AIDS pada pengidap HIV, antara lain:
1.Semakin tua usia pengidap HIV akan semakin cepat sampai ke tahap AIDS
2.Bayi yang terinfeksi HIV akan sampai pada tahap AIDS lebih cepat daripada
orang dewasa yang yang mengidap HIV
3.Orang yang telah memiliki gejala minor pada waktu tertular HIV, akan bergejala
AIDS lebih cepat daripada yang tanpa gejala
4.Penderita HIV yang merokok akan sampai ke tahap AIDS lebih cepat daripada
yang tidak merokok.
E.Diagnosis
Penilaian HIV/AIDS dilakukan dengan penggalian riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan darah lengkap, kimia darah, pemeriksaan imunologis
CD4/limfosit total dan viral load (polymerase chain reaction /PCR), yaitu:
1. Diagnosis HIV/AIDS pada Orang Dewasa
Untuk memastikan seseorang dinyatakan terinfeksi HIV atau tidak, perlu
dilakukan tes HIV. Tes HIV berfungsi untuk mengetahui adanya antibodi terhadap
HIV atau mengetes adanya antigen HIV dalam darah. Ada beberapa jenis tes yang
biasa dilakukan diantaranya yaitu tes ELISA ( Enzym-Linked Immunosorbent
Assay), tes dipstick dan tes Western Blot. Masing-masing alat tes memiliki
kemampuan atau sensitivitas untuk menemukan orang yang mengidap HIV.
Prosedur screening dengan tes ELISA, memiliki sensitifitas yang tinggi, spesifik,
tidak mahal dan mudah dilakukan. Tes ELISA mungkin saja menghasilkan false
positive, sehingga hasil yang menunjukkan positif pada tes ELISA perlu
dilanjutkan dengan analisis Western Blot tes yang spesifisitasnya lebih tinggi.
Sensitifitas menggambarkan kemampuan akurasi sebuah tes sehingga ditentukan
true case. Tes dengan sensitifitas tinggi akan memberikan hasil false negative
yang sangat kecil. Tes dengan sensitifitas tinggi digunakan ketika dibutuhkan hasil
absolut dengan sangat sedikit false negative seperti pada layanan transfusi
darah. Sfesifisitas menggambarkan kemampuan ketepatan tes sebagai true noncase. Tes dengan sfesifisitas tinggi akan memberikan hasil false positive sangat
rendah. Tes dengan sfesifisitas tinggi digunakan ketika kebutuhan absolut untuk
false positive sangat kecil seperti pada penentuan diagnosis klinis individu
terinfeksi.
Prosedur pemeriksaan darah untuk mendeteksi HIV/AIDS, memiliki beberapa
tahapan, yaitu:
1) Konseling Pra Test
a. Penjajagan perilaku beresiko hubungan seksual, transfuse
b. Penjelasan arti hasil tes dan prosedurnya (positif, negatif)
2) Tes darah ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay)
Tujuan tes ini adalah mendeteksi salah satu dari antibodi terhadap HIV, antigen
p24 dan asam nukleat HIV (PCR). Antibodi terbentuk kurang lebih 3 sampai 6
minggu, tapi bisa juga mencapai 3 sampai 6 bulan. Bila kurang dari tiga minggu
tidak terdeteksi, maka bisa saja saat tersebut masih dalam periode jendela
(window period). Jika hasil pemeriksaan antibodi HIV terbukti positif, maka
sudah pasti pasien ini terinfeksi HIV.
a. Jika hasil tes ELISA negatif, tetap dilakukan konseling
b. Jika hasil tes ELISA positif, dilakukan konfirmasi dengan Western Blot tes
3) Tes Western Blot
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap
HIV. Western blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini
lebih sensitif dan lebih spesifik, sehingga kasus 'yang tidak dapat disimpulkan'
sangat kecil. Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian
lebih dalam melakukannya.
a. Jika hasil Western Blot positif, laporkan ke Dinas Kesehatan (anonimus).
Lakukan post konseling dan pendampingan untuk menghindari emosi, putus
asa atau keinginan untuk bunuh diri
b. Jika hasil Western Blot negatif, tetap dilakukan konseling sama seperti jika
ditemukan hasil negatif pada ELISA
Menurut sumber lain, teknik yang umum digunakan untuk deteksi antibodi
selain ELISA dan western Blot Elisa adalah Rapid test. Saat ini yang
hasil tes HIV kebanyakan bayi yang tidak terinfeksi akan menjadi negatif pada
usia 12 bulan. Kadang kala, antibodi dari ibu baru hilang setelah 18 bulan.
Sebaliknya, setelah beberapa bulan, seorang bayi yang terinfeksi HIV akan
membentuk antibodi sendiri terhadap HIV, dan hasil tes HIV akan tetap positif
untuk seumur hidup. Hasil tes HIV positif pada seorang anak berusia 18 bulan ke
atas berarti anak tersebut terinfeksi HIV.
Tes antibodi HIV dapat dipakai untuk meyakinkan bahwa anak tidak terinfeksi
HIV asal anak tidak diberikan ASI oleh ibu yang HIV-positif sedikitnya dalam
enam minggu sebelum dites. Seorang anak yang tidak disusui selama tiga bulan
terakhir dengan hasil tes HIV negatif berarti tidak terinfeksi HIV.
2) Tes Virus
Berbeda dengan tes antibodi, tes virus dapat menentukan apakah bayi terinfeksi
dalam bulan-bulan pertama hidupnya. Tes RNA HIV dengan alat PCR yang
biasanya dilakukan untuk mengukur viral load, dapat mendeteksi virus dalam
darah, dan dapat dipakai untuk diagnosis HIV pada bayi. Namun tes ini masih
sangat mahal dan lebih sulit dilakukan dibandingkan tes antibodi, dan hanya dapat
dilakukan di sedikit laboratorium di Indonesia.
Dua puluh sampai empat puluh persen bayi yang terinfeksi dalam kandungan atau
saat lahir akan menunjukkan hasil positif pada tes PCR segera setelah lahir.
Sedangkan 98% bayi terinfeksi HIV terdeteksi setelah empat minggu. WHO
mengusulkan tes viral load untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi sebaiknya
dilakukan pada usia enam minggu ke atas.
Hasil positif palsu dapat terjadi, terutama bila laboratorium tidak berpengalaman
dengan alat PCR, dan semua hasil positif sebaiknya langsung dikonfirmasi dengan
contoh darah baru. Hasil viral load yang rendah (di bawah 10.000) kemungkinan
positif palsu, karena viral load pada bayi biasanya sangat tinggi.
Hasil negatif palsu juga dapat terjadi. Sebaiknya kedua tes virus tersebut
dilakukan untuk konfirmasi bahwa anak tidak terinfeksi dan anjuran untuk tes
antibodi dilakukan setelah anak berusia 18 bulan sebagai konfirmasi ulang.
Pemeriksaan antibodi HIV selain ELISA dan Rapid Tes adalah pemeriksaan
Enzyme immunoassay (EIA) yang digunakan sebagai uji penapis untuk antibodi
HIV. Uji penapis yang positif memiliki sensitivitas lebih dari 99,5%. Uji positif
dikonfirmasi dengan Western Blot atau immunofluoresence assay (IFA).
Walaupun
sangat
spesifik, Western
Blot
kurang
sensitif
dibandingkan
Stadium HIV/AIDS
Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan
berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk
pasien
yang
terinfeksi
dengan
HIV-1.
Sistem
ini
diperbarui
pada
bulan September tahun 2005. Menurut WHO, melalui stadium klinis pada orang
dewasa, yaitu :
1. Stadium Klinis I
Asimptomatis
Limadenopati persistent generalisata
Penampilan dan aktivitas fisik skala I masih normal
2. Stadium Klinis II
- Penurunan berat badan, tetapi < 10% dar berat badan sebelumnya.
- Manifestasi mukokutaneus minor ( dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi jamur
pada kuku, ulserasi mukosa oral berulang, cheilitis angularis)Herpes Zoster, dalam
5 tahun terakhir
- Infeksi berulang pada saluran pernafasan atas ( sinusitis bakterial)
-Dengan atau penampilan aktivitas fisik skala II : simptomatis, aktivitas normal.
3. Stadium Klinis III
Penurunan berat badan > 10%
Diare kronis dengan penyebab tidak jelas, > 1 bulan
Demam dengan sebab yang tidak jelas (intermittent atau tetap), > I bulan
Kandidiasis oral
Oral hairy leukoplakia
TB pulmonar, dalam satu tahun terakhir
Infeksi bakterial berat (pneumonia, piomiositis)
Dengan atau penampilan/ aktivitas pisik skala 3 lemah, berada di tempat tidur, <
50% perhari dalam bulan terakhir
4. Stadium Klinis IV
HIV wasting syndrome, sesuai yang ditetapkan CDC (BB turun 10% ditambah
diare kronik > 1 bulan atau demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain)
PCP (Pneumocystis Carinii Pneumonia)
Ensefalitis Toksoplsmosis
Diare karena Cryptosporidiosis, > 1 bulan
Cryptococcosis ektrapulmoner
Infksi virus Sitomegalo
Infeksi Herpes simplex > 1 bulan
Berbagai infeksi jamut berat ( histoplasma , coccidioidomycosis)
Kandidiasis esfagus, trakhea dan bronkus
Mikobacteriosis atypical
Salmonelosis non tifoid disertai setikemia
TB ektrapulmoner
Limfoma Maligna
Sarkoma kaposis
Ensefalopati HIV (gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang
mengganggu aktivitas sehari-hari dan bertambah buruk dalam beberapa
minggu/bulan yang tidak disertai penyakit lain)
Dengan atau penampilan/aktivitas fisik 4 : sangat lemah, selalu berada di tempat
tidur > 50% per hari dalam bulan terakhir.
6. Penanganan HIV/AIDS
1. Pencegahan
Ada banyak cara untuk terhindar dari virus HIV. Yang terpenting adalah
pencegahan dari tertularnya virus HIV yang dapat melemahkan sistem
kekebalan tubuh ini. Karena virus HIV adalah virus yang mempunyai
kemampuan mencetak biru (retrovirus) pada antibodi, maka jika sudah
terinfeksi virus ini, sulit untuk melakukan pengobatan dan mempunyai
potensi untuk menularkan kepada orang lain.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terinfeksi/tertular
virus HIV antara lain adalah:
- Tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah
Risiko
Selama kehamilan
5 10%
Selama persalinan
10 20%
Selama menyusui
10 15%
Total
25 45%
WHO merancangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV terhadap bayi
yaitu:
1) Mencegah seluruh wanita jangan sampai terinfeksi HIV(pencegahan primer)
2) Bila sudah terinfeksi HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan yang tidak
diinginkan
3) Bila sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya
4) Bila ibu dan anaknya sudah terinfeksi berikan dukungan dan perawatan bagi
ODHA dan keluarganya
2.Penatalaksanaan Umum
Istirahat, pemenuhan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan
mikronutrien, konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial dan
membiasakan gaya hidup sehat.
Pada penderita HIV sering mengalami gangguan asupan nutrient yang
menyebabkan fungsi biologis tubuh terganggu. Bahkan pada penderita terjadi
perubahan kondisi klinis bukan hanya karena masalah asupan nutrient tetapi juga
akibat proses penyakitnya. Nutrisi penting dalam penatalaksanaan penderita HIV
dan AIDS, selain mendorong kearah perbaikan, juga berperan menekan
progresifitas HIV ke AIDS.
3.Penatalaksanaan Khusus
Pemberian Antiretroviral therapy kombinasi, terapi infeksi sekunder sesuai jenis
infeksi yang ditemukan, dan terapi malignansi.
1) Antiretroviral
Dengan ditemukannya kombinasi ART dijumpai penurunan morbiditas dan
mortalitas HIV/AIDS dari 60 menjadi 90% dan perbaikan kualitas hidup dan
panjangnya usia harapan hidup ODHA. Tujuan terapi antiretroviral secara umum
adalah memperpanjang usia dan memperbaiki kualitas hidup , dengan cara
mempertahankan supresi maksimal replikasi HIV selama mungkin. Pengurangan
virus dalam plasma darah ternyata terjadi dengan pemberian ART. Pilihan regimen
tergantung pada beberapa factor, diantaranya harga obat, kekuatan individu,
ketersediaan dan keterjangkauan obat untuk suatu jangka waktu menengah dan
panjang, kepatuhan berobat, potensi regimen, toleranbilitas dan profil efek
samping, kemungkinan interaksi obat dan potensial untuk opsi terapi lainnya
ketika terjadi kegagalan terapi regimen yang telah digunakan.
Pemberian ARV harus dilakukan dengan langkah-langkah yang arif dan bijiksana
serta mempertimbangkan berbagai factor, yaitu memberikan penjelasan tentang
manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaann ARV; kesanggupan
dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak terbatas;
serta saat yang tepat untuk memulai terapi ARV.
Pemberian ARV bersama dengan obat yang berfungsi untuk mengatasi infeksi
sekunder perlu dipertimbangkan dengan seksama karena dapat terjadi interaksi
obat satu sama lain.
e. Resistensi
Pemberian ARV memiliki potensi terjadinya resistensi baik lini yang sama
maupun resistensi silang.
f. Informasi
Sebelum memulai terapi ARV, penderita perlu diberikan informasi lengkap
maksud, tujuan, resistensi dan efek samping terapi ARV.
g. Motivasi
Penderita ditekankan untuk tidak terlarut dalam kesedihan, dan diingatkan bahwa
didalam tubuhnya yerdapat virus yang perlu dieliminasi melalui upaya pemberian
ARV.
h. Monitoring
Evikasi pengobatan anti virus ditentukan dan dimonitor melalui pemeriksaan
klinis berkala disertai pemeriksaan laboratorium guna menentukan HIV-RNA
virus dan hitung CD4 secara periodic dan teratur.
i. Efikasi
Pengobatan ARV dilakukan secara berkesinambungan. Penderita diharapkan
memperoleh hasil maksimal dan efikasi klinis, virologist dan imunologi yang
nyata.
Rekomendasi memulai terapi ARV penderita dewasa menurut WHO, 2006
Stadium
klinis WHO
dapat dilakukan
ARV
belum
direkomendasikan
II
ARV
belum
direkomendasikan
III
IV
Terapi
tanpa
mempertimbangkan
jumlah CD4
Rekomendasi memulai terapi ARV berdasar CD4 penderita dewasa (WHO, 2006)
CD4 (sel/mm3)
Rekomendasi terapib
<200
200-350
>350
CD4
turun
<200
sel/mm3
immature antigen bagi tubuh ibu sehingga uterus akan memberikan tempat
istimewa untuk janin atau hal tersebut disebabkan karena kehamilan
mungkin mempengaruhi sistem imun ibu dan respon imun yang normal.
2. Antigen Janin
Jaringan janin menghasilkan antigen dan imunokompeten dari stadium
awal (Manyonda,1998). Sel embrio mengandung antigen histokompability
walaupun jumlahnya sedikit dari masa implantasi dan pada seluruh
periode kehamilan. Antigen paternal telihat jelas pada fase delapan sel
pada fase pembelahan dan antigen histokompabilitas yang penting muncul
belakangan pada pembagian sel. Zona pellucida dan tropoblas awal
dilapisi oleh glikoprotein yang dapat membatasi atau menghalangi dari
respon imun ibu. Masalah immnulogis biasanya bukan masalah utama
dalam
implantasi
karena
secret
endometrium
merupakan
factor
imunosupresif.
3. Chorion dan trofoblas sebagai barrier
Janin dihubungkan dengan ibu oleh plasenta. Plasenta dan chorion
berasal dari zigot yang secara genetik dan antigen berbeda dengan sel ibu.
Hal ini menunjukkan bahwa membran chorion tahan terhadap penolakan
dari ibu dan dapat melindungi janin dari antibodi dan sistem imun ibu.
Pada saat implantasi dan perkembangan plasenta, sel trofoblas melakukan
invasi ke dalam pembuluh darah ibu sehingga menyebabkan remodeling
arteri spiralis ibu untuk meningkatkan aliran darah ke plasenta. Dalam
sirkulasi maternal ibu, ekstravillous trofoblas tidak menimbulkan respon
imun maupun proses peradangan (Jonson & Chrismas, 1996) sehingga
trofoblas tampaknya menyediakan barrier pemisah untuk melindungi janin
dari respon imunologi ibu.
Selain itu, trofoblas tidak menghasilkan antigen klasik, polimorfik HLA kelas I
maupun kelas II yang akan dikenali oleh sitotoksik T limfosit atau anti-HLA
antibodi (Hunt, 1992). Tetapi ekstravillous trofoblas justru menghasilkan antigen
kelas I yang unik (non-klasik) berupa HLA-G, yang tidak terdapat pada jaringan
orang dewasa (Kovat, 1992). Hal tersebut menunjukan bahwa mungkin peran dari
antigen tersebut justru sebagai perantara dan melindungi cytotrophoblast, dari
histolisis oleh NK sel dan sitotoksik T limfosit (Ljunggren & Karre 1990). NK sel
akan mengenali dan melakukan lisis terhadap suatu sel yang tidak dikenali oleh T
limfosit.
4. Efek kehamilan pada sistem imun ibu
Sistem imun ibu dipengaruhi oleh kehamilan. Jumlah sel darah putih
khususnya neutrofil meningkat pada awal kehamilan dan puncaknya
terjadi pada usia kehamilan 30 minggu serta menetap sampai dengan
persalinan. Peningkatan neutrofil ini mungkin disebabkan karena kadar
hCG (Barriga, Rodrigueez & Ortega, 1994). Peningkatan ini juga terjadi
pada limfosit CD8 T namun secara bersamaan terjadi penurunan limfosit
CD4 T dan monosit. Kadarnya akan kembali ke normal setelah 3-6 hari
post partum.
Jumlah leukosit pada kehamilan normal berkisar antara 5.000 sampai 12.000/ l.
Selama persalinan dan masa nifas awal jumlahnya dapat sangat meningkat, hingga
mencapai 25.000 atau bahkan lebih; tetapi konsentrasinya berkisar antara 14.000
sampai 16.000/l. Penyebab peningkatan yang mencolok tersebut tidak diketahui.
Adanya peningkatan normal dari leukosit pada masa kehamilan ini, perlu menjadi
pertimbangan untuk mendiagnosa leukositosis pada kehamilan. Tetapi fungsi
adhesi dan kemotaksis leukosit polimorfonuklear mulai ditekan pada trimester
kedua dan berlanjut sepanjang kehamilan. Hal tersebut diduga bertanggung jawab
atas perbaikan yang ditemukan pada beberapa wanita hamil yang menderita
penyakit autoimun serta kemungkinan meningkatnya kerentanan wanita hamil
terhadap infeksi-infeksi tertentu. Pada wanita hamil juga terjadi penurunan respon
terhadap bakteri gram negatif pada traktus reproduksi, yang disebabkan adanya
konsentrasi cortikosteroid yang menekan aktivitas fagosit khususnya terhadap
bakteri gram negatif.
Tingginya jumlah estrogen dan progesteron menurunkan jumlah T helper dan
meningkatkan jumlah sel supresor. Aktivitas NK sel di sekitar uterus ditekan oleh
prostaglandin E2 (Daunter,1992), penekanan NK sel ini sangat penting untuk
mencegah penolakan terhadap janin. Sebagian besar jumlah antibodi tidak
mengalami perubahan meskipun terdapat penurunan konsentrasi IgG karena
adanya hemodilusi, peningkatan pengeluaran melalui urine dan transfer IgG ke
plasenta pada trimester III. Sekresi sitokine dari janin mungkin dapat menekan
cell mediated immunity dan meningkatkan respon humoral (Wegmann at al,1993).
Limfosit T berperan terhadap penolakan terhadap janin, akan tetapi fungsi dari T
kemudian dilepas dalam plasma. Pada ibu hamil dengan HIV/AIDS sering
disertai defisiensi antioksidan vitamin dan mineral.
ODHA mempunyai resiko malnutrisi yang dapat mengancam
kelangsungan kehamilan maupun persalinan. Penelitian Friis (2001) di
Zimbabwe menyatakan bahwa dari 1700 ODHA 31,5 % mengalami
defisiensi asam folat, ferritin, Zn, dan hemoglobin. Defisiensi Zn dapat
berpengaruh pada sistem imun. Defisiensi Fe atau minimalnya deposit
firritin pada ODHA mendorong diperlukan tambahan 6 mg/ hari terutama
pada trimester dua dan tiga untuk memenuhi kebutuhan ibu, plasenta dan
janin. Tambahan tersebut dibutuhkan karena pada kehamilan terjadi
peningkatan kebutuhan dan absorsi 5 kali pada usia kehamilan 12 minggu,
dan 9 kali pada usia kehamilan 36 minggu. Dengan demikian pada
kehamilan rata-rata
diperlukan zat besi inorganik paling tidak 65 mg/hari.
c
Seorang wanita dapat menularkan infeksi HIV kepada bayinya selama masa
kehamilan, persalinan dan masa menyusui (Cotton & Watts 1995; European
Collaborative Study 1992; Goedert, Duliege, Amos, Felton & Biggar 1991;
Orloff, Simonds, Steketee & St.Louis 1996; Peckham & Gibbs 1995 dalam
Winifred et al, 2001). Mekanisme pasti penularan HIV/AIDS pada periode
perinatal belum diketahui secara pasti. Dari beberapa penelitian telah
dilaporkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan peningkatan transmisi
perinatal, diantaranya tingginya viral load ibu, rendahnya jumlah sel CD4 ibu,
meningkatnya jumlah sel CD8 ibu, lama pecahnya selaput ketuban, perdarahan
vagina, infeksi ibu, inflamasi membran plasenta, persalinan preterm, kerusakan
kulit neonatus, penggunaan obat ibu.
Konseling merupakan keharusan bagi wanita positif HIV. Hal ini sebaiknya
dilakukan pada awal kehamilannya, perlu diberikan konseling berkelanjutan
untuk
membantu
wanita
tersebut
secara
psikologis.
Perkembangan
dan
pengetahuan
HIV/AIDS,
mencegah
penularan
HIV,
besar
subyek
penelitian
juga
menggunakan
ZDV
selama
HIV, walaupun hal ini tidak ditemukan di Eropa. Sebaliknya, hasil penelitian di
Amerika dan Vietnam tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam penurunan
penularan antara kelompok yang dilakukan operasi cesarea elekif dengan
kelompok yang diberikan profilaksis ZDV, bahkan untuk menyelamatkan
seorang bayi dari risiko penularan, memerlukan 12-16 operasi cesarea elektif.
Oleh karena itu, operasi cesarea bukan untuk menurunkan kejadian penularan
dan dilakukan atas indikasi obstetric.
Tindakan berhati-hati dalam persalinan, perlindungan mata perlu dikenakan
selama pemeriksaan dengan menggunakan speculum untuk mengantisipasi
terjadinya rupture membrane dan selama proses persalinan. Pengisapan
tradisional yang menggunakan Deelee tidak boleh dilakukan, untuk
menghindari menghisap mekonium pada saluran nafas bayi. Sebagai gantinya
dapat digunakan kateter penghisap yang ada didinding dengan menggunakan
pipa panjang.
Penularan pada penolong persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% per tahun
exposure. Oleh karena itu dianjurkan untuk melakukan upaya pencegahan
terhadap penularan infeksi bagi petugas kamar bersalin sebagai berikut :
a. Gunakan gaun, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong
persalinan.
b. Gunakan sarung tangan saat menolong bayi.
c. Cucilah tangan setiap selesai menilai penderita AIDS.
d. Gunakan pelindung mata (kacamata)
e. Peganglah sarung tangan dan beri label sebagai barang infeksious.
f. Jangan menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut.
g. Bila curiga adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibodi
terhadap HIV &AIDS.
4. Perawatan Post Partum
Perawatan post partum perlu memperhatikan kemungkinan penularan melalui
pembalut wanita, lokea, luka episiotomi ataupun luka seksio sesarea. Perawatan
ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan. Harus diusahakan agar pada bayi tidak
dilakukan tindakan yang membuat perlukaan bila tidak perlu, misalnya jangan
melakukan sirkumsisi. Perawatan tali pusat juga harus dijalankan dengan cermat.
Karena angka kejadian tranmisi vertical atau plasenta sebesar 25-35 %, semua
janin harus diperlakukan sebagai individu yang tidak terinfeksi saat persalinan.
Pencegahan perlu dilakukan untuk menghindari tranmisi horizontal atau tranmisi
dari ibu ke bayi. Ibu diijinkan menggendong bayinya tetapi dengan hati-hati agar
bayi tidak terpapar oleh sekresi ibu.
Air susu ibu selain mengandung faktor imun non spesifik (secretary leucocyte
protease inhibitor, lactoferrin, complement, glycosaminoglycan), epidermal
growth factor (EGF) dan transforming growth factor (TGF) , ternyata juga
mengandung HIV dan DNA provirus dalam jumlah yang cukup banyak untuk
menambah risiko PHP sampai 14%. The American Collage of Obstetricans and
Ginecologists menghimbau agar ibu dengan HIV tidak menyusui sendiri bayinya.
Pada keadaan dimana ibu tidak bisa membeli susu formula, lingkungan yang tidak
memungkinkan seperti tidak tersedianya air bersih dan sosiokultural, bila
pemberian susu formula tidak dapat diterima, tidak menguntungkan, tidak
terjangkau, tidak berkesinambungan, tidak aman, maka bayi dapat diberi ASI
ekslusif sampai usia 4 6 bulan, selanjutnya segera disapih. Metode KB
postpartum harus diperhatikan yang akan digunakan nantinya, apakah ibu
berencana hamil lagi unuk jangka pendek, jangka panjang atau mengakhiri
kesuburannya.
5. Antiretrovirus (ARV)
Pemberian kombinasi ARV merupakan penatalaksanaan baku IHDHA tanpa
memandang status kehamilan, sama seperti pemberian ARV pada ODHA karena
telah dipertimbangkan farmakokinetiknya dan tidak terbukti memberikan efek
teratogenik pada janin/bayi jika diberikan setelah umur kehamilan 14 minggu.
Pada pencegahan penularan HIV perinatal (PHP), baik ACOG, USHS maupun
WHO menganjurkan kombinasi ARV untuk menekan replikasi virus secara cepat
sampai batas yang tidak menunjukkan efikasinya dalam penurunan PHP
dibandingkan dengan pemberian ZDV. Sedangkan penelitian mengenai imunisasi
pasif dan aktif untuk mencegah PHP sedang dilakukan. Pemberian minimal 3
dosis vaksin recombinant envelope setiap bulan berturut-turut menunjukkan
peningkatan antibodi pada manusia tanpa efek teratogenik pada binatang
percobaan.
Terapi ARV harus diberikan pada semua ibu hamil yang terkena HIV untuk
memulai perawatan pada ibu sehingga dapat mencegah transimisi perinatal, tanpa
memandang jumlah Limfosit T CD 4 dan viral load (Cunningham, 2005)
Perinatal HIV guide lines working group 2000-2001 dalam cunningham 2001
menjelaskan mengenai pemberian regimen ARV pada :
1. Antepartum
Terapi kombinasi dengan dua regimen NRTI ditambah NNRTI atau PI. Regimen
harus mencakup :
1.
Kondisi
Regimen
bagi
Klinis
ODHA
dengan
sedang
dalam
indikasi
keadaan
hamil
ARV yang
sebelum
memulai
mungkin
ARV
dapat hamil
Hindari penggunaan
Pastikan
Ibu
tidak
EFV
AZT + 3TC + NVP
atau
d4T + 3TC + NVP
2.
ODHA
Lanjutkan
AZT
dengan
(4mg/kgBB setiap 12
ARV yang
sekarang digunakan
Bila
mendapat
kemudian
hamil
pengobatan
atau
dengan
NVP
(2mg/kgBB)
dosis
tunggal atau
NVP
dosis
kehamilan trimester I
Lanjutkan
pengobatan
yang
ARV
sama
selama
ODHA
hamil
dengan
indikasi
buruk
minggu
ARV
pertimbangkan
untung
perlu
rugi
biasa
AZT
AZT
selama
atau
selama
minggu
NVP
atau
dosis
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
faktor
risiko
terinfeksi
HIV.
Alamat
- Cryptococcosis ekstrapulmoner
- Infeksi virus sitomegalo
- Infeksi herper simpleks >1 bulan
- Berbagai infeksi jamur berat.
- Kandidiasis esofagus, trachea atau bronkhus
- Mikobakteriosis atypical
- Salmonelosis non tifoid disertai setikemia
- TB, ekstrapulmoner
- Limfoma maligna
- Sarkoma kaposis
- Ensefalopati HIV
Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 4: sangat lemah, selalu berada di
tempat tidur >50% per hari dalam bulan terakhir (Fazidah, 2004).
(3) Riwayat Obstetri:
a. Riwayat menstruasi
Fluor albus : banyak, gatal , berbau, warna hijau. Pada ibu dengan HIV mudah
terkena infeksi jamur yang bila mengenai organ genital bisa menyebabkan
keputihan.
b. Riwayat Obstetri lalu
Kehamilan yang lalu terinfeksi HIV, ibu dapat bersalin dengan SC.
c. Riwayat Kehamilan Sekarang :
Keluhan pada trimester I ,II, atau III pada ibu hamil dengan HIV seperti keluhan
ibu hamil normal terkadang dijumpai keluhan berdasarkan stadium HIV/AIDS:
Trimester I : Chloasma gravidarum, mual dan muntah (akan hilang pada
kehamilan 12-14 minggu) sering kencing, pusing, ngidam, obstipasi.
Trimester II : Body image dan nafsu makan bertambah.
Trimester III : Sering kencing, obstipasi, sesak nafas (bila tidur telentang) sakit
punggung, oedema, varices.
d. Riwayat perkawinan
hamil dengan HIV biasanya ibu atau suami menikah lebih dari satu kali atau
mempunyai banyak pasangan.
e. Riwayat kesehatan ibu
Pada ibu dengan HIV biasanya penyakit yang diderita beragam, antara lain :
demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala,
mual, muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan. Dapat juga menimbulkan
kelainan saraf, seperti meningitis, ensefaliits, neuropati perifer dan mielopati.
Gejala pada dermatologi yaitu ruam makropapulereritematosa dan ulkus
makokutan
Pada beberapa pasien terdapat sarkoma kaposis, herpes simpleks, sinusitis
bakterial, herpes Zooster dan peneumonia yang berlangsung tidak terlalu lama.
Fase ini berlangsung sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13 tahun) setelah terinfeksi HIV.
Pada tahun kedelapan setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu
demam, banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari
10%, diare, lesi pada mukosa dan kulit berulang, penyakit infeksi kulit berulang.
Gejala ini merupakan tanda awal munculnya infeksi oportunistik.
Selain itu terdapat juga pneumonia carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplamosis
ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus
herpes, kandisiasis esofagus, kandisiasis trakhea, kandisiasis bronkhus atau paru
serta infeksi jamur jenis lain seperti histoplamosis, koksidiodomikosis. Kadang
juga ditemukan beberapa jenis kanker, yaitu kanker kelenjar getah bening dan
kanker sarkoma kaposis (Nasronudin, 2007).
f. Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit HIV dapat diturunkan oleh orangtua ataupun ditularkan oleh suami
penderita.
g. Pola fungsional kesehatan
a) Pola Nutrisi :
pada pasien HIV pola makan harus dijaga untuk menghindari terjadinya infeksi
oportunistik.
Wanita dewasa memerlukan 2.500 Kalori per hari, jumlah tambahan kalori yang
dibutuhkan pada ibu hamil adalah 300 kalori per hari, dengan komposisi menu
seimbang (cukup mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, air)
(Nakita, 2014).
Pada pasien HIV yang mengalami ulserasi mukosa oral terjadi gangguan
pemenuhan nutrisi karena ketidaknyamanan/sakit saat makan.
b) Pola Eliminasi :
BAK : dalam batas normal (1cc kg/jam)
BAB teratur tiap hari 1x
Pada stadium HIV lanjut ( stadium III dan IV) Ibu dapat mengalami diare akut
atau
c) Pola Istirahat :
Pada stadium lanjut HIV ibu membutuhkan istirahat, selalu berada di tempat tidur
> 50% per hari dalam bulan terakhir.
d) Pola Aktivitas :
Stadium 1 : penampilan atau aktivitas fisik skala 1: asimtomatis, aktivitas normal.
Stadium 2 : dengan atau penampilan ativitas fisik skala 2 : simtomatis, aktivitas
normal.
Stadium 3 : dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 3: lemah, berada di
tempat tidur, <50% perhari dalam bulan terakhir.
Mulut
Dada
dari
HIV/AIDS.
Abdomen
HIV
mencegah
penularan
ibu
ke
bayi.
Ekstrimitas
Atas
Bawah
tidak
:
tidak
ada
ada
oedema
varises
Kulit
Genetalia
Vulva
dan
vagina
uji
ELISA lagi,
sebelum
melakukan
Western
Blot
untuk
mengonfirmasi status HIV positif. ELISA awal dapat bereaksi silang untuk
memberi hasil positif palsu jika digunakan tanpa uji konfirmasi. Western Blot
akan dibaca positif bila ada antibody dua atau lebih pita protein ditemukan
dalam HIV. Adanya pita tunggal tidak dapat meyakinkan dan mungkin hasil dari
pajanan HIV atau sebuah temuan kronis. Diantara penyebab hasil menetap yang
tidak dapat disimpulkan ini adalah autoimun atau penyakit vascular kolagen,
aloantibodi dari kehamilan atau transfuse, dan infeksi HIV subtype jarang atau
HIV 2. Hasil positif palsu pada ELISA dan Western Blot kurang dari 0,001 persen
dalam area prevalensi yang rendah.
Selain 2 uji standar tersebut, ada banyak uji lain yang digunakan untuk
mengevaluasi kesehatan dan perkembangan penyakit. Beberapa diantaranya
penting bagi bidan untuk mengenalinya dalam rangka meningkatkan status
kesehatan wanita. Pengujian ini termasuk pengukuran CD4 limfosit, muatan virus
plasma, perubahan dalam hitung sel darah lengkap dan panel kimia. Karena pada
saat hamil diharapkan viral load ibu serendah-rendahnya.
(pada saat hamil diharapkan vairal load ibu serendah-rendahnya. Selain itu perlu
untuk dilakukan USG untuk melihat pertumbuhan janin pada pasien HIV/AIDS,
janin dapat IUGR atau bahkan IUFD)
R/ Pengetahuan tentang HIV kepada ibu dan keluarga akan mengurangi tingkat
kecemasan dan ketakutan ibu dan keluarga
3) Diskusikan dengan ibu tentang PMTCT (Prevention Mother To Child
Transmition) dan komplikasinya (Abortus, IUGR, HIV pada bayi) yang meliputi
rencana persalinan yang aman di rumah sakit
R/ Pengetahuan tentang PMTCT dapat mengurangi angka resiko HIV pada janin
4) Kolaborasi untuk Uji saring antepartum untuk menegakkan diagnose medis
selama window periode
R/ Menegakkan diagnose HIV/AIDS
5) Kolaborasi dengan dokter untuk menegakkan diagnose dan pemberian terapi.
R/: ibu hamil dengan HIV merupakan kondisi risiko tinggi yang memerlukan
penanganan terpadu oleh dokter Sp.OG.
6) Menyepakati kunjungan ulang
R/ pemantauan kesejahteraan janin dan kesehatan ibu dengan HIV/AIDS
6. Penatalaksanaan
Melaksanakan rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada
langkah V
7. Evaluasi
Dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang diberikan dalam bentuk SOAP.
S : ibu tidak cemas dan takut dengan kondisi penyakit HIV/AIDS yang
dideritanya
O:
- Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik
- Transmisi HIV dari ibu ke janin dapat dicegah
A : ibu hamil dengan HIV/AIDS
P:
- P4K perencanaan proses persalinan dengan operasi saesar untuk mencegah
transmisi ibu ke janin
- Kolaborasi dokter spesialis terkait pemberian terapi dan pemeriksaan lab
BAB III
TINJAUAN KASUS
Asuhan Kebidanan Pada Ibu G1p0a0ho Uk 32-33 Minggu Di Rsud Sijunjung
Dengan HIV
Tanggal pengkajian
: 26-07-2016
Waktu pengkajian
:12.30 wib
No MR
: 00868598
1. Pengkajian data
A. Data subjektif
1. Identitas/biodata
Nama ibu
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Suku
Agama
Alamat
:ny. Y
: 39 tahun
: SD
: IRT
: Minang
: islam
: komp citra permai blok
Nama ayah
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Suku
Agama
:tn. I
: 42 tahun
: SMA
: Wiraswasta
: Minang
: islam
lagi
riwayat ginekologi
ibu tidak pernah menderita mioma uteri, kista ovarium, kanker servik
1) Kepala : kulit kepala tampak bersih, rambut tidak rontok damn tidak
ada ketombe
2) Muka : tidak pucat, tidak ada cloasma gravidarum
3) Mata : konjungtiva tidak pucat, sclera kuning
4) Mulut :bibir tidak pecah-pecah, lidah tidak kotor dan tidak ada caries
dentis
5) Telinga :tampak bersih, tidak ada kelainan
6) Leher : tidak ada pembengkakan kelenjar thiroid dan kelenjar limfe
7) Payudara : bentuk simetris, papila menonjol, areola hyperpigmentasi
dan tidak ada benjolan abnmormal
8) Abdomen :membesar sesuai usia kehamilan
9) Ekstremitas :tidak ada oedema dan varises pada ekstremitas atas dan
bawah
b. Palpasi
Leopold I
: tfu 3 jari bawah px, pada fundus teraba keras, bulat dan
melenting
Leopold II
kecil, pada perut ibu bagian kiri teraba panjang, keras, memapan.
Leopold III
: pada perut ibu bagian bawah teraba bundar, lembek dan
tidak melenting
Leopold IV
: tidak dilakukan
e. Auskultasi
DJJ 140X/menit, irama teratur, punctum maksimum kuadran 3
1. Pemeriksaan penunjang
a. Kimia klinik
Ureum darah : 5 mg/dl (10,0-50,0)
Kreatinin darah: 0,6 mg/dl(0,6-1,1)
Total protein :7,3 gr/dl (6,6-8,7)
Albumi `
: 4,1 gr/ dl( 3.8-5,0)
Globuli
: 18 u/I (<32)
SGPT
: 17 u/I (< 31)
Alkali fosfatase: 72 u/I (<240)
b. Imunologi
HBs Ag ( ELISA )
: 0,00 (negatif)
Anti Hc
: 0, 30 (negatif)
CD4
:108
c. Hematologi
Hb
: 12gr/dl (12-16)
Leukosi
: 8100/mm3 (5000-10000)
Trombosit`
: 259.000/mm3 (150.000-40.000)
2. Interpretasi Data Dasar
1) Dx aktual :
Ibu G1P0A0HO usia kehamilan 32-33 minggu dengan HIV/AIDS stadium 1Janin
hidup, tunggal, presentasi kepala, keadaan janin baik.
2) Masalah :
a. ibu cemas dnegan kehamilannya
b. ibu takut menghadapi persalinan
c. ibu merasa kurang percaya diri
3. Identifikasi Diagnosa dan Masalah Potensial
abortus,IUGR
dan
penularan
HIV
dari
ibu
ke
janin.
S : ibu tidak cemas dan takut dengan kondisi penyakit HIV/AIDS yang
dideritanya
O :- Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik
- Transmisi HIV dari ibu ke janin dapat dicegah
A : ibu hamil dengan HIV/AIDS
P :- P4K perencanaan proses persalinan dengan operasi saesar untuk mencegah
transmisi ibu ke janin
- Kolaborasi dokter spesialis terkait pemberian terapi dan pemeriksaan
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan pembahasan kasus yang telah diambil oleh penulis, sesuai
dengan manajemen Kebidanan Varney mulai dari pengkajian sampai dengan
evaluasi. Dalam hal ini juga akan diuraikan tentang persamaan dan kesenjangan
antara teori yang ada dengan praktek yang penulis temukan dilapangan.
Pelaksanaan asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS di RSUD
Sijunjung. Ada beberapa kondisi yang tidak sesuai dengan teori yang penulis
peroleh.
1 Pengkajian data
Pengkajian merupakan tahap awal yang digunakan sebagai landasan dalam
proses asuhan kebidanan. Tahap ini mencakup kegiatan pengumpulan dari
beberapa data subyektif dan obyektif. Data tersebut diperoleh dengan cara
anamnesa, observasi, dan pemeriksaan fisik. Pengkajian ini dibuat teliti dan
sistematis, sehingga dapat diketahui diagnosa kebidanan, masalah dan
kebutuhan yang ada dan akhirnya dapat diberikan asuhan kebidanan terhadap
masalah tersebut.
Berdasarkan hasil pengkajian data subjektif yang penulis peroleh pada Ny. Y
ibu mengatakan ini ini kehamilan pertama dengan usia kehamilan 8 minggu,
ibu mengatakan ingin memeriksakan kehamilannya.
Ibu mengatakan bahwa ibu tidak pernah menderita penyakit jantung,
hipertensi, diabetes mellitus dan asma. Ibu diketahui menderita HIV sejak
diperiksa di RSUD Sijunjung tertular dari suami. Suami menderita penyakit
HIV sejak 2 tahun yang lalu dan saat ini sedang menjalani proses pengobatan.
Pada riwayat obstetri pada ibu dengan HIV mudah terkena infeksi jamur yang
bila mengenai organ genital bisa menyebabkan keputihan tetapi pada kasus
tidak ditemukan keluhan seperti di atas.
Pada ibu hamil dengan HIV biasanya ibu atau suami menikah lebih dari satu
kali, atau suami atau istri sering bergonta ganti pasangan, pada kasus ini, pasien
mengaku ini pernikahan yang pertama, sehingga bisa diambil kesimpulan
bahwa HIV yang diderita pasangan ini karena sebab lain seperti pemakaian
narkoba dengan suntik atau obat-obatan terlarang lainnya yang dapat
meningkatkan resiko terkena HIV/AIDS.
Pada pengkajian data objektif Ny y TTV dalam batas normal, ibu hamil
dengan HIV tidak ada perbedaan tekanan darah dengan ibu hamil normal.
Normal antar 100/60 140/90 mmHg, sehingga tidak ada kesenjangan dengan
teori. Suhu pada ibu hamil dengan HIV pada fase akut dan fase laten akan
mengalami demam, sementara itu suhu pasien 36,60 c karena HIV yang dialami
pasien belum menunjukkan gejala/asimptomatis.
Pada pemeriksaaan fisik tidak ada perbedaan dengan ibu hamil normal, seperti
2
minggu dengan HIV/AIDS stadium 1 janin hidup, tunggal, intra uterin, preskep
keadaan janin baik.Pada masalah ditemukan adanya masalah pada Ny Y ibu
cemas dengan kehamilannya, ibu takut menghadapi persalinan, ibu merasa
kurang percaya diri. kebutuhan Ny Y saat ini adalah dukungan emosional, dan
3
4
5
lancar.
Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada setiap tindakan dan selama pelaksanaan asuhan,
secara umum semua tindakan yang dilakukan dapat berhasil dengan baik. Pada
bab pembahasan ini mulai dari pengkajian, interpretasi data, diagnosa
potensial, antisipasi, perencanaan, implementasi
terdapat kesenjangan dan kesesuaian dengan teori.
BAB V
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik menular, yang
disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai
depresi berat imunitas seluler, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk
pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat intravena, penderita
hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari individu
yang terinfeksi virus tersebut.
3.2 Saran
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik
dan saran sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hartati Nyoman, Suratiah, Mayuni IGA Oka. Ibu Hamil dan HIV-
Ajar
Keperawatan
Yogyakarta:
28. Bulechek
GM,
Butcher
HK,
Dochterman