You are on page 1of 56

TUGAS MATA KULIAH KEGAWATDARURATAN

ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU HAMIL DENGAN HIV

Anggota kelompok 5:
Deni Chandra
Eka susianilda
Kufrayanti
Neldawati

Rizka Lestari
Wafida Husni
Yesi marlina
Yulia Gusti

Dosen Pembimbing:
Visti Delfina, S.ST

PRODI DIV KEBIDANAN


JURUSAN KEBIDANAN STIKES FORT DE KOCK
BUKITTINGGI
2016/2017

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul Asuhan kebidanan Pada Ibu hamil
Dengan HIV. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok
mata kuliah kegawatdaruratan program study D-IV kebidanan Stikes Fort De
Kock Bukittinggi.
Selain itu, penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini
banyak kekurangan dan banyak kesalahan. Oleh karena itu dimohon kritik dan
sarannya.

Bukittinggi, November 20116

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

..............................................................................
..............................................................................

2
3

..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................

5
6
6
6
7

..............................................................................

..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................
..............................................................................

8
10
12
13
20
22

HIV/AIDS
..............................................................................
1. Tinnjauan fisiologis
..............................................................................
2. Perubahan
yang

28
30

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Ruang Lingkup
D. Tujuan Penulisan
E. Manfaat
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep dasar ibu hamil
dengan HIV/AIDS
1. Definisi
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Manifesi klinis
5. Stadium HIV
6. Penanganan
B. Kehamilan
dengan

terjadi
3. Penanganan
4. Pengkajian
BAB III
Tinjauan Kasus

..............................................................................
..............................................................................

32
43

....
........................................................................

54

....
. .
....
BAB IV
Pembahasan
BAB V
Penutup

....
........................................................................

61
65

.....
DAFTAR PUSTAKA

.... ..................................................................
...........

66

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehamilan pada manusia diawali oleh konsepsi, yaitu proses fertilisasi atau
pembuahan telur oleh sebuah sel sperma dan berlangsung rata-rata 266 hari (38
minguu) dari konsepsi, atau 40 minggu dari permulaan siklus menstruasi terakhir
(Neil A. Campbel, 2007). Masa ini juga merupakan tahap penyesuaian sebelum
memasuki masa menjadi seorang ibu. Sehingga penting sekali dilakukannya
konseling, terutama pada ibu hamil yang dideteksi dengan HIV/AIDS.
Acquired Imunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala
penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah sistem kekebalan tubuhnya
dirusak oleh virus HIV ( Human Imunodeficiensy Virus). HIV/AIDS telah
menimbulkan

kekhawatiran

dikarenakan

prognosisnya

yang

buruk

dan

menyebabkan kematian. Di Indonesia, menurut Ditjen PP dan PL Kemenkes RI


(2014) dilaporkan sampai Maret 2014 kasus AIDS sebanyak 54.231. Di Jawa
Timur terdapat kasus HIV 16.752 sedangkan kasus AIDS 10.116. Menurut
Yayasan Pelita Ilmu menyebutkan bahwa pada tahun 2014 diperkirakan terdapat

5.775 kasus baru dengan 34.287 kasus kumulatif HIV di seluruh Indonesia.
Kondisi tersebut menunjukkan pentingnya implementasi program prevention of
mother to child transmission of HIV (PMTCT) yang bertujuan untuk
menyelamatkan ibu dan bayi dari infeksi HIV. Program PMTCT dapat berjalan
dengan baik bila didukung sepenuhnya oleh tenaga kesehatan, salah satunya
bidan. Bidan bertugas memberi KIE untuk meningkatkan pengetahuan ibu akan
penularan HIV dari ibu positif HIV ke anaknya.
Pada ibu hamil dengan HIV, hal yang perlu diperhatikan adalah resiko
penularan terhadap janin. Pada penderita HIV, selama perjalanan penyakitnya
akan mengalami penurunan kondisi tubuh jika tidak mendapatkan pemantauan
dan penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan. Selain penularan terhadap
janin, komplikasi lain yang ditimbulkan adalah kejadian abortus dan IUGR.
Selain adanya pengaruh fisik terhadap ibu dan bayi, terdapat hal lain yang
penting dan harus dipertimbangkan oleh tenaga kesehatan ketika memberikan
asuhan adalah kondisi psikologis ibu yang kemungkinan akan mengalami cemas,
depresi, dilema serta khawatir akan kesehatan bayinya. Oleh karena itu, konseling
sangat bermanfaat untuk memberikan informasi dan nasehat kepada pasangan usia
subur terutama memperhatikan faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi hasil
akhir kehamilan, wanita yang bersangkutan diberi nasihat tentang resiko yang ada
pada dirinya dan diberikan suatu strategi untuk mengurangi atau mengeliminasi
pengaruh infeksi HIV pada dirinya dan yang terpenting adalah mencegah
penularan terhadap bayinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka dirumuskan
masalah sebagai berikut: Bagaimana Penerapan Asuhan Kebidanan pada ibu hamil
dengan HIV/AIDS dii RSUD Sijunjung.

C. Ruang Lingkup
Dengan adanya kasus HIV dalam penyusunan makalah ini penulis membatasi tentang
Asuhan Kebidanan Pada ibu hamil dengan HIV di RSUD Sijunjung
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu memberikan dan melaksanakan Asuhan Kebidanan pada


ibu

hamil

dengan

HIV/AIDS

menurut

mendokumentasikannya dalam bentuk SOAP..


2. Tujuan Khusus
a

Mahasiswa mampu :
Melakukan pengkajian data subyektif dan obyektif

pemikiran

varney

dan

Menganalisa data untuk menentukan diagnosis aktual dan diagnosis potensial

c
d

yang mungkin timbul pada ibu hamil dengan HIV/AIDS


Mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera pada ibu hamil dengan HIV/AIDS
Merencanakan asuhan kebidanan yang menyeluruh berdasarkan kebutuhan ibu
hamil dengan HIV/AIDS.

e Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan rencana yang telah disusun.


fMelakukan evaluasi terhadap asuhan yang dilaksanakan.
g Melakukan pendokumentasian hasil asuhan kebidanan dalam bentuk SOAP

E. Manfaat Penulisan
1 Bagi Penulis
b Dapat mengerti, memahami dan menerapkan asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan
HIV.
c

Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman khususnya tentang ibu hamil dengan

HIV.
Dapat meningkatkan ketrampilan dalam memberikan asuhan kebidanan terutama pada

ibu hamil dengan HIV.


Sebagai bekal bagi penulis sebelum terjun di lapangan.

Bagi Lahan Praktek

a
b

Dapat meningkatkan mutu pelayanan terutama bagi ibu hamil dengan anemia ringan.
Dapat mengevaluasi asuhan kebidanan yang telah diberikan pada ibu hamil dengan
anemia ringan.

Bagi Institusi

Dapat mengevaluasi sejauh mana mahasiswa menguasai asuhan kebidanan pada ibu

hamil dengan HIV.


Sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan bagi mahasiswa Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Fort De Kock Prodi DIII Kebidanan khususnya yang berkaitan
dengan ibu hamil dengan HIV.

Bagi Masyarakat

Dapat memahami dan mengerti tentang tanda dan gejala anemia ringan pada ibu

hamil.
Dapat melakukan deteksi dini dan cara pencegahan anemia ringan pada ibu hamil
dengan HIV.

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Ibu Hamil dengan HIV/AIDS.
1 Definisi
Acquired Immuno-deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sindroma gejala
penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu yang terjadi akibat menurunnya
system kekebalan tubuh oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
(Duarsa 2005 dalam Daili, 2008). Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah
virus yang menyebabkan AIDS, yang merupakan keluarga retrovirus (Depkes RI,
2004).
Berdasarkan strukturnya HIV termasuk family retrovirus yang termasuk dalam
virus RNA. HIV tergolong ke dalam kelompok retrovirus karena kemampuannya
mengkopi cetak biru materi genetik dari sel-sel manusia yang ditumpanginya.
Virus HIV ini pertama kali ditemukan oleh Dr. Luc Montagnier dkk dari Institut
Pasteur Prancis. Kemudian pada bulan Juli tahun 1994, Dr. Robert Gallo dari
lembaga kanker menemukan virus baru dari seorang penderita AIDS yang diberi
nama HTLV-III (Human T limfotropik virus tipe III). Virus ini terus berkembang
dengan nama HIV.
Definisi dari CDC tentang AIDS adalah mereka semua yang dinyatakan
mengidap infeksi HIV dengan jumlah CD4 limfosit T < 0,2 x 109 /l.
Terdapat 2 jenis HIV, yaitu :
1. HIV-1 mendominasi seluruh dunia dan bermutasi dengan sangat mudah.
Keturunan yang berbeda-beda dari HIV-1 juga ada, mereka dikategorikan dalam
kelompok dan sub jenis (clades). Terdapat 2 kelompok yaitu kelompok M dan O.
Dalam kelompok M terdapat sekurang-kurangnya 10 sub jenis yang dibedakan
secara turun temurun. Ini adalah sub jenis A-J. Sub jenis B kebanyakan ditemukan
di Amerika, Jepang, Australia. Sub jenis C ditemukan di Afrika Selatan dan India.
2. HIV-2 semula merata di Afrika Barat. Terdapat banyak kemiripan antara HIV-1
dan HIV-2, contohnya adalah bahwa keduanya menular dengan cara yang sama,
keduanya dihubungkan dengan infeksi oportunistik dan AIDS yang serupa. Pada
orang yang terinfeksi HIV-2, ketidakmampuan menghasilkan kekebalan tubuh
terlihat berkembang lebih lambat.
HIV-1 merupakan jenis yang lebih virulent dan lebih mudah menular, dan
merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia. Acquired

Immuno Deficiency Syndrom (AIDS) sebagai suatu penyakit yang lebih banyak
disebabkan

oleh Human

Imumunedeficiency

Virus

type

1 (HIV-1).

HIV

menyerang sistem imun tubuh dengan menyerbu dan menghancurkan jenis sel
darah putih tertentu, yang sering disebut dalam berbagai nama seperti sel T
pembantu (helper T Cell), sel T4 atau sel CD4. Sel CD4 ini juga diberi julukan
sebagai panglima dari sistem imun. CD4 mengenali patogen yang menyerang dan
memberi isyarat pada sel darah putih lainnya untuk segera membentuk antibodi
yang dapat mengikat patogen tersebut. Sesudah diikat, patogen itu dilumpuhkan
dan diberi ciri untuk selanjutnya dihancurkan. Lalu CD4 kemudian memanggil
lagi jenis sel darah putih lainnya sel T algojo ( killer T Cell), untuk memusnahkan
sel yang telah ditandai tadi.
HIV mampu melawan sel CD4. dengan menyerang dan mengalahkan sel CD4,
maka HIV berhasil melumpuhkan kelompok sel yang justru amat diandalkan
untuk menghadapi HIV tersebut beserta dengan kuman-kuman jenis lainnya.
Itulah sebabnya HIV membuat tubuh menjadi sangat rentan terhadap infeksi
kuman-kuman lainnya dan jenis-jenis kanker yang umumnya dapat dikendalikan.
Tanpa adanya sistem imun yang efektif, penyakit-penyakit ikutan ini, yang lazim
disebut infeksi oportunistik, merajelela dan berakibat dengan kematian. Jumlah
sel normal CD4 dalam sirkulasi darah kita adalah sekitar 800 hingga 1200 per
mililiter kubik darah. Selama tahun-tahun pertama infeksi HIV jumlah ini masih
dapat dipertahankan. Orang yang tertular HIV pada mulanya tidak merasakan dan
tidak kelihatan sakit selama sel CD4-nya masih dalam jumlah lumayan. Barulah
sesudah kira-kira 5 tahun jumlah sel CD4 ini mulai menurun hingga kira-kira
separuhnya.. Pada tahap ini banyak penderita yang belum menujukkan gejalagejala penyakit. Sesudah jumlah sel CD4 ini kurang dari 200 per mililiter kubik
per darah, mulailah penderita memperlihatkan berbagai gejala penyakit yang
nyata (Hutapea, 2003).
Berdasar hal tersebut maka penderita AIDS di masyarakat digolongkan dalam 2
kategori yaitu :
- Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita
AIDS positif)
- Penderita yang mengidap HIV tetapi belum menunjukkan gejala klinis
(penderita AIDS negatif)
2. Etiologi

Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong retrovirus yang


disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali
diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983
dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo
di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi
HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah virus sitopatik diklasifikasikan
dalam Famili Retroviridae, sub family Lentiviridae, genus Lentivirus.
Merupakan sejenis retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli
merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai
sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T,
karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4.
Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif.
Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap
infeksius yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup
penderita tersebut (Fraser, 2009).
Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti
(core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris
tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce
transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid
dan glikoprotein. HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh
lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan
dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit
dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar ultraviolet
(Fraser, 2009).Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan
mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit,
makrofag dan sel glia jaringan otak. Transmisi melalui kontak seksual
merupakan salah satu cara utama di berbagai belahan dunia. Karena virus
ini dapat ditemukan di dalam cairan semen, cairan vagina, cairan servik.
Virus akan terkonsentrasi, jika terjadi peningkatan jumlah limfosit dalam
cairan, seperti pada keadaan peradangan genitalia misalnya uretritis,

epididimitis dan kelainan lain yang berkaitan dengan penyakit menular


seksual. Transmisi infeksi melalui hubungan seksual lewat anus lebih
mudah karena hanya terdapat membran mukosa rektum yang tipis dan
mudah robek, anus sering terjadi lesi.
Penularan HIV bisa melalui transmisi darah atau produk darah,
terutama pada individu pengguna narkotika intravena dengan pemakaian
jarum suntik secara bersama dalam satu kelompok tanpa mengindahkan
asas sterilisasi. Dapat juga pada individu yang menerima transfusi darah
atau produk darah yang mengabaikan tes penapisan HIV. Diperkirakan
bahwa 90-100% orang yang mendapat transfusi darah yang tercemar HIV
akan mengalami infeksi. Transfusi darah lengkap, sel darah merah,
trombosit, leukosit dan plasma semuanya berpotensi menularkan HIV.
Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi HIV
kepada janinnya sewaktu hamil, sewaktu persalinan dan setelah
melahirkan melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI). Angka penularan
selama kehamilan sekitar 5-10%, saat persalinan 10-20% dan saat
menyusui 10-20%. Namun, diperkirakan penularan ibu kepada janin atau
bayi terutama terjadi pada masa perinatal. Hal ini didasarkan saat
identifikasi saat kultur atau Polymerase Chain Reaction (PCR) pada bayi
setelah lahir (negatif saat lahir dan positif beberapa bulan kemudian).
Virus dapat ditemukan dalam ASI sehingga ASI merupakan perantara
penularan HIV dari ibu kepada bayi pascanatal. Bila mungkin pemberian
ASI oleh ibu yang terinfeksi sebaiknya dihindari.
Potensi transmisi dari cairan tubuh lain, seperti virus HIV yang pernah
ditemukan dalam air liur pada sebagian kecil orang yang terinfeksi, namun
tidak ada bukti yang menyatakan HIV dapat menular melalui ciuman.
Selain itu, air liur juga dibuktikan mengandung inhibitor terhadap aktivitas
HIV. Demikian juga belum ada bukti bahwa cairan tubuh lain misalnya air
mata, keringat, urine dapat merupakan media transmisi HIV. Namun,
cairan tersebut tetap diperlakukan sesuai tindakan pencegahan melalui
kewaspadaan universal.
Transmisi pada petugas kesehatan dan laboratorium memiliki risiko
tetap, terutama bila menggunakan benda tajam, seperti jarum suntik.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa risiko penularan HIV setelah

kulit tertusuk jarum atau benda tajam yang tercemar oleh darah seorang
yang terinfeksi HIV adalah sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan HIV
akibat paparan bahan yang tercemar HIV ke membran mukosa atau kulit
yang mengalami erosi adalah 0,09%.
3.Patofisiologi
Denominator umum pada penyakit klinis AIDS adalah imunosupresi berat,
terutama imunitas seluler yang menyebabkan timbulnya berbagai infeksi
oportunistik dan neoplasma, limfosit yang berasal dari timus-limfosit T-yang
secara fenotipe didefinisikan oleh antigen permukaan CD4 adalah sasaran utama.
CD4 berfungsi sebagai reseptor virus. Untuk infeksi, dibutuhkan dua ko-reseptor
virus, dan dua reseptor kemokin-CCR5 dan CXCR4-telah diketahui melakukan
peran ini (Kahn dan Walker 1998 dalam Cunningham et al, 2005). Setelah terjadi
fusi sel-virus, HIV akan melepaskan single strand RNA (ssRNA) ke dalam
sitoplasma sel pejamu, maka terjadi transkripsi terbalik (reserve transcription) dari
satu untai-tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. Dengan
demikian, DNA virus dapat diintegrasikan ke dalam DNA sel seumur hidup sel
tersebut. Setelah terintegrasi dengan kromosom pejamu, maka dua untai DNA
sekarang menjadi provirus. Provirus menghasilkan RNA messenger (mRNA),
yang meninggalkan inti sel dan masuk ke dalam sitoplasma. Protein-protein virus
dihasilkan

dari

mRNA

yang

lengkap

dan

telah

mengalami

splicing

(penggabungan). Tahap akhir produksi virus membutuhkan suatu enzim virus


yang disebut HIV protease, yang memotong dan menata protein virus menjadi
segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA virus, membentuk partikel virus
yang menular yang menonjol dari sel penjamu. Pada saat yang sama, viremia yang
terjadi dapat dideteksi dan dikuantifikasi dengan berbagai pemeriksaan RNA
virus.

Setelah infeksi awal, kadar viremia biasanya berkurang sampai mencapai pada
suatu titik patokan (set point). Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat
diturunkan oleh sistem imun tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu
sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan virus baru dan upaya eliminasi
oleh respon imun. Titik keseimbangan disebut set point dan amat penting karena

menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pasien dengan beban virus tertinggi


lebih cepat mengalami AIDS dan kematian (Kahn dan Walker 1998 dalam
Cunningham et al, 2005). Setelah infeksi, jumlah sel T menurun secara perlahan
dan progresif seiring dengan waktu, sehingga akhirnya terjadi imunosupresi berat.
Monosit-makrofag juga dapat terinfeksi, dan infeksi pada sel mikroglia otak dapat
menyebabkan kelainan neuropsikiatrik.
Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3
bulan setelah infeksi, tapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Menurut
Centre for Disease Control and Prevention (1998) antibody dapat dideteksi
pada 95% pasien dalam waktu 6 bulan setelah infeksi. Kemudian pasien
akan memasuki masa tanpa gejala, dalam masa ini terjadi penurunan
bertahap jumlah CD4 (normal 800-1000) yang terjadi setelah replikasi
persisten HIV dengan kadar RNA virus relative konstan. Mula-mula
penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60/tahun, tapi pada 2 tahun terakhir
penurunan jumlah CD4 menjadi lebih cepat, 50-100/tahun, sehingga tanpa
pengobatan, rata-rata masa infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10
tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai dibawah 200.
Gambar 2.2 Perjalanan infeksi HIV tanpa terapi ARV Bartlett JG, Gallant JE
(2004) Medical management of HIV infection, p.1
4.Manifestasi Klinis
Masa tunas sejak pajanan sampai timbul gejala klinis biasanya beberapa hari
sampai beberapa minggu. Penyakit akut serupa dengan sindrom virus lainnya dan
biasanya berlangsung kurang dari 10 hari. Gejala umum adalah demam dan
keringat malam, rasa lelah, ruam, nyeri kepala, limfadenopati, faringitis, mialgia,
artralgia, mual, muntah, dan diare (Kahn dan Walker 1998 dalam Cunningham,
2005).
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spektrum
yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimptomatik) pada stadium awal
sampai pada gejala-gejala yang berat pada stadium lanjut. Setelah diawali dengan
infeksi akut, maka dapat terjadi infeksi kronik asimptomatik selama beberapa
tahun disertai replikasi virus secara lambat. Kemudian setelah terjadi penurunan
sistem imun yang berat, terjadi infeksi oportunistik dan dapat dikatakan pasien
telah masuk pada keadaan AIDS. Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahaptahap berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD4 :

1. Infeksi retroviral akut


Setelah terjadi infeksi HIV mula-mula bereplikasi dalam kelenjar limfe regional.
Hal tersebut berakibat terjadinya peningkatan jumlah virus secara cepat di dalam
plasma, biasanya lebih dari 1 juta kopi / ml. Fase ini disertai dengan penyebaran
HIV ke organ limfoid, saluran cerna dan saluran genitalia. Setelah mencapai
puncak viremia jumlah virus atau viral load menurun bersamaan dengan
berkembangnya respon imunitas seluler pada pejamunya. Puncak viral load dan
perkembangan respon imunitas seluler berhubungan dengan kondisi penyakit
yang simtomatik pada 60 hingga 90% pasien. Penyakit ini muncul dalam kurun
waktu 3 bulan setelah infeksi. Penyakit ini menyerupai glandular fever like
illness dengan ruam, demam, nyeri kepala malaise dan limfadenopati luas.
Sementara itu tingginya puncak viral load selama infeksi primer tidak
menggambarkan perkembangan penyakit tapi terkait dengan beratnya keluhan
yang menandakan prognosis yang jelek. Fase ini mereda secara spontan dalam 14
hari.
2. Masa asimptomatik
Dengan menurunnya penyakit primer kebanyakan pasien mengalami masa
asimtomatis yang lama, namun selama masa tersebut replikasi HIV terus
berlanjut, dan terjadi kerusakan sistem imun. Pada masa ini pasien tidak
menunjukkan gejala, tetapi dapat terjadi limfadenopati generalisata. Penurunan
jumlah CD4 terjadi bertahap. Masa ini disebut juga window periode. Median
waktu masa ini adalah sekitar 10 tahun (Faunci dan Lane 1994 dalam
Cunningham, 2005).
3. Masa gejala dini
Pada masa ini jumlah CD4 berkisar antara 100-300. Gejala yang timbul adalah
akibat infeksi pneumonia bakterial, kandidosis vagina, sariawan, herpes zoster,
leukoplakia, ITP, dan tuberkulosis paru. Gejala konstitusional yang mungkin
berkembang seperti demam, berkurangnya berat badan, kelelahan, nyeri otot,
nyeri sendi dan nyeri kepala. Diare berulang dapat terjadi dan menjadi masalah.
Sinusitis bakterial merupakan manifestasi yang sering terjadi. Nefropati HIV
dapat juga terjadi pada stadium ini.
4. Masa gejala lanjut
Pada masa ini jumlah CD4 dibawah 200. Penurunan daya tahan tubuh yang lanjut
ini menyebabkan risiko tinggi terjadinya infeksi oportunistik berat atau

keganasan. Hitung CD4 yang kurang dari 200 dianggap definitif untuk diagnosis
AIDS.
Panjangnya waktu dari mulai terinfeksi HIV sampai menunjukkan gejala yang
terkait dengan sistem penurunan kekebalan tubuh akan tergantung dari kondisi
sistem kekebalan tubuh seseorang dan usaha yang dilakukannya. WHO
memperkirakan 60% orang dewasa yang mengidap HIV akan berkembang
menjadi AIDS dalam waktu 12-13 tahun setelah terinfeksi HIV. Seseorang yang
terinfeksi HIV akan memasuki tahap AIDS sangat tergantung dari gizi yang
dikonsumsi, dan obat-obatan yang membentuk proses pertahanan tubuh.
Penelitian WHO menunjukkan beberapa faktor yang berpengaruh dalam
perkembangan AIDS pada pengidap HIV, antara lain:
1.Semakin tua usia pengidap HIV akan semakin cepat sampai ke tahap AIDS
2.Bayi yang terinfeksi HIV akan sampai pada tahap AIDS lebih cepat daripada
orang dewasa yang yang mengidap HIV
3.Orang yang telah memiliki gejala minor pada waktu tertular HIV, akan bergejala
AIDS lebih cepat daripada yang tanpa gejala
4.Penderita HIV yang merokok akan sampai ke tahap AIDS lebih cepat daripada
yang tidak merokok.

E.Diagnosis
Penilaian HIV/AIDS dilakukan dengan penggalian riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan darah lengkap, kimia darah, pemeriksaan imunologis
CD4/limfosit total dan viral load (polymerase chain reaction /PCR), yaitu:
1. Diagnosis HIV/AIDS pada Orang Dewasa
Untuk memastikan seseorang dinyatakan terinfeksi HIV atau tidak, perlu
dilakukan tes HIV. Tes HIV berfungsi untuk mengetahui adanya antibodi terhadap
HIV atau mengetes adanya antigen HIV dalam darah. Ada beberapa jenis tes yang
biasa dilakukan diantaranya yaitu tes ELISA ( Enzym-Linked Immunosorbent
Assay), tes dipstick dan tes Western Blot. Masing-masing alat tes memiliki
kemampuan atau sensitivitas untuk menemukan orang yang mengidap HIV.
Prosedur screening dengan tes ELISA, memiliki sensitifitas yang tinggi, spesifik,
tidak mahal dan mudah dilakukan. Tes ELISA mungkin saja menghasilkan false
positive, sehingga hasil yang menunjukkan positif pada tes ELISA perlu
dilanjutkan dengan analisis Western Blot tes yang spesifisitasnya lebih tinggi.
Sensitifitas menggambarkan kemampuan akurasi sebuah tes sehingga ditentukan

true case. Tes dengan sensitifitas tinggi akan memberikan hasil false negative
yang sangat kecil. Tes dengan sensitifitas tinggi digunakan ketika dibutuhkan hasil
absolut dengan sangat sedikit false negative seperti pada layanan transfusi
darah. Sfesifisitas menggambarkan kemampuan ketepatan tes sebagai true noncase. Tes dengan sfesifisitas tinggi akan memberikan hasil false positive sangat
rendah. Tes dengan sfesifisitas tinggi digunakan ketika kebutuhan absolut untuk
false positive sangat kecil seperti pada penentuan diagnosis klinis individu
terinfeksi.
Prosedur pemeriksaan darah untuk mendeteksi HIV/AIDS, memiliki beberapa
tahapan, yaitu:
1) Konseling Pra Test
a. Penjajagan perilaku beresiko hubungan seksual, transfuse
b. Penjelasan arti hasil tes dan prosedurnya (positif, negatif)
2) Tes darah ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay)
Tujuan tes ini adalah mendeteksi salah satu dari antibodi terhadap HIV, antigen
p24 dan asam nukleat HIV (PCR). Antibodi terbentuk kurang lebih 3 sampai 6
minggu, tapi bisa juga mencapai 3 sampai 6 bulan. Bila kurang dari tiga minggu
tidak terdeteksi, maka bisa saja saat tersebut masih dalam periode jendela
(window period). Jika hasil pemeriksaan antibodi HIV terbukti positif, maka
sudah pasti pasien ini terinfeksi HIV.
a. Jika hasil tes ELISA negatif, tetap dilakukan konseling
b. Jika hasil tes ELISA positif, dilakukan konfirmasi dengan Western Blot tes
3) Tes Western Blot
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap
HIV. Western blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini
lebih sensitif dan lebih spesifik, sehingga kasus 'yang tidak dapat disimpulkan'
sangat kecil. Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian
lebih dalam melakukannya.
a. Jika hasil Western Blot positif, laporkan ke Dinas Kesehatan (anonimus).
Lakukan post konseling dan pendampingan untuk menghindari emosi, putus
asa atau keinginan untuk bunuh diri
b. Jika hasil Western Blot negatif, tetap dilakukan konseling sama seperti jika
ditemukan hasil negatif pada ELISA
Menurut sumber lain, teknik yang umum digunakan untuk deteksi antibodi
selain ELISA dan western Blot Elisa adalah Rapid test. Saat ini yang

paling sering digunakan ialah test rapid, karena mempertimbangkan


keefektifan dan keefisienan waktu terjadinya aglutinasi antara antigen dan
anti bodi. Sedangkan ELISA tidak menegakkan diagnosa AIDS tapi hanya
menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi HIV serta
memerlukan alat pembaca khusus. Adapun Rapid test bisa diamati
langsung secara visual, juga bisa digunakan untuk spesimen yang
jumlahnya sedikit bahkan jika hanya satu spesimen. Untuk sensitifitas dan
spesifitas keduanya hampir sama. Jenis pemeriksaan Rapid test adalah
yang paling efisien dan banyak digunakan oleh para klinisi. Rapid tes
hanya memerlukan waktu pemeriksaan 10 menit. Sebagian besar rapid tes
mempunyai sensitifitas dan sfesifisitas diatas 99% dan 98%. Keuntungan
utama rapid test HIV adalah memberikan hasil pada hari yang sama
sehingga menguragi angka drop out untuk mengetahui sero status HIV
klien. Keuntungan lain klien, lebih mudah menerima hasil dari konselor
yang sama sehingga pre tes dan pasca tes dilakukan oleh orang yang sama.
Kondisi bahan pemeriksaan dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Bahan
pemeriksaan terbaik adalah serum/plasma dengan syarat tidak hemolisis, tidak
keruh, disimpan dan dikirimkan dengan baik, ditempeli label yang sesuai dan
berada dalam penampung yang tidak bocor.
2. Diagnosis HIV/AIDS pada bayi
Infeksi HIV dapat terjadi pada bayi selama kehamilan, saat melahirkan, dan waktu
menyusui. Bila infeksi menular melalui ASI, antibodi yang dicari oleh tes HIV
baru terbentuk dengan jumlah yang cukup untuk dideteksi setelah beberapa
minggu. Jadi sebaiknya menunggu sedikitnya enam minggu setelah penyusuan
dihentikan sebelum tes HIV dilakukan.
1) Tes Antibodi
Merupakan Tes HIV yang biasa dipakai untuk orang dewasa mencari antibodi
terhadap HIV, bukan virus sendiri. Antibodi terhadap HIV disalurkan dari ibu ke
janin melalui plasenta. Jadi bila seorang bayi yang terlahir oleh ibu yang HIVpositif dites HIV waktu lahir, hasilnya pasti akan positif. Namun HIV sendiri
hanya tertular pada kurang lebih 20 persen bayi dalam kandungan atau waktu
melahirkan. Sedikitnya, antibodi ibu berada dalam darah bayi untuk enam bulan
pertama hidupnya. Setelah enam bulan, jumlah antibodi ibu mulai berkurang, dan

hasil tes HIV kebanyakan bayi yang tidak terinfeksi akan menjadi negatif pada
usia 12 bulan. Kadang kala, antibodi dari ibu baru hilang setelah 18 bulan.
Sebaliknya, setelah beberapa bulan, seorang bayi yang terinfeksi HIV akan
membentuk antibodi sendiri terhadap HIV, dan hasil tes HIV akan tetap positif
untuk seumur hidup. Hasil tes HIV positif pada seorang anak berusia 18 bulan ke
atas berarti anak tersebut terinfeksi HIV.
Tes antibodi HIV dapat dipakai untuk meyakinkan bahwa anak tidak terinfeksi
HIV asal anak tidak diberikan ASI oleh ibu yang HIV-positif sedikitnya dalam
enam minggu sebelum dites. Seorang anak yang tidak disusui selama tiga bulan
terakhir dengan hasil tes HIV negatif berarti tidak terinfeksi HIV.
2) Tes Virus
Berbeda dengan tes antibodi, tes virus dapat menentukan apakah bayi terinfeksi
dalam bulan-bulan pertama hidupnya. Tes RNA HIV dengan alat PCR yang
biasanya dilakukan untuk mengukur viral load, dapat mendeteksi virus dalam
darah, dan dapat dipakai untuk diagnosis HIV pada bayi. Namun tes ini masih
sangat mahal dan lebih sulit dilakukan dibandingkan tes antibodi, dan hanya dapat
dilakukan di sedikit laboratorium di Indonesia.
Dua puluh sampai empat puluh persen bayi yang terinfeksi dalam kandungan atau
saat lahir akan menunjukkan hasil positif pada tes PCR segera setelah lahir.
Sedangkan 98% bayi terinfeksi HIV terdeteksi setelah empat minggu. WHO
mengusulkan tes viral load untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi sebaiknya
dilakukan pada usia enam minggu ke atas.
Hasil positif palsu dapat terjadi, terutama bila laboratorium tidak berpengalaman
dengan alat PCR, dan semua hasil positif sebaiknya langsung dikonfirmasi dengan
contoh darah baru. Hasil viral load yang rendah (di bawah 10.000) kemungkinan
positif palsu, karena viral load pada bayi biasanya sangat tinggi.
Hasil negatif palsu juga dapat terjadi. Sebaiknya kedua tes virus tersebut
dilakukan untuk konfirmasi bahwa anak tidak terinfeksi dan anjuran untuk tes
antibodi dilakukan setelah anak berusia 18 bulan sebagai konfirmasi ulang.
Pemeriksaan antibodi HIV selain ELISA dan Rapid Tes adalah pemeriksaan
Enzyme immunoassay (EIA) yang digunakan sebagai uji penapis untuk antibodi
HIV. Uji penapis yang positif memiliki sensitivitas lebih dari 99,5%. Uji positif
dikonfirmasi dengan Western Blot atau immunofluoresence assay (IFA).
Walaupun

sangat

spesifik, Western

Blot

kurang

sensitif

dibandingkan

immunoassay karena untuk memberikan hasil positif diperlukan lebih banyak

antibodi. Dengan demikian, immunofluoresence assay dapat digunakan untuk


memastikan sampel yang positif EIA tetapi hasil Western Blot-nya meragukan.
Untuk infeksi HIV primer akut, diperlukan identifikasi antigen inti p.24 atau RNA
virus.
Indikasi tes antibodi HIV adalah kecurigaan kemungkinan risiko penularan seperti
melakukan hubungan seks yang tidak aman, pecandu narkotika suntikan, pasien
penyakit menular seksual, tusukan jarum yang telah digunakan pada orang
terinfeksi HIV, serta bayi baru lahir dari ibu terinfeksi HIV. Tes ini dapat
dilakukan pada periode asimptomatik.
Diagnosis infeksi HIV berdasar kemungkinan penularan dan pemeriksaan antibodi
HIV positif. Diagnosis AIDS didasarkan adanya penyakit infeksi oportunistik atau
kanker terkait yang telah ditetapkan dan antibodi HIV positif. Pada revisi kriteria
keadaan yang berhubungan dengan AIDS tahun 1993, ditambahkan jumlah CD4
dibawah 200, sehingga walaupun belum ada infeksi oportunistik atau kanker
terkait, bila jumlah CD4 telah dibawah 200 dogolongkan dalam AIDS.
5

Stadium HIV/AIDS
Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan

berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk
pasien

yang

terinfeksi

dengan

HIV-1.

Sistem

ini

diperbarui

pada

bulan September tahun 2005. Menurut WHO, melalui stadium klinis pada orang
dewasa, yaitu :

1. Stadium Klinis I
Asimptomatis
Limadenopati persistent generalisata
Penampilan dan aktivitas fisik skala I masih normal
2. Stadium Klinis II
- Penurunan berat badan, tetapi < 10% dar berat badan sebelumnya.
- Manifestasi mukokutaneus minor ( dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi jamur
pada kuku, ulserasi mukosa oral berulang, cheilitis angularis)Herpes Zoster, dalam

5 tahun terakhir
- Infeksi berulang pada saluran pernafasan atas ( sinusitis bakterial)
-Dengan atau penampilan aktivitas fisik skala II : simptomatis, aktivitas normal.
3. Stadium Klinis III
Penurunan berat badan > 10%
Diare kronis dengan penyebab tidak jelas, > 1 bulan

Demam dengan sebab yang tidak jelas (intermittent atau tetap), > I bulan
Kandidiasis oral
Oral hairy leukoplakia
TB pulmonar, dalam satu tahun terakhir
Infeksi bakterial berat (pneumonia, piomiositis)
Dengan atau penampilan/ aktivitas pisik skala 3 lemah, berada di tempat tidur, <
50% perhari dalam bulan terakhir
4. Stadium Klinis IV
HIV wasting syndrome, sesuai yang ditetapkan CDC (BB turun 10% ditambah

diare kronik > 1 bulan atau demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain)
PCP (Pneumocystis Carinii Pneumonia)
Ensefalitis Toksoplsmosis
Diare karena Cryptosporidiosis, > 1 bulan
Cryptococcosis ektrapulmoner
Infksi virus Sitomegalo
Infeksi Herpes simplex > 1 bulan
Berbagai infeksi jamut berat ( histoplasma , coccidioidomycosis)
Kandidiasis esfagus, trakhea dan bronkus
Mikobacteriosis atypical
Salmonelosis non tifoid disertai setikemia
TB ektrapulmoner
Limfoma Maligna
Sarkoma kaposis
Ensefalopati HIV (gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang
mengganggu aktivitas sehari-hari dan bertambah buruk dalam beberapa
minggu/bulan yang tidak disertai penyakit lain)
Dengan atau penampilan/aktivitas fisik 4 : sangat lemah, selalu berada di tempat
tidur > 50% per hari dalam bulan terakhir.
6. Penanganan HIV/AIDS
1. Pencegahan
Ada banyak cara untuk terhindar dari virus HIV. Yang terpenting adalah
pencegahan dari tertularnya virus HIV yang dapat melemahkan sistem
kekebalan tubuh ini. Karena virus HIV adalah virus yang mempunyai
kemampuan mencetak biru (retrovirus) pada antibodi, maka jika sudah
terinfeksi virus ini, sulit untuk melakukan pengobatan dan mempunyai
potensi untuk menularkan kepada orang lain.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terinfeksi/tertular
virus HIV antara lain adalah:
- Tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah

- Mencari informasi yang benar mengenai HIV/AIDS


- Mendiskusikan secara terbuka permasalahan yang sedang dihadapi, dalam hal
ini masalah perilaku seksual
- Menghindari penggunaan obat-obatan terlarang, pemakaian jarum suntik secara
bersama-sama, tatto, tindik
- Tidak melakukan kontak langsung percampuran darah dengan orang yang sudah
terinfeksi
- Menghindari perilaku yang dapat mengarah pada perilaku tidak sehat dan tidak
bertanggung jawab
- Lebih aman berhubungan seks dengan pasangan tetap
- Menghindari hubungan seks dengan bergonta-ganti pasangan
- Menggunakan kondom
- Sedapat mungkin menghindari transfusi darah yang tidak jelas asalnya
- Menjamin kesterilan alat-alat medis dan non medis

Studi de Cock et.al (2000) menunjukkan bahwa terdapat variasi potensi


penularan HIV dari ibu kepada bayinya dengan gambaran sebagai berikut:
Periode Transmisi

Risiko

Selama kehamilan

5 10%

Selama persalinan

10 20%

Selama menyusui

10 15%

Total

25 45%

WHO merancangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV terhadap bayi
yaitu:
1) Mencegah seluruh wanita jangan sampai terinfeksi HIV(pencegahan primer)

2) Bila sudah terinfeksi HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan yang tidak
diinginkan
3) Bila sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya
4) Bila ibu dan anaknya sudah terinfeksi berikan dukungan dan perawatan bagi
ODHA dan keluarganya
2.Penatalaksanaan Umum
Istirahat, pemenuhan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan
mikronutrien, konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial dan
membiasakan gaya hidup sehat.
Pada penderita HIV sering mengalami gangguan asupan nutrient yang
menyebabkan fungsi biologis tubuh terganggu. Bahkan pada penderita terjadi
perubahan kondisi klinis bukan hanya karena masalah asupan nutrient tetapi juga
akibat proses penyakitnya. Nutrisi penting dalam penatalaksanaan penderita HIV
dan AIDS, selain mendorong kearah perbaikan, juga berperan menekan
progresifitas HIV ke AIDS.
3.Penatalaksanaan Khusus
Pemberian Antiretroviral therapy kombinasi, terapi infeksi sekunder sesuai jenis
infeksi yang ditemukan, dan terapi malignansi.
1) Antiretroviral
Dengan ditemukannya kombinasi ART dijumpai penurunan morbiditas dan
mortalitas HIV/AIDS dari 60 menjadi 90% dan perbaikan kualitas hidup dan
panjangnya usia harapan hidup ODHA. Tujuan terapi antiretroviral secara umum
adalah memperpanjang usia dan memperbaiki kualitas hidup , dengan cara
mempertahankan supresi maksimal replikasi HIV selama mungkin. Pengurangan
virus dalam plasma darah ternyata terjadi dengan pemberian ART. Pilihan regimen
tergantung pada beberapa factor, diantaranya harga obat, kekuatan individu,
ketersediaan dan keterjangkauan obat untuk suatu jangka waktu menengah dan
panjang, kepatuhan berobat, potensi regimen, toleranbilitas dan profil efek
samping, kemungkinan interaksi obat dan potensial untuk opsi terapi lainnya
ketika terjadi kegagalan terapi regimen yang telah digunakan.
Pemberian ARV harus dilakukan dengan langkah-langkah yang arif dan bijiksana
serta mempertimbangkan berbagai factor, yaitu memberikan penjelasan tentang
manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaann ARV; kesanggupan
dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak terbatas;
serta saat yang tepat untuk memulai terapi ARV.

Tujuan terapi ARV


a. Menurunkan angka kesakitan akibat HIV, dan menurunkan kematian akibat
AIDS.
b. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup penderita.
c. Mempertahankan dan mengembalikan status imun ke fungsi normal.
d. Menekan replikasi virus serendah dan selama mungkin sehingga kadar HIV
dalam plasma < 50 copy/ml.
Terapi antiretroviral yang sangat aktif:
a. Inhibitor Reserve Transcriptase Nukleosida (NRTI)
Bekerja menghambat reserve transcriptese HIV, sehingga pertumbuhan rantai
DNA dan replikasi HIV terhenti. Golongan obat yang termasuk dalam NRTI
adalah:
- Zidovudin (contoh: ZDV, Retrovir)
- Didanosin (contoh: ddl, Videx)
- Zalsitabin (contoh: ddC, HIVID)
- Stavudin (contoh: d4T, Zerit)
- Lamivudin (contoh: Epivir)
- Abacavir (contoh: Ziagen)
b. Inhibitor Reserve Transcriptase Non-Nukleosida (NNRTI)
Bekerja menghambat transkripsi RNA HIV menjadi DNA, suatu langkah penting
dalam proses replikasi virus. Golongan obat yang termasuk dalam NNRTI:
- Nevirapin (contoh: Viramune)
- Delavirdin (contoh: Rescriptor)
- Efavirenz (contoh: Sustiva)
c. Inhibitor Protease (PI)
Bekerja menghambat protease HIV, yang mencegah pematangan HIV infeksiosa.
Golongan obat yang terrmasuk dalam PI:
- Indinavir (contoh: Crixivan)
- Ritonavir (contoh: Norvir)
- Nelfinavir (contoh: viracept)
- Sakuinavir (contoh: Invirase, Fortovase)
- Amprenavir (contoh: Agenerase)
- Lopinavir (contoh: Kaletra)
Prinsip terapi ARV
a. Indikasi
ARV harus ditetapkan pemberiannya atas indikasi pengobatan yang tepat.
b. Kombinasi
ARV harus diberikan secara kombinasi, paling tidak melibatkan 3 jenis obat untuk
mendapatkan efek optimal dan memperkecil resistensi.
c. Pilihan obat
Pemilihan obat-obatan lini pertama diprioritaskan daripada lini kedua atau obat
yang lain.
d. Kompleksitas

Pemberian ARV bersama dengan obat yang berfungsi untuk mengatasi infeksi
sekunder perlu dipertimbangkan dengan seksama karena dapat terjadi interaksi
obat satu sama lain.
e. Resistensi
Pemberian ARV memiliki potensi terjadinya resistensi baik lini yang sama
maupun resistensi silang.
f. Informasi
Sebelum memulai terapi ARV, penderita perlu diberikan informasi lengkap
maksud, tujuan, resistensi dan efek samping terapi ARV.
g. Motivasi
Penderita ditekankan untuk tidak terlarut dalam kesedihan, dan diingatkan bahwa
didalam tubuhnya yerdapat virus yang perlu dieliminasi melalui upaya pemberian
ARV.
h. Monitoring
Evikasi pengobatan anti virus ditentukan dan dimonitor melalui pemeriksaan
klinis berkala disertai pemeriksaan laboratorium guna menentukan HIV-RNA
virus dan hitung CD4 secara periodic dan teratur.
i. Efikasi
Pengobatan ARV dilakukan secara berkesinambungan. Penderita diharapkan
memperoleh hasil maksimal dan efikasi klinis, virologist dan imunologi yang
nyata.
Rekomendasi memulai terapi ARV penderita dewasa menurut WHO, 2006
Stadium

Pemeriksaan CD4 tidak

klinis WHO

dapat dilakukan

ARV

belum

Pemeriksaan CD4 dapat dilakukan

Terapi bila CD4 <200 sel/mm3

direkomendasikan

II

ARV

belum

Mulai terapi bila CD4<200 sel/ mm3

direkomendasikan

III

Mulai terapi ARV

Pertimbangkan terapi bila CD4 <350

sel/ mm3 acd dan mulai ARV sebelum


CD4 turun <200sel/ mm3

IV

Mulai terapi ARV

Terapi

tanpa

mempertimbangkan

jumlah CD4

Rekomendasi memulai terapi ARV berdasar CD4 penderita dewasa (WHO, 2006)
CD4 (sel/mm3)

Rekomendasi terapib

<200

Mulai terapi ARV pada semua stadium klinis

200-350

Pertimbangkan untuk memulai terapi sebelum

>350

CD4

turun

<200

sel/mm3

Jangan memulai ARV dulu.

2) Terapi infeksi sekunder dan malignansi


Terapi infeksi opoturnistik dan malignansi disesuaikan dengan jenis infeksi
sekunder maupun malignansi yang ada.
B. Kehamilan dengan HIV/AIDS
a. Tinjauan Fisiologis
1. Penerimaan Janin
Janin mempunyai kombinasi antigen histokompabiliti yang unik. Janin
diklasifikasikan sebagai benda asing atau jaringan asing dari spesies yang
sama tetapi dengan susunan antigenik yang berbeda. Janin merupakan
adanya campuran dari pewarisan antigen ayah yang berbeda dengan ibu.
Secara normal jika jaringan keturunan ini menempel pada ibunya, respon
immnologi yang kuat dari ibu akan bereaksi dengan menolak jaringan
tersebut. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya sangat mengejutkan bahwa
sistem ibu tidak menolak janinnya. Medawar (1953) menjelaskan
kemungkinan hal ini terjadi disebabkan karena janin dianggap sebagai

immature antigen bagi tubuh ibu sehingga uterus akan memberikan tempat
istimewa untuk janin atau hal tersebut disebabkan karena kehamilan
mungkin mempengaruhi sistem imun ibu dan respon imun yang normal.
2. Antigen Janin
Jaringan janin menghasilkan antigen dan imunokompeten dari stadium
awal (Manyonda,1998). Sel embrio mengandung antigen histokompability
walaupun jumlahnya sedikit dari masa implantasi dan pada seluruh
periode kehamilan. Antigen paternal telihat jelas pada fase delapan sel
pada fase pembelahan dan antigen histokompabilitas yang penting muncul
belakangan pada pembagian sel. Zona pellucida dan tropoblas awal
dilapisi oleh glikoprotein yang dapat membatasi atau menghalangi dari
respon imun ibu. Masalah immnulogis biasanya bukan masalah utama
dalam

implantasi

karena

secret

endometrium

merupakan

factor

imunosupresif.
3. Chorion dan trofoblas sebagai barrier
Janin dihubungkan dengan ibu oleh plasenta. Plasenta dan chorion
berasal dari zigot yang secara genetik dan antigen berbeda dengan sel ibu.
Hal ini menunjukkan bahwa membran chorion tahan terhadap penolakan
dari ibu dan dapat melindungi janin dari antibodi dan sistem imun ibu.
Pada saat implantasi dan perkembangan plasenta, sel trofoblas melakukan
invasi ke dalam pembuluh darah ibu sehingga menyebabkan remodeling
arteri spiralis ibu untuk meningkatkan aliran darah ke plasenta. Dalam
sirkulasi maternal ibu, ekstravillous trofoblas tidak menimbulkan respon
imun maupun proses peradangan (Jonson & Chrismas, 1996) sehingga
trofoblas tampaknya menyediakan barrier pemisah untuk melindungi janin
dari respon imunologi ibu.
Selain itu, trofoblas tidak menghasilkan antigen klasik, polimorfik HLA kelas I
maupun kelas II yang akan dikenali oleh sitotoksik T limfosit atau anti-HLA
antibodi (Hunt, 1992). Tetapi ekstravillous trofoblas justru menghasilkan antigen
kelas I yang unik (non-klasik) berupa HLA-G, yang tidak terdapat pada jaringan
orang dewasa (Kovat, 1992). Hal tersebut menunjukan bahwa mungkin peran dari
antigen tersebut justru sebagai perantara dan melindungi cytotrophoblast, dari
histolisis oleh NK sel dan sitotoksik T limfosit (Ljunggren & Karre 1990). NK sel

akan mengenali dan melakukan lisis terhadap suatu sel yang tidak dikenali oleh T
limfosit.
4. Efek kehamilan pada sistem imun ibu
Sistem imun ibu dipengaruhi oleh kehamilan. Jumlah sel darah putih
khususnya neutrofil meningkat pada awal kehamilan dan puncaknya
terjadi pada usia kehamilan 30 minggu serta menetap sampai dengan
persalinan. Peningkatan neutrofil ini mungkin disebabkan karena kadar
hCG (Barriga, Rodrigueez & Ortega, 1994). Peningkatan ini juga terjadi
pada limfosit CD8 T namun secara bersamaan terjadi penurunan limfosit
CD4 T dan monosit. Kadarnya akan kembali ke normal setelah 3-6 hari
post partum.
Jumlah leukosit pada kehamilan normal berkisar antara 5.000 sampai 12.000/ l.
Selama persalinan dan masa nifas awal jumlahnya dapat sangat meningkat, hingga
mencapai 25.000 atau bahkan lebih; tetapi konsentrasinya berkisar antara 14.000
sampai 16.000/l. Penyebab peningkatan yang mencolok tersebut tidak diketahui.
Adanya peningkatan normal dari leukosit pada masa kehamilan ini, perlu menjadi
pertimbangan untuk mendiagnosa leukositosis pada kehamilan. Tetapi fungsi
adhesi dan kemotaksis leukosit polimorfonuklear mulai ditekan pada trimester
kedua dan berlanjut sepanjang kehamilan. Hal tersebut diduga bertanggung jawab
atas perbaikan yang ditemukan pada beberapa wanita hamil yang menderita
penyakit autoimun serta kemungkinan meningkatnya kerentanan wanita hamil
terhadap infeksi-infeksi tertentu. Pada wanita hamil juga terjadi penurunan respon
terhadap bakteri gram negatif pada traktus reproduksi, yang disebabkan adanya
konsentrasi cortikosteroid yang menekan aktivitas fagosit khususnya terhadap
bakteri gram negatif.
Tingginya jumlah estrogen dan progesteron menurunkan jumlah T helper dan
meningkatkan jumlah sel supresor. Aktivitas NK sel di sekitar uterus ditekan oleh
prostaglandin E2 (Daunter,1992), penekanan NK sel ini sangat penting untuk
mencegah penolakan terhadap janin. Sebagian besar jumlah antibodi tidak
mengalami perubahan meskipun terdapat penurunan konsentrasi IgG karena
adanya hemodilusi, peningkatan pengeluaran melalui urine dan transfer IgG ke
plasenta pada trimester III. Sekresi sitokine dari janin mungkin dapat menekan
cell mediated immunity dan meningkatkan respon humoral (Wegmann at al,1993).
Limfosit T berperan terhadap penolakan terhadap janin, akan tetapi fungsi dari T

sel ini mengalami penekanan pada kehamilan khususnya pada trimester I


(Nakamura at.al,1993). Jumlah peredaran T limfosit lebih rendah dan terjadi
penurunan kemampuan untuk berploriferasi, memproduksi inter leukin-2 dan
membunuh sel-sel asing.
b.Perubahan yang terjadi pada ibu hamil dengan HIV/AIDS :
Gejala ibu hamil dengan HIV/AIDS pada umumnya sama dengan
penderita wanita lainnya yang tidak hamil. Kematian pada ibu hamil
dengan HIV (+) kebanyakan disebabkan oleh penyakit oportunistik yang
menyertainya, terutama Pneumocytis carinii pneumonia. Kehamilan dapat
menutupi sebagian gejala nonspesifik infeksi HIV, misalnya rasa lelah,
anemia dan sesak nafas. Kemuncuan gejala HIV dapat dipercepat oleh
kehamilan. Perubahan yang spesifik terjadi pada ibu hamil dengan
HIV/AIDS adalah:
1. Terjadinya gangguan metabolik
Pada ODHA terjadi keadaan hipermetabolik yang lama-kelamaan
terjadi gangguan metabolik dan berakhir dengan wasting syndrome,yaitu
kehilangan berat badan melebihi 10% disertai dengan diare kronis lebih
dari satu bulan. Hal ini diakibatkan berbagai macam infaksi yang terjadi,
reaksi tubuh terhadap infeksi tersebut adalah dengan terjadinya
peningkatan kadar glucagon, insulin, hormone stress, yang diproduksi
adrenal seperti epineprin, kortisol.
2. Perubahan status nutrisi
Hal ini dikarenakan oleh berbagai faktor seperti, anoreksia,
hiperkatabolik, infeksi kronis, demam, penurunan intake, mual, muntah,
diare, malabsorpsi, meningkatnya kebutuhan maupun kehilangan nutrisi,
depresi, efek samping obat, radiasi, dan kemoterapi. Semua kejadian
tersebut terkait erat dengan penyakit infeksi HIV & AIDS yang
menyertainya.
Masuknya HIV kedalam tubuh selain memunculkan gejala juga
memicu terjadinya perubahan biokimia nutrisi berupa kehilangan zat
nutrisi dalam tubuh. HIV merupakan makrofag, monosit, limfosit untuk
mengeluarkan mediator kimiawi dan sitokin. Salah satu dampak dari
keluarnaya mediator tersebut memicu hepar untuk meningkatkan ambilan
asam amino, Zn, Fe, protein reaktan fase akut, atau kompleks yang

kemudian dilepas dalam plasma. Pada ibu hamil dengan HIV/AIDS sering
disertai defisiensi antioksidan vitamin dan mineral.
ODHA mempunyai resiko malnutrisi yang dapat mengancam
kelangsungan kehamilan maupun persalinan. Penelitian Friis (2001) di
Zimbabwe menyatakan bahwa dari 1700 ODHA 31,5 % mengalami
defisiensi asam folat, ferritin, Zn, dan hemoglobin. Defisiensi Zn dapat
berpengaruh pada sistem imun. Defisiensi Fe atau minimalnya deposit
firritin pada ODHA mendorong diperlukan tambahan 6 mg/ hari terutama
pada trimester dua dan tiga untuk memenuhi kebutuhan ibu, plasenta dan
janin. Tambahan tersebut dibutuhkan karena pada kehamilan terjadi
peningkatan kebutuhan dan absorsi 5 kali pada usia kehamilan 12 minggu,
dan 9 kali pada usia kehamilan 36 minggu. Dengan demikian pada
kehamilan rata-rata
diperlukan zat besi inorganik paling tidak 65 mg/hari.
c

Progresivitas infeksi HIV


Kehamilan tidak mempengaruhi progresivitas infeksi HIV kearah
AIDS. Penurunan CD4+ memang terjadi pada ibu hamil dengan HIV, tetapi
penurunan tersebut lebih diakibatkan karena faktor dilusi. Pada kehamilan
yang tidak dengan HIV ,presentase CD4+ akan meningkat kembali mulai
trimester tiga hingga 12 bulan setelah melahirkan, sedangkan pada
IHDHA penurunan tetap terjadi pada awal kehamilan sampai setelah
melahirkan. Kehamilan hanya sedikit menaikan kadar virus HIV (viral
load). Kadar HIV meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan,
walaupun secara sistematis tidak bermakna. Pada kondisi ibu hamil
HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik, kehamilan dapat memperberat
infeksi oportunistik yang diderita ibu maupun sebaliknya, infeksi
oportunistik yang diderita ibu dapat mempengaruhi progresifitas HIV ibu
maupun janin yang dikandungnya.

Resiko pada janin:


Abortus spontan
Prematuritas
BBLR
Gangguan pertumbuhan intrauterine (IUGR)
Kematian janin intrauterin/IUFD (terjadi terutama pada stadum lanjut).
d.Penanganan HIV/AIDS pada ibu hamil

Seorang wanita dapat menularkan infeksi HIV kepada bayinya selama masa
kehamilan, persalinan dan masa menyusui (Cotton & Watts 1995; European
Collaborative Study 1992; Goedert, Duliege, Amos, Felton & Biggar 1991;
Orloff, Simonds, Steketee & St.Louis 1996; Peckham & Gibbs 1995 dalam
Winifred et al, 2001). Mekanisme pasti penularan HIV/AIDS pada periode
perinatal belum diketahui secara pasti. Dari beberapa penelitian telah
dilaporkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan peningkatan transmisi
perinatal, diantaranya tingginya viral load ibu, rendahnya jumlah sel CD4 ibu,
meningkatnya jumlah sel CD8 ibu, lama pecahnya selaput ketuban, perdarahan
vagina, infeksi ibu, inflamasi membran plasenta, persalinan preterm, kerusakan
kulit neonatus, penggunaan obat ibu.
Konseling merupakan keharusan bagi wanita positif HIV. Hal ini sebaiknya
dilakukan pada awal kehamilannya, perlu diberikan konseling berkelanjutan
untuk

membantu

wanita

tersebut

secara

psikologis.

Perkembangan

penatalaksanaan selama kehamilan mengikuti kemajuan-kemajuan dalam


pengobatan individu nonhamil yang terinfeksi HIV. Standar penanganan yang
berlaku saat ini mengharuskan wanita hamil dan janinnya menjalani terapi
yang paling efektif yang tersedia. Karena konsekuensi penyakit yang tidak
diobati sangat merugikan, terjadi pergeseran dari fokus pengobatan yang
semata-mata untuk melindungi janin memjadi pendekatan yang lebih
berimbang berupa pengobatan bagi ibu dan janinnya (Kass dkk 2000 dalam
Cunningham, 2005).
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa kombinasi analog nukleosida
(inhibitor reverse transcriptase -zidovudin, zalsitabin, atau lamivudin- yang
diberikan bersama dengan suatu inhibitor protease-indinavir, ritonavir, atau
sakuinavir- sangat efektif untuk menekan kadar RNA HIV (Carpenter dkk 1996
dalam Cunningham, 2005).
Walaupun regimen multiobat efektif untuk mengobati pasien terinfeksi HIV,
hanya sedikit penelitian yang mengkaji pemakaian obat-obatan tersebut pada
wanita hamil. Namun, dengan mempertimbangkan tingginya morbiditas dan
mortalitas penyakit ini, Centre for Disease Control and Prevention (1998)
menganjurkan untuk menawarkan terapi antiretrovirus kombinasi pada wanita
hamil. Studi-studi paling awal telah mencatat efektifitas zidovudin perinatal

dalam menurunkan penularan HIV (Connor dkk 1994 dalam Cunningham,


2005).
Berikut ini adalah penanganan HIV/AIDS pada ibu hamil :
1. Konseling, Edukasi dan Uji Saring Antepartum
The American College of Obstetricians and Gynaecologists (ACOG) dan
USPHS menganjurkan konseling, edukasi dan Uji saring HIV sebagai bagian
perawatan antepartum yang dilakukan secara rutin dan sukarela oleh ibu hamil
dengan risiko tinggi infeksi HIV dan ibu hamil dengan HIV/AIDS (IHDHA).
Konseling dan testing sukarela dikenal sebagai Voluntary Counselling and
Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai
pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan. Konseling
dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis,
informasi

dan

pengetahuan

HIV/AIDS,

mencegah

penularan

HIV,

mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV


dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS
(Depkes RI, 2008). Dalam konseling dan edukasi, perlu dukungan psikososial
ibu supaya tidak takut dan percaya diri mengenai status HIV dan
kehamilannya, tentang perjalanan alami HIV, cara penularan dan pencegahan
perinatal serta keuntungan pemberian ARV bagi ibu dan janin/bayi. Konseling
dan edukasi perlu diberikan segera sesudah diagnosis HIV/AIDS ditegakkan
dan dilakukan secara berkesinambungan. Bahkan, konseling dan edukasi
merupakan pilar pertama dan utama dalam penatalaksanaan HIV/AIDS; karena
keberhasilan pencegahan penularan horizontal maupun vertikal, pengendalian
kepadatan virus dengan ARV, peningkatan CD4, pencegahan dan pengobatan
Infeksi Opotunistik serta komplikasi lainnya akan berhasil jika konseling dan
edukasi berhasil dilakukan dengan baik.
Hasil negatif uji saring pada ibu risiko tinggi infeksi HIV perlu diulang 4
minggu kemudian mengingat kemungkinan window period pada saat
pemeriksaan dilakukan.
2. Perawatan Antepartum
Perawatan antepartum IHDHA ditujukan bukan hanya perawatan rutin saja,
melainkan juga strategi pencegahan Penularan HIV-AIDS Peripartum dan
pengobatan serta komplikasi-komplikasinya. Setiap kunjungan antepartum
diperhatikan masalah psikososial ibu, gejala dan tanda infeksi HIV serta Infeksi

Oportunistik. Pemantauan kesejahteraan janin sebaiknya dilakukan secara non


invasif, karena pemeriksaan diagnostik invasif meningkatkan risiko penularan,
kecuali atas indikasi yang kuat. Jumlah CD4 dan kepadatan virus dipantau
selama perawatan antepartum setiap trimester atau setiap 3-4 bulan jika ARV
diberikan guna mengikuti perkembangan penyakit, keberhasilan ataupun
resistensi ARV serta menentukan langkah lebih lanjut. Di samping itu,
pemeriksaan hemoglobin, lekosit dan trombosit juga dilakukan setiap 4 minggu
untuk menilai efek penekanan ARV terhadap sumsum tulang.
Pemeriksaan CD4 harus dilakukan setiap 3 bulan untuk menentukan apakah
pasien perlu diberi Zidovudin atau obat provilaksis terhadap Pneumonia carinii.
Pemeriksaaan konfirmasi menggunakan Western Blot (WB) cukup mahal,
sebagai ganti dapat dilakukan 3 pemeriksaan ELISA sebagai tes penyaring
memakai reagen dan teknik berbeda.
Salah satu penyulit yang selalu mengintai IHDHA adalah wasting akibat
defisiensi nutrisi, karena wasting selalu mengancam setiap perjalanan IHDHA
maka selain penatalaksanaan pemberian ARV (antiretroviral) juga dilakukan
penatalaksanaan nutrisi dengan serius. Penatalaksannan nutrisi berbasis
makronutrien dan mikronutrien diharapkan dapat mendukung kerja ARV dalam
menurunkan morbiditas akibat HIV, serta mortalitas akibat AIDS pada
kehamilan dengan HIV &AIDS.
3. Penatalaksanaan Persalinan
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS adalah
persalinan sebaiknya berlangsung dalam 4 jam sebelum ketuban pecah dan
sebaiknya hindari teknik-teknik yang dapat menimbulkan luka.
Pada saat persalinan harus dihindari semua manipulasi yang dapat
meningkatkan risiko penularan melalui kontak darah atau sekret genital ibu,
seperti persalinan pervaginam dengan solusio plasenta, plasenta previa,
perdarahan jalan lahir, ketuban pecah dini serta partus lama.
Mempercepat kala II atau SC perlu dilakukan. Penelitian di Swiss, Perancis,
London dan daratan Eropa lainnya menunjukkan penurunan kejadian penularan
50-87% pada IHDHA yang menjalani operasi caesarea elektif. Namun,
sebagian

besar

subyek

penelitian

juga

menggunakan

ZDV

selama

kehamilannya. Penelitian di Rwanda mendapatkan kematian IHDHA post


operasi cesarea yang bermakna dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi

HIV, walaupun hal ini tidak ditemukan di Eropa. Sebaliknya, hasil penelitian di
Amerika dan Vietnam tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam penurunan
penularan antara kelompok yang dilakukan operasi cesarea elekif dengan
kelompok yang diberikan profilaksis ZDV, bahkan untuk menyelamatkan
seorang bayi dari risiko penularan, memerlukan 12-16 operasi cesarea elektif.
Oleh karena itu, operasi cesarea bukan untuk menurunkan kejadian penularan
dan dilakukan atas indikasi obstetric.
Tindakan berhati-hati dalam persalinan, perlindungan mata perlu dikenakan
selama pemeriksaan dengan menggunakan speculum untuk mengantisipasi
terjadinya rupture membrane dan selama proses persalinan. Pengisapan
tradisional yang menggunakan Deelee tidak boleh dilakukan, untuk
menghindari menghisap mekonium pada saluran nafas bayi. Sebagai gantinya
dapat digunakan kateter penghisap yang ada didinding dengan menggunakan
pipa panjang.
Penularan pada penolong persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% per tahun
exposure. Oleh karena itu dianjurkan untuk melakukan upaya pencegahan
terhadap penularan infeksi bagi petugas kamar bersalin sebagai berikut :
a. Gunakan gaun, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong
persalinan.
b. Gunakan sarung tangan saat menolong bayi.
c. Cucilah tangan setiap selesai menilai penderita AIDS.
d. Gunakan pelindung mata (kacamata)
e. Peganglah sarung tangan dan beri label sebagai barang infeksious.
f. Jangan menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut.
g. Bila curiga adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibodi
terhadap HIV &AIDS.
4. Perawatan Post Partum
Perawatan post partum perlu memperhatikan kemungkinan penularan melalui
pembalut wanita, lokea, luka episiotomi ataupun luka seksio sesarea. Perawatan
ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan. Harus diusahakan agar pada bayi tidak
dilakukan tindakan yang membuat perlukaan bila tidak perlu, misalnya jangan
melakukan sirkumsisi. Perawatan tali pusat juga harus dijalankan dengan cermat.
Karena angka kejadian tranmisi vertical atau plasenta sebesar 25-35 %, semua
janin harus diperlakukan sebagai individu yang tidak terinfeksi saat persalinan.
Pencegahan perlu dilakukan untuk menghindari tranmisi horizontal atau tranmisi
dari ibu ke bayi. Ibu diijinkan menggendong bayinya tetapi dengan hati-hati agar
bayi tidak terpapar oleh sekresi ibu.

Air susu ibu selain mengandung faktor imun non spesifik (secretary leucocyte
protease inhibitor, lactoferrin, complement, glycosaminoglycan), epidermal
growth factor (EGF) dan transforming growth factor (TGF) , ternyata juga
mengandung HIV dan DNA provirus dalam jumlah yang cukup banyak untuk
menambah risiko PHP sampai 14%. The American Collage of Obstetricans and
Ginecologists menghimbau agar ibu dengan HIV tidak menyusui sendiri bayinya.
Pada keadaan dimana ibu tidak bisa membeli susu formula, lingkungan yang tidak
memungkinkan seperti tidak tersedianya air bersih dan sosiokultural, bila
pemberian susu formula tidak dapat diterima, tidak menguntungkan, tidak
terjangkau, tidak berkesinambungan, tidak aman, maka bayi dapat diberi ASI
ekslusif sampai usia 4 6 bulan, selanjutnya segera disapih. Metode KB
postpartum harus diperhatikan yang akan digunakan nantinya, apakah ibu
berencana hamil lagi unuk jangka pendek, jangka panjang atau mengakhiri
kesuburannya.
5. Antiretrovirus (ARV)
Pemberian kombinasi ARV merupakan penatalaksanaan baku IHDHA tanpa
memandang status kehamilan, sama seperti pemberian ARV pada ODHA karena
telah dipertimbangkan farmakokinetiknya dan tidak terbukti memberikan efek
teratogenik pada janin/bayi jika diberikan setelah umur kehamilan 14 minggu.
Pada pencegahan penularan HIV perinatal (PHP), baik ACOG, USHS maupun
WHO menganjurkan kombinasi ARV untuk menekan replikasi virus secara cepat
sampai batas yang tidak menunjukkan efikasinya dalam penurunan PHP
dibandingkan dengan pemberian ZDV. Sedangkan penelitian mengenai imunisasi
pasif dan aktif untuk mencegah PHP sedang dilakukan. Pemberian minimal 3
dosis vaksin recombinant envelope setiap bulan berturut-turut menunjukkan
peningkatan antibodi pada manusia tanpa efek teratogenik pada binatang
percobaan.
Terapi ARV harus diberikan pada semua ibu hamil yang terkena HIV untuk
memulai perawatan pada ibu sehingga dapat mencegah transimisi perinatal, tanpa
memandang jumlah Limfosit T CD 4 dan viral load (Cunningham, 2005)
Perinatal HIV guide lines working group 2000-2001 dalam cunningham 2001
menjelaskan mengenai pemberian regimen ARV pada :
1. Antepartum
Terapi kombinasi dengan dua regimen NRTI ditambah NNRTI atau PI. Regimen
harus mencakup :

Zidovudin 100 mg 5 x sehari, dimulai pada minggu ke 14 34 dan dilanjutkan


selama hamil ditambah NRTI lain dan NNRTI atau PI.
2. Intra partum Kemoprofilaksis
Wanita yang bersangkutan telah mendapat regimen :
Zidovudin 2mg/kg/bb di berikan secara intara vena selama 1 jam diikuti infus

kontinu 1 mg/kg/bb/jam sampai kelahiran bayi.


Belum pernah diterapi :
Nevirapin dosis tunggal dan dosis berikutnya untuk bayi. Dan dosis berikutnya
pada bayi untuk 48 jam.
Zidovudin per oral dan lamivudin pada saat persalinan; Zidovudin / lamivudin 1

minggu untuk neonatus.


Regimen zidovudin intravena ditambah zidovudin 6 minggu untuk neonatus
Nepiravin dan regimen zidovudin.
3. Pasca partum Tanpa terapi ARV selama hamil atau intra partum
Bayi : regimen zidovudin 6 minggu
Ibu : evaluasi untuk terapi kombinasi
Dari sumber lain menyatakan pemberian regimen ARV yang hampir sama sumber
di atas, yakni menurut WHO yang dikutip dalam "Recommendation on ARVs and
MTCT Prevention 2004" disampaikan regimen ARV yang dibutuhkan oleh ibu
hamil sebagai berikut :

1.

Kondisi

Regimen

bagi

Klinis

(dosis sesuai tabel 3)

ODHA

dengan

sedang

dalam

indikasi

keadaan

hamil

ARV yang

sebelum

memulai

mungkin

ARV

dapat hamil

Hindari penggunaan

Pastikan

Ibu

Regimen bagi Bayi

tidak

EFV
AZT + 3TC + NVP
atau
d4T + 3TC + NVP

2.

ODHA

Lanjutkan

AZT

dengan

regimen ARV yang

(4mg/kgBB setiap 12

ARV yang

sekarang digunakan

Bila
mendapat

jam) selama 1 minggu

kemudian
hamil

pengobatan

atau

dengan

NVP

EFV diganti dengan

(2mg/kgBB)

dosis

NVP atau PI pada

tunggal atau
NVP

dosis

kehamilan trimester I

Lanjutkan

pengobatan
yang

ARV

sama

tunggal + AZT selama


1 minggu

selama

persalinan dan pasca


persalinan
3.

ODHA

Tunda ARV sampai

NVP dosis tunggal

hamil

setelah trimester I bila

dalam 72 jam pertama

dengan

mungkin. Bila kondisi

indikasi

buruk

minggu

ARV

pertimbangkan
untung

perlu

rugi

pemakaian ART dini

ARV seperti pada


ODHA

biasa

ARV lini I: AZT +


3TC + NVP atau

AZT
AZT

selama

atau
selama

minggu
NVP

atau
dosis

tunggal dalam 72 jam


pertama

Tabel 4. Panduan Pengobatan ARV pada PMTCT

Pengkajian pada ibu hamil dengan HIV/AIDS

Asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS


Pemeriksa :
Jam :
Tempat :
Tanggal :
1. Pengkajian data
1) Data Subjektif
(1) Identitas ibu hamil dan suami
Nama

mengantisipasi kesalahan pemberian asuhan

Umur

HIV pada ibu hamil tidak ada batasan usia

Pendidikan

Tingkat pendidikan rendah

Pekerjaan

tingkat perekonomian dan pekerjaan yang


merupakan

faktor

risiko

terinfeksi

HIV.

Pekerjaan yang merupakan resiko tinggi HIV/


AIDS adalah pekerja seks, pelaut, dan pekerja
di sector transportasi (WHO, 2004)

Alamat

Pada multiple pasangan bisa tinggal pada


rumah yang berbeda.

(2) Keluhan Utama :


Keluhan yang paling sering terjadi pada pasien hamil dengan HIV-AIDS adalah
selain keluhan sehubungan dengan kehamilannya, ibu juga mengeluh berbagai
masalah sesuai dengan stadium).
a. Stadium Klinis 1
- Asimtomatis
- Limpadenopati persistent generalisata
Penampilan atau aktivitas fisik skala 1: asimtomatis, aktivitas normal.
b. Stadium Klinis 2
- Penurunan berat badan, 10% dari berat badan sebelumnya.
- Manifestasi mukokutaneus minor (dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi jamur
pada kuku, ulserasi mukosa oral berulang, cheilitis angularis)
- Herpes Zoster, dalam 5 tahun terakhir.
- Infeksi berulang pada saluran pernapasan atas (misalnya sinusitis bakterial)
Dengan atau penampilan ativitas fisik skala 2 : simtomatis, aktivitas normal.
c. Stadium Klinis 3
- Penurunan berat badan >10%
- Diare kronis dengan penyebab tidak jelas >1 bln
- Demam dengan sebab yang tidak jelas (intermittent atau tetap), >1 bulan
- Kandidiasis oris
- Oral hairy leukoplakia
- TB pulmoner, dalam 1 tahun terakhir.
- Infeksi bakterial berat (misal : pneumonia, piomiositis)
Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 3: lemah, berada di tempat tidur,
<50% perhari dalam bulan terakhir.
d. Stadium Klinis 4
- HIV wasting syndrome, sesuai yang ditetapkan CDC
- PCP (pneumocytis carinii pneumonia)
- Ensefalitis toksoplasmosis

- Cryptococcosis ekstrapulmoner
- Infeksi virus sitomegalo
- Infeksi herper simpleks >1 bulan
- Berbagai infeksi jamur berat.
- Kandidiasis esofagus, trachea atau bronkhus
- Mikobakteriosis atypical
- Salmonelosis non tifoid disertai setikemia
- TB, ekstrapulmoner
- Limfoma maligna
- Sarkoma kaposis
- Ensefalopati HIV
Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 4: sangat lemah, selalu berada di
tempat tidur >50% per hari dalam bulan terakhir (Fazidah, 2004).
(3) Riwayat Obstetri:
a. Riwayat menstruasi
Fluor albus : banyak, gatal , berbau, warna hijau. Pada ibu dengan HIV mudah
terkena infeksi jamur yang bila mengenai organ genital bisa menyebabkan
keputihan.
b. Riwayat Obstetri lalu
Kehamilan yang lalu terinfeksi HIV, ibu dapat bersalin dengan SC.
c. Riwayat Kehamilan Sekarang :
Keluhan pada trimester I ,II, atau III pada ibu hamil dengan HIV seperti keluhan
ibu hamil normal terkadang dijumpai keluhan berdasarkan stadium HIV/AIDS:
Trimester I : Chloasma gravidarum, mual dan muntah (akan hilang pada
kehamilan 12-14 minggu) sering kencing, pusing, ngidam, obstipasi.
Trimester II : Body image dan nafsu makan bertambah.
Trimester III : Sering kencing, obstipasi, sesak nafas (bila tidur telentang) sakit
punggung, oedema, varices.
d. Riwayat perkawinan
hamil dengan HIV biasanya ibu atau suami menikah lebih dari satu kali atau
mempunyai banyak pasangan.
e. Riwayat kesehatan ibu
Pada ibu dengan HIV biasanya penyakit yang diderita beragam, antara lain :
demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala,
mual, muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan. Dapat juga menimbulkan
kelainan saraf, seperti meningitis, ensefaliits, neuropati perifer dan mielopati.
Gejala pada dermatologi yaitu ruam makropapulereritematosa dan ulkus
makokutan
Pada beberapa pasien terdapat sarkoma kaposis, herpes simpleks, sinusitis
bakterial, herpes Zooster dan peneumonia yang berlangsung tidak terlalu lama.
Fase ini berlangsung sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13 tahun) setelah terinfeksi HIV.

Pada tahun kedelapan setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu
demam, banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari
10%, diare, lesi pada mukosa dan kulit berulang, penyakit infeksi kulit berulang.
Gejala ini merupakan tanda awal munculnya infeksi oportunistik.
Selain itu terdapat juga pneumonia carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplamosis
ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus
herpes, kandisiasis esofagus, kandisiasis trakhea, kandisiasis bronkhus atau paru
serta infeksi jamur jenis lain seperti histoplamosis, koksidiodomikosis. Kadang
juga ditemukan beberapa jenis kanker, yaitu kanker kelenjar getah bening dan
kanker sarkoma kaposis (Nasronudin, 2007).
f. Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit HIV dapat diturunkan oleh orangtua ataupun ditularkan oleh suami
penderita.
g. Pola fungsional kesehatan
a) Pola Nutrisi :
pada pasien HIV pola makan harus dijaga untuk menghindari terjadinya infeksi
oportunistik.
Wanita dewasa memerlukan 2.500 Kalori per hari, jumlah tambahan kalori yang
dibutuhkan pada ibu hamil adalah 300 kalori per hari, dengan komposisi menu
seimbang (cukup mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, air)
(Nakita, 2014).
Pada pasien HIV yang mengalami ulserasi mukosa oral terjadi gangguan
pemenuhan nutrisi karena ketidaknyamanan/sakit saat makan.
b) Pola Eliminasi :
BAK : dalam batas normal (1cc kg/jam)
BAB teratur tiap hari 1x
Pada stadium HIV lanjut ( stadium III dan IV) Ibu dapat mengalami diare akut
atau
c) Pola Istirahat :
Pada stadium lanjut HIV ibu membutuhkan istirahat, selalu berada di tempat tidur
> 50% per hari dalam bulan terakhir.
d) Pola Aktivitas :
Stadium 1 : penampilan atau aktivitas fisik skala 1: asimtomatis, aktivitas normal.
Stadium 2 : dengan atau penampilan ativitas fisik skala 2 : simtomatis, aktivitas
normal.
Stadium 3 : dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 3: lemah, berada di
tempat tidur, <50% perhari dalam bulan terakhir.

Stadium 4 : dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 4: sangat lemah, selalu


berada di tempat tidur >50% per hari dalam bulan terakhir (Fazidah, 2004).
e) Aktivitas Seksual
Seberapa sering aktivitas sex yang dilakukan ibu dan suami sebelum dan selama
kehamilan.
Mungkin ditemukan adanya penurunan aktivitas seksual utamanya pada mereka
yang sudah berada pada stadium lanjut. disarankan untuk menggunakan kondom
bila suami HIV negatif dikarenakan kondom dapat mencegah penularan HIV.
f) Pola Kebiasaan
Merokok
Minum Alkohol
Mengkonsumsi Narkoba : Pemakaian narkoba dengan suntik atau obat-obatan
terlarang lainya yang dapat meningkatkan resiko terkena HIV AIDS.
Minum Jamu-jamuan
Memelihara binatang peliharaan : (rantai penularan toxoplasmosis yang dapat
memperburuk HIV/AIDS dalam perkembangan janin)
h. Riwayat PsikoSosial Budaya
Perkawinan ibu dengan HIV seringkali ditemui dengan ibu atau suami menikah
lebih dari sekali
Perencanaan kehamilan akan berpengaruh pada penerimaan ibu dan keluarga
terhadap kehamilan ini dan bayinya nantinya, ibu merasa gelisah dan cemas
apabila keluhan yang dirasakan oleh ibu akan mengganggu kehamilannya.
2) Data Obyektif
(1) Pemeriksaan Umum
- TD : Ibu hamil dengan HIV tidak ada perbedaan tekanan darah dengan ibu hamil
normal. Normal antara 100/60-140/90 mmHg
- Suhu : Suhu pada ibu hamil dengan HIV pada fase akut dan fase laten akan
mengalami demam. Normal antara 360C 370C (Nasronudin, 2007).
- Nadi : Ibu hamil dengan HIV tidak ada perbedaan jumlah nadi dengan ibu hamil
normal. Nadi normal antara 80-110 x/menit
- RR : Pada ibu dengan HIV tidak ada peningkatan jumlah pernapasan. Normal
16-20 x/menit.
- Berat badan sebelum hamil:
Penimbangan berat badan harus terus dipantau. Pada penderita HIV pada fase
infeksi laten mengalami penurunan berat badan 10% (Nasronudin, 2007).
- Berat badan sekarang:
Mulai stadium II ibu mengalami penurunan BB akan tetapi <10 Kg, sedangkan
pada stadium III dan IV penurunan berat badan > 10 Kg.

Mulut

Mukosa bibir kering, caries gigi. Pada pasien HIV stadium


klinis 2 terjadi ulserasi mukosa berulang. Pada stadium
klinis 3 terdapat kandidiasis oris (pada rongga mulut
terdapat pseudomembran yang berwarna putih krem sampai
keabu-abuan. Periksa adanya leukoplakia (plak putih di
sekitar rongga mulut) (Nasronudin, 2007).

Dada

Ada tarikan dinding dada. Ada ronchi dan wheezing sebagai


indikasi kelainan organ pernafasan ( apabila sudah terjadi
TB pulmonar dan PCP (Pneumocystis Carinii Pneumonia)
manifestasi

dari

HIV/AIDS.

Pada pasien HIV mulai stadium 1 terdapat limpadenopati


(pembengkakan kelenjar limfe) (Nasronudin, 2007).

Abdomen

Ada luka bekas SC apabila ibu persalinan yang lalu mengid


ap

HIV

mencegah

penularan

ibu

ke

bayi.

Pembesaran uterus terkadang tidak sesuai dengan umur


kehamilan. Hal tersebut dikarenakan adanya infeksi HIV
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin.

Ekstrimitas

Atas
Bawah

tidak
:

tidak

ada
ada

oedema
varises

Pada stadium II terlihat luka infeksi/ ulkus pada kuku.

Kulit

Kadang ditemukan tanda-tanda dermatitis, herpes zoster,


prurigo, dan kelainan kulit lainnya akibat infeksi jamur.

Genetalia

Vulva

dan

vagina

Keluaran : Pada wanita hamil sering mengeluarkan cairan


pervaginam lebih banyak. Keadaan ini dalam batas normal
(tidak berwarna, tidak berbau, tidak gatal). Pada ibu hamil
dengan HIV memungkinkan adanya infeksi candida yang
menyebabkan flour albus (Nasronudin, 2007).

(2) Pemeriksaan Fisik


3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan lab
Pemeriksaan HIV
Saat ini ada 2 standar untuk melakukan uji HIV yaitu dengan Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) dan Western Blot.
Apabila setelah melakukan uji ELISA hasilnya positif maka penderita harus
melakukan

uji

ELISA lagi,

sebelum

melakukan

Western

Blot

untuk

mengonfirmasi status HIV positif. ELISA awal dapat bereaksi silang untuk
memberi hasil positif palsu jika digunakan tanpa uji konfirmasi. Western Blot
akan dibaca positif bila ada antibody dua atau lebih pita protein ditemukan
dalam HIV. Adanya pita tunggal tidak dapat meyakinkan dan mungkin hasil dari
pajanan HIV atau sebuah temuan kronis. Diantara penyebab hasil menetap yang
tidak dapat disimpulkan ini adalah autoimun atau penyakit vascular kolagen,
aloantibodi dari kehamilan atau transfuse, dan infeksi HIV subtype jarang atau
HIV 2. Hasil positif palsu pada ELISA dan Western Blot kurang dari 0,001 persen
dalam area prevalensi yang rendah.
Selain 2 uji standar tersebut, ada banyak uji lain yang digunakan untuk
mengevaluasi kesehatan dan perkembangan penyakit. Beberapa diantaranya
penting bagi bidan untuk mengenalinya dalam rangka meningkatkan status
kesehatan wanita. Pengujian ini termasuk pengukuran CD4 limfosit, muatan virus
plasma, perubahan dalam hitung sel darah lengkap dan panel kimia. Karena pada
saat hamil diharapkan viral load ibu serendah-rendahnya.
(pada saat hamil diharapkan vairal load ibu serendah-rendahnya. Selain itu perlu
untuk dilakukan USG untuk melihat pertumbuhan janin pada pasien HIV/AIDS,
janin dapat IUGR atau bahkan IUFD)

2. Interpretasi Data Dasar


Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar atas data-data yang
dikumpulkan.
1) Dx aktual :
GPapah usia kehamilan dengan HIV/AIDS stadium 1/2/3/4
Janin tunggal, hidup, presentasi, keadaan janin baik.
2) Masalah :
Pada ibu hamil dengan HIV masalahnya yaitu:
a. Kecemasan ibu pada kondisi bayinya
b. Penurunan berat badan
c. Penyakit oportunistik
d. Sariawan dan diare yang tak kunjung sembuh
3. Identifikasi Diagnosa dan Masalah Potensial
Mengidentifikasi masalah / diagnosa potensial lain berdasarkan masalah dan
diagnosa yang sudah diidentifikasikan. Pada kehamilan dengan HIV/AIDS dapat
muncul diagnose potensial yaitu abortus, IUGR dan penularan HIV dari ibu ke
janin.
4. Identifikasi Kebutuhan Segera
Menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera baik dalam melakukan
konsultasi, kolaborasi, dengan dokter atau tenaga kesehatan lain berdasarkan
kondisi klien, ibu hamil dengan HIV membutuhkan tindakan segera rujukan ke
rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih lanjut sehingga proses kehamilan
dan persalinannya baik sehingga mencegah penularan dari ibu ke janin apabila
diketahui lebih dini.
KIE pola nutrisi dan PMTCT (Prevention Mother to Child Transmition) sangat
penting bagi ibu hamil dengan HIV/AIDS yang merupakan pilar utama dalam
penetalaksanaan HIV/AIDS.
5. Perencanaan
Pada langkah ini jika ada informasi / data tidak lengkap bisa dilengkapi.
Mencerminkan rasional yang valid dan ditentukan oleh hasil kajian pada langkah
sebelumnya.
1) Informasikan hasil pemeriksaan dan kondisi kehamilan pada ibu dan keluarga.
R/: ibu dan keluarga mengetahui tentang keadaan kehamilannya sehingga dapat
nmenentukan tindakan yang tepat untuk menjaga kesehatan diri ibu dan janinnya.
2) Berikan konseling dan edukasi (VCT) dan berikan dukungan psikologis kepada
ibu

R/ Pengetahuan tentang HIV kepada ibu dan keluarga akan mengurangi tingkat
kecemasan dan ketakutan ibu dan keluarga
3) Diskusikan dengan ibu tentang PMTCT (Prevention Mother To Child
Transmition) dan komplikasinya (Abortus, IUGR, HIV pada bayi) yang meliputi
rencana persalinan yang aman di rumah sakit
R/ Pengetahuan tentang PMTCT dapat mengurangi angka resiko HIV pada janin
4) Kolaborasi untuk Uji saring antepartum untuk menegakkan diagnose medis
selama window periode
R/ Menegakkan diagnose HIV/AIDS
5) Kolaborasi dengan dokter untuk menegakkan diagnose dan pemberian terapi.
R/: ibu hamil dengan HIV merupakan kondisi risiko tinggi yang memerlukan
penanganan terpadu oleh dokter Sp.OG.
6) Menyepakati kunjungan ulang
R/ pemantauan kesejahteraan janin dan kesehatan ibu dengan HIV/AIDS
6. Penatalaksanaan
Melaksanakan rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada
langkah V
7. Evaluasi
Dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang diberikan dalam bentuk SOAP.
S : ibu tidak cemas dan takut dengan kondisi penyakit HIV/AIDS yang
dideritanya
O:
- Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik
- Transmisi HIV dari ibu ke janin dapat dicegah
A : ibu hamil dengan HIV/AIDS
P:
- P4K perencanaan proses persalinan dengan operasi saesar untuk mencegah
transmisi ibu ke janin
- Kolaborasi dokter spesialis terkait pemberian terapi dan pemeriksaan lab

BAB III
TINJAUAN KASUS
Asuhan Kebidanan Pada Ibu G1p0a0ho Uk 32-33 Minggu Di Rsud Sijunjung
Dengan HIV
Tanggal pengkajian

: 26-07-2016

Waktu pengkajian

:12.30 wib

No MR

: 00868598

1. Pengkajian data
A. Data subjektif
1. Identitas/biodata
Nama ibu
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Suku
Agama
Alamat

:ny. Y
: 39 tahun
: SD
: IRT
: Minang
: islam
: komp citra permai blok

Nama ayah
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Suku
Agama

:tn. I
: 42 tahun
: SMA
: Wiraswasta
: Minang
: islam

B/12, RT 003.RW 003


Telp/hp
:081269207069
2. Keluhan utama
Pasien rujukan dari RSUD Sijunjung masuk poli sejak bulan Mei 2016. Ibu
mengatakan hamil pertama dengan usia kehamilan 8 bulan ingin
memeriksakan kehamilannya.
3. Status perkawinan
a. Pernikahan ke
:1
b. Umur kehamilan
: 35 tahun
c. Jarak pernikahan dengan kehamila : 4 tahun
4. Riwayat obstetri dan ginekologi
a.riwayat obstetri
haid
1. Menarche : 13 tahun

2. Siklus haid : 28 hari


3. Lamanya : 5 hari
4. Banyaknya : 2-3 x ganti pembalut
5. Dismenorhe : tidak ada
6. Hpht
: november 2015
7. Tp
: agustus 2016
Riwayat kehamilan dan persalinan yang lalu:
Ibu mengatakan ini kehamilan yang pertama
Keadaan kehamilan sekarang
Trimester III
a) ANC
: 2x di RSUP Dr.M.Djamil Padang
b) Keluhan
: tidak ada
c) Terapi
: calc 1x1, sf 1x1, duviral 2x1, nevirapin 1x1, selama 14
hari dan 2x1 seterusnya
d) Nasehat
: ibu dianjujrkan banyak istirahat dan control 2 mingggu
c

lagi
riwayat ginekologi
ibu tidak pernah menderita mioma uteri, kista ovarium, kanker servik

atau kanker korpus uteri


5. Riwayat KB
Ibu belum pernah menggunakan alat kontrasepsi apapun
6. Riwayat kesehatan ibu dan keluarga
a. Riwayat kesehatan ibu
Ibu mengatakan tidak pernah menderita penyakit jantung, hipertensi,
diabetes melitus dan asma
Ibu diketahui menderita HIV sejak diperiksa di RSUD Sijunjung
tertular dari suami. Ibu disarankan untuk berobat, namun ibu
mengatakan malas untuk datang ke rumah sakit lagi dan menginginkan
untuk hamil
b. Riwayat kesehatan keluarga
Ibu mengatakan di pihak keluarga atau

pun suami tidak menderita

penyakit degeneratif dan tidak ada riwayat kehamilan kembar


Suami diketahui menderita penyakit hiv sejak 2 tahun yang lalu dan saat
ini sedang menjalani proses pengobatan
c. Riwayat penyakit suami
Suami diketahui menderita penyakit hiv sejak 2 tahun yang lalu.
Sebelumnya suami mengalami sakit, batuk-batuk dan badan semakin
kurus. Suami dibawa berobat ke puskesmas dan dirujuk ke RSUD
sijunjung. Suami diperiksa dan didapatkan hasil Positiv
7. Data biologis
a. Pola nutrisi

Jenis makanan : bervariasi (nasi, sayur, lauk)


Porsi makanan : 1 piring nasi, setengah mangkok sayur dan 1 potong lauk
Frekuensi makan: 3x sehari
Pantangan
: tidak ada
Masalah
: tidak ada
b. Personal hygiene
Frekuensi mandi
: 2x sehari, pagi dan sore
Frekuensi sakit gigi : 2x sehari, sebelum sarapan dan sebelum tidur
Frekuensi ganti pakaia : 2x sehari, setelah mandi pagi dan sore
c. Pola eliminasi
Buang air besar
Frkuensi\
: 1x sehari
Warna
: kuning kecoklatan
Konsistensi
: lembek
Buang air kecil
Frekuensi
: 5-7 kali sehari
Warna
: kuning jernih
Bau
: Pesing
d. Pola aktivitas
Ibu masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari seperti memasak,
mencuci, ,membersihkan rumah, dll
8. Data psikologis
Ibu merasa cemas dengan kehaamilannya, ibu takut menghdapi proses
persalinan, ibu merasa kurang percaya diri
9. Data psikososial
Hubungan ibu dengan keluarga, suami dan lingkungan nya baik, pengambilan
keputusan dalam keluarga dilakukan secara musyawarah
10. Data spritual
Ibu menjalankan sholat 5 waktu dan beribadah kepada allah SWT.
B. Data objektif
1. Pemeriksaan umum
a. Keadaan umum
: baik
b. Kesadaran
: compos mentis
c. BB sebelum hamil
: 52 kg
d. BB sekarang
: 60 kg
e. Tinggi badan
: 155 cm
f. Lingkar lengan atas : 26 cm
g. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi
: 80x/menit
Pernafasan
: 24x/menit
Suhu
: 36.6c
2. Pemeriksaan khusus
a. Inspeksi

1) Kepala : kulit kepala tampak bersih, rambut tidak rontok damn tidak
ada ketombe
2) Muka : tidak pucat, tidak ada cloasma gravidarum
3) Mata : konjungtiva tidak pucat, sclera kuning
4) Mulut :bibir tidak pecah-pecah, lidah tidak kotor dan tidak ada caries
dentis
5) Telinga :tampak bersih, tidak ada kelainan
6) Leher : tidak ada pembengkakan kelenjar thiroid dan kelenjar limfe
7) Payudara : bentuk simetris, papila menonjol, areola hyperpigmentasi
dan tidak ada benjolan abnmormal
8) Abdomen :membesar sesuai usia kehamilan
9) Ekstremitas :tidak ada oedema dan varises pada ekstremitas atas dan
bawah
b. Palpasi
Leopold I

: tfu 3 jari bawah px, pada fundus teraba keras, bulat dan

melenting
Leopold II

: Pada perut ibu bagian kanan teraba tonjolan-tonjolan

kecil, pada perut ibu bagian kiri teraba panjang, keras, memapan.
Leopold III
: pada perut ibu bagian bawah teraba bundar, lembek dan
tidak melenting
Leopold IV
: tidak dilakukan
e. Auskultasi
DJJ 140X/menit, irama teratur, punctum maksimum kuadran 3
1. Pemeriksaan penunjang
a. Kimia klinik
Ureum darah : 5 mg/dl (10,0-50,0)
Kreatinin darah: 0,6 mg/dl(0,6-1,1)
Total protein :7,3 gr/dl (6,6-8,7)
Albumi `
: 4,1 gr/ dl( 3.8-5,0)
Globuli
: 18 u/I (<32)
SGPT
: 17 u/I (< 31)
Alkali fosfatase: 72 u/I (<240)
b. Imunologi
HBs Ag ( ELISA )
: 0,00 (negatif)
Anti Hc
: 0, 30 (negatif)
CD4
:108
c. Hematologi
Hb
: 12gr/dl (12-16)
Leukosi
: 8100/mm3 (5000-10000)
Trombosit`
: 259.000/mm3 (150.000-40.000)
2. Interpretasi Data Dasar
1) Dx aktual :

Ibu G1P0A0HO usia kehamilan 32-33 minggu dengan HIV/AIDS stadium 1Janin
hidup, tunggal, presentasi kepala, keadaan janin baik.
2) Masalah :
a. ibu cemas dnegan kehamilannya
b. ibu takut menghadapi persalinan
c. ibu merasa kurang percaya diri
3. Identifikasi Diagnosa dan Masalah Potensial
abortus,IUGR
dan
penularan
HIV

dari

ibu

ke

janin.

4. Identifikasi diagnosa masalah potensial yang memerlukn tindakan segera,


kolaborasi dan rujukan.
Kolaborasi dengan dokter untuk penanganan lebih lanjut.
5. Perencanaan.
1) Informasikan hasil pemeriksaan dan kondisi kehamilan pada ibu dan keluarga.
R/: ibu dan keluarga mengetahui tentang keadaan kehamilannya sehingga dapat
menentukan tindakan yang tepat untuk menjaga kesehatan diri ibu dan janinnya.
2) Berikan konseling dan edukasi (VCT) dan berikan dukungan psikologis kepada
ibu
R/ Pengetahuan tentang HIV kepada ibu dan keluarga akan mengurangi tingkat
kecemasan dan ketakutan ibu dan keluarga
3) Diskusikan dengan ibu tentang PMTCT (Prevention Mother To Child
Transmition) dan komplikasinya (Abortus, IUGR, HIV pada bayi) yang meliputi
rencana persalinan yang aman di rumah sakit
R/ Pengetahuan tentang PMTCT dapat mengurangi angka resiko HIV pada janin
4) Kolaborasi untuk Uji saring antepartum untuk menegakkan diagnose medis
selama window periode
R/ Menegakkan diagnose HIV/AIDS
5) Kolaborasi dengan dokter untuk menegakkan diagnose dan pemberian terapi.
R/: ibu hamil dengan HIV merupakan kondisi risiko tinggi yang memerlukan
penanganan terpadu oleh dokter Sp.OG.
6) Menyepakati kunjungan ulang
R/ pemantauan kesejahteraan janin dan kesehatan ibu dengan HIV/AIDS
6. Penata laksanaan
Melaksanakan rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada
langkah v.
7. Evaluasi
Dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang diberikan dalam bentuk SOAP.

S : ibu tidak cemas dan takut dengan kondisi penyakit HIV/AIDS yang
dideritanya
O :- Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik
- Transmisi HIV dari ibu ke janin dapat dicegah
A : ibu hamil dengan HIV/AIDS
P :- P4K perencanaan proses persalinan dengan operasi saesar untuk mencegah
transmisi ibu ke janin
- Kolaborasi dokter spesialis terkait pemberian terapi dan pemeriksaan

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan pembahasan kasus yang telah diambil oleh penulis, sesuai
dengan manajemen Kebidanan Varney mulai dari pengkajian sampai dengan
evaluasi. Dalam hal ini juga akan diuraikan tentang persamaan dan kesenjangan
antara teori yang ada dengan praktek yang penulis temukan dilapangan.
Pelaksanaan asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS di RSUD
Sijunjung. Ada beberapa kondisi yang tidak sesuai dengan teori yang penulis
peroleh.
1 Pengkajian data
Pengkajian merupakan tahap awal yang digunakan sebagai landasan dalam
proses asuhan kebidanan. Tahap ini mencakup kegiatan pengumpulan dari
beberapa data subyektif dan obyektif. Data tersebut diperoleh dengan cara
anamnesa, observasi, dan pemeriksaan fisik. Pengkajian ini dibuat teliti dan
sistematis, sehingga dapat diketahui diagnosa kebidanan, masalah dan
kebutuhan yang ada dan akhirnya dapat diberikan asuhan kebidanan terhadap
masalah tersebut.

Berdasarkan hasil pengkajian data subjektif yang penulis peroleh pada Ny. Y
ibu mengatakan ini ini kehamilan pertama dengan usia kehamilan 8 minggu,
ibu mengatakan ingin memeriksakan kehamilannya.
Ibu mengatakan bahwa ibu tidak pernah menderita penyakit jantung,
hipertensi, diabetes mellitus dan asma. Ibu diketahui menderita HIV sejak
diperiksa di RSUD Sijunjung tertular dari suami. Suami menderita penyakit
HIV sejak 2 tahun yang lalu dan saat ini sedang menjalani proses pengobatan.
Pada riwayat obstetri pada ibu dengan HIV mudah terkena infeksi jamur yang
bila mengenai organ genital bisa menyebabkan keputihan tetapi pada kasus
tidak ditemukan keluhan seperti di atas.
Pada ibu hamil dengan HIV biasanya ibu atau suami menikah lebih dari satu
kali, atau suami atau istri sering bergonta ganti pasangan, pada kasus ini, pasien
mengaku ini pernikahan yang pertama, sehingga bisa diambil kesimpulan
bahwa HIV yang diderita pasangan ini karena sebab lain seperti pemakaian
narkoba dengan suntik atau obat-obatan terlarang lainnya yang dapat
meningkatkan resiko terkena HIV/AIDS.
Pada pengkajian data objektif Ny y TTV dalam batas normal, ibu hamil
dengan HIV tidak ada perbedaan tekanan darah dengan ibu hamil normal.
Normal antar 100/60 140/90 mmHg, sehingga tidak ada kesenjangan dengan
teori. Suhu pada ibu hamil dengan HIV pada fase akut dan fase laten akan
mengalami demam, sementara itu suhu pasien 36,60 c karena HIV yang dialami
pasien belum menunjukkan gejala/asimptomatis.
Pada pemeriksaaan fisik tidak ada perbedaan dengan ibu hamil normal, seperti
2

pada peningkatan berat badan, sesuai dengan teori.


Interpretasi Data
Pada langkah kedua ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosa atau masalah
berdasarkan interpretasi yang benar Diagnosa kebidanan yang penulis tegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut adalah ibu G1P0A0H0 UK 32-33

minggu dengan HIV/AIDS stadium 1 janin hidup, tunggal, intra uterin, preskep
keadaan janin baik.Pada masalah ditemukan adanya masalah pada Ny Y ibu
cemas dengan kehamilannya, ibu takut menghadapi persalinan, ibu merasa
kurang percaya diri. kebutuhan Ny Y saat ini adalah dukungan emosional, dan
3

yakinkan ibu bahwa ibu dapat menghadapi kehamilan dan persalinannya.


Diagnosa Potensial
Diagnosa / masalah potensial ibu hamil dengan HIV/AIDS pada janin adalah,
IUGR, abortus, dan penularan dari ibu ke janin. 5-10% penularan HIV dari ibu

4
5

kejanin bias terjadi pada kehamilan.


Tindakan segera, kolaborasi dan rujukan
Kolaborasi dengan dokter untuk penanganan lanjut.
Perencanaan
Pada langkah ini perencanaan yang akan dilakukan yaitu Informasikan hasil
pemeriksaan dan kondisi kehamilan pada ibu dan keluarga. Berikan konseling
dan edukasi (VCT) dan berikan dukungan psikologis kepada ibu, Diskusikan
dengan ibu tentang PMTCT (Prevention Mother To Child Transmition) dan
komplikasinya (Abortus, IUGR, HIV pada bayi) yang meliputi rencana
persalinan yang aman di rumah sakit, Kolaborasi untuk Uji saring antepartum
untuk menegakkan diagnose medis selama window periode,Kolaborasi dengan

dokter untuk menegakkan diagnose dan pemberian terapi.


Implementasi
Pada pelaksanaan disesuaikan dengan rencana, dan rencana berjalan dengan

lancar.
Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada setiap tindakan dan selama pelaksanaan asuhan,
secara umum semua tindakan yang dilakukan dapat berhasil dengan baik. Pada
bab pembahasan ini mulai dari pengkajian, interpretasi data, diagnosa
potensial, antisipasi, perencanaan, implementasi
terdapat kesenjangan dan kesesuaian dengan teori.

sampai dengan evaluasi

BAB V
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik menular, yang
disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai
depresi berat imunitas seluler, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk
pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat intravena, penderita
hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari individu
yang terinfeksi virus tersebut.
3.2 Saran
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik
dan saran sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik

DAFTAR PUSTAKA
1.

Hartati Nyoman, Suratiah, Mayuni IGA Oka. Ibu Hamil dan HIV-

AIDS. Gempar: Jurnal Ilmiah Keperawatan Vol. 2 No.1 Juni 2009.


2.
Doku Paul Narh. Parental HIV/AIDS status and death, and
Childrens Phychological Wellbeing. International Journal of Mental
Health system 2009;3(26):1-8
3.
Siregar FA. Pengenalan dan Pencegahan HIV-AIDS. Medan.
Universitas Sumatera Utara, 2004.
4.
Heemanides HS, Lonneke AVV, Ralph V, Fred DM, Aimee D,
Gerard VO, et all. Developinh quality indicators for the care of HIVinfected pregnant women in the Dutch Caribbean. Aids Research and
Therapy 2011; 8(32) : 1-9.
5.
Wamoyi J, Martin M, Janet S, Josephine B, Shabbar J. Changes in
sexual desires and behaviours of people living with HIV after initiation of
ART: Implications for HIV prevention and health promotion. BMC Public
Health 2011; 11(633): 1-11.
6.
Bradley-Springer L, Lyn S, Adele W. Every Nurse Is an HIV
Nurse. AJN 2010;110(3):33-39.
7.
Bastien S, LJ Kajula, WW Muhwezi. A review of studies of parentchild communication about sexuality and HIV/AIDS in sub-Saharan
Africa. Reproductive Health 2011;8(25):1-17.
8.
Anonymous. HIV/ AIDS. WHO. 2010
9.
Dorland WAN. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta:
EGC.
10. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison:
Prinsip- Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol. 1 (Edisi 13). 1995.
11. Walter J, Linda F, Melanie JO, William DD, Theresa G, Alice S, et
all. Immunomodulatory factors in cervicovaginal secretions from pregnant

and non-pregnant women: A cross-sectional. BMC Infectious Disease


2011; 11(263): 1-7.
12. Anonymous. 2007. Rencana Nasional Penanggulangan HIV-AIDS di
Indonesia 2007-2010. Jakarta: Komisi Penanggulangan AIDS.
13. Susanti NN. Psikologi Kehamilan. Jakarta: EGC, 2000.
14. Hanafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan Edisi
4. EGC: Jakarta. 2007.
15. Hartati N, Suratiah, Iga OM. Ibu hamil dengan HIV-AIDS. Gempar:
Jurnal Ilmiah Keperawatan. 2009:2:1.
16. Bobak, Lowdermik, Jensen. 2005. Buku

Ajar

Keperawatan

Maternitas Edisi 4. Jakarta: EGC.


17. Nursalam, Kurniawan ND. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien
Terinfeksi. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
18. Doengoes ME & Mary Drances Moorhouse. 2001. Rencana
Perawatan Maternal/Bayi Edisi 2. Jakarta: EGC.
19. Anonymous. Guidelines on HIV and infant feeding 2010 Principles
and recommendations for infant feeding in the context of HIV and a
summary of evidence. WHO. 2010.
20. Price SA, Lorraine MW. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
21. Anderson Brena L, Uvin Susan Cu. Pregnancy and optimal care of
HIV-Infected Patients. Clinical Infectious Diseases, 2009; 48: 449-55.
22. Anonymous. 2010. HIV and Pregnancy: anti-HIV medications for
Use in Pregnancy.AIDS info: A service of the U.S. Department of Health
and Human Service.
23. Anonymous. 2009. ISO indonesia. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia.
24. Anonymous. 2010. WHO recommendations on the diagnosis of HIV
infection in infant and children. WHO.
25. Trsetianingsih Y. 2011. Keperawatan Ibu Hamil.

Yogyakarta:

Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES A. Yani.


26. Wiley, Blackwell. Nursing Dianoses Definition and Classification
2009-2011. 2009. United States of America: Mosby Elsevier.
27. Moorhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2009. Nursing
Outcome Classification (NOC) Fourth Edition. United States of America:
Mosby Elsevier.

28. Bulechek

GM,

Butcher

HK,

Dochterman

JM. 2009. Nursing

Interventions Classification (NIC) Fifth Edition. United States of America:


Mosby Elsevier

You might also like